Dalam kehidupan normal saja, masa remaja adalah masa yang sulit untuk dilalui. Tapi jika sejak remaja kau sudah merasa bahwa kau gay/lesbian/transeksual, masa itu akan berpuluh-puluh kali lipat lebih sulit. Kesendirian dan ketakutan yang dialami remaja homoseksual sering menyebabkan timbulnya depresi yang berlebihan. Kadang-kadang bunuh diri dilakukan untuk mencegah agar orang-orang tidak tahu bahwa dia homoseksual. Selain itu desakan pergaulan atau peer pressure, tekanan orangtua, atau akibat coming out yang terlalu dini di usia muda bisa menyebabkan remaja homoseksual mengambil tindakan nekat.

Dunia remaja tidaklah seindah novel-novel teenlit atau semanis gulali. Banyak dari kita yang sudah melewati masa remaja pasti mengakuinya. Memasuki masa puber dan remaja, biasanya gay/lesbian/transeksual menyadari bahwa diri mereka berbeda dari teman-temannya karena mereka tertarik pada sesama jenis.

Perbedaan bukanlah sesuatu yang disukai oleh remaja, maka bisa kaulihat bagaimana remaja sering bergerombol ke sana kemari demi untuk jadi bagian dari suatu kelompok (dan moga-moga kau bisa masuk kelompok populer). Saat kau berbeda, kau jadi makhluk freak, nerd, atau si homo. Saat kau berbeda, kau akan jadi sasaran bullying mereka yang mayoritas. Belum lagi jika kau berasal dari keluarga yang kurang harmonis, di mana keluarga tidak bisa jadi pilar tempatmu bersandar. Meskipun keluarga harmonis juga tidak menjamin 100% anak tidak melakukan bunuh diri.

Bayangkan betapa takutnya dirimu saat mengetahuinya. Kau tentu tidak mau dipanggil si homo, banci, lesbi, bencong, lines, atau apalah sebutan lainnya selama di sekolah, kan? Atau bahkan kau bisa dipukuli di sekolah setiap hari karena alasan bahwa dirimu “beda”. Rasa takut dan bingung itu membuat banyak remaja seakan-akan merasa berada dalam lubang hitam tergelap dalam hidupnya. Saya sendiri pernah mengalaminya. Satu kali. Berpikir untuk mengakhiri hidup agar orang tidak perlu tahu bahwa saya lesbian. Dan kini tiap hari saya bersyukur niat itu hanya sebatas niatan dan saya tidak jadi melakukannya. Hidup terlalu berharga untuk disia-siakan seperti itu.

Bunuh diri sering dianggap sebagai cara mudah untuk menyelesaikan masalah. Apalagi karena remaja berpikir masih dengan amygdala, sehingga segala keputusan biasanya dilakukan atas dasar emosi bukannya nalar. Alexander Stevens, Asst. Professor di Oregon Health and Science University, menjelaskan bahwa otak remaja adalah “pekerjaan yang belum selesai.” Riset terbaru menyatakan jaringan saraf di otak bagian depan yang diperlukan untuk membuat keputusan, menyelesaikan masalah, dan berpikir secara logis dan nalar baru akan selesai terbentuk pada usia 20 tahunan.

Akibatnya remaja sering mengambil keputusan berdasarkan emosi sesaat tanpa dipikirkan akibatnya kemudian. Tapi ini juga yang menyebabkan cinta yang dialami oleh remaja terasa begitu indah karena emosi mereka membanjir mengalir drastis dalam otak mereka.

Oleh karena itu coming out, tidaklah disarankan untuk kaum remaja terutama yang masih berusia di bawah 19 tahun. Cobalah untuk beradaptasi sekarang, kau bisa coming out nanti kalau kau sudah sukses dan berprestasi sehingga debu pun menyingkir saat kau hendak berjalan. Coming out butuh kemandirian diri yang amat sangat besar dan pertimbangan rasional yang dipikirkan secara saksama, bukan dilakukan secara impulsif.

Banyak yang tidak merasa aman untuk “come out” dengan orientasi seksual mereka. Dan sayangnya, mereka benar. Banyak remaja GLBT yang jadi sasaran siksaan fisik dan verbal. Dan bullying terus-menerus ini bisa mendorong bunuh diri. Sumber: http://www.suicide.org/gay-and-lesbian-suicide.html

Proses penerimaan diri seseorang menyadari bahwa mereka gay/lesbian/transeksual adalah proses yang panjang berliku dan menyakitkan. Semakin muda seseorang menyadari orientasi seksualnya, semakin banyak kebingungan dan kesulitan yang mereka hadapi yang bisa mendorong risiko terjadinya pikiran atau tindakan bunuh diri. Biasanya mereka yang bunuh diri adalah mereka yang secara fisik tampak “berbeda”. Transeksual yang tidak tahan harus menjadi orang yang bukan dirinya juga banyak yang berpikir untuk mengakhiri hidup mereka. Banyak lesbian/gay yang setelah melewati usia 20 tahun akhirnya memutuskan untuk kompromi, terutama terhadap keluarga dan juga melakukan adaptasi sosial.

Menurut statistik di Amerika Serikat tahun 2001 dari situs http://www.suicide.org/, remaja usia 15-24 meninggal akibat bunuh diri setiap 2 jam 12 menit. Dan kurang-lebih 30%-nya adalah remaja gay/lesbian/transeksual. Menurut data statistik dari http://www.lambda.org/youth_suicide.htm, 35% gay dan 38% lesbian pernah serius berpikir untuk bunuh diri.

Di Indonesia sendiri menurut majalah Tempo dalam terbitan Maret 2007, tidak ada data pasti tentang statistik bunuh diri di Indonesia. Dan sayangnya, di Indonesia kepedulian terhadap tingkat bunuh diri ini sangat rendah. Hampir tidak ada referensi pencegahan bunuh diri atau hotline untuk remaja yang bisa ditemukan untuk menangani hal ini. Padahal support group amat diperlukan dalam hal ini.

Masalah bunuh diri ini bukanlah karena “perbedaan” orientasi seksual, tapi lebih kepada cara memandang hidup. Tidak ada seorang remaja pun, homoseksual atau hetero, yang seharusnya berpikir untuk melakukan bunuh diri. Percayalah suatu hari kau akan menemukan cinta yang kau cari. Ingatlah bahwa kau tidak sendirian. Dirimu terlalu berharga. Bunuh diri bukanlah jawaban. Carilah bantuan.

Klik beberapa situs di bawah ini untuk memulai langkah awal mencari bantuan jika ada teman atau kau sendiri yang punya niatan mengakhiri hidup.
http://www.suicide.org/index.html
http://www.lambda.org/youth_suicide.htm

@Alex, RahasiaBulan, 2007

12:03 AM

The First Year

Posted by Anonymous |

Aku ingat saat pertama kali ibumu memberitahuku bahwa dia hamil. Begitu banyak perasaan yang mengaliriku saat itu. Yeah, mommy-mu yang satu itu selain keras kepala, memang penuh kejutan. Aku ingat malam-malam bergelung di ranjang bersama mommy-mu dengan perutnya yang buncit. Dengan mood swing-nya yang kadang-kadang membuatku berjalan di atas titian bambu :). Oya, Nak, sewaktu mengandungmu, aku sering bilang pada mommy-mu bahwa dia adalah perempuan hamil terseksi. Sungguh, mommy-mu memang luar biasa seksi kala itu.

Aku ingat ketika menemani mommy-mu ke dokter kandungan setiap bulan. Berdua duduk di kursi tunggu mulai dari perut mommy-mu yang masih rata hingga perutnya sebesar pompa air. Aku ingat ketika melihatmu di layar USG mulai dari bintik kecil yang membuatku bertanya pada sang dokter, “Di mana, Dok? Kok nggak keliatan?” Dan si dokter berusaha keras menunjukkannya padaku.

Aku ingat ketika hari kau dilahirkan setahun lalu. Awal-awal bulan yang menghebohkan. Malam-malam zombie, ketika aku dan mommy-mu bergiliran tidur hanya 2 jam untuk meninabobokanmu. Dulu hobiku adalah menidurkanmu sampai-sampai kau hanya bisa ditidurkan dalam buaianku, hingga mommy-mu pernah stres berat dan membuatku tunggang-langgang pulang menjelang tengah malam karena kau muntah dan tidak mau tidur kecuali dalam pelukanku.

Aku ingat ketika kau sakit yang bikin cemas semua orang, apalagi kau menangis tanpa henti dan hanya bisa ditenangkan oleh mommy-mu. Hiks, rasanya ingin ikutan menangis melihatmu kala itu. Namun di saat seperti itu ada momen fun ketika mommy-mu mengajakmu berendam di bathtub untuk menurunkan panasmu. Duh, mommy-mu yang satu itu memang penuh ide.

Nak, kita punya ritual pribadi antara kita berdua yang bahkan membuat mommy-mu terheran-heran. Kita berdua bisa cekikikan saat membuat susu botolmu setiap malam. Atau ketika kita tertawa riang sewaktu bermain balon. Atau acara korek kuping yang membuatmu keenakan hingga liurmu menetes. Semua itu adalah momen berharga yang kubingkai rapi dalam ruang hatiku.

Aku ingat langkah pertamamu yang membuat aku dan mommy-mu menahan napas ketika kau jatuh tersungkur. Mommy-mu meneleponku ketika untuk pertama kalinya kau bisa berjalan. Fiuhhh... betapa serunya menyaksikan kau berjalan mulai dari langkah malu-malu hingga berusaha berlari.

Semalam mommy-mu bilang, “Say, tahun depan kita nggak punya baby lagi.” Yup, mommy-mu betul. Tahun depan kau sudah tidak bisa dibilang bayi lagi. Selamat ulang tahun yang pertama, Nak. Dan seperti yang sering kubisikkan di telingamu tiap malam. “I love you, baby. Very Much.”

@Alex, RahasiaBulan, 2007

5:52 PM

Film:Tipping the Velvet

Posted by Anonymous |

Tipping The Velvet adalah film tahun 2002 yang diangkat dari novel karya Sarah Waters. Berhubung saya tidak membaca novelnya, maka saya tidak akan membahasnya di sini. Film ini bersetting abad 19, ketika perempuan masih pakai rok mengembang ala sarang burung. Tokoh utamanya bernama Nan Astley (Rachael Stirling), seorang gadis muda yang tinggal di kota kecil pinggir laut penghasil kerang.

Kali pertama dia bertemu Kitty (Keeley Hawes), penyanyi terkenal yang berpakaian laki-laki saat manggung, Nan langsung jatuh cinta. Saking cintanya Kitty kemudian mengikuti Nan hingga ke London dan menjadi bintang musik populer di panggung. Namun hubungan asmara mereka hancur ketika Kitty memutuskan untuk memilih hidup “aman” bersama Walter, manajer musik mereka.

Akibat pengkhianatan Kitty, Nan terpaksa hidup di jalanan dengan menjadi pelacur. Dan saat itulah, dia bertemu janda kaya bernama Diana. Nan menjadi simpanan dan budak nafsu Diana hingga suatu hari dia tidak tahan lagi dan melarikan diri.

Cerita tidak selesai sampai di sini. Seperti biasa, film-film BBC yang diangkat dari novel Sarah Waters berdurasi hampir 3 jam dan dibagi dalam 3 bagian, karena di Inggris sana film ini memang miniseri. Pada akhirnya, setelah melewati jalan berliku, Nan menemukan kebahagiaan dalam cinta yang dicarinya.

Film ini sangat direkomendasikan untuk mereka yang menyukai film Fingersmith yang juga diangkat dari novel Sarah Waters. Cocok untuk mereka yang menyukai historical romance. Saya sendiri bukan fans historical romance, tapi saya amat terhibur menyaksikan film ini.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

10:11 AM

Cinta Seharusnya Tidak Membuatmu Menangis

Posted by Anonymous |

KDRT biasanya identik dengan kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri, lelaki terhadap perempuan. Padahal bisa saja kekerasan dilakukan perempuan terhadap lelaki, atau lelaki dengan lelaki, atau perempuan terhadap perempuan. Tidak semua kekerasan sifatnya secara fisik, ada yang namanya kekerasan secara mental. Kekerasan mental atau kadang-kadang dalam versi berbeda bisa disebut emotional blackmail inilah yang sering terjadi dalam hubungan cinta. Tidak hanya dalam hubungan antara lelaki-perempuan, hubungan lesbian pun tidak lepas dari kekerasan ini.

Pernahkah dalam suatu hubungan awalnya kau merasa dipuja bak putri lalu kau merasa terjebak dalam hubungan yang makin lama makin tidak sehat? Itulah salah satu petunjuk awal emotional blackmail. Sang pelaku pemeras emosi ini akan melakukan segala cara untuk mempertahankan sang korban agar tidak meninggalkannya. Pola-pola pelaku ada berbagai macam.Berikut ini adalah ilustrasi kata-kata yang digunakan para pelaku emotional blackmail yang pernah menimpa saya dan seorang sahabat saya yang hetero. Mungkin pelaku yang lain tidak menggunakan kata-kata yang sama, namun intinya biasanya kurang-lebih sama.

Pernahkah pasangan Anda mengatakan hal-hal seperti, “Tidak ada yang mencintaimu sebesar cintaku padamu.” (Kata-kata ini awalnya membuat yang mendengar merasa pasangannya romantis, tapi kemudian berlanjut ke sikap posesif berlebihan yang mengharuskanmu berbakti pada pasanganmu dan melaporkan keberadaanmu padanya sepanjang waktu).

“Aku bisa mati kalau kita berpisah.” (Dan dilanjutkan dengan ancaman bunuh diri, mulai dari minum racun atau mengiris nadinya di hadapanmu, hendak menabrakkan mobilnya, atau terjun dari gedung, atau tingkah-tingkah lainnya yang membuat kita ketakutan).

“Aku sudah melakukan segalanya untukmu, tapi kamu begitu egoisnya dan tidak peduli pada segala pengorbananku.” (Ini akan membuat si korban merasa tidak enak hati dan akhirnya terus mempertahankan hubungan karena tidak mau dianggap sebagai sosok egois).

Ada juga pelaku yang menggunakan guilty trap alias jebakan rasa bersalah dengan menjadikan diri mereka sebagai sosok korban. Misalnya dengan menjadi sosok tidak bahagia di rumah dengan orangtua yg tidak pernah menyayanginya. Mengaku sakit dan umurnya tidak lama lagi. Membuat hidupnya seolah-olah selalu berada dalam titik terendah, sehingga mau tidak mau kamu tidak tega meninggalkannya. Kata-kata yang mungkin digunakan si pelaku antara lain: “Aku benci orangtuaku karena mereka tidak peduli padaku.” Atau “Kamu tega ninggalin aku di saat sekarang aku lagi banyak masalah?” atau “Aku sudah menyerahkan keperawananku padamu, sekarang habis manis sepah dibuang?” Atau pelaku membuatmu merasa bersalah tidak mengirim SMS tentang keberadaanmu, atau membuatmu bersalah dengan keseringan mengirim SMS. Itu tadi hanya contoh singkat, masih banyak contoh jebakan rasa bersalah yang bisa dibuat pemeras terhadap diri korbannya.

Biasanya si pelaku ini memiliki topeng sosial yang amat baik. Sukses secara karier, pintar, berperilaku sempurna dan tanpa cacat di hadapan orang banyak. Hebatnya dalam beberapa kasus yang saya temui, pelaku biasanya bisa lolos psikotes perusahaan besar dengan lancar. Kenapa? Karena pelaku ini biasanya adalah seorang achiever, dia adalah tipe orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan yang diinginkannya. Perusahaan besar biasanya suka tipe achiever seperti ini. Karena sosok sempurna itulah, saat hubungan putus kaulah yang akan disalahkan dalam putusnya hubungan. Dianggap perempuan tak tahu diuntung, bisa-bisanya melepaskan orang yang begitu sempurna. Oya, pelaku kekerasan ini biasanya tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan keluarganya. Ini bisa kita ketahui dari cerita yang terlontar dari mulut pelaku sendiri.

Pada awal hubungan, sikapnya luar biasa baik/romantis sehingga kau dibutakan oleh segala manis gulali itu. Namun jika kau sudah pernah lepas dari hubungan tidak sehat semacam itu, kau pasti akan tahu bahwa instingmu dulu pernah memperingatkanmu. Dalam beberapa kasus mereka melakukan sejumlah tindakan drastis untuk membuktikan pengorbanan cintanya. Contohnya, si pelaku rela berhenti kerja agar bisa selalu dekat dengan korban. Atau memutuskan menolak beasiswa sekolah di luar negeri demi sang kekasih (Ini akan membuat korban merasa bersalah).

Si pelaku mencari cara untuk bisa terus berdekatan dengan korban, mungkin dengan pindah tempat tinggal atau bekerja di tempat yang dekat dengan korban. (Ini akan membuat pelaku bisa mengawasi korban sepanjang waktu). Biasanya pelaku akan memutus lingkup persahabatan si korban dengan memasang tembok tak kasatmata di sekeliling korban dan perlahan-lahan korban tidak punya teman lagi, selain teman-teman yang sudah di-approve oleh pelaku.

Si pelaku awalnya memanfaatkan rasa empati dan rasa iba kita melalui jebakan rasa bersalah saat si pelaku menempatkan diri sebagai korban. Jika dia tidak bisa lagi “memegang” si korban dengan cara halus, pelaku mulai menggunakan ancaman untuk mempertahankan si korban. Mulai dari ancaman menyakiti diri sendiri sampai ancaman teror kepada pasangannya. Dan mulailah babak baru kekerasan dalam hubungan yang mungkin menjurus pada kekerasan fisik.

Untungnya, saya dan sahabat saya akhirnya berhasil keluar juga dari hubungan yang tidak sehat itu walaupun hati kami hancur lebur biru lebam dikoyak cinta yang menyakitkan. Kami saling curhat dan berkata, "We've been to hell and back." Berhubung kami pecinta buku, salah satu kesamaan kami adalah menyadarkan diri kami melalui literatur. Mata kami jadi lebih terbuka karena kami membaca sosok-sosok korban lain dalam buku yang kami baca. Saya tersadar ketika membaca Rosemadder karya Stephen King. Sahabat saya tersadar ketika membaca Love Me Better karya Rosalind B. Penfold, dan kami mulai saling sharing sehabis membaca The Guardian - Nicholas Sparks.

Jika kau sekarang merasa menjadi korban, segeralah keluar dari hubungan yang tidak sehat itu. Keluarlah selagi bisa, cari dukungan dari teman-teman dekatmu atau orangtuamu. Percayalah, masih ada orang di luar sana yg layak mendapatkan cintamu. Dan percayalah bahwa dirimu begitu berharga untuk dicintai secara sehat. Jangan bersikap sok heroik dengan berusaha menolong si pelaku dari derita, segala yang terjadi pada si pelaku itu bukan salahmu. Ingatlah, ada batas antara romantisme yang sehat dan romantisme yang membabibuta. Cinta seharusnya membebaskan dan membuatmu tersenyum bukan membuatmu terperangkap dan menangis.

@Alex,RahasiaBulan, 2007

10:57 AM

To Out or Not To Out II

Posted by Anonymous |

Gara-gara tulisan saya To Out or Not to Out, saya ditanya beberapa orang; apakah Anda menganjurkan para gay/lesbian untuk coming out? Sama sekali TIDAK. Saya tidak menganjurkan coming out secara membabibuta pada semua orang, hingga membuatmu tidak punya identitas lain selain si Polan yang lesbian. Keputusan untuk coming out harus dilakukan dengan pemikiran matang dan masak. Kenapa? Sekali kau coming out, kau memasuki jalan yang tak ada titik balik. Kau tidak bisa meng-undo-nya. Bahkan sampai sekarang pun saya harus menghadapi konsekuensi coming out saya setiap hari di kantor, tempat saya menghabiskan setengah dari 24 jam saya setiap hari.

Kebanyakan sahabat saya tahu bahwa saya lesbian. Namun saya tidak pernah coming out pada orangtua atau keluarga besar saya. Dan tidak ada niat sedikit pun untuk melakukannya. Ibu saya sudah berumur 74 tahun, pernah menderita kanker dan katarak, dan saya tidak akan membuatnya tewas akibat sakit jantung dengan coming out pada beliau. Jangan salah, kami punya hubungan yang sangat dekat dan bisa saling bercerita, tapi saya merasa beliau tidak perlu mengetahui siapa diri saya sebenarnya. Saya yakin ibu saya akan menerima saya apa adanya jika saya coming out. Orang-orang yang kenal dengan ibu saya pasti akan bilang begitu. Tapi saya tahu pengakuan saya pasti akan membuatnya sedih dan gagal sebagai ibu. Dan saya tidak mau menjadi anak durhaka dengan membuatnya merasa jadi orang gagal. Bullshit dengan segala cerita bahwa kita tidak ingin orangtua kita meninggal tanpa tahu tentang diri kita yang sebenarnya, seperti yang sering kita lihat di film.

Saya juga tidak terpikir untuk coming out kepada keponakan-keponakan saya yang hampir semuanya sudah dewasa, meskipun saya dan mereka bersahabat layaknya orang yang seumur karena perbedaan umur kami yang tidak jauh. Buat apa? Supaya tante mereka kelihatan cool, karena lesbian jadi tren masa kini? Atau biar rasanya gimana gitu punya tante lesbi? Atau malah membuat mereka shock dan sedih? Nggak perlulah semua pengumuman itu.

Coming out saya hanya sebatas pergaulan dengan sahabat-sahabat hetero saya baik teman SMA, kuliah, bahkan sampai di tempat kerja. Kenapa saya melakukannya, bisa dibaca pada tulisan sebelum ini. Di tempat kerja, saya termasuk beruntung bisa bekerja di lingkungan yang amat terbuka dan menerima “perbedaan” serta keunikan masing-masing pribadi.

Butuh waktu belasan tahun bagi saya untuk coming out pada sahabat-sahabat karib saya yang sudah mengenal saya sejak di sekolah. Butuh 4-5 tahun bagi saya untuk akhirnya coming out di kantor, meskipun tidak semua orang tahu, dan sebagian besar hanya gosip dan desas-desus dan saya juga tidak punya waktu untuk menanggapi dan bilang pada semua orang, "Yes, I am a lesbian." Butuh waktu bertahun-tahun bagi saya untuk menancapkan karier dan posisi saya dengan baik lebih dulu sebelum coming out karena saya tidak mau dikenal sebagai Alex yang lesbian. Saya tidak mau menjadikan lesbian sebagai status saya apalagi menempelkannya sebagai status pekerjaan.

Saya coming out di kantor setelah menimbang baik-buruknya. Bagaimana orientasi seksual saya akan memengaruhi identitas profesi saya. Bagaimana hal itu kadang-kadang jadi batu sandungan atau lebih seringnya jadi batu lompatan. Bagaimana kadang-kadang saya terbantukan karena punya jejaring persahabatan lesbian/gay yang bisa saya ajak kerja sama dalam bentuk simbiosis mutualisma dengan profesi dan perusahaan saya bekerja. Jika tidak, buat apa saya melakukannya? Memangnya saya sudah gila? Jika saya lihat kondisi perusahaan tempat saya bekerja tidak kondusif untuk pengakuan saya, tentu saya tidak akan melakukannya. Tapi tentu saya tidak akan petentengan ke sana kemari dengan mengaku lesbian di mana-mana atau bahkan masuk televisi, misalnya. Saya juga harus menjaga nama baik perusahaan tempat saya bekerja. Tidak mungkin dong jika habis coming out di media massa, besoknya saya menerima teror atau semacamnya hingga membuat satpam kantor ikut kelabakan atas aksi konyol saya seperti itu.

Coming out punya dua sisi. Kau bisa mendapat kelegaan luar biasa, atau kau bisa kehilangan banyak. Saya tidak keberatan mendapat banyak cemooh atau sindiran dari kolega bisnis atau rekan kerja atau sahabat-sahabat dekat akibat orientasi seksual saya. Saya tidak keberatan kehilangan beberapa teman yang menjauhi saya saat mereka tahu saya lesbian. Tapi saya tidak bisa jika saya harus kehilangan keluarga atau mendapat cemooh dari keluarga. Buat saya teman baru bisa dicari lagi, tapi keluarga adalah sesuatu yang tak tergantikan.


You can't undo something that's happened; you can't take back a word that's already been said out loud. ---Nineteen Minutes by Jodi Picoult


@Alex, RahasiaBulan, 2007

10:07 AM

The Color Purple - Alice Walker

Posted by Anonymous |

The Color Purple adalah novel karya Alice Walker yang memenangkan Pulitzer tahun 1983. Buku ini kemudian diangkat ke layar lebar tahun 1985 oleh Steven Spielberg dengan peran utama Whoopi Goldberg. Meskipun sutradaranya Yahudi, tapi ini adalah film kulit hitam sehitam-hitamnya. Dan kita akan membahas buku maupun filmnya di sini.

Saya menonton filmnya lebih dulu sebelum membaca bukunya. Dan jelas, setiap buku yang diadaptasi ke film pasti mengalami sejumlah perubahan. The Color Purple adalah kisah yang amat sangat feminis, ditulis dengan gaya menulis diari/surat dengan tata bahasa ala kadarnya, yang sedikit mengingatkan saya pada gaya penulisan Pengakuan Pariyem (1981) karangan almarhum Linus Suryadi.

Diari itu ditulis oleh Celie, seorang gadis kulit hitam yang sejak kecil sudah mengalami tekanan dari laki-laki dalam hidupnya. Pada usia 14 tahun, Celie dihamili oleh ayahnya. Setelah melahirkan anaknya, Celie harus berpisah dengan anak yang dilahirkannya lalu dipaksa menikah dengan duda tua yang memiliki banyak anak. “Mr.----“ demikian Celie menulis nama suaminya di diari itu, menikahi Celie dengan tujuan untuk menjadi pelayannya, baik di ranjang maupun di rumah serta untuk mengurus anak-anak duda itu. Celie sering jadi bahan cemooh karena wajahnya yang jelek dan penampilannya yang bodoh. Dan Celie pun selalu pasrah terhadap sikap kasar suaminya.

Hingga kemudian datang Shug Avery, perempuan kulit hitam manis dan percaya diri, yang berprofesi sebagai penyanyi dan digila-gilai oleh Mr.---- alias Albert. Shug kemudian tinggal bersama Albert dan Celie, hingga di antara kedua perempuan itu timbul kedekatan yang membuka mata Celie terhadap diri keperempuanannya.
Dalam film, hubungan Celie dan Shug hanya dibahas sekilas, berkurang porsinya dibanding yang ada dalam novel. Dalam novel, perasaan Celie terhadap Shug tergambar lebih jelas. Tentang bagaimana perasaan Celie terhadap Shug, dan bagaimana dia belajar menjadi perempuan mandiri melalui eksplorasi seksual bersama Shug. Dari Shug yang ternyata biseksual, Celie belajar mengenali tubuhnya sendiri, belajar mengungkapkan perasaannya, dan belajar menemukan kekuatan di balik keperempuanannya yang selama ini tertindas.

Tapi The Color Purple bukanlah novel atau film lesbian. Hubungan lesbian antara Shug dan Celie fungsinya adalah membawa Celie ke jenjang pemahaman tubuh dan dirinya sendiri. Masih banyak cerita yang ada di sini, tentang represi kaum lelaki, tentang pandangan kaum kulit putih terhadap kulit hitam yang dianggapnya sebagai kaum rendahan. Dan terutama tentang kekuatan perempuan dan bagaimana mencapai kemerdekaan diri melalui kemandirian.

Anda bisa memilih, membaca atau menonton filmnya. Dua-duanya memiliki kenikmatan tersendiri. Whoopi Goldberg bermain amat bagus dalam film ini (kalau tidak salah ini debutnya dalam film). Filmnya sendiri mendapat 11 nominasi Oscar, tapi tidak memenangkan satu pun sehingga menimbulkan kontroversi yang lumayan heboh pada tahun 1985. The Color Purple kalah telak dari Out of Africa yang menjadi film terbaik "meskipun" hanya mendapat 7 nominasi.

Alice Walker, sang novelis, adalah seorang feminis dan aktivis dalam berbagai kegiatan seperti lingkungan hidup, hak asasi manusia atau hewan, dll. Dalam kehidupan personalnya Alice Walker dikenal sebagai biseksual. Dia pernah menikah dengan lelaki kulit putih namun kemudian bercerai setelah memiliki seorang putri. The Color Purple bisa dibilang karya masterpiece-nya sejak kariernya sebagai penulis yang dimulai pada tahun 1970-an. Oleh banyak kritikus, The Color Purple dianggap sebagai salah satu tonggak novel feminis yang menyuarakan tekanan yang dialami perempuan kulit hitam dalam budaya patriarki.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

PS: Buku The Color Purple bisa dicari di toko buku Aksara. Nonton filmnya sampai jam 3 pagi di TV7 (sekarang, Trans7)

9:30 AM

Film: The Chinese Botanist's Daughter

Posted by Anonymous |

Film yang dirilis dengan judul Prancis Les filles du botaniste pada tahun 2006 ini dimulai dengan awal yang lambat. Dua puluh menit pertama seakan berlangsung 20 jam. Uggh, rasanya kepingin di-fast forward aja. Namun untungnya film ini memberikan setting pemandangan indah daerah pedesaan Cina (meskipun sesungguhnya syuting dilakukan di Vietnam).

Dimulai ketika gadis yatim piatu, Li Ming (Mylène Jampanoï), dikirim oleh pemimpin panti asuhan untuk belajar pada seorang ahli botani selama 2 bulan.Sesampainya di sana Li Ming langsung menjalin hubungan yang akrab bersama An (Li Xiaoran), putri sang ahli botani. Pada titik ini saya berpikir, jelas aja mereka bakal jadian. Ini ibarat kau terperangkap di satu pulau bersama seorang lelaki tua dan putrinya yang cantik. Karena tidak ada pilihan lain, memacari sang putri adalah satu-satunya pilihan. Jadi inget ayahnya Tio Bu Ki, Tio Ciu San dan In So So yang tinggal bertiga di pulau bersama Singa Emas. Sebelum saya melantur lebih jauh tentang To Liong To, sebaiknya saya teruskan review ini.

Tidak mau dipisahkan dengan Li Ming, An mengusulkan agar Li Ming menikah dengan Dan, kakak lelakinya. Dan adalah tentara dan bakal diposkan di Tibet tanpa membawa sang istri sehingga istrinya akan ditinggal di rumah bersama sang adik ipar. Yipiii! Li Ming awalnya menolak, tapi akhirnya menerima usul itu karena itu satu-satunya usul yang paling bagus berdasarkan logika, namun tidak bagi hati. Demi cintanya pada An dan agar bisa terus dekat dengan gadis itu, Li Ming rela menikah dengan Dan. Demi cintanya pada Li Ming, An merelakan kekasihnya menikah dengan kakaknya. Demi ayah yang disayanginya, An rela menemani dan mengurus ayahnya dan mengubur semua impiannya.

Sulit bagi saya untuk tidak membandingkan film ini dengan film karya Dai Sijie sebelumnya, Balzac and the Little Chinese Seamstress yang diangkat dari novel karyanya. Dai Sijie adalah lelaki kelahiran Cina yang kemudian pindah ke Prancis pada tahun 1980-an lalu menjadi novelis dan sutradara. Dibandingkan dengan Balzac yang menang Golden Globe sebagai film asing terbaik, The Chinese Botanist's Daughters jadi kelihatan tanggung. Dialog-dialognya payah, meskipun cerita keseluruhannya oke. Karena kedua pemeran utama berbicara dengan bahasa berbeda. Satu Cina, satu Prancis, jadinya sering kelihatan nggak pas. Sayang banget, film ini bercerita tentang ahli botani tapi tidak memperlihatkan eksotika tanaman obat di Cina.

Namun sekali lagi Dai Sijie berhasil menjual pemandangan landscape indah. Music score-nya bagus. Kedua pemeran film ini, Mylène Jampanoï dan Li Xiaoran tampak berusaha menampilkan akting terbaik mereka. Sebagaimana kisah cinta terlarang ala Sam Pek Eng Tay atau Romeo & Juliet, film ini meskipun bercerita tentang percintaan lesbian adalah murni tentang kisah cinta. Menunjukkan betapa banyak yang rela kita lakukan demi orang-orang yang kita cintai... dan betapa banyak juga orang yang harus terluka karena cinta itu.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

Tadinya saya pikir film ini akan seseksi Chocolat, atau membahas hubungan anak dan keluarga seperti Eat, Drink, Man Woman-nya Ang Lee atau Rice Rhapsody-nya Sylvia Chang. Tapi saya salah. Mungkin ekspektasi saya terlalu tinggi.

Film ini dimulai ketika seorang gadis keturunan India bernama Nina Shah (Shelley Conn) pulang ke Glasgow setelah bertahun-tahun tinggal di London setelah bertengkar dengan ayahnya karena menolak dijodohkan dengan Sanjay. Nina pulang karena ayahnya meninggal dunia. Nina kemudian mendapati bahwa ayahnya, yang pengusaha restoran The New Taj, ternyata terlibat utang judi dan membuat restoran tersebut harus dijual.

Di kota masa kecilnya itu, Nina bertemu dengan Bobbi, sahabat masa kecilnya yang seorang banci Bollywood. Dan juga mempertemukannya dengan Lisa (Laura Fraser), perempuan cantik pemilik setengah The New Taj. Tidak ingin restoran ayahnya dijual, Nina berusaha mengikuti komp
etisi memasak dibantu oleh Lisa. Namun perlahan-lahan ketertarikan pun muncul antara Nina dan Lisa.

Sang sutradara dan penulis skenario tampaknya tidak memberi penekanan pada konflik. Konflik antar-keluarga, tidak ada. Konflik persaingan kompetisi memasak, cuma gitu-gitu aja. Konflik asmara antara Nina dan Lisa, nada. Film ini hanya menampilkan sosok-sosok cantik bahagia dan gambar-gambar indah menyenangkan di kota Glasgow. Cocok ditonton oleh penggemar film Imagine Me and You.

Nina's Heavenly Delight tidak mengangkat hubungan anak perempuan dan ayahnya sebagaimana yang dibuat oleh Ang Lee dalam Eat, Drink, Man, Woman atau isu homoseksual dalam keluarga seperti Wedding Banquet. Nina's Heavenly Delight hanyalah film ringan yang manis dan enak dilihat.

Tidak fair juga kiranya jika saya tidak memuji kelebihan film ini. Selain ringan dan manis, Nina’s Heavenly Delight menyajikan kisah lesbian yang segar dan spicy seperti halnya makanan India. Pemerannya cantik-cantik dan chemistry-nya pun kena. Soundtrack-nya juga bagus. Buat yang suka makanan eksotis, atau film tentang masak-memasak, dijamin Anda akan lapar seusai menonton film ini. Nyam-nyam.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

PS: Nonton di youtube.com, duh capek deh nonton begitu... hehehe.

10:22 PM

Dari Editor untuk (calon) Penulis

Posted by Anonymous |

Ini tulisan sahabat saya, yang diposting di blog-nya http://shoegirl.blogs.friendster.com/
Ada beberapa bagian yang saya edit biar nggak kepanjangan... Sori, Sis. :)
Kalau mau baca lengkapnya, silakan klik blog di atas.

Dari Editor untuk Calon Penulis

Ada tumpukan naskah di bawah meja. Naskah para calon penulis yang [tentunya] punya impian bukunya bisa diterbitkan THE publishing house of Indonesia. Sayangnya [sama sekali] tidak banyak yang layak terbit. Apa yang bisa diharapkan dari naskah-naskah malang itu kalau adegan pembuka-bab I-halaman 1-paragraf pertama selalu dimulai dengan

“Kring!” Hah, bunyi apa itu? Astaga, sudah jam tujuh! Duh, aku telat lagi deh!”

atau

Tok tok tok!!! “Shinta! Bangun! Kamu sekolah gak?” “Hah! Mama kenapa gak bangunin Shinta dari tadi? Ini sudah jam tujuh!” Lalu Shinta tergopoh-gopoh ke kamar mandi

Dan keklisean itu msh ditmb bhs SMS ala gw-lo yg disngkt-sngkt n pnh tnda bc…………… sampai berderet-deret banyaknya!!!!!!!!!!

Kalau saja para calon penulis itu tahu: Begitu editor tertentu [*cough* moi] membaca adegan klise seperti di atas---bahkan tak sampai satu paragraf---sang editor yang mahakuasa langsung menumpuknya di meja, menandainya dengan tulisan “TOLAK”, membubuhkan paraf serta tanggal, dan kadang-kadang memberi keterangan “Cerita basi”.

Bisakah Anda para pembaca membayangkan jalan cerita naskah semacam itu? Biasanya, naskah sejenis itu menceritakan kisah hidup sang penulis sendiri. Dan akhirnya pun bisa ditebak: kedua tokoh yang tadinya musuhan akhirnya saling menyatakan cinta dan janji sehidup semati.

Tidak ada yang lebih basi daripada itu.

Marilah, hai, para calon penulis yang budiman. Berpikirlah. Gali bakat dan potensi Anda. Jangan sia-siakan sel-sel kelabu pemberian Tuhan itu. Dan bagi Anda yang sebenarnya tidak memiliki bakat dan potensi, sadarilah keberadaan Anda, dan tuangkanlah kreativitas Anda di bidang-bidang lain.

Jangan buru-buru menyatakan Anda sedang menulis buku hanya karena belakangan muncul penulis-penulis cantik [dan beken] yang karyanya berhasil menjadi best seller. Jangan menganggap ketika novel [basi] itu akhirnya selesai, penerbit-penerbit akan berebut dan menawarkan royalti paling tinggi.

Banyak-banyaklah membaca. Banyak-banyaklah belajar dari karya [bagus] orang lain. Mawas diri---kejar impian Anda bila Anda punya napas cukup panjang, atau lupakan saja bila faktor bakat, kemauan, dan kemampuan itu ternyata sangat terbatas. Bila Anda memang punya tiga faktor tersebut, silakan berkreasi, namun jadilah kreatif. Temukan sesuatu yang baru. Cari angle yang tidak biasa. Be creative.


Please


Oke, kini giliran saya.

Saya mengerti sekali apa yang dirasakan oleh sahabat saya itu. Itu juga yang saya lihat dalam dunia sastra queer Indonesia. Banyak penulis yang memaksa diri mereka menulis novel lesbian atau gay padahal kemampuan mereka pas-pasan, karena mereka gay/lesbian yang cuma kepingin aja nulis novel gay/lesbian. Mereka bangga pada level sebatas bisa menuliskan kisah hidup mereka yang mereka anggap menarik. Atau penulis-penulis yang ingin mencari sensasi supaya terkenal dengan menulis novel-novel gay/lesbian.

Saya orang yang percaya bahwa menjadi penulis adalah keahlian yang membutuhkan bakat, terutama penulis fiksi. Saya tidak percaya pada teori "semua orang bisa jadi penulis". Kau bisa menulis sampai ngos-ngosan, bengek, begadang 40 malam, tanpa bisa menghasilkan karya yang bagus atau layak dibaca oleh editor sahabat saya itu. Ingat, hobi menulis tidak sama dengan BISA menulis.

Menjadi orang yang lucu tidak memberimu bakat untuk menulis karya komedi. Menjadi lesbian tidak memberimu bakat untuk menulis kisah lesbian. Jadi, bagaimana tahu kau punya bakat atau tidak? Kau TAHU. Jujurlah pada dirimu sendiri. Berkacalah pada tulisan pengarang-pengarang hebat. Akan membantu kalau kau hobi membaca buku-buku bagus, sehingga kau punya bandingan betapa karyamu adalah karya tak berjiwa di antara ratusan buku hebat yang pernah terbit.

Diberkahi dengan bakat menulis ibarat memperoleh perpanjangan tangan dewa untuk menggoreskan suatu kisah catatan kehidupan. Jika kau memilikinya, sengaja atau tidak sengaja bakatmu akan mengarahkan langkahmu ke sana. Tanpa berusaha keras pun, kau bisa melakukannya. Jika kau tidak memilikinya, baca lagi paragraf persis di atas ini.

Tulisan ini memang terasa pahit. Sepahit kami harus menolak tumpukan naskah tersebut setiap hari.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

11:08 PM

Bagaimana jika Mami Mertua Intan punya Anak Gay?

Posted by Anonymous |


Tokoh-tokohnya tidak hitam-putih. Ceritanya seru, nggak cuma tarik ulur. Mengharukan, lucu, kadang-kadang katro juga sih. Meriam Bellina mainnya bagus di sana. Itulah beberapa alasan yang muncul ketika saya bertanya kenapa mereka suka nonton sinetron Intan, yang diputar stripping tiap hari pk. 18.00 di RCTI. Yeah, yeah, Anda pasti udah merasa jijay bajay mendengar kata sinetron, dan menganggapnya cuma tontonan pembantu atau ibu-ibu nganggur. Tapi komentar di atas disebutkan oleh perempuan-perempuan cerdas yang berkarier bagus. Editor. Akuntan. Manajer pembelian. Kepala toko.

Sementara saya, kalau saya bisa jujur terus terang menyatakan bahwa saya lesbian, dengan ini saya juga ingin coming out sebagai penggemar sinetron, hahaha. Tapi di sini saya bukan ingin mempromosikan Intan, yang konon Indonesiasi alias saduran dari serial Korea Be Strong, Geum-soon.

Pada episode 112, 26 Februari 2007, salah satu tokoh dalam sinetron tersebut diduga gay. Jemmy, demikian nama tokoh itu, sebenarnya bukan tokoh utama. Dia salah satu kakak ipar Intan. Jemmy diduga gay karena: (1) Selalu bersama-sama sahabat karibnya Toni, bahkan sampai memaksa tidur sekamar berdua waktu Toni menumpang di rumah Jemmy karena kebanjiran. (2) Jemmy tidak pernah membawa cewek ke rumah. (3) Terdengar suara-suara aneh ketika Toni menginap berdua di kamar Jemmy. Kalau saya, saya emang udah rada curiga sih melihat Jemmy sejak episode 50-an

Mami (Meriam Bellina) dan Papi Jemmy panik bukan kepalang. Seisi rumah pun dipesan oleh Mami yang mertua Intan itu untuk mengawasi tingkah-laku Jemmy, melihat apakah ada yang aneh dari anak lelakinya. Aneh, maksudnya, gay. Makin lama kelihatannya memang Jemmy “tampak” mencurigakan.

Bahkan sebelum sinetron ini memasuki episode 115 pun, saya yakin seyakin-yakinnya tanpa perlu menghubungi penulis skenario sinetron ini bahwa, Jemmy tidak mungkin gay. Hanya produser tidak waras yang memasukkan tokoh gay dalam serial yang sedang berada di puncak rating (apalagi di Indonesia). Ternyata pada episode tgl 1 Maret 2007 terungkap bahwa Jemmy bukan gay, dan dia sedang naksir cewek yang tomboi abis (soal apakah cewek tomboi ini lesbian, entahlah).

Namun sekeluarga sudah telanjur heboh akibat kesalahpahaman ini. Adik Jemmy, Romy, yang memang mudah naik darah marah besar ketika mengira Jemmy gay. Romy menghajar Jemmy karena telah membuat Mami kecewa. Mami menangis sedih dan kecewa ketika mengira Jemmy gay, namun akhirnya berusaha menerima kenyataan, karena biar bagaimanapun Jemmy anak mereka. Akan tetapi, tetap saja Mami lega ketika tau Jemmy bukan gay, selega orang yang lima hari kecegukan akhirnya bisa bebas dari cegukannya itu.

Saya sih belum menonton serial Korea-nya, karena serial itu panjangnya minta ampyun, tapi katanya tidak ada tokoh gay dalam serial aslinya tersebut. Selidik punya selidik, ternyata setelah kurleb 2 bulan menempati posisi rating nomor 1. Pertengahan Februari kemarin, Intan tergeser dari posisi nomor satu oleh Putri yang Terbuang. Kalau di Amerika, beberapa kali tokoh gay/lesbian masuk ke dalam karakter serial TV ketika rating sedang jeblok dan perlu ada bumbu untuk membangun cerita. Contohnya Buffy the Vampire Slayer, The OC, dan ER. Tapi sekali lagi, apakah memasukkan tokoh gay adalah langkah cerdas untuk menaikkan rating di Indonesia?

Jelas tidak!

Tapi untuk menambah bumbu cerita, dan tarik-ulur cerita agar bikin penasaran, lumayanlah bisa nambah 3 hari penonton bertanya-tanya apakah Jemmy gay. Paling tidak dengan cara ini, penonton diberi icip-icip tentang "what if" jika kau punya anak gay.


@Alex, RahasiaBulan, 2007

Subscribe