12:11 PM

Makan Yogurt Enaaaak Banget!

Posted by SepociKopi |

Oke, deh, kesibukan saya memang membuat saya jadi susah menulis di blog ini. Beneran, saya nggak ngeles, kok. Kerjaan kantor buat perhatian saya tersedot ke sana. Hehehe, sok orang penting Alex ini. Sekarang saya cerita tentang jalan-jalan ke mal aja secara saya dan Lakhsmi selalu rekreasi ke mal setiap ada kesempatan. Enggak heran kalau anak-anak kami mendapat titel sebagai "Miss Mal" karena kebutuhan yang tinggi bepergian di mal.

Minggu kemarin kami pergi ke mal di daerah utara Jakarta. Sebelum tiba, selama perjalanan anak-anak sudah ribut membicarakan yogurt. Apa? Iya, iya, yogurt. Kedua-duanya lagi tergila-gila yogurt rasa stroberi dengan toping cokelat, wafer, dan yang manis-manis lainnya. Saya hanya mengangguk-angguk sambil nyengir menyetujui rencana anak-anak makan yogurt setelah makan siang. Sementara Lakhsmi sibuk menyetir dan rajin menasehati agar bungsu dan sulung menghabiskan makan siang mereka.

Setelah makan siang selesai, saatnya ke gerai yogurt. Perut masih gendut karena makanan belum turun sepenuhnya, tapi siapa yang bisa menolak semangat anak-anak terhadap yogurt? Maka setelah berdiskusi bolak-balik, kami memutuskan pergi ke gerai Tutti Frutti. “Murah dan toppingnya bisa banyak,” kata Lakhsmi simpel, mengunci mati argumentasi sulung yang pengin pergi ke Sour Sally.

Dengan sigap Bungsu menyambar mangkuk dan ngotot nggak mau membagi yogurtnya dengan siapa-siapa. Saya terpaksa membuang yogurt rasa lychee ke mangkuk Lakhsmi karena Bungsu pengin mangkuknya hanya ras stroberi. Saya lihat mangkuk Lakhsmi udah penuh dengan yogurt rasa macam-macam, stroberi (kesukaan Sulung), blackcurrant (kesukaan Lakhsmi), dan lychee (kesukaan saya). Sementara khusus Bungsu, mangkuknya hanya rasa yang dia suka aja (stroberi).

Setelah mengisi topping, saatnya mengantri untuk bayar. Timbang, timbang, kira-kira berapa ya berat yogurt ini? Sesaat setelah membayar, kecelakaan terjadi. Sulung dengan semangat mengambil mangkuk bungsu yang lagi ditimbang, sedikit terpeleset tangannya, miring ke kiri, dan... uh oh! Untung Lakhsmi sigap menyambar sebelum mangkuk yogurt itu terjatuh ke lantai. Beberapa topping jatuh berhamburan ke lantai.

Bungsu memandang kejadian itu dengan tatapan kesal. Uh oh lagi. Dia mulai menjerit sama kakaknya. Uh oh. Dia mulai memaksa minta nambah topping karena topping-nya jatuh ke lantai. Mana mungkin dong, karena yang sudah dibayar itulah yang ditimbang. Segala pengertian tidak dapat membuatnya mengerti karena dia mulai ngambek tak alang kepalang. Lakhsmi mencoba segala cara, tapi gagal. Ya, kedengarannya sepele kalau diceritakan sekarang, tapi percayalah waktu kejadian itu terjadi, ketegangan itu nggak ada bedanya dengan ketegangan pembalap FI dalam putaran akhir menuju garis finis. Dengan menahan emosi, Lakhsmi menarik Bungsu keluar dari gerai Tutti Fruiti agar kami tidak menjadi pemandangan gratis orang-orang yang hilir-mudik di sana dengan lampu sorot yang menyinar terang ke kami.

Bungsu nggak suka diomelin Lakhsmi, dia mulai mencari-cari saya. Biasa deh, saya selalu tempat tong sampah kalau anak-anak lagi korslet dengan ibunya. Bungsu mulai mengais-ngais kaki saya, minta digendong. Tangannya tinggi terulur minta dikasihani. Matanya berkaca-kaca penuh air mata dan mulutnya berteriak frustrasi, “Tante Mami gendong! Gendong! Pokoknya gendong! Tante Mamiiiii!”

“Iya, iyaaa, Sayang. Iyaaa!” Tak tegalah saya, maka saya menggendong dia. Waktu saya menoleh ke arah Lakhsmi, dia lagi ketawa gila-gilaan. Ada apa gerangan? Oh, kata Lakhsmi, saya udah mirip ibu-ibu dalam tokoh Desperate Housewives. Tangan kanan menggendong balita, dengan tiga tentengan belanjaan, sementara tangan kiri memegang mangkuk yogurt. Saya sudah menjadi aktrobat sirkus waktu Bungsu meminta dengan manis, “Suapin yogurt nya dong, Tante Mami. Gendongnya yang enak, aku merosot nih!” Sambil ngakak terus-menerus, Lakhsmi mengambil beberapa barang belanjaan di tangan saya sehingga saya bisa lebih bebas menggendong Bungsu sambil berjalan menuju mobil dan menyuapkan yogurt pada saat bersamaan.

Hebat kan? Punya anak memang luar biasa!

@Alex, Rahasiabulan, 2009

12:00 AM

Pintarnya si Bungsu

Posted by Anonymous |

“Tante mami, aku dong punya pe-er,” kata si bungsu sambil memamerkan lembaran pe-ernya.
“Sini, Tante bantuin,” kata saya.
Si bungsu mengeluarkan pensil dan krayon, serta penghapus. Ia bersiap-siap dengan manisnya.
Lembar pertama dikeluarkan dan ternyata pe-ernya adalah “menggambar” angka lima. Ya, dia bilang dia menggambar angka, bukan menulis. Yang dia lakukan sebenarnya cuma mengikuti garis titik-titik yang membentuk angka lima.

Dia girang bukan kepalang bisa menulis, eh, menggambar angka lima itu sampai tidak mau saya bantu bahkan untuk menghapus coretan yang salah. Jadi tugas saya dalam membantunya membuat pe-er adalah hanya melihatnya. Ketika akhirnya pe-er angka lima itu selesai, kami pun melakukan kegiatan favorit kami berdua. Nonton TV! Yay, Disney Channel here we come!

Keesokan harinya, si bungsu sudah mengibar-ngibarkan lembaran pe-ernya ketika saya pulang. “Dia nungguin kamu tuh buat bikin pe-er,” kata Lakhsmi.
Pe-ernya kali ini adalah “menggambar” huruf “T”. “T for Tiger,” kata si bungsu.
“Ya, T for Tiger,” jawab saya.

Dan sama seperti kemarin, si bungsu juga hanya menjadikan saya sebagai pelengkap. Dia tidak mengizinkan saya membantunya sama sekali. Seakan-akan dia cuma pamer ke saya bahwa dia punya pe-er, seperti kakaknya, dan menunjukkan bahwa dia sudah besar. Karena hanya anak-anak besar saja yang punya pe-er. Lalu bedanya dengan kemarin, malam itu kami nonton Nickelodeon.

Tiba-tiba ketika sedang menonton SpongeBob, si bungsu turun dari sofa dan mengambil lembaran kertas lain dari antara mapnya. “Tante Mami, lihat!”
“Waaaaw,” saya berseru. “Gambar siapa nih?”
Si bungsu memperlihatkan gambar Princess yang sudah diwarnai.
“Ini Cinderella, masa Tante nggak tau?”
Saya hanya nyengir lebar. “Bagusnyaaaa...,” kata saya.
Si bungsu ngacir lagi ke tempat duduknya bersama si sulung. Duduk di sofa bersama menonton acara TV.
“Itu buat Tante Mami,” kata si bungsu. “Ambil aja, biar tau Cinderella.”

Lakhsmi yang kebetulan berada di meja makan hanya mengulum senyum ketika saya memandanginya sambil tak bisa menahan cengiran. Kata siapa anak balita nggak lebih pintar daripada orang dewasa? Buktinya dia bisa menulis eh menggambar angka lima dan huruf "T" sendiri, sementara saya saja tidak tahu yang mana Cinderella.

@Alex, RahasiaBulan, 2009

10:42 AM

Hari Minggu

Posted by SepociKopi |

Ada bahasa yang tidak bisa diucapkan dalam kata-kata. Bahasa tubuh, salah satunya. Atau bahasa yang terpendam di dalam hati, membuatnya bersesakan dan menjadi melodramatis. Dia mengubah hati menjadi wujud yang tidak bisa lagi kupahami. Tidak ada kata-kata yang dapat kuandalkan untuk mewakili bahasa itu.

Ini hari Minggu, harinya bersama anak-anak menuju mal. Aku sudah melihat senyum Alex ketika bermain bersama Bungsu pada pagi hari. “Tante Mami, aku mau minum” kata Bungsu merengek. “Kemarin aku berenang sampai ke ujung, Tante Mami!” kata Sulung bangga. Aku senang dengan senyum itu; senyum familiar yang ada dalam setiap hari-hariku. Senyum yang terasa nyata dan membuat jam-jam yang kumiliki terasa masuk akal. Senyum yang menopang kewarasanku.

Seperti biasa, anak-anak rebutan siapa yang duluan keluar dari pintu rumah dan jantung kami serasa berhenti berdenyut melihat dua anak berusaha memuatkan dua tubuh mereka di celah pintu yang terbuka baru setengah. Kami menjerit tidak sadar. Inilah parahnya memiliki dua mami, karena dua-duanya cenderung menjadi cerewet. Suara feminim yang khas memenuhi udara sampai-sampai aku terkadang tidak tahan. “Say, kayaknya harus ada yang bersikap seperti para ayah deh, bersikap seperti bapak-bapak kebanyakan.” Kami berdua tertawa karena sama-sama menyadari kami sulit bersikap seperti “bapak-bapak” dalam satu keluarga.

Isu dua mami ini seringkali mencemaskanku. Misalnya, Bungsu sudah sangat terbiasa mendengar suara perempuan dan disentuh oleh perempuan daripada lelaki, sehingga kalau berhadapan dengan lelaki dewasa, dia selalu menjerit protes dan tidak pernah mau berdekat-dekatan. Sepertinya ada yang salah dengan kehadiran lelaki di dunia Bungsu. Memang beruntunglah kanak-kanak yang memiliki dua mami karena mereka mendapatkan cinta double ibu, tapi bagaimana dengan kecemasan khas ibu yang berlebihan? Satu saja sudah parah, bagaimana dua? Hahaha. Itulah mengapa saya sering kali menyuruh Alex untuk lebih tenang, jangan ikut-ikutan histeris kalau aku sedang panik berat khas emak-emak. Kasihan juga anak-anak yang hanya bisa bengong melihat dua maminya freaking out.

Akhirnya aku menyetir dengan Sulung berada di sebelah kiriku dan Bungsu di belakang bersama Alex. Kami menuju Senayan City. Sulung yang sudah besar di-drop di Lollypop, tempat permainan “anak-anak gede” (istilah Bungsu). Kami bertiga pergi ke toko buku dan Time Zone. Bersama Bungsu, kami bermain basket, lempar bola, ketokin buaya, dan naik mobil-mobilan.

Saatnya makan siang, dan Bungsu mogok makan karena tidak mau makan tanpa kehadiran kakaknya yang masih asyik bermain di Lollypop. Butuh waktu sesaat untuk membujuknya, apalagi dia tidak mau bergeser dari gerai es krim. Setelah bolak-balik janji ini-itu kepadanya, akhirnya Bungsu memilih HANYA MAU makan bakmi. Bakmi selalu menjadi urusan yang menggelikan, sebab anak ini doyan sekali bakmi. Dia selalu mengingatkanku ketika aku hamil dan ngidam berat bakmi selama berbulan-bulan.

Alex dan Bungsu duduk berdua, makan bakmi dengan asyik. Saling menyuapkan bakmi dengan sumpit dan tertawa-tawa. Aku menatap mereka dengan takjub, rasa kebahagiaan berjingkat-jingkat memenuhi hatiku sampai-sampai aku tidak sanggup berkata apa-apa. Alex menoleh, menangkap mataku yang sedang memandangnya. Kami bertatapan membiarkan bara itu menyala dengan percikan keras.

Matamu menguntitku ke mana aku melangkah bahkan sampai ke jurang samudra terdalam. Tanganmu merentang memegang rahasiaku yang tercatat pada helai hati. Ingatlah malam berabad-abad yang kita miliki, sewaktu mimpi kita mengejar bintang atau kelaparan yang kita takutkan. Aku lebih suka bersamamu menyisiri gang-gang kosong penuh darah dan lumpur. Sayang, aku selalu membiarkanku tersesat untuk menemukanmu kembali. Sebab katamu, aku adalah yang beruntung menjadi sahabat terbaikmu yang kau jatuh cintai habis-habisan.

Di mobil, anak-anak kembali ribut nggak jelas. Dalam badai keriuhan itu, aku melirik ke kaca spion dan kembali menemukan mata Alex di sana sedang menatapku. Seperti kataku tadi, ada bahasa yang tidak dapat diucapkan dalam kata-kata. Ada kata-kata yang tak dapat dijadikan bahasa, karena kata-kata itu sebenarnya sebentuk ciuman yang kehilangan bibirnya. Aku mengangkat daguku agar bisa melihatnya dengan lebih jelas. Melalui cermin, kubalas tatapan Alex. Dalam keriuhan, kami berciuman.

@Lakhsmi, RahasiaBulan, 2009

9:14 PM

Aku Lapar, Mommy

Posted by Anonymous |

“Mommy, aku lapar.”
“Ya, tunggu sebentar ya, bentar lagi kita makan.”
Bersama si bungsu, kami sedang dalam perjalanan singkat dari luar kota yang jaraknya cuma 1-1,5 jam. Rencananya kami memang akan mencari restoran baru, tempat kami akan melakukan sedikit wisata kuliner.

Well, ternyata wrong idea membawa anak balita wisata kuliner.

Sebenarnya bukan salah si bungsu karena dia lapar, dan dua orang dewasa yang mengaku sebagai mommy-nya tidak cukup cerdas untuk membawakannya camilan. Sudah tahu perjalanannya jauh, mestinya kami menyiapkan apalah untuk dimakan.

Ditambah lagi jalanan yang malam itu ternyata macet, makinlah kami jadi gelisah. Makan malam yang seharusnya dimulai pukul enam sore tampaknya bakal bergeser setengah jam ke kanan, malah mungkin lebih.

“Akuuuu lapaaaaar.” Kali ini pernyataan lapar itu disenandungkan si bungsu.
“Ya, ya, sabar ya, Nak.”

"Lapar, Mommy."

Jeda.

"Mom, aku lapar."

Pak sopir kami juga jadi keliatan gelisah setiap kali si bungsu menyebut kata, “lapar” dalam berbagai versinya setiap lima menit sekali.

Tapi kata keramat itu tidak terucap dan kami diselamatkan sejenak oleh Kuburan. Iya, kuburan. Bukan kuburan beneran, tapi grup musik itu. TV di dalam mobil menampilkan video klip Kuburan, Lupa-Lupa Ingat. Mendengar intronya, si bungsu langsung bilang, “Aku suka lagu ini, Mommy.”

Dan jadilah dia ikut bernyanyi, “Lupa... Lupa, lupa, lupa. Lupa lagi syairnya.”
“Ingat... ingat, ingat, ingat... Ingat lagi kuncinya.”

Selama sekian menit lagu itu tampil, kami bernapas lega karena si bungu teralih perhatiannya. Malah kami sempat tertawa-tawa riang.

Ah, tapi kami salah. Kelegaan itu cuma semu.

Tidak sampai tiga menit setelah lagu itu habis, si bungsu mulai lagi dengan pernyataannya. “Mommmyyyyy, akuuuuu lapaaaaar...”

Saya dan Lakhsmi hanya bisa saling menghela napas mendengarnya. Belum sempat kami menjawabnya, kami tertawa ngakak ketika si bungsu bernyanyi, “Lapar... lapar, lapar, lapar...” dalam nada lagu Lupa-Lupa Ingat.


@Alex, RahasiaBulan, 2009

9:05 AM

Main Bubble Bath Yuk

Posted by Anonymous |

Si bungsu sakit. Dia demam. Tubuhnya begitu lemah dan hanya mau nempel dengan Lakhsmi. Buru-buru saya mengambil termometer. Panasnya 39,5 derajat Celsius. Kami berdua dilanda kepanikan.

“Say, ambil kompres.” Lakhsmi memberi perintah.
Saya menyiapkan kompres sementara si bungsu berada dalam pelukannya. Mungkin karena sakit dan nggak nyaman, si bungsu menolak dikompres. Dia mendorong kain kompres menjauh lalu mulai menangis.

“Duh, gimana nih, Say?” Saya panik, biasa emak-emak mode on.

Lakhsmi masih berusaha mengompres si bungsu yang mengelak kain basah ditempelkan di tubuhnya.

“Gimana nih, Say?” emak-emak mode on makin menjadi-jadi.

Mendadak Lakhsmi menemukan ide brilian abad ini, “Kita bubble bath yuk,” katanya pada si bungsu. Anak yang panas tinggi bisa diturunkan suhunya dengan direndam ke dalam air hangat.
“Nggak mau!” katanya sambil menggeleng keras.
“Yuk, bubble bath di bathtub,” kata saya menambahkan. “Kita berenang.”

Anak itu, masih dengan tatapan sayu, menggeleng penuh semangat.

Lakhsmi menggendong paksa anak itu dan membawanya ke bathtub walaupun dia meronta-ronta. Saya menelanjanginya sementara Lakhsmi mengisi air hangat di bathtub lalu menuangkan sabun ke dalamnya.

Awalnya si bungsu masih protes, tapi melihat busa sabun yang meriah dia malah mulai tertawa-tawa. Justru makin lama dia malah nggak mau keluar dari bathtub. Dasar anak-anak. Besoknya dia bilang begini, "Tante mami, aku mau sakit aja. Biar bisa bubble bath lagi."

@Alex, RahasiaBulan, 2009
PS: Si bungsu sudah sembuh sekarang, thanks atas perhatiannya.

8:06 PM

Saya dan Kopi

Posted by Anonymous |

Belakangan ini yang namanya warung kopi modern pasti bisa ditemukan di setiap mal yang ada di kota besar Indonesia. Kopi bukan lagi jadi minuman warung, sebagaimana bisa ada istilah warung kopi. Ah, tapi saya mesih suka menggunakan istilah warung walaupun lokasinya berada di mal atau di kedai-kedai tepi jalan yang populer.

Saya tidak bisa berbagi kenikmatan minum kopi ini dengan Lakhsmi, karena dia bukan peminum kopi. Baginya kopi adalah minuman penyiksa lidah yang cuma memberi rasa pahit. Minuman yang dipilihnya di warung kopi modern pun kopi “rasa banci” demikian saya menyebutnya. Yang isinya lebih banyak krim atau susunya dibanding kopi. Lakhsmi lebih suka menikmati yogurt ala Sour Sally sementara saya pasti meleletkan lidah jika mesti makan yogurt... nggak macho deh makan yogurt stroberi dengan buah kiwi dan mochi di atasnya. Halah :)

Entah siapa penemu minuman ini, yang pasti saya berterima kasih padanya karena telah membuat manusia mencicipi kenikmatan rutin kedua setelah seks. :p Nggak bahas seks ya kali ini... kembali ke kopi.

Partner biasanya tahu kebiasaan saya ini. Sori, nggak bisa diajak ngomong beneran. Kepala pusing. Ngantuk berat. Semuanya menjadi alasan kalau kerongkongan saya belum dialiri kopi seharian. Kecuali diganti dengan kegiatan seks gila-gilaan sehingga saya lupa ngopi, lain daripada itu tak ada alasan yang cukup kuat untuk membuat saya tidak ngopi sehari.

Di kota mana pun saya berada, jika saya harus menginap di sana, kopi menjadi minuman yang harus dicicipi. Pendiri Starbucks pasti merasakan sensasi kopi yang menggetarkan saat dia menikmati espresso di kedai kopi di Italia sehingga memutuskan “memindahkan” kedai kopi itu ke Amerika.

Selain itu mulai dari kopi instan, kopi tubruk, hingga kopi racikan kedai mewah yang harganya bisa bisa membeli berenceng-renceng kopi Kapal Api semuanya memberi tujuan yang sama. Afrodisiak... Maksudnya, efek perangsang otak bukan pembangkit "gairah". Sel-sel kelabu di otak saya bergerak selambat sperma yang berenang menuju sel telur jika belum kena kopi.

Saya tidak pernah bermasalah dengan partner yang tidak paham dengan “apa sih enaknya kopi?” Menurut saya, menikmati kopi adalah kenikmatan yang sifatnya masturbasi, karena bagaimanapun kamu menikmatinya sendirian. Nggak perlu sampe berantem kok kalo pasangan nggak suka kopi. Tapi yang terpenting adalah, “I like my woman, how I like my coffee... hot and gotta have it everyday.”

@Alex, SepociKopi, 2009

9:09 AM

Sindrom Rentan Tiga Tahun

Posted by Anonymous |

Belakangan ini kesibukan di pekerjaan, jadi redaktur di SepociKopi, dan pernak-pernik hidup lainnya membuat saya jarang mengupdate blog. Bukan karena nggak cinta lagi atau nggak sayang lagi, cuma karena ya gitu deh... sibuk, bo! Alex paling jagoooo deh bikin alasan, hehehe.

Lakhsmi bilang dia baca di mana gitu bahwa rata-rata hidup blogger tuh tiga tahun. Ini tahun ketiga saya nulis di blog ini, dan jujur aja terkadang saya mulai kehilangan dorongan menulis, walaupun inspirasi itu masih kuat menggebu. (Lemah syahwat dong ya? :p) Saya bilang ini namanya Sindrom Rentan Tiga Tahun.

Tiga tahun dalam hubungan manusia biasanya masa ketika hubungan juga rentan. Hubungan makin stabil, monoton, dan kobar-kobar asmara yang membakar pada bulan-bulan pertama hubungan mulai redup. Terutama dalam hubungan lesbian yang berkonsep "pacaran". Maksudnya ya, cuma ketemu pada saat-saat tertentu, seminggu sekali atau beberapa kali. Mau ngapain kita malam minggu ini, Sayang? Makan di mana kita, honey? Mau nonton apa, cinta? Pola pacaran tak berujung semacam ini, yang awalnya manis dan romantis, berujung pada pertanyaan "Mau di bawa ke mana hubungan kita?"

Sering kali jawaban itu tak ada jawabnya atau jawabannya hanya, "Ya, kita jalani aja seperti air mengalir."

Well, sistah, bahkan air mengalir pun ada muaranya.

Ketidakjelasan muara plus kejenuhan hubungan ini sering kali membuat orang melirik ke arah lain, melihat sosok yang bisa membangkitkan percik-percik semangat. Tidak, saya tidak menyarankan untuk berselingkuh. Itu bukan pilihan bijak.

Lingkaran pacaran-putus-patah hati-cari pacar baru yang berulang-ulang tanpa kejelasan ini tidak hanya melelahkan tapi juga membuat depresi. Salah satu pilihan yang setelah dianalisis, dicek dan ricek, dan ditelaah yang bisa memberi memtuskan mata rantai tak berujung ini adalah; sudah saatnya lesbian memikirkan dan memutuskan kemungkinan hidup bersama dengan pasangannya. Saatnya memutuskan mata rantai itu dan katakan tidak ada narkoba. Halah!

Gampang aja lo ngomong, Lex. Lo mah enak... Ya, ya, jangan sinis dulu, sayang, memang tidak mudah kok. Masing-masing lesbian yang bisa memutuskan "bagaimana" caranya hidup bersama pasangannya. Pintar-pintarnya kamu untuk mencari memanfaatkan celah itu. Tiap kasus itu unik, dan sekecil apa pun kemungkinan itu, mulailah memperbesarnya dengan menemukan caramu sendiri. Dan nggak ada yang bilang bahwa caranya akan mudah. Tanpa perlu mengkhayalkan kemungkinan civil union atau same-sex marriage di Indonesia, cobalah pikirkan kemungkinan hidup bersama. Bukan dengan cara memaksa, tentunya. Dan saya juga tidak menyarankan coming out lalu kabur dari rumah jadi gembel melarat di kontrakan kumuh dengan tikus segede gaban yang ikut numpang di kontrakan. Kalian pasti lebih pintar daripada itu, bukan?

Jika pepatah menyatakan, "Rumah adalah tempat hatimu berada." Tanyakan pada dirimu sendiri, di mana rumah dan hatimu berada? Hidup bersama memberikan "rumah" sebagai tempat bernaungnya dua hati, bukan hanya kontrakan tiga tahunan. Dan kebersamaan hidup dengan pasangan memberikan kenyamanan serta rasa aman yang membuat hati itu tumbuh dan berkembang. Berdua. Bersama. Selamanya.

@Alex, RahasiaBulan, 2009
PS: Saya masih akan terus nulis kok, karena blog ini tempat saya bercerita banyak tentang rumah hati saya.

10:44 PM

Mirip si Kecil

Posted by Anonymous |

Ketika membongkar-bongkar foto lama, saya menemukan foto saya masih balita. Yah, kira-kira foto saya seumuran si bungsu sekarang. Ketika melihatnya, saya terkejut... kok saya mirip si bungsu ya? Ah, saya menepis pemikiran itu. Maklum deh, mami-mami memang sering berpikir seperti itu. Sok bangga dengan kemiripan dengan anaknya.

Lalu saya memperlihatkan foto itu ke Lakhsmi. “Say, lihat deh fotoku...”
Lakhsmi membelalak, “Hah, kok mirip banget sama si bungsu?”
“Beneran?”
“Iya...”
Ah, saya juga nggak percaya sama Lakhsmi, pasti ini salah satu asbunnya... :p

Saat itu pembantu kami lewat, dan saya memperlihatkan foto kecil saya padanya. “Aduh, dari tadi saya kirain ini fotonya si bungsu lho, Non. Mirip banget.”
Mendengar itu, Lakhsmi memandang saya dengan tatapan, gue-bilang-juga-apa-nggak-percaya-sih.

“Heran deh, si bungsu kok bisa mirip kita ya, beib?”
Lakhsmi mengangkat bahu, lalu tersenyum dan berkata, “Mungkin karena kamu maminya juga.”
Saya tersenyum manis sekali mendengar jawabannya.

Saya jadi teringat adegan tidak lama sebelum ini, ketika kami sibuk memilih goody bag untuk ultah si bungsu. Barbie atau princess? Hello Kitty atau Winnie the Pooh? Ribet dan rusuh. Sementara si bungsu sibuk main dengan telepon-teleponan Hello Kitty. “Hawoo? Hawoooo?” katanya.

Dua maminya nggak sempat memperhatikan karena habis itu kami sibuk memilih kue. Strawberry Shortcakes atau Cars? Hah? Cars? Nggak salah anak perempuan kuenya Cars?
“Beib, dia suka Cars,” kata saya.
“Yang bener?” tanya Lakhsmi.
“Iya.” Saya mengangguk membenarkan.
Si mbak yang melayani kami memandang kami bergantian lalu bertanya lugu, “Mamanya yang mana sih?”
Gantian saya dan Lakhsmi jadi saling memandang lalu tertawa terbahak-bahak. Hampir kami menjawab, “Dua-duanya maminya!”
Tapi daripada si mbak pingsan di tempat, saya menunjuk Lakhsmi. “Ini maminya. Saya tantenya.”
Si mbak tersenyum, “Saya kita Ibu yang maminya... soalnya tau banyak sih.”
Kembali saya dan Lakhsmi tertawa ngakak, yang hanya bisa kami mengerti artinya.

Akhirnya setelah memilih-milih kue dan goody bag, kami menemukan si bungsu masih main telepon Hello Kitty dan tidak mau melepasnya. Tanda minta dibelikan... hehehe. Akhirnya kami memutuskan untuk menjadikan telepon Hello Kitty itu sebagai hadiah ultahnya. “Buat telepon Tante dan Mami kalo di kantor,” katanya.
Bagaimana kami bisa menolak membelikannya kalau si bungsu bilang begitu, coba?

@Alex, RahasiaBulan, 2009

9:31 AM

Tanda

Posted by SepociKopi |

Ada lipstik di sepraiku. Aku tahu ada lipstik di sepraimu. Aku berguling di ranjang sementara jari-jari halusmu menjelajahi pundak telanjangku. Salah siapa kalau lipstik itu berbekas? Aku mau mengelapnya tapi tidak sempat. Kau mendesakku – kelembutan yang penuh tenaga, mengunci tubuhku di sepanjang sisi sampai aku tidak mampu bergerak dalam pelukanmu. Pagi itu bukan hanya lipstik yang tertinggal di sana, tapi aroma tubuhmu menempel di sekujur kulitku.

Aku pernah meninggalkan noda lipstik di bahu kemejamu kala kita berpelukan. Noda merah jambu tampak samar-samar sebenarnya, kecuali kalau seseorang berdiri agak dekat denganmu. Dalam hati aku berharap seorang teman kantormu memperhatikan dan memberi komentar isengnya.

Komentar yang sudah pasti akan mengantarkanku sebagai si tertuduh dengan rasa yang menyenangkan bagi kita berdua.
Tapi mereka tidak pernah berkomentar tentang lipstik itu. Mereka berbicara tentang dompetmu yang pernah tertinggal di sana. Mereka berbicara tentang foto anak-anak yang memenuhi meja kerjaku. Mereka berbicara tentang bunga yang pernah kau kirim ke kantor. Mereka berbicara tentang benda-benda hadiah untukku; Valentine, ulangtahun, Natal, dan hari apa saja yang menurutmu menjadi hari kejutan. Mereka berbicara tentang hari-hari liburan kita yang sering kusebut sebagai honeymoon.

Mereka menggodaku tentang telepon gila-gilaanmu. Itu sama saja bukan? Itu berarti mereka melihat jejak-jejakku pada dirimu. Pikirkanlah. Aku sering memikirkan hal ini. Aku tidak hanya bersama di sisimu saat kita berdua, tapi juga aku bersamamu dalam setiap detik kesendirianmu. Aku mencecap hal yang sama. Kau menggerayangi duniaku tanpa malu-malu. Menawanku seperti caramu menawanku di ranjang. Lihat saja ruang kerjaku. Isinya penuh kamu. Buku-bukumu. Berkas kerjamu. Pulpenmu. Foto kita berdua. Catatan-catatanmu. Surat cintamu yang berceceran di berbagai tempat; tentu kusembunyikan dengan hati-hati.

Tapi Sayang, bukan itu yang paling penting. Semua yang terlihat oleh mata telanjang hanya sekadar benda padat yang secara fisik dapat lenyap dengan mudah. Kau dapat menghapus lipstikku dengan tisue. Aku dapat menyingkirkan foto-fotomu. Kau dapat mencampakkan hadiah-hadiahku di tong sampah. Aku dapat membakar surat-surat cintamu dalam kalapku. Setelah semuanya pergi, akankah aku... oh, akankah kau lenyap begitu saja? .

Apa boleh buat, aku tak dapat dienyahkan. Keberadaanku lekang dalam hatimu; aku hidup di sana. Di kepalamu penuh aku. Siapa yang memiliki kontak denganmu pasti melihat bayanganku pada dirimu. Kau membawaku ke mana-mana, malaikatku. Aku menjelajahi tempat-tempat yang kau datangi sendirian. Aku mendengar degup jantungmu di tengah celotehanmu dengan orang lain. Aku meraba kegelisahanmu, kegembiraanmu, kesedihanmu; aku menguping kekacauanmu, kerumitanmu. Aku melompati pikiranmu; menggerayangi kemarahanmu; memerkosa kecemburuanmu. Aku mengetahui hal-hal tersembunyi yang abstrak dilukis lewat kata-kata. Aku mencium bibirmu dengan gairah saat kau melirik pada perempuan berkaos itu yang lewat di sampingmu.

Singkatnya, aku memiliki telepati; telepati kedekatan antara dua orang yang tak memiliki jeda apapun di antaranya. Bukannya kau tahu aku seperti itu juga? Bahwa aku berada pada dirimu, merumah di sana, memeluk tubuh telanjangmu setiap saat. Aku uring-uringan kala kau diam-diam menyembunyikan kejengkelan tentang sesuatu. Aku patah hati kala kau berusaha keras tidak membunuhku. Aku memikirkan hal-hal yang buruk kala kau berahasia tentang perempuan itu. Aku menyentuh dadamu, menyetubuhimu kala kau berbaring sendirian melakukan tarian masturbasi. Kita berdua terkoneksi seperti langit dengan hujan. Aku menjembatanimu. Di antara mimpi dan labirin.

Di antara matahari dan garis kathulistiwa. Pagi ini ketika kau berkata ada lipstikku di sepraimu, aku tergenapi. Berkat ucapanmu, rasanya tubuhku menjadi semakin baik. Bara di dadaku berhenti menghangus. Matahari tidak menjadi basi lagi. Aku tidak pernah takut lagi kehilanganmu karena bagaimana sesuatu dapat hilang kalau aku tahu dia selalu ada di sana? Aku tidak akan asing sebab aku menandaimu. Kau tidak terselip seperti daun di ranting; tak tercecer seperti bulan yang menyabit. Malaikatku, kapan-kapan kutinggalkan lagi lipstik di sepraimu setelah kita selesai bercinta dini hari yang remang. Kau dapat memulai kerja dengan mengirimku selarik SMS yang mendatangkan bintang buatku. Ada lipstik di sepraiku.

@Lakhsmi, RahasiaBulan, 2009

9:24 AM

Alex Memutuskan Mati

Posted by Anonymous |

Tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.

Kejadian 2:17

10:34 PM

Si Nakal

Posted by Anonymous |

Si Nakal. Kadang-kadang kami menyebut dia seperti itu. Badungnya nggak ketulungan si bungsu ini. Nakal, badung, keras kepala, persis maminya :)). Pokoknya saya (kadang-kadang) harus jadi penengah antara maminya dan si bungsu yang adu keras. Udah biasa gitu menghadapi maminya... jadi versi mininya (seharusnya) udah bisa di-handle deh, walaupun kenyataannya sering kali saya yang teraniaya atas-bawah, hahaha.

Jadi ingat satu cerita lucu soal kaus kaki. Sekali waktu si bungsu nggak mau pakai kaus kaki sebelum tidur. Dia menarik lepas kaus kakinya. Lalu maminya memakaikannya lagi. Begitu terus sebanyak 3x, hingga akhirnya si bungsu menyerah. Dalam hati saya yakin si bungsu tidak menyerah sungguhan. Ternyata... Tuh betul, kan? Beberapa jam kemudian, ketika si bungsu sudah tidur, Lakhsmi bertanya, “Say, mana kaus kakinya si bungsu?” Tangannya meraba-raba dalam gelap.
“Nggak tau... terakhir liat sih masih di kakinya,” saja menjawab cuek.
“Nggak ada...!”
“Ada!”
Lakhsmi meraba-raba lagi, kemudian dia tertawa terbahak-bahak. Dia menemukan kaus kaki itu. Di mana? Hayo tebak...! Ternyata kaus kaki itu memang masih dipakainya... di kedua tangan. Huahaha... Ada-ada aja, kan?

Well, sebenarnya nggak mau cerita soal nakalnya kali ini. Tapi lebih tentang kekaguman dua maminya terhadap anak ini (lebih ke kekaguman tante maminya sih :p).

Beberapa hari lalu, Lakhsmi ber-chat dengan saya ketika saya sedang di kantor, sementara dia mengambil cuti sakit.

Lax: Tadi si bungsu pinter deh...
Lex: Knp?
Lax: Dia gambar doggie bagus banget.
Lex: Oya? Ntar pulang kuliat ya. Simpen gambarnya nggak?
Lax: Simpen dong.
...(5 menit kemudian)...
Lex: Beb...
Lax: Ya?
Lex: Fotoin dong gbrnya... Nggak sabar nih mau liat... nanti bebein ke aku.
...(5 menit berlalu)
Lex: Wuaaaaaaaaaah gbrnya bagus amat? (Hm... buat saya masterpiece deh :))
Lax: iya, bagus ya... aku mau simpen gk boleh sama dia...
Lex: Jadi?
Lax: Udah dicoret-coret krayon (Versi yang saya lihat masih goresan pensil dgn wujud anjing yang jelas)
Lex: Gk kamu larang?
Lax: Bisa dilarang dia?
Lex: Hahahaha :))

Malam harinya ketika saya menemui si bungsu, dengan wajah manis dia menjawab, “Gambar apa? Dogi apa? Ga ada dogi,” ketika saya bertanya, mana gambar doginya. “No dogi. I want to watch TV.” Untungnya Lakhsmi sudah menyelamatkan gambar yang udah tidak jelas wujudnya. Coretan-coretan pensil yang “dulunya” bergambar anjing yang wajah dan tubuhnya diwarnai krayon merah dan hijau. Mesti pake tatapan laser untuk bisa melihat dengan jelas.

Mungkin ini yang namanya kebanggaan orangtua ya. Pokoknya apa pun yang dilakukan oleh anak yang kelihatannya “lebih” sedikit udah membuat hati membuncah bangga. Coba lihat isi henpon, isinya foto-foto anak dalam berbagai pose dan karya-karyanya.... :)

@Alex, RahasiaBulan, 2009

2:20 AM

Istri yang Penurut

Posted by Anonymous |

Menurut gosip yang beredar dan sampai ke telinga saya, konon Alex adalah istri yang penurut. Hahaha... pertama mendengarnya saya agak kesal gitu. “Maksud???” Saya langsung ngoceh-ngoceh nyerocos seperti layaknya istri yang tersinggung pada Lakhsmi.

Memangnya saya nggak punya prinsip sendiri, gitu? Atau saya dianggap sebagai boneka sementara pasangan saya adalah puppet master-nya? Orang yang ngomong begitu pasti tidak sungguh-sungguh kenal saya.

Kami berdua adalah sosok intelektual yang saling berdiskusi dan berdebat dalam kehidupan kami sehari-hari. Kami saling memengaruhi isi pikiran satu sama lain. Kami menghasilkan kesimpulan-kesimpulan ajaib dalam percakapan kami. Apakah itu berarti saya tidak pernah manut padanya? Atau dia tidak pernah hanya mengiyakan saja? Ya, jelas pernah.

Dalam kehidupan sehari-hari saya “membiarkannya” memilihkan tempat makan dan tempat liburan karena menurut saya dia tahu bagaimana menentukan yang terbaik daripada saya. Tapi untuk urusan memilih nonton film apa dan di mana, sayalah penentunya karena menurutnya saya lebih pakar untuk urusan ini. Masih banyak lagi keputusan-keputusan yang dibuat dalam konsep bergantian seperti ini. Bahkan urusan anak pun kami tangani dengan cara kami masing-masing.

Setelah beberapa hari kemudian saya pikir-pikir lagi soal “istri yang penurut” ini. Memangnya ada yang salah dengan sesekali menjadi istri yang penurut? Menjadi istri yang penurut saya rasa jauh lebih sukar daripada menjadi istri yang bertingkah atau jadi istri yang mau kelihatan lebih pintar atau mau lebih melulu dibanding pasangannya.

Menurut saya menjadi istri yang penurut itu membutuhkan lebih banyak kerja keras dibanding jadi istri pembangkang. Apalagi dalam hubungan lesbian, yang dua-duanya jelas perempuan. Siapa yang ditempatkan jadi “kepala keluarga” kadang-kadang bisa bertukar peran. Justru di situlah letak nikmatnya....

Penurut tidak berarti takut pada pasangan atau menempatkan pasangan di posisi lebih lemah. Tapi di atas segalanya adalah rasa respek terhadap pasangan. Bagaimana mungkin bisa menuruti pasangan jika tidak punya rasa hormat terhadap pasangan kita? Rasa respek itu dengan sendirinya akan melahirkan kepatuhan yang terjadi secara alamiah. Perlu diingat pula bahwa respek adalah hal yang diperoleh secara timbal balik bukan muncul karena dijejalkan ke dalam hubungan.

Saya mendiskusikan pendapat saya ini pada Lakhsmi. Dan dia langsung menurutinya bulat-bulat tanpa membangkang. Apakah itu berarti dia istri penurut? Bukankah akan jadi capek kalau punya pasangan yang kerjanya protes dan mengkritik segala keputusan kita hanya karena dia mau menjaga gengsinya agar tetap kelihatan sok tough dengan tidak langsung menurut?


@Alex, RahasiaBulan, 2009

9:25 PM

Sini Muntahin, Tante...

Posted by Anonymous |

I

Lama meninggalkan blog ini membuat saya sulit bangkit lagi untuk mulai menulis. Rasanya otot-otot ini kaku dan malas. Saya sedang melamunkan masa hibernasi saya di blog sambil memandang ke luar jendela di mobil sambil memangku si bungsu.

Mendadak si bungsu bergerak. “Tante, nggak enak.” Saya pikir posisi duduknya yang nggak enak, jadi saya berdirikan dia, kemudian tiba-tiba, “Hoeeek... Hoeeek...” Oh man! Saya tidak bisa melesat kabur karena ruangan di mobil yang ngepas gini dan si bungsu juga melakukan serangan mendadak, jadi Lakhsmi tidak sempat meminggirkan mobil dan muntah di pinggir jalan, misalnya. Jadilah saya kelabakan membersihkan muntahan si bungsu yang mengotori wajah dan pakaiannya... juga pakaian saya.

“Huaaaaah, Tante...!” Si bungsu mulai menangis.
“Ada apa sih, Say?” tanya Lakhsmi yang sedang menyetir. Haloooooo? Nggak liat apa nih anak muntahin aku? Tapi maklum deh dia lagi nyetir jadi nggak bisa melihat kejadian historis di jok belakang.

Dibantu dengan si sulung yang mengeluarkan baju ganti dari tas untuk si bungsu dan berbagai perangkat lainnya, dengan sigap saya membersihkan muntahan si bungsu, mengganti bajunya, dan memberinya minum. Semua dalam waktu kurang dari lima menit. Hahahaha....

Belum sempat bernapas lega, bau semerbak bekas muntahan mengingatkan saya pada celana jins saya yang setengah basah kena muntahan, yang digosok-gosok pakai tisu satu pak pun tidak bisa hilang baunya.

“Buka jendela, Say,” saya memberi perintah pada Lakhsmi, agar bau semerbak muntahan itu bisa segera pergi. Dan hari itu berakhir hingga kami sampai di rumah dengan parfum muntah dari si bungsu.

II

Mobil sudah divakum, bersih cling dari muntahan keesokan harinya. Harinya makan di restoran. Si bungsu dengan penuh nafsu nyaris menelan telur puyuh bulat-bulat. Gawat! STOP! Jangan makan telur itu! Berdua kami nyaris berteriak bersamaan. Tentu kita tidak mau si bungsu tersedak telur puyuh, kan?

“Potong-potong dulu ya, sayang.” Si bungsu dengan asyik mengunyah nasi, sop, dan telur puyuhnya. Dengan santai saya, Lakhsmi, dan si sulung makan dengan tenang. Yuk, suapin lagi. Suasana tenang selama sekitar dua menit sebelum... “Tante...,” kata si bungsu. Saya melihat gelagat tidak baik. Mulutnya yang penuh makanan membuka, buru-buru saya refleks menadahkan tangan ke depannya, dan...

Keluarlah makanan yang dikunyahnya ke... tangan saya.

Huahahaha, kena lagi deh... tapi saya sudah tidak sempat berpikir selain langsung melakukan gerak refleks membersihkan-anak-yang-muntah.

Saya lap mulutnya, sementara Lakhsmi hanya nyengir memandang saya dimuntahkan lagi selama dua hari berturut-turut.

“Sayang, kayaknya bakal dapat rezeki gede nih kalo dua hari dimuntahin gini. Hahaha... Untung kali ini muntahannya tidak sampai kena baju, cuma kena tangan." Hehehe, ginilah emak-emak, dimuntahin tetap masih bisa bilang "untung cuma..." :))

@Alex, RahasiaBulan, 2009

10:36 PM

Pasangan Yang Sempurna

Posted by Anonymous |

Kamu tahu seperti apa malam sempurna yang romantis yang selalu kubayangkan? Aku membayangkan kamu, pasanganku, perempuan, duduk bersamaku berpelukan bersama di sofa dengan latar belakang suara Norah Jones atau alunan Chris Botti. Ruangan remang-remang. Kita bicara banyak tentang hariku dan harimu. (Jadi kita nggak boleh kerja di perusahaan yang bersaing :p) Atau kita tidak perlu bicara, hanya pelukan saja sudah cukup kok.

Aku kepingin bisa nonton Bioskop TransTV atau Box Office Movies-nya RCTI sambil kita cela-cela seperti malam ini nonton D-Wars, parah banget deh... hehehe. Atau nonton film bagus banget sampai kita nggak bisa ngapa-ngapain kecuali memandang layar. Atau kita bisa ganti channel ke acara gosip yang nggak penting, sembari kita bisa nyela-nyela orang yang menyebalkan.

Aku kepingin punya pasangan yang suka makan, karena bagiku itulah orang yang tahu menikmati hidup. Aku paling ogah punya pasangan yang makan hanya terpaksa untuk memenuhi kebutuhan hidup agar dia tidak mati. Malasnyaaa... bayangkan kalau kita di Hanamasa, bisa rugi blasss punya pacar seperti itu....

Kamu tahu seperti apa perempuan yang membuatku kelepek-kelepek, kan? Itu lho yang punya bakat ituuu... (nggak mau disebut di sini, nanti pada antre melamar aku karena merasa punya bakat ituuu.) Kamu tahulahh, betapa aku menikmatinya, huehehe... Dan percayalah, Sayang, tidak ada orang lain yang bisa menikmati bakatmu seperti aku menikmatinya. :))

Aku ingin perempuanku bukan penggemar kopi, karena kita butuh satu orang yang bisa berpikiran jernih di saat hari buruk. Kamu tahu bagaimana aku kalau tidak minum kopi setengah hari? Aku bisa seperti zombie di film Dawn of the Dead.

Aku ingin perempuan yang bisa membaca peta, karena aku bisa membuatmu tersesat. Aku bisa menunjukkan jalan padamu, tapi kamu yang harus menyetiriku sepanjang jalan. Dan di saat-saat tegang, aku nggak mau perempuan femme kelemer-kelemer pemarah... aku mau kamu, "my butch", yg tegas dan berwibawa, hahaha. :))

@Alex,RahasiaBulan, 2009

9:23 AM

Milk - Biopic Menggugah dari Seorang Tokoh Inspiratif

Posted by Anonymous |

Oleh: Alex

My name is Harvey Milk, and I'm here to recuit you. Itu adalah sepotong kalimat yang biasa digunakan oleh Harvey Milk (Sean Penn) dalam mengawali pidatonya. Film peraih Oscar ini diangkat dari kisah nyata hidup Harvey Milk, seorang politisi dan aktivis gay. Harvey Milk merupakan tokoh yang mengakui dirinya gay secara terbuka dan terpilih menjadi pegawai negeri di California sebagai anggota San Francisco Board of Supervisors pada tahun 1977, setelah dua kali gagal dalam pencalonannya.

Harvey Milk lahir pada tahun 1930 dan tewas terbunuh pada tahun 1978, setahun setelah dia menduduki jabatannya di pemerintahan dengan gemilang. Dia tewas ditembak di kepala oleh Dan White (Josh Brolin) sesama anggota dewan yang merasa dikhianati Milk. Penembakan yang terjadi di balai kota itu juga menewaskan Wali Kota George Moscone, yang juga sahabat politik Harvey Milk.

Milk disutradari oleh sutradara gay, Gus Van Sant, yang sudah dikontrak sejak tahun 1992 namun setelah sejumlah konflik dan kekacauan selama 15 tahun akhirnya sukses melahirkan film yang memperoleh sejumlah penghargaan bergengsi ini. Terutama untuk Sean Penn yang dengan gemilang berperan sebagai Harvey Milk. Selain Sean Penn mendapat piala Oscar sebagai aktor terbaik, penulis skenario Dustin Lance Black memperoleh penghargaan sebagai penulis skenario terbaik dalam film yang penuh dengan kata-kata inspirasitif. Milk juga bergelimang penghargaan lain seperti dari BAFTA Awards, Screen Actors Guild, British Academy Film Awards, dll.

Film tentang perjuangan aktivis gay ini dibuka pada tahun 1970 ketika Milk bertemu dengan Scott Smith (James Franco) di tangga subway New York. Milk dan Smith kemudian menjadi sepasang kekasih setelah pertemuan singkat tersebut. Keinginan untuk mengubah hidup dan memperoleh penerimaan membuat dua lelaki ini melakukan perjalanan bermobil hingga sampai ke San Francisco, menuju daerah Castro. Pada masa itu Castro mulai dikenal sebagai wilayah gay.

Harvey Milk yang memiliki jiwa bisnis membuka toko kamera di Castro, namun ketertarikannya pada dunia politik dan keinginannya yang kuat agar kaum homoseksual tidak lagi dianggap kelas dua membuatnya memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai dewan supervisor San Fransisco. Milk percaya bahwa seorang homoseksual bisa menjalani hidup dengan jujur dan sukses, meskipun tahun 1970-an menjadi gay biasanya berarti hidup dalam ketakutan dan hinaan. Bahkan tidak jarang mereka menjadi korban kebencian dengan dipukuli atau bahkan dibunuh.

Milk secara terbuka mengakui dirinya gay, walaupun pada awal masa kampanyenya, isu gay ini membuatnya kalah dalam pemilihan. Dalam salah satu wawancara, Milk mengatakan. “If I do a good job, people won't care if I am green or have three heads." dan gay atau tidak bukanlah isu utama lagi. Walaupun tidak bisa dipungkiri kaum homoseksual membuatnya menang dalam pemilihan tahun 1977 dan juga menjadikan Harvey Milk memiliki bargaining power yang kuat dalam pemerintahan, karena dia tidak segan menggunakan komunitas gay sebagai massa penggeraknya.

Pawai Kemenangan Harvey Milk Saat Terpilih Jadi Anggota Dewan, 1977

Milk dan kebangkitan homoseksual ini tidak diterima begitu saja di Amerika Serika. Anita Bryant, penyanyi yang juga memimpin gerakan fundamentalis Kristen mengutuk keras kaum homoseksual. Hal ini menimbulkan perseteruan antara kaum homoseksual versus Kristen fundamentalis yang berujung pada pertikaian politik. Penyebaran kebencian terhadap kaum homoseksual dilawan dengan demonstrasi besar-besar yang diikuti oleh ribuan orang (gay/lesbian) secara spontan hingga mereka memenuhi jalanan sepanjang delapan kilometer. Di sana pula Harvey Milk menyampaikan salah satu pidatonya yang terkenal.

"Somewhere in Des Moines or San Antonio there is a young gay person who all the sudden realizes that he or she is gay; knows that if their parents find out they will be tossed out of the house, their classmates will taunt the child, and the Anita Bryant's and John Briggs' are doing their part on TV.

And that child has several options: staying in the closet, and suicide. And then one day that child might open the paper that says "Homosexual elected in San Francisco" and there are two new options: the option is to go to California, or stay in San Antonio and fight. Two days after I was elected I got a phone call and the voice was quite young. It was from Altoona, Pennsylvania. And the person said "Thanks".

And you've got to elect gay people, so that thousand upon thousands like that child know that there is hope for a better world; there is hope for a better tomorrow. Without hope, not only gays, but those who are blacks, the Asians, the disabled, the seniors, the us's: without hope the us's give up. I know that you can't live on hope alone, but without it, life is not worth living. And you, and you, and you, and you have got to give them hope." - Harvey Milk, 1978

Sebuah pidato yang menggugah tentang harapan, tentang masa depan yang lebih baik jika semakin banyak kaum homoseksual yang tampil ke muka publik. Visibilitas semacam ini penting untuk menunjukkan keberadaan gay/lesbian di muka bumi ini, sehingga entah di pelosok bumi belahan mana seseorang yang merasa hidupnya tidak berarti karena menyadari dirinya gay/lesbian akan memiliki pilihan hidup selain jalan yang tampak suram dan kesepian.

Harvey Milk mungkin sudah tiada, tapi warisan yang ditinggalkan olehnya tetap membara di hati jutaan masyakarat homoseksual di Amerika Serikat. Dan kini, jutaan mata dan hati berkesempatan untuk menyaksikan tokoh inspiratif ini melalui film yang menggugah dan (pasti) meninggalkan kesan di hati gay/lesbian yang menontonnya.

@Alex, RahasiaBulan, 2009

3:28 AM

When She's With Me

Posted by Anonymous |

Sayang, kamu tahu nggak sih seperti apa si bungsu saat berduaan bersamaku? Kalau saatnya menonton TV bersama, dia pasti akan menjerit-jerit memanggilku untuk duduk di sampingnya. Apalagi kalau dia sudah tahu bakal ada adegan seram seperti di Brother Bear atau Land Before Time. Yeah kalau sudah dekat di bagian yang ada mati-matinya itu, dia pasti akan menarikku lebih dekat dan menyelipkan kepalanya di lenganku, sambil sesekali mengintip ke layar televisi. Kadang-kadang kalau aku ketiduran saat menemaninya nonton, dia akan menepuk-nepuk pipiku (atau kadang sampai menampar) untuk membangunkanku. “Tante, tante, liat... liat Petrie!” Sambil tangannya mendorong-dorong wajahku supaya melihat TV.

Saat makan malam juga salah satu momen aku dan dia. Kamu tahu nggak dia nggak suka bagian tengah wortel, kecuali kita tipu dia dengan menghancurkannya? Hihihi. Lalu kalau makanannya sudah hampir habis, dia sering menipuku dengan bilang sudah kenyang lalu lari ke sofa. Kemudian aku harus menyuapinya di sana sambil dia lanjut nonton TV. Ah, anak ini maniak TV seperti tante maminya...

Hm, kamu tahu? Kalau di parkiran mobil, dia langsung memanjat ke tubuhku minta digendong. “The car's coming, Tante Mami.” Lalu sembari berjalan, biasanya aku dan dia akan ngobrol kecil, “Do you love, Tante?” Kadang kalau di hari baik jawabannya “Yes.” Lalu dia akan menciumku. Di hari nakal, dia akan bilang, “No.” Lalu dia akan geleng-geleng menggodaku. Tapi biasanya dia tidak pernah menolak kalau kubilang, “Kiss, Tante.” Dengan mulutnya yang basah dia akan mendaratkan ciuman di pipiku. Mwwuaaaahhh... Aku pernah bilang padamu, kan? Disayang oleh anak seperti ini rasanya seperti sungguh-sungguh disayang dengan tulus, dan membuat kita seperti habis menelan pil bahagia.

Sayang, kamu tahu nggak sih? Kalau di kantor tuh aku udah join “the mami-mami” club. Kami bicara soal preschool, makanan balita, di mana membeli goodie bag untuk ultah anak, susu anak, imunisasi, dan entah apa lagi. Oya, mendadak ingat, si bungsu pernah beberapa kali meneleponku saat kamu tidak di rumah? Cuma untuk bertanya, “Tante Mami kapan pulang? Aku mau nonton DVD Strawberry Shortcakes nanti sore... Cepetan pulang ya nanti. Nggak boleh lama-lama di kantor.” Begini mungkin rasanya punya dua mami. Ada satu mami lagi yang selalu siap diberi perintah oleh our little princess.

@Alex, RahasiaBulan, 2009

1:37 AM

The L Word

Posted by Anonymous |

Lesbian. Lips. Limoncello. Lewd. Lonely. Living. Lazy. Leap. Light. Life. Lean. Lame. Listen. Long. Liberty. Linger. Lie. Literary. Lakhsmi. Love.

12:03 AM

Apa Rasanya Tanpamu, Sayang?

Posted by Anonymous |

Awal tulisan ini bisa dibaca di blog kekasihku, www.treeofheart.blogspot.com

...

Si bungsu membuat timbangan ketenangan dalam hidup kami menjadi miring. Teriakan "Tanteeeeeeeeee...!" atau "Mamiiiiiiiii...!" di saat kedua maminya sedang ingin bermesraan di kamar menghilangkan rasa syahdu yang tercipta. Teriakan yang kalau didiamkan akan diulangnya terus-menerus sampai salah satu dari kami keluar dan menemaninya nonton TV atau bermain. Beda dengan si sulung yang bisa duduk tenang berjam-jam di depan TV atau membaca buku.

Bila pergi keluar berempat saya seakan harus punya empat pasang tangan tambahan dan delapan pasang mata lagi. Bisa jadi saat sedang asyik berjalan di mal tahu-tahu dia ingin merebut balon yang dipegang anak lain hanya karena warnanya pink, dan pink adalah warna favoritnya. Kegemarannya untuk cuci tangan SENDIRI juga sering membuatnya memanjat wastafel restoran, oya plus mengeringkan tangan dengan dryer yang membuat dryer itu meniupkan angin hingga ke rambutnya yang berkibar-kibar seperti model iklan sampo. Memiliki dua mami ketika dia kepingin pup di tempat umum membuatnya bisa memilih mami mana yang mau dikerjainya, "I want to pup with mommy!" Fiuh, lega... Besoknya, "Pokoknya aku mau pup hanya dengan Tante!" Hhh, tolong...

Seandainya tidak ada si bungsu, pasti saya dan maminya akan bisa punya lebih banyak waktu berduaan, bermesraan, bersayang-sayangan. Dua anak berarti double trouble, otak selalu siaga untuk melerai pertengkaran dua anak manis ini yang seringnya diiringi derai air mata dan bujukan-bujukan buat dua anak itu. Saya harus bersikap menjadi wasit, plus pelatih, plus cheerleader pada saat bersamaan.

Bersama bungsu, hidup memang menjadi berbeda. Tidak ada lagi ketenangan yang diimpi-impikan. Namun, sumpah mati, merenungkan kembali apa yang terjadi setiap kali malam telah tiba, kenakalan-kenakalannya itu menjadi buah kebahagiaan tersendiri. Segala hal kecil dari dirinya, kekeraskepalaannya, kelucuannya, keisengannya jelas tidak menjadikan kami manusia sempurna, tapi menjadikan kami manusia yang lebih baik untuk dirinya.

Mamimu yang satu lagi pernah bertanya, "Menyesal nggak punya hidup seperti ini?" Huh, mamimu itu pasti lagi ngaco kalau nanya seperti itu, karena setiap kali membayangkan seperti apa rasanya tanpamu, Sayang? Dunia pasti kering, hampa, sepi, nggak lucu, dan kami akan tuli oleh keheningan yang memekakkan telinga.

@Alex, RahasiaBulan, 2009

11:38 PM

Bagaimana Kalau Keponakanmu Ternyata Gay?

Posted by Anonymous |

Saya baru saja menerima informasi mengejutkan. Keponakan saya yang masih remaja ternyata gay. Saya terbengong-bengong selama beberapa saat ketika mendapat informasi tersebut. Saya bengong. Garuk-garuk kepala. Mulut ternganga. Now what?

Tidak, tidak, dia tidak coming out langsung pada saya. Ribet memang urusannya. Sedetik saya panik, deg-degan setengah mati. Apakah Mami Papinya tahu dia gay? Apakah dia baik-baik saja?

Oke, ini mungkin cuma kepanikan seorang tante pada keponakannya. Umur saya memang dua kali lipat persis umurnya tapi tidak berarti kedewasaan saya dua kali lipat umurnya juga. Bisa jadi dia malah lebih dewasa dan tenang daripada saya ketika saya seusianya dan menyadari bahwa saya juga gay.

Saya memang tidak akrab dengan keponakan saya ini. Tapi sejak dia berumur sepuluh tahun, saya punya firasat bahwa dia gay. Tapi ketika kenyataan menghantam, saya tak kurang terkejutnya.

Untuk pertama kalinya saya kebingungan. Masalahnya juga dia tidak coming out pada saya. Saya bingung antara harus bereaksi “tidak tahu”, “tahu” atau “tidak peduli”. Sungguh saya bingung. Hhh... Kalau tiba waktunya dia akan bicara pada saya, dengan senang hati saya akan mendengarkannya.

Tapi untuk sementara ini, saya hanya bisa berharap dia baik-baik saja. Tidak ada orang yang menyakitinya. Tidak ada orang yang mengatai-ngatainya. Tidak ada orang yang memukulinya. Hanya karena dia gay.

Jika sekarang dia sedang jatuh cinta, saya harap cinta pertamanya tidak membuat dia hancur sampai remuk saat patah hati pertama bakal dirasakannya. Saya berharap dia bisa menemukan teman bicara jika dia membutuhkannya. Saya berharap orang-orang yang menyayanginya tetap menyayangi dia apa adanya. Saya berharap bila saatnya tiba dia bisa menemukan pasangan yang baik dan mencintainya sepenuh hati.

Dan terutama, saya berharap dia bisa punya hidup yang indah dan bahagia.

@Alex, RahasiaBulan, 2009

9:11 PM

The Magic of Living Together

Posted by Anonymous |

Saya lagi membayangkan bagaimana kiranya kalau saya tidak hidup bersama dengan Lakhsmi. Maksudnya kalau saya pacaran nggak "living together" seperti ini. Saya berusaha membayangkan waktu-waktu ketika kami harus terpisah lama beberapa waktu lalu. Saya memikirkan apa saja sih (selain bobo bareng, tentunya) yang membuat saya menderita setengah mati kalau saya tidak “living together” bersama Lakhsmi.

1. Makan
Hal pertama yang paling saya benci adalah tidak adanya teman makan. Walaupun saya doyan makan, tapi saya paling malas makan sendirian, apalagi makan malam. Dan tanpa ada pasangan, saya akan malas masak. Selain itu saya bisa tahan sendirian di kamar tanpa keluar selama berjam-jam selama ada roti dan susu. Bisa-bisa saya jadi zombie membusuk di rumah karena malas nyari makan.

2.Bertengkar
Ya, ya, kami kadang-kadang bertengkar kok. Kadang-kadang kami belum sampai di rumah saat kami sudah ribut. Bertengkar lewat telepon atau SMS, grrhhh banget rasanya, dan konyol. Nah, yang bikin bete adalah kalau saya nggak bisa pulang dan berhadapan langsung dengannya lalu berbaikan. Arrrrrrghhhhhhhhhh... rasanya ada rasa nggak enak yang nyangkut di lidah sebelum kami ketemuan lalu membereskan segalanya face to face. Tidak perlu permintaan maaf berlebih, saya tahu kapan kami sudah baikan hanya dengan melihat wajahnya dan saat kami sudah saling menyentuh lagi.

3. Sakit
Saya tuh termasuk yang sering masuk angin. Kerokan menjadi acara wajib beberapa bulan sekali. Apalagi saat cuaca berubah-ubah nggak jelas seperti belakangan ini, sakit pun menjadi acara wajib. Kalau bukan saya, Lakhsmi yang sakit, atau anak-anak. Nah, di saat Lakhsmi sakit atau anak-anak sakit, saya bisa ada untuknya, bukan cuma mengiriminya SMS, “Bayangkan aku ada di sana bersamamu.” Yeah, yeah, kalau baru sebulan pacaran sih, SMS seperti itu romantis, tapi kalau udah lewat setahun, plis deh basinya. Di saat saya sakit pun begitu. Lakhsmi dengan sigap mengurusi saya sampai sembuh. Walaupun biasanya dia sering ngomel-ngomel kalau mengeroki saya yang menggeliat terus seperti belut, tapi sentuhannya tokcer lebih manjur daripada obat dokter.

4. Teman Ngobrol
Dulu, sebelum barengan, saya menghabiskan berjam-jam teleponan dengan Lakhsmi. Kuping panas, waktu habis hanya untuk teleponan. Lama-lama saya bosan, sumpe deh... saya udah nggak tau lagi mau ngobrol apa. Kadang-kadang kami kehabisan topik obrolan, kadang-kadang kami udah nggak tau lagi mau cerita apa. Keheningan terlalu lama di telepon juga mengerikan karena membuat kami tersadar bahwa kami mulai nggak konek. Kebanyakan ngobrol ternyata hanya mengulang-ulang cerita yang sama dan saya bisa mendengar dia mulau bosan, sementara saya juga udah mulai kehabisan cerita menarik. Tapi living together ini ajaib, kami nggak pernah kehabisan resources, seakan ada aja topik menarik yang muncul hanya dengan melihat isi kulkas, atau tukang listrik yang belum datang memperbaiki bohlam putus. That's the magic of living together.


5. Anak-Anak
Last but not least. Tiap hari saya selalu kepingin pulang cepat dan bertemu dengan anak-anak, menyiapkan makan malam atau kalau mereka mau, saya dengan senang hati menyiapkan camilan. Selain ketemu maminya, tentu saja. Tapi melihat anak-anak berlarian di pagar menyambut saya datang dengan pelukan dan ciumannya... seringnya sambil menenteng keping DVD, minta izin saya untuk menyetelnya, wah rasanya saya melayang bahagia. Seperti kata my precious, I love you so big and more, not because you let me to watch DVD, but because I love you only.

@Alex, RahasiaBulan, 2009

10:30 PM

Rhona Mitra: Cool and Sexy Female Action Hero

Posted by Anonymous |

Saya lagi naksir berat sama Rhona Mitra. Sebenarnya dia bukan bintang baru dalam kancah Hollywood, tapi melihat tiga film terakhirnya, saya langsung kelepek-kelepek naksir. Akhir bulan lalu saya nonton Doomsday, saking sukanya sama Rhona Mitra yang main sebagai Eden Sinclair dalam film ini, saya ngubek-ngubek film dia sebelumnya, nyari DVD Skinwalkers, dan terakhir saya nonton Underworld: The Rise of the Lycans. Yeah, semuanya film nggak penting dan nggak akan jadi nominasi Oscar atau award apa gitu. Tapi yang penting dari semua film itu adalah cewek yang jadi jagoannya.


Di antara tiga film ini, menurut saya dia paling keren di Doomsday. Di film ini Rhona jadi Mayor Kathleen “Eden” Sinclair yang mengingatkan saya sama Snake Pliskin tokoh yang diperankan Kurt Russel dalam Escape From New York dengan sebelah mata ditutup ala bajak laut. Doomsday bercerita tentang bumi yang kena virus apa gitu dan mengingatkan saya juga sama film Resident Evil. Hm, jadi inget sama Mbak Alice alias Mila Jovovitch. Eniwei, film ini penuh aksi dan tembak-tembakan seru yang cucok ditonton sama mereka yang suka Resident Evil, 28 Days Later, Escape from New York, dan Mad Max. (Film gue banget deh pokoknya...)

Di sini Eden Sinclair, sang jagoan, yang harus menemukan antivirus yang konon bisa menyembuhkan virus pemusnah manusia itu. Dia cuma punya waktu 36 jam untuk melakukannya... Tapi secara dia jadi jagoan, tenang aja deh tentu saja dia berhasil. Pake acara berantem, tembak-tembakan, kebut-kebutan yang keren abis.

Film kedua yang saya tonton adalah Skinwalkers, sumpe deh nih film katro banget, hehehe, untung cuma nonton di DVD pinjaman jadi nggak berasa dirampok. Ceritanya tentang werewolf nggak jelas gitu. Dalam film ini anak lelaki “tertentu” pada usia 13 tahun bisa berubah jadi werewolf, kalo nggak salah sih karena anak itu “half blood”. Nah, sang ibu anak itu diperankan oleh Rhona Mitra. Di Skinwalkers, Rhona berhadapan dengan geng werewolf jahat yang ingin menghabisi putranya. Walaupun rada katro, film ini punya special effect yang lumayan, dan untungnya masih ada pemandangan indah mbak Rhona yang sering banget pake kaus ketat, hehehe. Layak tonton kok buat mereka yang menyukai film-film horor kelas B yang penuh darah, makhluk jejadian, dan jeritan-jeritan.


Dalam Underworld: The Rise of The Lycans, Rhona Mitra yang memang mirip Kate Beckinsale jelas masih kalah pamor dan berada di bawah bayang-bayang Kate, tapi penampilan Rhona juga menciptakan penggemarnya sendiri. Di film ini Rhona yang berperan sebagai vampir Sonja berhubungan cinta terlarang dengan lycan. Dan sekali lagi Rhona membuktikan diri sebagai ikon baru jagoan aksi. Adegan tarung pedang di bawah hujan, plus baju kulit hitam ketat membuatnya jadi makin sexy. Layak tonton juga buat penggemar vampir, makhluk jejadian, dan penggemar seri Underworld.

Sebenarnya pertama kali saya melihat Rhona Mitra ini adalah dalam mini seri TV Spartacus (yang pernah diputar di stasiun TV Indosiar, kalau nggak salah), jadi istrinya Spartacus. Mungkin lebih tepatnya saat itu saya berpikir, “Eh, nih cewek cakep juga ya.” Baru kemudian saya ingat lagi awal tahun ini. Aduh, mbak Rhona ini nggak cocok deh main film drama jadi cewek lembek, hayo, sana, main film action lagi, dengan kaus ketat dan senjata di tangan. Dijamin saya jadi penonton pertama yang antre di bioskop. :) Hayooo, buat yang belum nonton film-film yang saya sebut di atas, sana cari DVD-nya atau nunggu aja diputar di bioskop TransTV tahun depan :)

Rhona Mitra jadi terdengar makin seksi apalagi dengan aksen British-nya. Dia memang kelahiran London 32 tahun lalu, yang awalnya dikenal sebagai model. Beberapa serial TV juga dilakoninya, antara lain Party of Five, Boston Legal, The Practice, dan Nip/Tuck. Rumor yang beredar belakangan adalah dia dicalonkan sebagai pemeran Catwoman atau Wonder Woman. Uh, udah ngebayangin dia pakai baju ketat lagi, sluruf, semoga rumor ini tidak jadi sekadar rumor. Kini nama Rhona Mitra makin berkibar, dan dia menjadi idaman lesbian geek serta cowok-cowok penggemar film sci-fi. Termasuk saya.

@Alex, RahasiaBulan, 2009

10:41 PM

Puisi Untuk Perempuan Yang Mencintai Payungnya

Posted by Anonymous |

Ingin kukecup bibirmu di bawah hujan,
tapi rasanya tak mungkin
karena kau begitu mencintai payungmu.
Jadi kunikmati saja setiap kecupan yang bisa kuperoleh.
Di balik pintu, di dapur, di kursi makan, di sofa, di ranjang, di mobil, di kamar mandi,
di mana pun selain di bawah hujan.

@Alex, RahasiaBulan, 2009

1:07 AM

Happy Valentine, Darlin'!

Posted by Anonymous |

Kalau Kaulupakan Aku
(Pablo Neruda)

Aku mau kau tahu
satu hal.

Kau tahu bagaimana rasanya:
kalau aku memandang
bulan kristal, di ranting merah
musim gugur yang bergerak lambat di jendelaku,
kalau aku sentuh
di dekat perapian
abu lembut
atau tubuh keriput kayu,
semuanya membawaku padamu,
seolah semua yang ada,
aroma, cahaya, logam,
adalah kapal kapal kecil
yang berlayar
menuju pulau-pulaumu yang menungguku itu.

Jadi, sekarang,
kalau sedikit demi sedikit kau berhenti mencintaiku
aku akan berhenti mencintaimu sedikit demi sedikit.

Kalau tiba-tiba
kau melupakanku
jangan cari aku,
karena aku pasti sudah akan melupakanmu.

Kalau kau pikir panjang dan gila
angin panji panji
yang berlalu dalam hidupku,
dan kauputuskan
untuk meninggalkanku di pantai
hati di mana akarku berada,
ingatlah
hari itu juga,
jam itu juga,
aku akan melepaskan tanganku
dan akarku akan berlayar
mencari negeri baru.

Tapi
kalau setiap hari,
setiap jam,
kau rasa kau memang ditakdirkan untukku
dengan kelembutan yang tak terkira,
kalau setiap hari sebuah bunga
naik ke bibirmu mencariku,
ah sayangku, kekasihku,
dalam diriku semua api itu akan terbalas,
dalam diriku tak ada yang akan padam atau terlupakan,
cintaku hidup dari cintamu, kekasihku,
dan selama kau hidup cintaku akan terus dalam
rangkulanmu
tanpa meninggalkanku.

-terjemahan Saut Situmorang

Beberapa minggu sebelum Valentine, saya mencari-cari puisi yang saya rasa pas untuk kesempatan ini. Tadinya saya tidak melirik puisi Pablo Neruda, karena saya pernah mengirimi Lakhsmi puisi Pablo Neruda yang diterjemahkan dengan istimewa oleh sahabat saya. Saya juga tidak berniat mengiriminya puisi Sapardi karena alasan personal yang tidak bisa saya sebutkan di sini, hehehe.

Saya beralih ke Rilke atas rekomendasi sahabat, tapi saya pernah memberinya Rainier Marie Rilke untuk ulang tahun. Ah, masa Rilke lagi? Nggak pernah saya bayangkan bahwa urusan mencari puisi untuk partner bisa jadi ribet dan rumit. Nyaris saya menulis puisi sendiri, yang sudah saya coret-coret sampe nggak keruan. Biarlah puisi itu disimpan dulu untuk nanti di acara khusus lain.

Beberapa nama penulis saya cari-cari puisinya. Jokpin, Lan Fang, Andrei Aksana. Ah, nggak ada yang cocok. Hampir juga saya memilih salah satu puisi Federico Garcia Lorca dan Walt Whitman, hingga akhirnya saya berpulang ke favorit saya, Pablo Neruda. Saya pernah membaca versi bahasa Inggris puisi di atas, tapi terjemahan Saut Situmorang "mengganggu" saya terus-terusan. Saya nggak mau puisi yang terlalu mendayu-dayu atau terlalu manis sampai bikin muntah. Puisi Neruda ini saya anggap puisinya yang paling realistis dan cocok untuk kami.

Eniwei, aku cuma mau bilang Happy Valentine, Darlin'. Sori aku harus kerja pas Valentine... :D

@Alex, RahasiaBulan, 2009

11:25 PM

Puisi Untuk Kekasihku [1]

Posted by Anonymous |

Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekkah
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza
Tapi, aku ingin habiskan waktuku di sisimu, sayangku
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
Atau tentang bunga-bunga yang
manis di lembah Mendalawangi

Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
Tapi aku ingin mati di sisimu, manisku
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu

Mari sini, sayangku
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung
Kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa


*Soe Hok Gie*
[Selasa, 11 November 1969]

10:49 PM

Cinta dalam Dunia Facebook

Posted by Anonymous |

Belakangan ini saya sedang keranjingan Facebook. Selain saya senang jadi pusat perhatian, saya senang memerhatikan orang-orang di sana saling berjejaring. Di antara ratusan sahabat saya, ada beberapa yang merupakan pasangan suami istri di sana. Semua pasangan ini sudah saya kenal melalui dunia real.

Ada beberapa pasangan suami-istri yang menjadi pasangan favorit saya. Ada pasangan yang melamar pasangannya lewat milis. Ada pasangan yang memiliki profesi sama. Ada pasangan yang memiliki profesi yang nggak nyambung. Ada pasangan yang istrinya jadi ibu rumah tangga. Saya menikmati interaksi mereka. Beberapa di antaranya ada yang memiliki blog/website sendiri-sendiri di luar Facebook.

Setiap kali melihat pasangan-pasangan suami-istri itu, saya sering kali tersenyum. Dua-tiga pasangan itu menjadi panutan saya. Mereka itu memiliki “it” factor. Gimana ya menerangkannya? Ada sesuatu dalam diri mereka berdua yang saling melengkapi, tidak perlu menyatakan cinta terus-menerus, tapi kita tahu ada cinta dalam hubungan mereka. Tidak perlu saling menanggapi komen secara berlebihan tapi kita tahu pasangannya selalu ada untuknya.

Bukan, bukan karena mereka pasangan heteroseksual lalu karena kita anggap mereka sudah mendapat pengakuan jadi mereka tidak perlu lagi bersusah payah menunjukkan cinta mereka. Tidak, bahkan mereka tidak saling lebay menunjukkan cinta secara berlebih. Bahkan di Facebook mereka punya kehidupan masing-masing, tidak saling bersusah payah menunjukkan diri jadi pasangan yang sakinah.

Gini deh, saya kasih contoh. Ada pasangan A dan B. Si A ini, sang suami, memiliki pandangan-pandangan gila dan nyeleneh dalam banyak hal. Musuhnya banyak, pemujanya juga. Si B, sang istri, lebih tenang, tapi dalam beberapa hal dia punya gigitan lebih tajam dibanding sang suami. Pemikiran-pemikirannya bervisi, mantap, walau tidak segila suaminya. Terkadang mereka berbeda pendapat. Setiap kali kami melihat pasangan A dan B ini, saya selalu mengerti kenapa mereka bisa sehidup-semati bersama walaupun tinggal di rumah sederhana dalam gang gelap. Kalau bicara soal cinta yang bisa saling menghidupi, saya selalu menganggap mereka berdua sebagai panutan.

Ada pula pasangan C dan D. Keduanya memiliki profesi yang serupa tapi tidak sama persis. Saya pernah bertanya pada sang istri, apakah karena mereka berprofesi sama maka mereka bisa tampak serasi. Si istri tertawa, dan bilang justru mereka sering berbeda pendapat bila berdiskusi soal profesi mereka. Dan lebih baik tidak berdiskusi tentang pekerjaan mereka jika tidak mau ngambekan sebelum tidur. Tapi di luar itu, mereka saling mengisi sedemikian rupa. Tapi pasangan ini memiliki “it”. Setiap kali mereka tampil berdua, hati saya selalu menghangat.

Pasangan E dan F memiliki profesi yang bisa dibilang tidak nyambung. Saya bahkan tidak tahu itu istrinya ketika saya melihat Facebooknya, tapi cara mereka berinteraksi, cara mereka menunjukkan perhatian sekali lagi memberi saya kehangatan yang membuat saya percaya masih ada cinta sejati di dunia ini.

Melalu Facebook, masing-masing individu dari pasangan suami-istri ini memiliki ruang ekspresi sendiri, menjadi diri mereka sendiri, dan entah bagaimana terkoneksi dengan pasangannya melalui ruang maya yang memberikan mereka jarak tapi juga kedekatan.

Kadang-kadang saya merasa pasangan lesbian sering kali mencoba terlalu keras dalam mengusahakan hubungan. Mengapa? Apakah karena tidak ada tali ikatan pernikahan, sebab itu usaha yang harus sekuat tenaga dapat menjadi pengganti tali ikatan itu? Sebab, tanpa lembaga pernikahan, apa lagi yang pasangan lesbian miliki untuk mengikrarkan cintanya? Ribuan kata-kata semanis madu dan sumpah untuk saling mencintai dapat dipamerkan, tapi kualitasnya tetap tidak dapat menggantikan ikatan pernikahan. Pernikahan menyatukan dua keluarga; pernikahan menjadi bukti komitmen cinta sepasang manusia; pernikahan menunjukkan kepemilikan.

Di dunia iPod dan Facebook ini, pasangan suami istri tidak perlu berusaha sekuat tenaga menunjukkan kepada dunia bahwa mereka memiki sekeranjang cinta yang perlu dipamerkan. Kalau sang suami hanya perlu menulis tentang statusnya menikah, demikian juga dengan istrinya, menunjukkan bahwa mereka manusia yang sudah tidak available; menunjukkan bahwa mereka manusia yang mempunyai komitmen. Sementara, bagaimana dengan pasangan lesbian? Ketiadaan pernikahan membuat mereka harus berusaha menciptakan "ilusi" status pernikahan. Ilusi sebagai deklarasi yang jelas bahwa mereka adalah pasangan yang beware-don't-try-to-woo-us-because-we-are-so-much-in-love. Ilusi sebagai deklarasi yang jelas bahwa mereka adalah pasangan yang serasi dan pantas sepantas-pantasnya.

Pasangan sesama jenis, terutama lesbian, terkadang berlebihan mengagungkan cinta. Kalau cinta sudah bicara, yang salah pun jadi benar. Demi cinta, kupersembahkan segalanya. Apa pun yang kau mau kuberikan untukmu, Sayang, selama kau mendampingku. Ah, bullshit banget itu.

Saya berusaha melihat pasangan-pasangan hetero ini di luar konteks pernikahan mereka. Dalam pasangan-pasangan favorit saya itu, saya menemukan persahabatan yang erat dan komitmen tak tertulis antara mereka. Kesakralan dan kesucian hubungan mereka bukan lagi diikat oleh selembar kertas tapi lebih pada companionship. Berbeda pendapat pun oke dan sah-sah saja.Tapi satu hal yang sering saya temukan dari pasangan-pasangan ini adalah bagaimana kebersamaan mereka menimbulkan positive output. Tidak melulu soal cinta dan ke"kita"an tapi kebersamaan itu juga menghasilkan keluaran positif bagi masing-masing individu.

@Alex, RahasiaBulan, 2009

10:56 PM

Faraway, So Close

Posted by Anonymous |

Selama seminggu saya ditinggal Lakhsmi yang harus pergi ke luar negeri. Selama seminggu tanpa keberadaannya, saya berusaha menikmati diri saya sendiri. Dengan cara saya sendiri. Ya, saya berhasil kok. Saya tidak meratap kangen tiap hari padanya. Saya menjalani hidup saya dengan baik. Apalagi Lakhsmi yang memang sibuk berat membuat saya tidak bisa terus-terusan berhubungan dengannya sepanjang waktu semau kami seperti jika kami tinggal berdekatan. Belum lagi mahalnya, duh, siap-siap tagihan sejuta lagi deh, beib.

Kami tidak kehilangan kontak, setiap hari selalu diisi dengan SMS, telepon, chatting, atau e-mail. Tapi entah bagaimana saya merasa bumi tidak berputar pada porosnya. Saya merasa menggapai-gapai Lakhsmi dari jauh. Faraway, so close, itu yang saya rasakan. Jauh, tapi dekat, namun tak tersentuh. Selama seminggu kami punya hidup kami sendiri. Hidup kami berjalan secara pararel, lurus tapi tak bersinggungan. Kami memang bisa bercerita satu sama lain, tapi tetap saja cerita hanyalah sebatas cerita. Kami tidak saling berbagi hidup bersama, kami hanya sebatas berbagi cerita. Titik. Kami seperti orang yang berdiri di luar jendela dan berusaha masuk rumah.

Rasa rindu saya terdiri atas banyak hal. Saya merindukan keberadaan dirinya. Merindukan rutinitas kami. Merindukan obrolan kami. Merindukan kegiatan meja makan dan sentuhan-sentuhan kecil yang membuat keberadaan kami nyata. Bahkan saya merindukan kemarahannya, ledakan emosinya yang menggairahkan, segala hal yang membuatnya tampak hidup. Semangatnya ketika menceritakan topik-topik yang dia gemari. Kesetiaannya mendengarkan saya bicara tanpa henti nggak jelas arahnya ke mana, dan (kadang) saya tahu kapan saya harus berhenti kalau melihat reaksinya sudah "cape deh, Say."

Saya tidak bisa melihat kedip di matanya ketika dia menyembunyikan sesuatu atau binar matanya ketika dia bersemangat. Sama seperti dia tidak bisa melihat saya bersikap aneh atau gelisah atau berapi-api. Kami tidak bisa saling menegur kalau kami melakukan sesuatu yang tidak pada tempatnya. "Say, jangan gitu dong." atau "Say. plis deh, kamu geblek banget." dengan cara kami yang sangat cute. Itulah yang menjadikan hubungan jadi terasa nyata dan hidup. Atau yang lebih sering, saya tidak bisa melihat kerling nakalnya ketika dia keluar dari kamar dan tersenyum begitu manisnya ketika saya bermain bersama anak-anak di rumah.

Lewat alat komunikasi berjarak, kami bisa saling mengiyakan, saling menuruti mau satu sama lain, berusaha keras untuk menjaga hubungan tetap baik karena kami berjauhan. Karena selain cinta, tidak ada yang kami miliki selain “menjaga hubungan”. Rasanya melelahkan sekali. Saya tidak pernah tahan dengan apa yang namanya long distance relationship. Jarak dan waktu membunuh saya dan perasaan saya pelan-pelan.

Begitu banyak cerita yang tak terceritakan. Begitu banyak kisah yang tak bisa kami bagi bersama. Begitu banyak hidup yang tak kami jalani berdua. Saya gelisah setengah mati memendam cinta yang tidak bisa saya bagi bersamanya. Buat Lakhsmi, yang baginya jarak Cibubur- Kelapa Gading saja sudah masuk kategori LDR, gimana jarak Jakarta – Hong Kong? Untungnya kami terpisah cuma seminggu, dan saya terhibur dengan SMS-SMS dari orang iseng yang tidak saya jawab, tapi lucu juga buat hiburan. Itu jenis hal kecil yang tidak bisa saya ceritakan pada Lakhsmi lewat SMS atau telepon karena urusan itu nggak penting dan sepele deh untuk komunikasi jarak jauh.

Rasanya ada rongga besar berisi ruang hampa yang tak bisa diisi jutaan SMS, e-mail, telepon, tulisan di blog, atau bahkan muah-muah setiap hari. Saya bisa mengucapkan ratusan kata cinta dan ribuan kata kangen dalam satu hari, tapi itu tak bisa memuaskan dahaga saya padanya. Ada jarak yang tak mengenakkan. Jarak yang membuat haus dan tak terpuaskan oleh apa pun kecuali merasakan kehadiran Lakhsmi dalam bentuk tiga dimensi, nyata dan tersentuh.

Jarak dan waktu adalah pencuri. Pencuri yang diam-diam masuk ke ruang hati kita dan perlahan-lahan dia mencuri bayangan kita terhadap orang yang kita cintai. Mencuri sosok wajahnya hingga kita berusaha mengingatnya dengan melihat foto atau jejak yang ditinggalkannya di ruang maya karena kita perlahan-lahan lupa pada wajahnya. Dan pada akhirnya dia mencuri perasaan kita hingga kita suatu hari terbangun dan menyadari bahwa perasaan itu sudah hilang. Yang tersisa hanyalah sisa.

@Alex, RahasiaBulan, 2009

9:51 PM

Love Song

Posted by Anonymous |

by Ranier Marie Rilke

How can I keep my soul in me, so that it doesn't touch your soul?
How can I raise it high enough, past you, to other things?
I would like to shelter it, among remote lost objects,
in some dark and silent place that doesn't resonate
when your depths resound.

Yet everything that touches us, me and you,
takes us together like a violin's bow,
which draws one voice out of two separate strings.
Upon what instrument are we two spanned?
And what musician holds us in his hand?
Oh sweetest song.


@Alex, RahasiaBulan, 2009

9:55 PM

Menonton Film Dewasa

Posted by Anonymous |

Di antara waktu senggang, saya punya hobi menonton film porno. Hobi ini dimulai sejak zaman video betamax duluuuu. Waktu itu saya mencuri pinjam video-video milik kakak saya, tapi sekarang saya punya koleksi sendiri. Bagi saya film porno alias film adult adalah art tersendiri, bukan sekadar ah-uh-ah-uh terus selesai. Atau yang paling menyebalkan adalah menonton film adult yang dibuat “gampang” dan “asal-asalan” ala home video. Malas deh nonton yang seperti itu. Sejatinya film semacam ini harus diperlakukan sama seperti jenis hiburan lain yang nggak boleh dibuat asal-asalan dan harus digarap dengan serius.

Pernah gara-gara berusaha “insaf” akibat memandang film porno secara salah, saya membagi-bagikan koleksi film adult saya sampai habis. Wah menyesal juga sih sekarang karena saya kehilangan banyak koleksi bagus. Kini saya memulai koleksi baru lagi dan memandang film porno sebagai satu bentuk hiburan digital yang menyenangkan dan harus disikapi secara dewasa.

Awalnya saya memulai koleksi saya dari film erotika klasik seperti Emmanuelle, lalu berlanjut ke film-film Eropa-nya Rocco Sifredi. He's the best, sayangnya dia sering rada rough gitu. Keseriusannya berkarya dalam film adult belum ada tandingannya sampai sekarang, walaupun belakangan ini Rocco lebih banyak bertindak sebagai sutradara. Kemudian saya juga mulai mengumpulkan film-film Asia, tentunya saya juga memiliki koleksi film adult-nya Miyabi alias Maria Ozawa, atau film-film kartun porno Jepang yang some what artistik tapi bukan buat saya.

Berdasarkan kegemaran, saya lebih menyukai film adult buatan Eropa atau Amerika dibanding Asia. Lucunya, saya pernah dikasih beberapa film porno lesbian oleh beberapa teman, tapi saya nggak suka tuh, rasanya nggak wajar aja melihatnya. Hahaha... Beri saya adegan seks yang antara lelaki dan perempuan yang wajar, jangan gory, S/M atau bestiality atau yang aneh-aneh entah apa gitu. Maaf deh nggak selera nontonnya.

Minggu lalu saya baru menambah koleksi adult movie ini dengan Pirates 2 Stagnetti's Revenge yang baru dirilis akhir tahun 2008 lalu. Saya beri film ini nilai 9 untuk keseriusan penggarapannya. Tidak heran karena film ini merupakan film adult yang dibuat dengan budget terbesar sepanjang sejarah film porno. Pirates, yang merupakan pendahulunya juga merupakan film adult dengan budget terbesar pada tahun 2005, yang dibuat dengan biaya satu juta dolar. Film ini lengkap dengan digital special effect yang wow deh! Kalau kamu penyuka Pirates of Carribean dan menyukai film porno, bolehlah mencari film ini. Highly recommended! Dua seri Pirates ini memenangkan banyak AVN Award, penghargaan untuk film-film adult terbaik di Amerika Serikat, yah, semacam Oscar-nya film porno gitu.

Menurut hemat saya, Pirates ini tidak bisa ditonton dalam sekali duduk, karena durasi filmnya yang lebih dari dua jam. Dan tidak seperti kebanyakan film adult yang menampilkan potongan-potongan cerita lepas, Pirates merupakan satu film panjang dengan skenario dan dialog yang penting dalam jalan cerita. Saya jadi ingat film adult buatan Jerman kalau nggak salah tentang Snow White yang juga berdurasi panjang dan lumayan oke juga. Tapi sayangnya ini termasuk salah satu film yang dulu saya bagikan entah ke siapa, jadi tidak bisa saya tonton ulang lagi.

Film adult sesuai namanya adalah tontonan dewasa, yang harus disikapi dengan pikiran dewasa. Nggak cocok ditonton oleh mereka yang kekanak-kanakan atau sok dewasa. Jelas bukan tontonan anak-anak di bawah umur. Dan jangan pula berpikir untuk belajar cara melakukan hubungan seks yang baik dan benar dari film-film ini, mendingan baca majalah Cosmopolitan sana kalau mau belajar trik dan tips seks.

Membeli film semacam ini pun harus punya trik khusus. Harus pede kalau beli ke mas penjual di lapak. Jangan kelihatan bingung atau bertanya, apalagi nanya dengan gugup. Kalau perlu lakukan kontak mata dengan si mas penjual saat membayar. Lihat, pilih, ambil! Buka mata di lapak, kamu pasti tahu mana film adult. Halah lagian harganya murah nggak sampai sepuluh ribu, kalau salah beli, ya sutralah. Belakangan ini juga banyak beredar film-film adult yang dipampatkan dalam satu keping DVD 8in1 atau 7 in1. Saya tidak menyarankan film-film seperti ini, karena kualitasnya biasanya di bawah rata-rata dan juga bukan kumpulan film “the best”, kualitas 3gp gitu deh, hehehe. Tapi bolehlah untuk menambah koleksi.

Jadi kalau ada yang pernah nanya lagi ngapain ke saya, dan saya jawab lagi nonton film adult, bokep atau apalah namanya, saya tidak bercanda. Karena bagi saya menonton film porno adalah hobi serius. Oya, saya tidak meminjamkan koleksi saya, kecuali membaginya dengan pacar :p. Jadi silakan cari sendiri koleksimu....

@Alex, RahasiaBulan, 2009

12:22 AM

Honeymoon, Fifth Anniversary

Posted by Anonymous |

Belanja, cuci mata, jalan-jalan di sepanjang Orchard sehabis berleha-leha di Bali merupakan tujuan kami ke Singapore. Iseng banget gara-gara bebas fiskal buat mereka yang sudah punya NPWP, yah orang bijak kan taat pajak, blablabla. Oya, secara kami juga pemilik kartu Mandiri Prioritas, segala urusan tetek-bengek sebelum keberangkan sudah dibereskan oleh para petugas eksekutif Bank Mandiri di bandara. Jadi enak tinggal duduk saja disuguhi kopi dan teh serta makanan kecil, tahu-tahu udah beres dan kami tinggal naik pesawat. Bank Mandiri oke deh. Ayo nabung yang banyak di Bank Mandiri, biar bisa jadi member Prioritas. (iklan mode on)

Di pesawat saya dan Lakhsmi tidur setengah nyenyak, karena mendadak ngantuk banget. Tadinya mau pura-pura tidur karena ada bapak-bapak bule yang sok akrab ngajak ngobrol melulu, tau-tau kami ketiduran beneran. Kami tiba di Changi menjelang sore dan langsung menuju hotel Four Seasons dengan taksi. Sesampainya di sana, ternyata kamar kami sudah di-upgrade ke premier room tanpa biaya tambahan, itulah gunanya sahabat, hehehe.

Tiba di kamar, kami sudah nyengir mendapati king size bed dan LCD TV entah berapa inci saking gedenya. Seringnya tangan saya otomatis menyalakan TV kalau masuk ke kamar hotel. Kalau tugas ke luar kota sendirian, biasanya saya tidur dengan TV menyala di channel khusus tayangan anak-anak atau fashion TV, biar rasanya nggak sendirian. Tapi kalau acara honeymoon seperti ini sih, saya nggak bakal sempat bermain dengan channel TV.

Sisa-sisa kepenatan hasil liburan di Bali membuat kami ingin beristirahat saja menghabiskan sisa malam. Jadi nggak heran kalau acara pertama kali di hotel adalah mandi. Bareng, tentu saja. Lakhsmi yang habis beli sabun entah apa di Bali lagi keranjingan mandi dan jadilah kami saling menggosok-gosokkan sabun itu tubuh satu sama lain. Gosok punggung jangan lupa, biar kayaknya disayang gitu.... Hihihi, asyik deh pokoknya.

Heran deh, kami seperti tidak pernah bosan ngobrol. Kadang-kadang saya bingung dengan topik-topik yang mendadak muncul seperti buih soda pop tanpa perlu kami cari-cari. Pop pop pop. Saat menjelang tidur, kami berbaring di ranjang yang empuk dan bantal yang kepingin kami curi untuk bawa pulang. Ada aja bahan omongan bagi saya dan Lakhsmi, mulai dari ngomongin orang sampai acara TV yang nggak penting. Kadang ada saat-saat tertentu ketika kami tidak bicara, hanya berpelukan, saling memandang, saling menyentuh, berciuman, bercinta. Duh, nulis gini aja, saya mendadak bisa mencium aroma tubuh Lakhsmi dan membayangkan senyumnya yang nakal.

Kami berdua adalah penggemar bangun siang, tapi penyuka makan. Jadi acara breakfast di hotel termasuk favorit kami. Dan biasanya breakfast kami sering kali mepet dengan waktu batas akhir breakfast. Lha wong, kami biasanya baru turun dari ranjang jam 9 kok, walaupun biasanya kami sudah bangun sejak satu jam sebelumnya. Itulah definisi liburan menurut saya, bisa punya waktu malas-malasan di ranjang berduaan pada pagi hari.

Tidak hanya mandi dan ngobrol dan beradegan ranjang alias tidur, acara makan dan belanja juga jadi acara kami. Ke toko buku merupakan tempat yang wajib kami kunjungi. Tidak boleh tidak. Lumayan, ketemu novel lesbian yang bisa jadi bahan review di sini. Belanja baju dan dompet tidak ketinggalan. Hampir saya beli jam tangan kalau tidak ingat harganya, hehehe. Capek juga jalan kaki sambil cuci mata.

Karena malas keluar kami memutuskan makan malam di resto di hotel. Kami makan di Jiang Nan Chun. Restoran Cina bergaya art deco mewah seperti masuk ke tempat makan raja Cina dulu, yang membuat saya dan Lakhsmi nyengir. Biasanya di Jakarta kami sering makan di restoran Cina bukan berdasarkan tempat yang mewah, tapi dari makanan yang TOP BGT walaupun restonya terkadang "kumuh-kumuh nikmat". Malam itu Lakhsmi memesan Foie gras and apple salad with peking duck. Lakhsmi tergila-gila dengan bebek. Sementara saya memesan lamb chop. Hm, nikmatnya. Chilled mango puddingnya juga nyam-nyam untuk makanan penutup.

Kembali ke kamar berarti kembali lagi dengan kegiatan basah-basah alias mandi. Eh, walaupun sebelumnya kami masih menyempatkan diri untuk posting tulisan di blog sepocikopi, :). Lalu sehabis itu kami berendam berdua dalam busa air hangat yang nikmat. Sambil ngobrol dan menghabiskan wine. Sampai di ranjang buru-buru kami bergelung di bawah selimut, saling berbagi panas tubuh yang mendadak kedinginan. Pelukan, sayang-sayangan, saling membelai. Ih, romantis banget deh pokoknya. Hm, jadi kepingin honeymoon tiap bulan :)

@Alex, RahasiaBulan, 2009

7:58 PM

Lazy, Eh, Busy Sunday

Posted by Anonymous |

Sejak punya anak, saya nggak pernah bisa bangun siang. Bahkan hari Minggu pun genderang perang sudah berbunyi sejak jam delapan pagi, kadang malah lebih pagi lagi. Saya yang hobi berat tidur ini terpaksa harus mencuri-curi waktu tidur di sofa pada sore atau malam hari ketika menemani anak nonton TV. Kadang-kadang saat sedang asyik tidur si bungsu menepuk-nepuk pipi saya dengan penuh semangat menyuruh saya melihat dinosaurus berkejaran. “Tante-tante banguuuunnnn... lihat, lihaaaaat!!!” Oke-oke, Tante udah bangun kok. Grrhhh...

Si sulung sudah ribut sejak hari Sabtu bahwa kami akan bersama-sama membuat donat. Ya, donat. Dari tepung dan segalanya. Nggak, nggak beli di J.Co atau Dunkin Donuts atau Krispy Kreme. Tapi bikin sendiri, saudara-saudara sekalian. Nggak, nggak pake mesin. Pake tenaga tangan. Tenaga siapa lagi? Ya tenaga tante Alex.

Hari Minggu jam sembilan si sulung sudah sibuk. “Tante, ayooooo, sekarang bikin donatnya.” Saya langsung melompat dari sofa. Pura-pura lupa bahwa hari Minggu ini kami sudah janjian bikin donat. “ Hah? Hari ini ya?”

Sulung menampilkan wajah kecewa. “Hihihih, Tante bercanda deh, Sayang. Yuk, siapin bahan-bahannya.”

Tepung terigu. Mentega. Gula. Susu. Telur. Yeast. Air. Apa lagi ya? Kayaknya ada yang lupa. Oh, well, nanti juga inget apa yang kelupaan.

Timbang dulu. Si sulung ribut mau melihat angka di timbangan. Bungsu mengekor mau ikut-ikutan, iseng dia mencelupkan tangannya ke tepung lalu mengibaskannya hingga kena baju dan mukanya juga. Hahaha. Seperti anak abege yang pakai obat jerawat... Aduh.

Campur semua bahan sehabis ditimbang. Mulai menguleni adonan sampai kalis. Anak-anak dengan penuh semangat membantu. Walaupun sebenarnya nggak jadi lebih cepat, malah memperlambat, tapi yang penting kan heboh dan lucu. Berisiknya.... ampun deh.

Setelah entah berapa puluh menit menguleni adonan, akhirnya kalis juga. Yah, udah keburu capek sih, anggap saja sudah kalis, huehehe, maksa banget. Dan dimulailah penantian selama setengah jam menunggu donat mengembang.

Lima menit sekali terdengar pertanyaan.
“Udah belum, Tante?”
“Belum.”
“Udah belum, Tante?”
“Belum.”
“Udah belum, Tante?”
“Ya, ya, ya... oke kita lihat ya.”

Kesibukan sesi dua pun dimulai. Saya suruh si sulung membolongi donat dengan tutup aqua (maklum deh, perlengkapan seadanya, cuma modal resep), si bungsu ikut-ikutan memelintir bola-bola sisa lubang buatan kakaknya. Terus seperti itu sampai semua adonan habis dibuat berbentuk donat dengan lubang di tengah. Sekali si bungsu nekat memasukkan adonan ke mulutnya.... "Ehhhhhhh, stop! Jangan!" Aduh, bikin jantungan aja, nanti kamu mencret, Nak!

Panaskan minyak. Kali ini anak-anak nggak boleh dekat-dekat. Huss... huss... sana. Nanti kalau donatnya udah matang, kalian boleh olesin mentega dan cokelat meises. Horeeee! Udah kebayang kan gimana adegannya? Oh, dan jangan lupa berantakannya. Dan yang terpenting bahagianya.... :)

Jam 11 lewat donat pun sudah bisa dimakan. Argghhh... sebentar lagi waktunya makan siang. Tapi, Tante, boleh kan cicipin satuuuu aja? Ya,ya,ya. Hati saya selalu lembek kalau anak-anak udah memohon begini. Mereka pun melahap donat dengan penuh nafsu sampai mulut dan tangan mereka belepotan.

"Donat buatan Tante emang yang paling enak," kata sulung.
"Iya, enak," timpal si bungsu.

Saya dan Lakhsmi cuma nyengir. Btw, ke mana aja si Lakhsmi sejak tadi ya? Hm, dia memang biasa jadi penonton kalau sudah adegan dapur. Seperti bapak-bapak di hari Minggu yang malas, dia baca koran dan bertolak pinggang memerhatikan kami sambil memberi perintah di sana-sini. Huehehe, kecuali giliran makan, biasanya langsung terlibat. Dan oya, anak-anak sekalian... memang donat buatan Tante is the best. :)


@Alex, RahasiaBulan, 2009

Subscribe