9:09 AM

Sindrom Rentan Tiga Tahun

Posted by Anonymous |

Belakangan ini kesibukan di pekerjaan, jadi redaktur di SepociKopi, dan pernak-pernik hidup lainnya membuat saya jarang mengupdate blog. Bukan karena nggak cinta lagi atau nggak sayang lagi, cuma karena ya gitu deh... sibuk, bo! Alex paling jagoooo deh bikin alasan, hehehe.

Lakhsmi bilang dia baca di mana gitu bahwa rata-rata hidup blogger tuh tiga tahun. Ini tahun ketiga saya nulis di blog ini, dan jujur aja terkadang saya mulai kehilangan dorongan menulis, walaupun inspirasi itu masih kuat menggebu. (Lemah syahwat dong ya? :p) Saya bilang ini namanya Sindrom Rentan Tiga Tahun.

Tiga tahun dalam hubungan manusia biasanya masa ketika hubungan juga rentan. Hubungan makin stabil, monoton, dan kobar-kobar asmara yang membakar pada bulan-bulan pertama hubungan mulai redup. Terutama dalam hubungan lesbian yang berkonsep "pacaran". Maksudnya ya, cuma ketemu pada saat-saat tertentu, seminggu sekali atau beberapa kali. Mau ngapain kita malam minggu ini, Sayang? Makan di mana kita, honey? Mau nonton apa, cinta? Pola pacaran tak berujung semacam ini, yang awalnya manis dan romantis, berujung pada pertanyaan "Mau di bawa ke mana hubungan kita?"

Sering kali jawaban itu tak ada jawabnya atau jawabannya hanya, "Ya, kita jalani aja seperti air mengalir."

Well, sistah, bahkan air mengalir pun ada muaranya.

Ketidakjelasan muara plus kejenuhan hubungan ini sering kali membuat orang melirik ke arah lain, melihat sosok yang bisa membangkitkan percik-percik semangat. Tidak, saya tidak menyarankan untuk berselingkuh. Itu bukan pilihan bijak.

Lingkaran pacaran-putus-patah hati-cari pacar baru yang berulang-ulang tanpa kejelasan ini tidak hanya melelahkan tapi juga membuat depresi. Salah satu pilihan yang setelah dianalisis, dicek dan ricek, dan ditelaah yang bisa memberi memtuskan mata rantai tak berujung ini adalah; sudah saatnya lesbian memikirkan dan memutuskan kemungkinan hidup bersama dengan pasangannya. Saatnya memutuskan mata rantai itu dan katakan tidak ada narkoba. Halah!

Gampang aja lo ngomong, Lex. Lo mah enak... Ya, ya, jangan sinis dulu, sayang, memang tidak mudah kok. Masing-masing lesbian yang bisa memutuskan "bagaimana" caranya hidup bersama pasangannya. Pintar-pintarnya kamu untuk mencari memanfaatkan celah itu. Tiap kasus itu unik, dan sekecil apa pun kemungkinan itu, mulailah memperbesarnya dengan menemukan caramu sendiri. Dan nggak ada yang bilang bahwa caranya akan mudah. Tanpa perlu mengkhayalkan kemungkinan civil union atau same-sex marriage di Indonesia, cobalah pikirkan kemungkinan hidup bersama. Bukan dengan cara memaksa, tentunya. Dan saya juga tidak menyarankan coming out lalu kabur dari rumah jadi gembel melarat di kontrakan kumuh dengan tikus segede gaban yang ikut numpang di kontrakan. Kalian pasti lebih pintar daripada itu, bukan?

Jika pepatah menyatakan, "Rumah adalah tempat hatimu berada." Tanyakan pada dirimu sendiri, di mana rumah dan hatimu berada? Hidup bersama memberikan "rumah" sebagai tempat bernaungnya dua hati, bukan hanya kontrakan tiga tahunan. Dan kebersamaan hidup dengan pasangan memberikan kenyamanan serta rasa aman yang membuat hati itu tumbuh dan berkembang. Berdua. Bersama. Selamanya.

@Alex, RahasiaBulan, 2009
PS: Saya masih akan terus nulis kok, karena blog ini tempat saya bercerita banyak tentang rumah hati saya.

Subscribe