Hasil polling iseng di blog ini menyatakan dari 27 pemilih, 13 orang alias 38% memilih Keira Knightley saat ditanya, “Di antara aktris muda Hollywood, siapa yang kauharap berperan sebagai lesbian dalam film?” Sambil menunggu filmnya yang ada adegan lesbian bersama Sienna Miller dalam The Best Time of Our Lives, kita mundur sejenak ke film tahun 2003 yang mengangkat nama Keira Knightley. Bend It Like Beckham.

Siapa sih yang tidak kenal David Beckham? Pemain sepak bola asal Inggris yang memiliki jutaan penggemar. Tidak terkecuali Jess Brahma (Parminder Nagra), gadis keturunan India berusia 18 tahun yang tinggal di London. Tidak seperti kebanyakan gadis muda, Jess lebih suka bermain sepakbola daripada harus berdandan cantik. Ia bahkan lebih memilih membeli sepatu bola dan BH sport.

Kemudian Jess bertemu dengan Jules Paxton (Keira Knightley), gadis tomboi pemain sepakbola putri yang setelah menyaksikan bakat Jess mengajaknya bergabung dalam tim sepakbolanya. Dengan senang hati Jess bergabung dalam tim meskipun harus melakukannya secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan orangtuanya.

Bend it Like Beckham adalah film komedi ringan, namun film ini sesungguhnya menampilkan banyak isu dan pesan tentang feminisme, rasisme, dan homoseksual. Isu feminis diangkat melalui keinginan Jess untuk bermain bola secara profesional meskipun pandangan tradisional (India) adalah wanita seharusnya mengenakakan sari dan tinggal di rumah, sementara olahraga adalah permainan laki-laki. Isu rasisme muncul melalui hubungan cinta Jess dengan Joe (Jonathan Rhys Meyers), sang pelatih sepakbola berkulit putih. Isu homoseksual ditampilkan melalui sahabat baik Jess yang gay dan terutama ketika ibu Jules menduga putrinya menjalin hubungan lesbian dengan Jess.

Jules: Anyway being a lesbian's not that big a deal
Jules’s Mom: Oh no of course not sweetheart no. I mean I've got nothing against it. I was cheering for Martina Navratilova as much as the next person.
Ceritanya yang nyambung dengan penonton gay/lesbian mungkin karena pada awalnya sutradara/penulis skrip film ini, Gurinder Chadha, ingin membuat Jess dan Jules sebagai pasangan lesbian. Namun pada saat terakhir Gurinder membatalkannya, dan membelokkan cerita dengan membuat Jess berpasangan dengan Joe. Salah satu alasannya adalah film bertema lesbian tidak akan menjaring banyak penonton atau malah dikategorikan sebagai film yang “tidak layak tonton” buat remaja di beberapa negara, terutama negara Asia. Siapa juga yang mau nonton film buatan Inggris tentang pemain sepakbola lesbian?


Gurinder Chadha akhirnya memutuskan berkompromi dengan membuat tokoh-tokohnya hetero, namun menyelipkan banyak isu homoseksual yang positif di dalamnya. Dengan demikian pesan-pesan positif itu akan menjangkau lebih banyak orang. Di Amerika Serikat sendiri film ini meraup angka box office sebesar lebih dari $32 juta. Angka yang lumayan untuk film Inggris dengan sutradara baru dan pemain yang tidak ngetop.

Bend it Like Beckham juga memperoleh banyak penghargaan, dan masuk nominasi film terbaik Golden Globe 2003. Sebelum Bend it Like a Beckham, Gurinder Chadha pernah menyutradari What’s Cooking yang menampilkan tokoh lesbian. Saat ini ia sedang menyutradai Dallas yang diangkat dari serial TV tahun 1980-an setelah sebelumnya sukses dengan Bride and Prejudice.

Saya menyukai film ini, karakter-karakternya begitu menarik dan alur ceritanya pun pas. Bend it Like Beckham adalah film yang bisa saya tonton berkali-kali. Ini adalah film yang membuat saya bisa tersenyum dan tertawa, bahkan merasa riang sehabis menontonnya.

@Alex, RahasiaBulan, 2007


*Spoiler Alert

Ini adalah salah satu film guilty pleasure saya. Entah sudah berapa kali saya nonton film ini, dan saya tidak pernah bosan. Dirilis tahun 2002 dengan sutradara Corey Yuen, So Close merupakan salah satu dari sedikit film dengan peran utama perempuan, yang selain cantik juga jago berantem. Tiga perempuan di sini Shu Qi, Vicky Zhao dan Karen Mok berperan sebagai penjahat dan jagoan yang saling berhadapan. Shu Qi (Lynn) dan Vicky Zhao (Sue) adalah kakak-beradik pembunuh bayaran yang menggunakan teknologi canggih warisan ayah mereka dalam melaksanakan tugas mereka sebagai pembunuh. Karen Mok (Hong) adalah detektif cantik yang mengejar mereka.

Setelah tugas terakhirnya Lynn memutuskan untuk pensiun apalagi karena Lynn bertemu kembali dengan lelaki pujaan hatinya sejak remaja. Sue tidak terima dengan keputusan Lynn dan membandel untuk menerima tugas baru. Kejar-kejaran pun terjadi antara polisi dan pembunuh. Namun penjahat utamanya bukanlah dua kakak-beradik cantik ini. Penjahat utamanya adalah orang yang menyewa mereka sebagai pembunuh bayaran.

Karena ingin menutup jejak, si penyewa memutuskan untuk menghabisi Lynn dan Sue. Setelah adegan baku kebut dan baku tembak yang seru, Lynn tewas. Sue akhirnya harus bekerja sama dengan Hong agar bisa membalas dendam kematian kakaknya.

Hubungan antara Sue dan Hong ini bisa dianggap mengandung subteks lesbian walaupun tidak sejelas di film Naked Weapon, misalnya. Dalam film Hong Kong ini, puluhan perempuan dilatih untuk jadi pembunuh bayaran dan di antara dua perempuan itu terjadi persahabatan yang luar biasa akrab. “Hubungan lesbian” dalam Naked Weapon disamarkan sedemikian rupa dalam bentuk “persahabatan penuh kasih sayang”. Saya sengaja tidak mau bercerita tentang Naked Weapon karena ceritanya begitu cheesy dan bikin saya mau cakar-cakar muka saya sendiri saking kesalnya.

Kembali lagi ke So Close. Hubungan Sue dan Hong yang jadi akrab setelah kematian Lynn bukan lagi jadi hubungan antara penjahat vs polisi, apalagi setelah Hong difitnah membunuh. Mereka menunjukkan ketertarikan terhadap satu sama lain yang meskipun samar tetap terasa manis. Dan pada akhirnya setelah bahu-membahu bertarung seru lawan Yasuaki Kurata dan menghabisi penjahat sebenarnya, Sue memberikan kecupan singkat di bibir Hong.

Yeah, ini memang bukan film yang bakal dicap highly recommended oleh kritikus film, tapi jelas highly recommended oleh saya. Setelah sekian kalinya nonton film ini, partner bertanya, “Kenapa sih nonton film ini (lagi)?” Saya hanya nyengir dan menjawab “Di mana lagi ada film dengan cewek jagoan yang cantik, bajunya bagus, rambutnya keren, berantemnya seru, plus ada subteks lesbiannya?”


@Alex, RahasiaBulan, 2007

Jika bukan aktor kawakan seperti Judi Dench dan Cate Blanchett, saya nggak tahu film ini bakal seperti apa. Kepiawaian akting Judi Dench sebagai perawan tua kesepian yang lesbian tapi tidak mengakui dirinya lesbian bagi saya layak mendapat Oscar. Cate Blanchett juga tidak kalah bagusnya di sini, jauh lebih bagus daripada ketika dia bermain dalam Babel. Keduanya mendapat nominasi Oscar dan Golden Globe sebagai aktris terbaik dan aktris pendukung terbaik.

Judi Dench berperan sebagai Barbara Covett seorang guru senior yang disegani. Blanchett berperan sebagai Sheba Hart, guru seni yang baru. Mulanya obsesi Barbara pada Sheba hanya dituang dalam bentuk diari. Namun kesempatan agar bisa lebih dekat dengan Sheba muncul ketika Barbara mengetahui Sheba menjalin affair dengan murid pria berusia 15 tahun.

Sebagai bayaran untuk tidak membocorkan rahasianya, Sheba harus menjadi sahabat Barbara. Dan Sheba pun harus berjanji untuk memutuskan hubungan dengan Steven, si anak remaja itu. Barbara memasuki kehidupan Sheba, masuk hingga ke dalam kehidupan Sheba dan keluarganya. Terikat dalam rahasia dan obsesi bersama. Jika Barbara terobsesi pada Sheba, Sheba tidak bisa menghentikan obsesi cintanya pada Steven. Sheba yang memiliki suami dan dua anak, bahkan anak perempuannya seumuran dengan remaja yang ditudurinya, tidak bisa tidak jatuh cinta terhadap bocah lelaki itu.

Makin lama obsesi Barbara pada Sheba makin gila. Hingga suatu hari kemarahan Barbara meledak ketika mendapati Sheba ternyata masih menjalin affair dengan si ABG dan tidak menomorsatukan dirinya dalam kehidupan Sheba.

Film ini disutradarai oleh Richard Eyre yang pernah menyutradarai Iris dan Stage Beauty. Dua film yang juga memiliki unsur homoerotisme. Jika Anda suka dua film tersebut, bolehlah menonton film ini, karena Notes on Scandal memiliki nuansa seperti karya Richard Eyre sebelumnya. Diangkat dari novel yang mendapat nominasi Booker Prize karya Zoe Heller, film ini mendapat banyak kritik karena dianggap menggambarkan tokoh lesbian secara negatif. Namun untungnya sekali lagi kepiawaian akting semua pemeran dalam film ini bisa membuat segalanya termaafkan.

Sejujurnya, saya tidak menyarankan Notes on Scandal sebagai film yang harus ditonton KECUALI kau orang yang bisa menikmati kepiawaian akting aktor-aktor dalam film. Kekuatan film ini jelas di akting tak bercela Judi Dench dan Cate Blanchett. Kau bisa merasakan betapa dahsyatnya akting mereka menembus layar yang kautonton hingga membuatmu merinding.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

9:29 AM

Film: Fried Green Tomatoes

Posted by Anonymous |

Fried Green Tomatoes adalah film cewek buatan tahun 1991, di mana hampir semua tokoh utamanya dipegang oleh perempuan. Mulai dari Ninny Threadgoode (Jessica Tandy) dan Evelyn Couch (Kathy Bates) yang bersetting di tahun 1985. Dan Idgie Threadgoode (Mary Stuart Masterson) dan Ruth Jamison (Mary-Louise Parker) yang bersetting sejak tahun 1920-an. Film ini menampilkan kisah paralel dari kedua tahun tersebut. Dimulai ketika Evelyn bertemu dengan perempuan tua di panti wreda bernama Ninny.

Ninny yang masih penuh semangat hidup meskipun sudah berusia 80 tahun bercerita tentang kota kecil bernama Whistle Stop, Alabama, dengan fokus utama tentang hubungan Idgie dan Ruth. Idgie yang tomboy bersahabat dekat dengan Ruth sejak Ruth dekat dengan kakak lelaki Idgie, Buddy. Hubungan Ruth dan Idgie sempat menjauh ketika Buddy meninggal secara tragis, namun berlanjut ketika mereka makin dewasa.

Ruth menikah dengan lelaki kejam yang sering menyiksanya. Idgie kemudian membebaskan Ruth dari lelaki itu kemudian mereka tinggal berdua dan membuka restoran serta membesarkan anak lelaki Ruth bersama-sama. Cerita yang dituturkan Ninny ini membuat Evelyn yang berada dalam pernikahan yang buruk dengan suaminya jadi memiliki semangat juang untuk memperbaiki hidupnya. Dan Evelyn pun jadi bersahabat dekat dengan Ninny.

Film ini penuh dengan subteks lesbian, namun tak pernah ditampilkan secara jelas dan gamblang. Mungkin hanya penonton yang buta saja yang tidak menyadari bahwa Ruth dan Idgie merupakan gambaran terselubung dari pasangan lesbian. Ini jelas tidak aneh karena Fried Green Tomatoes diangkat dari novel Fried Green Tomatoes at the Whistle Stop Café karya Fannie Flagg yang terbit tahun 1987, dan dalam novelnya terdapat unsur-unsur lesbian yang lebih kental.

Walaupun Fannie Flagg--sang pengarang--adalah lesbian yang terbuka ia harus berkompromi banyak untuk menghapus bagian-bagian “lesbian” dalam bukunya agar film tersebut bisa lebih komersil. Dalam film, Idgie dan Ruth digambarkan sebagai perempuan yang bersahabat akrab seperti layaknya kakak-beradik yang saling menyayangi yang kebetulan membangun "keluarga" bersama. Bersama Carol Sobieski, co-writer dalam penulisan skenario film ini, Fannie Flagg memperoleh nominasi piala Oscar 1992.

Fried Green Tomatoes meskipun tidak dicap sebagai film "lesbian" menampilkan sosok perempuan-perempuan tegar dan suatu gambaran tentang kemungkinan kehidupan "rumah tangga" sepasang perempuan yang setia selamanya hingga maut menjemput.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

PS: Udah lama nonton film ini, sekitar awal tahun 2000, baru ketemu lagi DVDnya di Mangga Dua tahun 2006.

Subscribe