4:15 PM

Film: Butterfly vs Amour de Femme

Posted by Anonymous |


*Warning: Spoiler Alert*

Butterfly
adalah film Hong Kong karya kedua dari sutradara Yan Yan Mak, dan film ini terpilih menjadi film pembuka dalam Hong Kong Gay and Lesbian Film Festival 2004 serta mendapat nominasi Taiwan Golden Horse Awards 2004 untuk Best Adapted Screenplay (Yan Yan Mak) and Best New Performer (Tian Yuan). Amour de Femme adalah film Prancis, karya sutradara Sylvie Verheyde yang dibuat tahun 2001.

Kedua film ini memiliki basis cerita yang serupa. Perempuan muda yang sudah memiliki suami dan anak tiba-tiba jatuh cinta pada perempuan lain. Dalam Butterfly, Flavia (Josie Ho), guru yang memiliki suami dan seorang anak perempuan, jatuh cinta pada penyanyi bernama Yip (Tian Yuan). Sementara dalam Amour de Femme, Jeanne (Hélène Fillières), yang bekerja sebagai osteopath dan memiliki suami serta putra berusia tujuh tahun jatuh cinta pada Marie (Raffaëla Anderson) yang berprofesi sebagai penari. Saya tidak bicara tentang siapa yang memplagiat siapa, walaupun film ini memiliki kesamaan cerita dan penokohan, karena bagaimanapun Butterfly dan Amour de Femme adalah dua film yang berdiri sendiri.

Kisah cinta yang terjalin antara Jeanne dan Marie dalam Amour de Femme lebih memberi kesan bahwa Jeanne adalah istri kesepian yang bosan dalam rutinitas kesehariannya berumah tangga dan dia menemukan Marie sebagai pesona yang membangkitkan gairah hidupnya. Entah bagaimana saat saya menonton film ini, saya tidak merasakan percikan kimiawi yang pas antara mereka berdua. Percikan yang membuat saya percaya bahwa ada percikan asmara yang membakar kedua tokoh ini. Mungkin juga karena chemistry antara dua aktris ini tidak pas.

Sementara dalam Butterfly, pertemuan Flavia dengan Yip membangkitkan kembali bibit-bibit lesbianisme yang memang sudah pernah dirasakan Flavia semasa sekolah dulu. Bibit-bibit yang harus dipunahkan karena hubungan Flavia dengan sahabat perempuannya dulu ketahuan oleh orangtuanya.

Jeanne dan Flavia sama-sama mengikuti kata hati dengan menjalin hubungan terlarang bersama perempuan yang mereka cintai. Tidak ada yang mempertanyakan siapa yang salah atau yang benar dalam hal ini. Mereka perempuan yang jatuh cinta pada perempuan lain dan karena mereka sudah menikah, pertanyaan selanjutnya adalah, "Apa yang akan terjadi dalam kehidupan rumah tangga mereka selanjutnya?"

Secara pribadi, saya melihat tokoh suami Ming dalam Butterfly yang diperankan oleh Eric Kot lebih mengundang simpati dibanding Anthony Delon sebagai David dalam Amour de Femme. Ibaratnya gini, kalo punya suami kayak David sih gue juga bakalan selingkuh...:p

Eric Kot menunjukkan kemampuan aktingnya, lepas dari peran-peran yang biasa dimainkannya dalam film komedi. Mau tidak mau emosi kita ikut tergugah melihat sang suami yang sakit hati saat mengetahui sang istri berselingkuh dengan perempuan lain. Tapi ini tidak menjadikan Flavia sebagai tokoh antagonis di sini. Seperti yang saya bilang, tidak ada yang salah dalam hal ini. Semuanya terjadi begitu saja. Flavia jatuh cinta pada Yip tanpa direncanakan. Mungkin karena beda kultur, rasa kedua film ini pun berbeda. Rasa bersalah, cintanya yang terbagi dan kesulitan yang dihadapi Flavia dalam Butterfly terasa lebih berat "mengoyak" karena dia hidup dalam masyarakat Timur.
Walaupun menurut saya endingnya terasa dibuat gampang, apa pun yang Anda pilih untuk Anda tonton, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, keduanya tidak akan mengecewakan Anda yang penggemar “happy end”. Secara garis besar kedua film ini mencerahkan sebagai tontonan. (Ya, ada adegannya kok... :p). Saya lebih memilih Butterfly, mungkin lebih karena kedekatan ras Asia dan setting yang menurut saya lebih oke. Atau mungkin karena Amour de Femme memberi kesan film yang dibuat dengan biaya irit dan pas-pasan.


Sumber: wikipedia dan imdb.com
Butterfly
Directed by Yan Yan Mak
Written by Xue Chen (novel)Yan Yan Mak (screenplay)
Starring:
Josie Ho, Tian Yuan, Eric Kot, Isabel Chen, Joman Chiang
Running time:129 min

Amour de Femme
Directed by Sylvie Verheyde
Written by: Sylvie Verheyde (story)
Starring:
Hélène Fillières , Raffaëla Anderson , Anthony Delon
Running Time: 89 min

10:03 PM

Opini: Rumput Tetangga (Memang) Tampak Lebih Hijau

Posted by Anonymous |

Kejadian ini sebenarnya terjadi beberapa bulan lalu. Seorang sahabat perempuan saya, sebut saja namanya Fifi, mengirimi saya SMS, mengajak saya menemaninya ke acara pernikahan seorang kolega. Selama ini saya sudah terkenal paling malas datang ke acara pernikahan, bukan saya anti pernikahan atau apa, saya sering malas datang ke acara semacam itu karena bosan ditanyai pertanyaan standar seperti, "Kapan nyusul?" Buset deh, emangnya lagi balap karung pakai acara susul-susulan? Maklum umur saya yang sudah memasuki kepala tiga, meskipun masih berjiwa 20 tahun :-) ini membuat banyak orang bertanya-tanya kenapa sampai sekarang saya belum menikah.

Akhirnya dengan setengah niat, saya menemani sahabat saya itu. Dan datanglah kami ke acara pernikahan yang diadakan di wilayah Jakarta Utara itu. Setelah berjuang mencari parkir yang nun jauh dari lokasi pernikahan, saya dan Fifi memasuki tempat penerima tamu alias meja tempat kita memberikan hadiah (oya, zaman sekarang orang biasanya cuma menerima amplop aja biar lebih praktis). Well, baru sampai di sana, saya langsung ditegur oleh seorang gadis yang duduk di meja penerima hadiah. Kaget juga saya, kok bisa-bisanya ada yang kenal sama saya padahal saya cuma menemani sahabat saya ke acara ini. Setelah berbasa-basi sejenak, saya jawab pada cewek itu bahwa saya cuma menemani sahabat perempuan saya. Bahwa saya tidak kenal dengan kedua mempelai blablahblahhh... saya buru-buru cabut dari meja itu.

Fiuh, setelah memasuki ruangan tempat resepsi, belum sempat saya dan sahabat saya mengambil makanan, kembali saya ditegur oleh seseorang. Kali ini teman ibu saya... hhhh!!! Ini makin kacau, sahabat saya juga jadi bingung, kenapa saya bisa-bisanya yang kenal banyak orang di sini sementara Fifi belum menemukan orang yang dikenalnya. Dan teman ibu saya juga (tampaknya) heran melihat saya (menemani) sahabat perempuan saya ke acara semacam ini. Makin lama saya dan sahabat saya di tempat ini bisa-bisa kami dikira sepasang lesbian. Hm, sebenarnya bukan kali pertama saya dan sahabat saya ini ditatap dengan pandangan aneh. Beberapa bulan sebelumnya, sahabat saya itu yang menemani saya ke acara pernikahan saudara sepupu saya. Di sana keadaan lebih gawat lagi, karena ibu sang mempelai yang notabene masih tante saya bingung berat melihat saya datang bersama seorang perempuan, bukannya datang bersama lelaki atau ibu saya. (Note: Saya sebenarnya tidak mau datang ke acara pernikahan sepupu itu, tapi karena ibu saya sakit, jadi saya terpaksa mewakili keluarga, hiks). Aneh gitu lhoo... masa datang ke acara kawinan dengan teman sesama jenis. Sumpah, saya masih ingat tatapannya sampai sekarang, dan mungkin itu juga alasannya tidak mengundang keluarga saya ketika anak keduanya menikah beberapa bulan setelah acara itu.

Singkat cerita, saya dan sahabat saya terburu-buru "melarikan diri" dari acara ini. Karena saya udah nyaris bersembunyi di balik pohon, sementara sahabat saya memilih kabur daripada "dikenalkan" dengan kakak mempelai pria yang masih singel dan katanya jago nyanyi seperti Delon.

Kami tertawa terbahak-bahak ketika sampai di mobil, menertawai kelucuan yang terjadi. Sahabat saya bilang "elu tuh lebih beruntung karena elu lesbi, coba kayak gue nih, umur sama kayak elo belum punya cowok juga, kan kesannya gue tuh nggak laku."
Sejenak saya terdiam merenungkan kata-katanya. Rumput tetangga memang tampak lebih hijau. Sahabat saya melihat hidup saya lebih beruntung dibanding dirinya yang belum juga dilamar sampai sekarang, bahkan cowok pun selama ini cuma TTM. Padahal dari segi wajah dan body sahabat saya itu nggak beda jauh sama saya, halah, kalau saya mau jujur dia masih satu tingkat di atas saya dari segi penampilan :).

"Masa sih gue lebih beruntung? Emang menurut elo enak jadi lesbi?" tanya saya.
Fifi langsung tertawa, dan menjawab, "Ya, gue sih nggak pernah jadi lesbi untuk tau enak atau nggak. Tapi paling nggak, gue ngeliat hidup elu tuh sebenarnya enak. Elu enak masih bisa punya pacar, sementara gue? Orang-orang sibuk ngenalin gue sama temen atau saudara lelaki mereka, dan hampir ngecap gue perawan tua. Kalo elo kan orang-orang tau elo punya pacar (cewek), mungkin masalahnya elo cuma nggak bisa nikah resmi aja sama pacar elo. Tapi kan dari segi hubungan, elo tuh enak udah nggak sendirian lagi."

Beberapa bulan setelah ini, seorang sahabat perempuan, yang mengaku straight tapi sering dituduh lesbian karena keakrabannya dengan komunitas GLBT berkata, "Enak kali ya jadi lesbi." Dan saya kembali teringat pada pernyataan Fifi sebelumnya.

Saya berusaha melihat situasi ini dari mata seorang heteroseksual. Jangan-jangan memang benar ada anggapan semacam itu, bahwa memang enak jadi lesbi. Saya mikir setengah mati sambil menulis blog ini pun, saya tidak bisa menemukan di mana “lebih enaknya”, dan kita tidak sedang bicara soal hubungan seks lhoo, :p.

Beberapa sahabat perempuan saya, terutama sahabat-sahabat terbaik saya, yang sering jadi teman hang out bersama saya adalah perempuan-perempuan singel (heteroseksual) dengan problematika mereka masing-masing, yang kalau kisah hidup mereka dibuat novel mungkin bisa jadi 300 halaman. Buat sebagian perempuan singel yang sampai usia kepala tiga belum juga menemukan jodohnya, mereka mengalami kegelisahan yang luar biasa. Bukan karena mereka ngebet kawin atau apa, tapi lebih berupa kegelisahan dalam menghadapi hidup sendirian hingga usia tua. Belum lagi tekanan dari orangtua dan keluarga agar mereka cepat-cepat menikah, masih ditambah dengan jam biologis yang berdetak makin cepat, plus teror pertanyaan dari rekan-rekan sekantor atau yg lebih parah, pertanyaan dari teman-teman yang sudah menikah.

Masalahnya dengan perempuan-perempuan straight ini (terutama yang masih lajang), mereka tidak punya alasan sama sekali kenapa sampai sekarang mereka masih sendirian. Dan saat melihat sahabat mereka yang lesbi, mereka jadi berpikir, hhhh, kalau saja gue lesbian mungkin lebih enak ya karena gue jadi punya alasan kenapa gue masih “sendiri” sampai sekarang.

Well, itu cuma asumsi saya saja lho, dan saya juga tidak mau repot-repot bercerita kepada teman-teman perempuan saya yang straight tentang betapa menderitanya hidup sebagai lesbian... halaah! Akhirnya saya menjawab pada sahabat saya itu, "Fi, kalo dua puluh tahun lagi, elo masih sendirian, ya sudah kita tinggal bareng, elo tinggal sama gue dan partner gue aja, hahaha."

5:19 PM

Opini: Happy Ending = Utopia?

Posted by Anonymous |

Seperti apa sih dunia dengan akhir bahagia buat kaum homo/lesbi? Apakah akhir yang bahagia cuma utopia bagi kita? Saya tidak bermaksud sinis lho. Ini cuma pertanyaan wajar yang timbul setelah ber-SMS-an dengan seorang sahabat. Dia (perempuan) bercerita bahwa kekasihnya (perempuan) hendak menikah dengan lelaki karena memang itulah yang seharusnya terjadi, kan? Perempuan menikah dengan lelaki lalu memiliki anak dan keluarga. Tidak peduli betapapun cintanya sahabat saya terhadap perempuan kekasihnya itu, mereka tidak bisa bersatu. Lalu sahabat saya bilang, kekasihnya mengajak mereka tetap menjalin hubungan setelah dia menikah nanti. Halah! (Saya sih menyarankan agar dia putus aja sama pacarnya sekarang, daripada sakit hati nanti, --red)

Duh, kenapa ya kasus-kasus semacam ini sering terjadi dalam banyak hubungan sesama jenis?

Dalam dunia utopia versi saya, dengan atau tanpa legalitas pernikahan sesama jenis, seharusnya kita bisa punya hak untuk bersama orang yang kita cintai. Namun jelas itu cuma utopia. Kita hidup berpagarkan norma-norma yang seharusnya jadi penjaga diri kita. Atau agama, misalnya, yang jadi pondasi hidup kita. Atau keluarga yang jadi atap dalam kehidupan kita. Dan semuanya tentu saja tidak bisa tinggalkan begitu saja. Untuk bisa hidup bersama orang yang kita cintai, sebagai homo/lesbi, banyak dari kita yang harus meninggalkan rumah yang nyaman tersebut, yang selama ini jadi tempat kita bernaung. Jelas tidak banyak yang memilih untuk itu. Dan hanya segelintir orang yang beruntunglah yang bisa mendapat pengakuan dari orang-orang terdekat dalam hidupnya.

Eniwei, balik lagi ke sahabat saya itu, dia bilang dia sudah terbiasa hidup “bersembunyi” karena itu satu-satunya cara bagi dia untuk bisa bersama kekasihnya. Saya bilang, saya tidak bisa hidup seperti itu. Dan sahabat saya bilang saya terlalu idealis karena saya sudah coming out. Partner hidup saya juga bilang saya menuntut terlalu banyak darinya soal pengakuan ini dan ingin menyeretnya menjadi orang yg dikenal sebagai lesbian. Halaaaah, bukannya dengan bersama saya pun dia sudah jadi lesbian? Bingung juga dengan logika berpikirnya.

Yah, mungkin akhir yang bahagia seperti hidup bersama pasangan kita hingga akhir hayat sampai maut memisahkan hanyalah utopia. Saya pribadi merasa saya tidak butuh selembar surat nikah yang resmi. Ayah dan ibu saya tidak pernah melegalkan pernikahan mereka hingga ayah saya meninggal, tapi orang-orang tetap menganggap saya anak dari ayah dan ibu saya. Ibu saya mendapat pengakuan di mata publik bahwa dia “menikah” dengan ayah saya, walaupun dalam banyak hal dia tidak mendapat hak istimewa yang seharusnya didapat oleh istri bila mereka menikah secara “legal”. Tapi paling tidak di mata saya mereka mendapat akhir yang bahagia. Paling tidak ibu saya bisa mendampingi ayah saya hingga akhir hayatnya.




 

1:25 PM

Buku: Detik Terakhir (Jangan Beri Aku Narkoba)

Posted by Anonymous |

Hal pertama yang terlintas ketika membaca sinopsis di sampul belakang Detik Terakhir (Jangan Beri Aku Narkoba) adalah… “Hmmm, ada lagi satu buku yang mengeksploitasi lesbian dalam karya fiksi.” Karena kebetulan tokoh utama novel karangan Alberthiene Endah ini adalah seorang perempuan lesbian bernama Arimbi yang juga merupakan pecandu narkoba.

Buku ini ditulis dengan gaya laporan wawancara dengan Arimbi di panti rehab yang menceritakan kisah hidupnya kepada seorang wartawan. Kisah hidup Arimbi tertuang sangat lancar sehingga sulit bagi kita untuk meletakkan buku ini sebelum selesai. Halaman demi halaman menunturkan kisah hidup Arimbi yang anak orang kaya dan memiliki orangtua yang punya nama besar. Orangtua yang tampak harmonis dan bahagia meskipun di dalamnya bobrok dan saling menyakiti. Arimbi jadi anak yang bingung, apalagi ketika perlahan-lahan kesadaran bahwa dirinya beda dengan cewek-cewek lain mulai merayap masuk ke dalam kesadarannya. Hingga ia mulai berkenalan dengan narkoba di masa SMU, dan akhirnya jadi pecandu berat.

Narkoba juga yang mengenalkan Arimbi pada Vela, gadis yang yang dicintainya. Gadis yang membuatnya rela melakukan apa saja asal bisa bersamanya. Cintanya pada Vela pula yang menyebabkan ia mati-matian ingin melepaskan diri narkoba dan kehidupan yang dibencinya.

Mempertanyakan apakah Arimbi jadi lesbian karena narkoba, atau apakah karena narkoba Arimibi jadi lesbian, sama dengan mempertanyakan paradoks ayam atau telur, mana yang lebih dulu muncul?

Tidak hanya mengupas hubungan cinta antara dua perempuan, Alberthiene Endah yang biasa dipanggil AE, juga menceritakan perbedaan tentang si kaya dan si miskin. Arimbi yang berduit bisa menikmati panti rehabilitasi narkoba yang mewah ala hotel bintang lima, sementara Vela harus “menikmati” panti rehab ala penjara yang penuh kekerasan.

AE menulis buku ini dengan irama yang teratur, membuat kita bisa merasakan gejolak Arimbi yang marah pada dunia dan orang-orang sekitarnya. Marah pada keadaan yang tidak ramah pada dirinya dan Vela. Makin lama saya baca Detik Terkahir membuat saya harus menelan dugaan awal saya tentang buku ini karena ini adalah buku yang amat sangat bagus, namun sayangnya difilmkan dengan hasil yang amat mengecewakan.

Untunglah, tidak hanya saya seorang saja yang menganggap ini buku yang bagus, karena Jangan Beri Aku Narkoba berhasil jadi pemenang Adikarya Ikapi th. 2005 untuk buku remaja terbaik.

catatan: Novel Detik Terakhir ini pertama kali diterbitkan dengan judul Jangan Beri Aku Narkoba th 2004, lalu dicetak ulang pada th 2006 dan judulnya diganti menjadi Detik Terakhir (sama seperti film jelek yang diperankan oleh Cornelia Agatha dan Sausan)

11:04 AM

Persona: Pensiunnya sang maestro Martina Navratilova

Posted by Anonymous |


Semasa saya remaja, kata internet bahkan belum pernah saya dengar. TV swasta bahkan baru muncul ketika saya SMP, dan mengetahui diri saya lesbian merupakan salah satu perjuangan tersulit yang harus saya hadapi sendirian pada masa pubertas saya yang sepi. Dan kala itu begitu sulitnya mencari tahu bahwa saya tidak sendirian di dunia ini.

Kini, televisi, internet, berita, dll, memuat berita tentang homoseksual baik gay/lesbian nyaris sepanjang waktu. Bahkan koran utama seperti KOMPAS pun menampung tulisan Samuel Mulia secara rutin setiap hari Minggu, yang notabene sudah dikenal sebagai gay oleh masyarakat luas.
Kadang-kadang saya teringat kembali pada masa-masa sepi semasa remaja dulu, dan itulah salah satu alasan saya membuat blog ini. Sebelum EllenDeGeneres coming out pada tahun 1997, sebelum Melissa Etheridge coming out pada tahun 1992, tidak banyak orang terkenal atau public figure yang mengaku dirinya lesbian atau homo, namun salah satu orang yang membuat saya tidak merasa sendirian sebagai lesbian adalah Martina Navratilova.

Saya kagum dengan keberaniannya untuk out pada tahun 1980-an ketika homoseksual bukan hanya dianggap tabu, namun masih dianggap suatu penyakit yang harus disembuhkan. Sebagai pemain tenis, Martina Navratilova sudah memenangi 59 gelar grandslam hingga pensiun kedua kalinya pada bulan September 2006 ini dalam ajang US Open sebagai kejuaraan terakhirnya. Pensiunnya Martina Navratilova kali ini ditutup dengan manis dengan memenangkan gandacampuran bersama Bob Bryan dan menang dengan angka 6-2, 6-3 melawan Kveta Peschke and Martin Damm, pasangan dari Ceko dan menjadi juara US Open ini.
Sebelumnya pada tahun 1994, Martina memang sudah pensiun dari dunia tenis single, lalu kembali lagi ke tenis pada tahun 2000 ketika usianya sudah 44 tahun untuk bermain di jalur ganda.

Martina Navratilova terlahir dengan nama Martina Šubertová pada tahun 1956 di Cekoslovakia. Gelar juara tenis profesional pertamanya diperolehnya di Orlando, Florida pada tahun 1974. Selama karier tenisnya, Martina Navratilova sudah memenangkan 167 gelar juara untuk single, dan 178 gelar juara ganda, dan keduanya merupakan rekor tertinggi yang belum bisa disaingi oleh petenisputra maupun putri. Dan selama 331 minggu dia merupakan petenis ranking #1 dunia.

Pada tahun 1975, ketika usianya baru 19 tahun pemain kidal ini membelot ke Amerika Serikat dan menjadi warga negara AS pada tahun 1981. Kini Martina Navratilova berniat menghabiskan masa pensiunnya di rumahnya di Florida, AS. Dia juga berencana akan terus menggiatkan diri menjadi aktivis untuk komunitas GLBT dan mempromosikan buku panduan kesehatannya.

Subscribe