10:05 PM

Film: Intimates - Film Lesbian yang Nyaris "Lewat"

Posted by Anonymous |

Ini adalah salah satu film yang nyaris saya lewatkan keberadaannya, karena Intimates adalah film yang pamornya tertutup film lain yang lebih bunyi. Mungkin kalau saya tidak iseng-iseng browsing dan menemukan film ini di youtube, saya takkan pernah menontonnya.

Film ini adalah produksi tahun 1997, yang diperankan oleh dua aktris kenamaan Hong Kong, Charlie Yeung dan Carina Lau. Pada tahun itu saya sibuk mencari film produksi Hong Kong yang lain, yaitu Comrades, Almost A Love Story (film Hong Kong Terbaik 1997), dan Happy Together, film gay dengan peran utama Leslie Cheung dan Tony Leung.

Carina Lau mendapat nominasi Hong Kong Film Awards atas perannya di Intimates, tapi harus kalah dari Maggie Cheung yang bermain dalam Soong Sisters. Padahal menurut saya, dalam film ini Carina Lau menampilkan akting terbaiknya dalam karier filmnya.

Film ini dibuka pada setting tahun 1997 ketika seorang perempuan muda bernama Wai (Theresa Lee) ditugasi ayahnya untuk menemani seorang perempuan tua bekas pengasuh ayahnya ke Cina untuk mencari jejak masa lalu perempuan tua tersebut. Kisah pun selanjutnya dibuat flashback antara masa kini dan masa lalu.

Kisah masa lalu dibuka tahun 1930-an ketika Foon (Charlie Yeung) kabur dari rumah karena menolak dinikahkan. Wan (Carina Lau), istri ketujuh pemilik pabrik sutra, menyelamatkan Foon dan menjadikan gadis itu pembantu di pabriknya.

Perlahan-lahan hubungan Wan dan Foon makin akrab, dan sang majikan memendam perasaan lebih dari persahabatan terhadap pembantunya. Namun Foon menolak cinta Wan karena mereka berdua sama-sama perempuan. Foon kemudian jatuh cinta pada lelaki miskin di desa itu dan hamil di luar nikah. Ketika Foon sakit keras akibat aborsi, Wan menyelamatkan dan merawat Foon. Dan ketika Wan dikhianati suaminya, kepada Foon-lah Wan berpaling. Cinta mereka begitu besar dan sudah ditakdirkan satu sama lain hingga perpisahan dan perang akibat kedatangan tentara Jepang pun tak sanggup memudarkannya.

Tampilan flashback dalam Intimates membantu penonton memahami kisah pararel cinta moderen Wai dan calon suaminya yang tak kunjung melamar versus cinta Wan dan Foon pada zaman “susah” di Cina. Alur semacam itu pun saling mendukung dalam film yang panjangnya lebih dari dua jam ini.

Intimates adalah drama tingkat tinggi dengan penampilan luar biasa aktris-aktrisnya, sekali lagi penampilan apik Carina Lau patut diacungi jempol. Adegan percintaan antara Wan dan Foon digarap dengan lembut dan halus, menyisakan rasa manis bagi penonton. Dan pada akhirnya film ini ditutup dengan mempertemukan masa lalu dan masa kini pada akhir sebuah perjalanan.


@Alex, Rahasia Bulan, 2007

2:20 PM

Film: Love My Life - Film untuk Penggemar Yuri

Posted by Anonymous |

Nggak tau kenapa sejak dulu saya nggak terlalu berminat pada film Jepang dan Korea, mungkin karena film dari dua negara itu biasanya mempunyai alur ceritanya yang lambaaaat, yang saking lambatnya bisa disalip mobil lain, hehehe. Nonton Love My Life saya kembali diingatkan dengan alur lambat ala film Jepang ini.

Love My Life
bercerita tentang mahasiswi 18 tahun bernama Ichiko (Rei Yoshii) yang menjalin hubungan lesbian dengan Eri (Asami Imajuku), yang juga masih berstatus anak kuliahan meskipun Eri tidak pernah diceritakan berada di kampus. Ichiko tinggal bersama ayahnya setelah kematian ibunya 7 tahun lalu. Ichiko kemudian memutuskan untuk memperkenalkan Eri sebagai kekasihnya. Sang ayah, yang bekerja sebagai penerjemah buku, tampak cool menerima keadaan putrinya yang lesbian. Malah gantian Ichiko yang shock karena ayahnya mengungkap rahasia keluarga. Ayah dan ibu Ichiko ternyata sepasang gay dan lesbian yang memutuskan menikah karena kepingin punya anak. Dan dari “pernikahan semu” itu lahirlah Ichiko. Dari topik ini, saya pikir, wah lumayan bagus juga nih film.

Tapi ternyata berangkat dari sana, topik ini tidak berkembang sesuai harapan. Entah bagaimana, saat berdua di pantai, Ichiko dan Eri bisa kebetulan bertemu dengan mantan kekasih ibu Ichiko dan kekasihnya yang sekarang. Ichiko juga kemudian bertemu dengan kekasih gay ayahnya. Saya yakin pertemuan itu penting, tapi nggak ngerti di mana pentingnya karena laju film kemudian melambat drastis, bahkan kalau bisa dibilang cuma muter-muter di sekitar hidup Ichiko. Dan saya juga nggak ngerti kenapa bapaknya Ichiko tampak "obses" sama terong dan ditampilkan gay hanya sebatas sering melihat majalah berisi gambar lelaki. Oya, satu hal yang saya nggak suka dari film Jepang adalah cewek-ceweknya sering banget tersenyum pamer gigi dengan mata terbelalak lebar. Dan itu yang dilakukan Ichiko hampir sepanjang film. Di antara Ichiko dan Eri saya lebih suka penampilan akting Isami Imajuku sebagai Eri yang tampak cool, walaupun dia tampak "tua" sebagai mahasiswi, secara dia aslinya berumur 29 tahun.

Mendekati ending, saya dan partner makin banyak ribut mencela film ini. “Kenapa juga sih Ichiko mesti lari ala pelari maraton menemui Eri? Kenapa dia nggak balas aja SMSnya? Atau balas nelepon? Atau naik taksi kek, atau apalah?” partner mulai mengajukan rentetan pertanyaan.
“Mungkin dia nggak punya pulsa, Say. Dan dompetnya ketinggalan, jadi dia nggak bisa naik taksi.”
“Duh, sok dramatis deh pake lari sampai dua menit. Si Eri udah bosan nungguin dia,” partner masih berkomentar. “Biar ada drama dikit, Say. Sejak awal nih film kan datar aja, mungkin biar ada serunya dikit gitu, hehehe,” saya menjawab ngawur.


Memang sih Love My Life tidak menampilkan ketegangan tingkat tinggi, kisahnya sendiri memang cuma seputar hidup Ichiko, bersama kekasih, orangtua, dan sahabat-sahabatnya. Jadi kalau penonton film ini mulai bosan pada sekitar setengah jam film ini dan bertanya-tanya, “Mana nih adegannya? Katanya nih film 18+?” Silakan langsung fast forward ke jam ke-1 menit ke-28. Di situ adegan yang dicari-cari, beberapa menit sebelum film berakhir.

Sepanjang menonton film ini saya yakin seyakin-yakinnya film ini dibuat oleh lesbian. Fiuh, aroma lesbinya kental sekali. Ternyata benar. Love My Life diangkat dari yuri---manga yang ceritanya mengandung unsur lesbian---karya Ebine Yamaji, lesbian yang sudah coming out. Beberapa karya komik Ebine Yamaji selain Love My Life, juga bertema lesbian dan Ebine Yamaji dianggap sebagai salah satu seniman manga yuri terbaik di Jepang. Buat saya sih film ini masuk kategori “ya gitu deh”, tapi kalau Anda lesbian penggemar manga dan penyuka drama Jepang, Love My Life bisa jadi pilihan tontonan yang sesuai untuk Anda.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

Hasil polling iseng di blog ini menyatakan dari 27 pemilih, 13 orang alias 38% memilih Keira Knightley saat ditanya, “Di antara aktris muda Hollywood, siapa yang kauharap berperan sebagai lesbian dalam film?” Sambil menunggu filmnya yang ada adegan lesbian bersama Sienna Miller dalam The Best Time of Our Lives, kita mundur sejenak ke film tahun 2003 yang mengangkat nama Keira Knightley. Bend It Like Beckham.

Siapa sih yang tidak kenal David Beckham? Pemain sepak bola asal Inggris yang memiliki jutaan penggemar. Tidak terkecuali Jess Brahma (Parminder Nagra), gadis keturunan India berusia 18 tahun yang tinggal di London. Tidak seperti kebanyakan gadis muda, Jess lebih suka bermain sepakbola daripada harus berdandan cantik. Ia bahkan lebih memilih membeli sepatu bola dan BH sport.

Kemudian Jess bertemu dengan Jules Paxton (Keira Knightley), gadis tomboi pemain sepakbola putri yang setelah menyaksikan bakat Jess mengajaknya bergabung dalam tim sepakbolanya. Dengan senang hati Jess bergabung dalam tim meskipun harus melakukannya secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan orangtuanya.

Bend it Like Beckham adalah film komedi ringan, namun film ini sesungguhnya menampilkan banyak isu dan pesan tentang feminisme, rasisme, dan homoseksual. Isu feminis diangkat melalui keinginan Jess untuk bermain bola secara profesional meskipun pandangan tradisional (India) adalah wanita seharusnya mengenakakan sari dan tinggal di rumah, sementara olahraga adalah permainan laki-laki. Isu rasisme muncul melalui hubungan cinta Jess dengan Joe (Jonathan Rhys Meyers), sang pelatih sepakbola berkulit putih. Isu homoseksual ditampilkan melalui sahabat baik Jess yang gay dan terutama ketika ibu Jules menduga putrinya menjalin hubungan lesbian dengan Jess.

Jules: Anyway being a lesbian's not that big a deal
Jules’s Mom: Oh no of course not sweetheart no. I mean I've got nothing against it. I was cheering for Martina Navratilova as much as the next person.
Ceritanya yang nyambung dengan penonton gay/lesbian mungkin karena pada awalnya sutradara/penulis skrip film ini, Gurinder Chadha, ingin membuat Jess dan Jules sebagai pasangan lesbian. Namun pada saat terakhir Gurinder membatalkannya, dan membelokkan cerita dengan membuat Jess berpasangan dengan Joe. Salah satu alasannya adalah film bertema lesbian tidak akan menjaring banyak penonton atau malah dikategorikan sebagai film yang “tidak layak tonton” buat remaja di beberapa negara, terutama negara Asia. Siapa juga yang mau nonton film buatan Inggris tentang pemain sepakbola lesbian?


Gurinder Chadha akhirnya memutuskan berkompromi dengan membuat tokoh-tokohnya hetero, namun menyelipkan banyak isu homoseksual yang positif di dalamnya. Dengan demikian pesan-pesan positif itu akan menjangkau lebih banyak orang. Di Amerika Serikat sendiri film ini meraup angka box office sebesar lebih dari $32 juta. Angka yang lumayan untuk film Inggris dengan sutradara baru dan pemain yang tidak ngetop.

Bend it Like Beckham juga memperoleh banyak penghargaan, dan masuk nominasi film terbaik Golden Globe 2003. Sebelum Bend it Like a Beckham, Gurinder Chadha pernah menyutradari What’s Cooking yang menampilkan tokoh lesbian. Saat ini ia sedang menyutradai Dallas yang diangkat dari serial TV tahun 1980-an setelah sebelumnya sukses dengan Bride and Prejudice.

Saya menyukai film ini, karakter-karakternya begitu menarik dan alur ceritanya pun pas. Bend it Like Beckham adalah film yang bisa saya tonton berkali-kali. Ini adalah film yang membuat saya bisa tersenyum dan tertawa, bahkan merasa riang sehabis menontonnya.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

3:41 PM

Film: Fire - Cinta yang Tumbuh di Tempat Terlarang

Posted by Anonymous |

Film ini saya tonton pertama kali sebelum tahun 2000, dan saya dapatkan tanpa sengaja di rental VCD langganan. Film India biasanya identik dengan lagu dan tari serta bintang-bintang Bollywood yang tampan dan cantik, serta durasi film yang panjangnya minta ampun bahkan ada istirahat di tengah film, Fire tidak seperti itu. Durasi film ini hanya 108 menit, bisa dibilang tanpa lagu dan tari, dan pemeran utamanya bukanlah aktor-aktor tampan dan cantik.

Film kontroversial tahun 1996 ini disutradari oleh Deepa Mehta, sutradara keturunan India yang kemudian berimigrasi ke Kanada. Bersama Mira Nair, Deepa Mehta merupakan dua sutradara perempuan keturnan India yang namanya dihormati di dunia perfilman internasional. Fire ini adalah bagian dari trilogi elemen Fire (1996), Earth (1998), dan Water (2005). Ketiga film ini mengambil tema perempuan yang kontroversial. Saat pertama kali diputar di India, sejumlah bioskop yang memutar Fire diserang dan dibakar oleh para fundamentalis Hindu. Dan akhirnya film ini dilarang edar di India dan Pakistan. Bahkan untuk syuting Water, Deepa Mehta tidak mendapat izin untuk syuting di India sehingga terpaksa pindah ke Sri Lanka.

Fire berkisah tentang perempuan bernama Sita (Nandita Das), yang dijodohkan lalu dinikahkan dengan Jatin (Jaaved Jaaferi). Bersama suaminya, mereka tinggal di apartemen bersama kakak iparnya Ashok (Kulbushan Kharbanda), istri Ashok, Radha (Shabana Azmi), mertuanya Biji (Kushal Rekhi) dan Mundu (Ranjit Chowdhry), si pembantu.

Walaupun tidak saling mencintai, Jatin, yang punya kekasih gelap gadis keturunan Asia terpaksa menikahi Sita, gadis baik-baik keturunan India agar keluarga mereka bisa punya keturunan. Ashok dan Radha tidak bisa punya anak karena Radha mandul, bahkan Ashok sudah tidak menyentuh istrinya lagi secara seksual. Dalam kedekatan ruang apartemen yang sempit, kedua ipar ini pun bersahabat. Hingga akhirnya, Radha dan Sita, dua istri yang tidak bahagia ini, menemukan kebahagiaan dalam satu sama lain.

Memang untuk ukuran Bollywood, film ini dianggap melanggar norma-norma keharusan. Cinta sesama perempuan dan keberanian istri untuk menentang suami dan mengidamkan kebahagiaan dalam pernikahan tanpa cinta dianggap perempuan tak tahu diri dan tak bermoral. Sampai sekarang pun film India masih “mengharamkan” yang namanya perselingkuhan, terakhir tahun 2006 banyak penonton masih menganggap Kabhi Alvida Na Kehna sebagai cerita yang tidak memberi contoh baik karena lelaki dan perempuan dalam film ini melakukan perselingkuhan dan memutuskan untuk bercerai dari pasangan masing-masing. Apalagi dalam Fire ketika dua perempuan bersuami menjalin hubungan lesbian.

Dua karakter perempuan dalam film ini merupakan perempuan-perempuan yang terjebak dalam peran mereka sebagai perempuan. Secara tradisi, tugas istri adalah membahagiakan suami, melayani keluarga besar, dan melupakan kebahagiaan mereka sendiri. Radha dan Sita pun menemukan penghiburan dalam kedekatan persahabatan mereka yang kemudian berubah jadi hubungan cinta dan desakan hasrat.

Lama setelah saya menontonnya, gambar-gambar dalam film ini masih melekat dalam benak saya. Jika kebetulan Anda browsing DVD di lapak-lapak penjualan, cobalah membelinya karena Fire adalah film yang bagus, meskipun bukan film yang mudah disukai oleh banyak orang. Fire bukan sekadar film lesbian, tapi film yang membuka mata banyak orang tentang suatu kultur dan pandangan terhadap perempuan India.

@Alex, Rahasia Bulan, 2007


*Spoiler Alert

Ini adalah salah satu film guilty pleasure saya. Entah sudah berapa kali saya nonton film ini, dan saya tidak pernah bosan. Dirilis tahun 2002 dengan sutradara Corey Yuen, So Close merupakan salah satu dari sedikit film dengan peran utama perempuan, yang selain cantik juga jago berantem. Tiga perempuan di sini Shu Qi, Vicky Zhao dan Karen Mok berperan sebagai penjahat dan jagoan yang saling berhadapan. Shu Qi (Lynn) dan Vicky Zhao (Sue) adalah kakak-beradik pembunuh bayaran yang menggunakan teknologi canggih warisan ayah mereka dalam melaksanakan tugas mereka sebagai pembunuh. Karen Mok (Hong) adalah detektif cantik yang mengejar mereka.

Setelah tugas terakhirnya Lynn memutuskan untuk pensiun apalagi karena Lynn bertemu kembali dengan lelaki pujaan hatinya sejak remaja. Sue tidak terima dengan keputusan Lynn dan membandel untuk menerima tugas baru. Kejar-kejaran pun terjadi antara polisi dan pembunuh. Namun penjahat utamanya bukanlah dua kakak-beradik cantik ini. Penjahat utamanya adalah orang yang menyewa mereka sebagai pembunuh bayaran.

Karena ingin menutup jejak, si penyewa memutuskan untuk menghabisi Lynn dan Sue. Setelah adegan baku kebut dan baku tembak yang seru, Lynn tewas. Sue akhirnya harus bekerja sama dengan Hong agar bisa membalas dendam kematian kakaknya.

Hubungan antara Sue dan Hong ini bisa dianggap mengandung subteks lesbian walaupun tidak sejelas di film Naked Weapon, misalnya. Dalam film Hong Kong ini, puluhan perempuan dilatih untuk jadi pembunuh bayaran dan di antara dua perempuan itu terjadi persahabatan yang luar biasa akrab. “Hubungan lesbian” dalam Naked Weapon disamarkan sedemikian rupa dalam bentuk “persahabatan penuh kasih sayang”. Saya sengaja tidak mau bercerita tentang Naked Weapon karena ceritanya begitu cheesy dan bikin saya mau cakar-cakar muka saya sendiri saking kesalnya.

Kembali lagi ke So Close. Hubungan Sue dan Hong yang jadi akrab setelah kematian Lynn bukan lagi jadi hubungan antara penjahat vs polisi, apalagi setelah Hong difitnah membunuh. Mereka menunjukkan ketertarikan terhadap satu sama lain yang meskipun samar tetap terasa manis. Dan pada akhirnya setelah bahu-membahu bertarung seru lawan Yasuaki Kurata dan menghabisi penjahat sebenarnya, Sue memberikan kecupan singkat di bibir Hong.

Yeah, ini memang bukan film yang bakal dicap highly recommended oleh kritikus film, tapi jelas highly recommended oleh saya. Setelah sekian kalinya nonton film ini, partner bertanya, “Kenapa sih nonton film ini (lagi)?” Saya hanya nyengir dan menjawab “Di mana lagi ada film dengan cewek jagoan yang cantik, bajunya bagus, rambutnya keren, berantemnya seru, plus ada subteks lesbiannya?”


@Alex, RahasiaBulan, 2007

Tiga remaja tujuh belas tahun. Dua perempuan, satu lelaki. Tiga cinta.

Dua gadis SMA, Meng Ke-rou (Guey Lun-mei) dan Lin Yueh-chen (Liang Shu-hui) saling bersahabat. Yueh-chen terlalu malu mengungkapkan perasaannya ketika naksir Chang Shih-hao (Chen Bo-lin), cowok perenang di sekolahnya. Chang Shih-hau dengan lesung pipi dan senyum yang bisa membuat cewek mana pun meleleh.

Yueh-chen kemudian minta tolong pada Ke-rou untuk mendekati Shih-hao. Ke-rou yang mulanya enggan akhirnya mendekati Shi-hao mulai dari surat-suratan sampai ngobrol akrab. Hingga akhirnya Shi-hao yang naksir pada Ke-rou.

Masalahnya adalah Ke-rou merasa dirinya lesbian. Diam-diam Ke-rou yang tomboy ini naksir pada Yueh-chen yang manis. Persoalan makin rumit ketika Shi-hou pantang menyerah mendekati Ke-rou meskipun sudah ditolak. Dia menganggap Yueh-chen hanyalah tokoh fiktif karangan Ke-rou agar bisa mendekatinya. Bingung, Ke-rou pun menikmati persahabatannya dengan Shih-hou sehingga mereka jadi sahabat akrab. Dan bersama Shih-hou pula, Ke-rou menemukan ikatan persahabatan yang manis dan indah.


Film buatan Taiwan tahun 2002 ini masuk nominasi film terbaik Hong Kong Film Award. Ketiga pemeran utama film ini bermain apik. Walaupun dari ketiganya hanya Chen Bo-Lin yang juga dikenal sebagai Wilson Chen yang lebih naik daun. Setelah film ini dia bermain dalam beberapa film, di antaranya The Eye 10, Twin Effect 2, dan Bug Me Not.

Jatuh cinta, patah hati, persahabatan, dan kebingungan masa remaja tergambar manis dalam film ini. Nikmatnya bersepeda di jalan-jalan kota Taipei, sinar matahari, dan pahit-manis masa remaja membuat film ini tontonan yang enak dilihat.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

PS: Film ini beberapa kali diputar di Celestial Movies di TV Kabel.

9:30 AM

Film: The Chinese Botanist's Daughter

Posted by Anonymous |

Film yang dirilis dengan judul Prancis Les filles du botaniste pada tahun 2006 ini dimulai dengan awal yang lambat. Dua puluh menit pertama seakan berlangsung 20 jam. Uggh, rasanya kepingin di-fast forward aja. Namun untungnya film ini memberikan setting pemandangan indah daerah pedesaan Cina (meskipun sesungguhnya syuting dilakukan di Vietnam).

Dimulai ketika gadis yatim piatu, Li Ming (Mylène Jampanoï), dikirim oleh pemimpin panti asuhan untuk belajar pada seorang ahli botani selama 2 bulan.Sesampainya di sana Li Ming langsung menjalin hubungan yang akrab bersama An (Li Xiaoran), putri sang ahli botani. Pada titik ini saya berpikir, jelas aja mereka bakal jadian. Ini ibarat kau terperangkap di satu pulau bersama seorang lelaki tua dan putrinya yang cantik. Karena tidak ada pilihan lain, memacari sang putri adalah satu-satunya pilihan. Jadi inget ayahnya Tio Bu Ki, Tio Ciu San dan In So So yang tinggal bertiga di pulau bersama Singa Emas. Sebelum saya melantur lebih jauh tentang To Liong To, sebaiknya saya teruskan review ini.

Tidak mau dipisahkan dengan Li Ming, An mengusulkan agar Li Ming menikah dengan Dan, kakak lelakinya. Dan adalah tentara dan bakal diposkan di Tibet tanpa membawa sang istri sehingga istrinya akan ditinggal di rumah bersama sang adik ipar. Yipiii! Li Ming awalnya menolak, tapi akhirnya menerima usul itu karena itu satu-satunya usul yang paling bagus berdasarkan logika, namun tidak bagi hati. Demi cintanya pada An dan agar bisa terus dekat dengan gadis itu, Li Ming rela menikah dengan Dan. Demi cintanya pada Li Ming, An merelakan kekasihnya menikah dengan kakaknya. Demi ayah yang disayanginya, An rela menemani dan mengurus ayahnya dan mengubur semua impiannya.

Sulit bagi saya untuk tidak membandingkan film ini dengan film karya Dai Sijie sebelumnya, Balzac and the Little Chinese Seamstress yang diangkat dari novel karyanya. Dai Sijie adalah lelaki kelahiran Cina yang kemudian pindah ke Prancis pada tahun 1980-an lalu menjadi novelis dan sutradara. Dibandingkan dengan Balzac yang menang Golden Globe sebagai film asing terbaik, The Chinese Botanist's Daughters jadi kelihatan tanggung. Dialog-dialognya payah, meskipun cerita keseluruhannya oke. Karena kedua pemeran utama berbicara dengan bahasa berbeda. Satu Cina, satu Prancis, jadinya sering kelihatan nggak pas. Sayang banget, film ini bercerita tentang ahli botani tapi tidak memperlihatkan eksotika tanaman obat di Cina.

Namun sekali lagi Dai Sijie berhasil menjual pemandangan landscape indah. Music score-nya bagus. Kedua pemeran film ini, Mylène Jampanoï dan Li Xiaoran tampak berusaha menampilkan akting terbaik mereka. Sebagaimana kisah cinta terlarang ala Sam Pek Eng Tay atau Romeo & Juliet, film ini meskipun bercerita tentang percintaan lesbian adalah murni tentang kisah cinta. Menunjukkan betapa banyak yang rela kita lakukan demi orang-orang yang kita cintai... dan betapa banyak juga orang yang harus terluka karena cinta itu.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

3:25 PM

Film: Saving Face - Cinta dalam Dunia yang Tabu

Posted by Anonymous |

Saving Face adalah film tentang "menjadi lesbian" dalam keluarga keturunan Asia di Amerika. Tahun 1993, Ang Lee telah memulainya dengan kisah gay dalam Wedding Banquet, sekitar sepuluh tahun kemudian Alice Wu (sutradara/penulis skenario) membuat Saving Face yang dirilis pada tahun 2004.

Berkisah tentang Wilhemina Pang (Michelle Krusiec) yang biasa dipanggil Wil, dokter muda berusia 28 tahun yang bekerja di rumah sakit di Manhattan, New York. Usianya yang dianggap lebih dari cukup untuk menikah membuat Wil sering ditanya-tanya "kapan menikah" oleh keluarganya. Bukannya Wil mau jadi perawan tua, tapi masalahnya adalah dia lesbian dan tidak mungkin memberitahu keluarga besarnya tentang itu.

Kemudian Wil bertemu dengan Vivian (Lynn Chen) dalam satu acara kumpul-kumpul keluarga keturunan Cina. Cinta Wil disambut dengan manis oleh Vivian, yang juga putri atasan Wil di rumah sakit. Hidup Wil yang bahagia dan tenang jadi ruwet ketika ibunya, Ma (Joan Chen) datang dan tinggal bersama Wil karena sang ibu yang sudah janda kedapatan hamil di luar nikah. Karena tidak mau membuat aib, Ma memutuskan mengungsi sementara ke rumah Wil.

Tinggal bersama ibunya membuat Wil makin tertekan, dan membuat hubungannya dengan Vivian jadi kacau. Vivian merasa Wil tidak serius menjalin hubungan dengannya, dan memutuskan untuk pergi ke Prancis untuk mengejar karier sebagai balerina.


Saving Face
tidak sekadar bercerita tentang anak yang lesbian dan bagaimana coming out terhadap keluarga. Lebih dari itu, Saving Face bercerita tentang hubungan ibu dan anak. Bagaimana bagi keluarga etnis Cina, menghindari aib dengan menjaga muka keluarga adalah hal yang harus dijunjung tinggi. Dalam hal ini, ibu dan anak memiliki “aib” mereka masing-masing yang bakal bisa mencoreng nama keluarga.

Dalam masyarakat etnis Cina, keluarga adalah segalanya. Dan kepada keluargalah engkau berpaling. Keluarga juga tidak akan meninggalkanmu saat kau membutuhkan mereka. Itulah yang terjadi dalam Saving Face. Dan juga dalam Red Doors, film tentang keluarga Asia-Amerika yang tinggal di New York. Film tahun 2005 ini juga mengisahkan anak perempuan dalam keluarga keturunan Cina di Amerika. Kebetulan lain film Red Doors dengan Saving Face adalah sang putri lesbian berprofesi sebagai dokter yang menjalin hubungan dengan aktris. Jika Anda suka Saving Face, mungkin bisa menjadikan Red Doors sebagai pilihan film untuk ditonton.

Oke, balik lagi ke Saving Face. Ketiga aktris dalam film ini bermain sangat apik. Michelle Krusiec tidak keteteran berhadapan dengan aktris senior, Joan Chen. Bahkan Lynn Chen pun bisa mencuri layar untuk dirinya. Saving Face adalah film drama komedi tentang hubungan ibu dan anak yang berusaha saling memahami. Serta tentang pencarian cinta dalam masyarakat yang punya banyak tabu dan perjalanan ibu dan anak untuk mencapai kejujuran diri.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

4:15 PM

Film: Butterfly vs Amour de Femme

Posted by Anonymous |


*Warning: Spoiler Alert*

Butterfly
adalah film Hong Kong karya kedua dari sutradara Yan Yan Mak, dan film ini terpilih menjadi film pembuka dalam Hong Kong Gay and Lesbian Film Festival 2004 serta mendapat nominasi Taiwan Golden Horse Awards 2004 untuk Best Adapted Screenplay (Yan Yan Mak) and Best New Performer (Tian Yuan). Amour de Femme adalah film Prancis, karya sutradara Sylvie Verheyde yang dibuat tahun 2001.

Kedua film ini memiliki basis cerita yang serupa. Perempuan muda yang sudah memiliki suami dan anak tiba-tiba jatuh cinta pada perempuan lain. Dalam Butterfly, Flavia (Josie Ho), guru yang memiliki suami dan seorang anak perempuan, jatuh cinta pada penyanyi bernama Yip (Tian Yuan). Sementara dalam Amour de Femme, Jeanne (Hélène Fillières), yang bekerja sebagai osteopath dan memiliki suami serta putra berusia tujuh tahun jatuh cinta pada Marie (Raffaëla Anderson) yang berprofesi sebagai penari. Saya tidak bicara tentang siapa yang memplagiat siapa, walaupun film ini memiliki kesamaan cerita dan penokohan, karena bagaimanapun Butterfly dan Amour de Femme adalah dua film yang berdiri sendiri.

Kisah cinta yang terjalin antara Jeanne dan Marie dalam Amour de Femme lebih memberi kesan bahwa Jeanne adalah istri kesepian yang bosan dalam rutinitas kesehariannya berumah tangga dan dia menemukan Marie sebagai pesona yang membangkitkan gairah hidupnya. Entah bagaimana saat saya menonton film ini, saya tidak merasakan percikan kimiawi yang pas antara mereka berdua. Percikan yang membuat saya percaya bahwa ada percikan asmara yang membakar kedua tokoh ini. Mungkin juga karena chemistry antara dua aktris ini tidak pas.

Sementara dalam Butterfly, pertemuan Flavia dengan Yip membangkitkan kembali bibit-bibit lesbianisme yang memang sudah pernah dirasakan Flavia semasa sekolah dulu. Bibit-bibit yang harus dipunahkan karena hubungan Flavia dengan sahabat perempuannya dulu ketahuan oleh orangtuanya.

Jeanne dan Flavia sama-sama mengikuti kata hati dengan menjalin hubungan terlarang bersama perempuan yang mereka cintai. Tidak ada yang mempertanyakan siapa yang salah atau yang benar dalam hal ini. Mereka perempuan yang jatuh cinta pada perempuan lain dan karena mereka sudah menikah, pertanyaan selanjutnya adalah, "Apa yang akan terjadi dalam kehidupan rumah tangga mereka selanjutnya?"

Secara pribadi, saya melihat tokoh suami Ming dalam Butterfly yang diperankan oleh Eric Kot lebih mengundang simpati dibanding Anthony Delon sebagai David dalam Amour de Femme. Ibaratnya gini, kalo punya suami kayak David sih gue juga bakalan selingkuh...:p

Eric Kot menunjukkan kemampuan aktingnya, lepas dari peran-peran yang biasa dimainkannya dalam film komedi. Mau tidak mau emosi kita ikut tergugah melihat sang suami yang sakit hati saat mengetahui sang istri berselingkuh dengan perempuan lain. Tapi ini tidak menjadikan Flavia sebagai tokoh antagonis di sini. Seperti yang saya bilang, tidak ada yang salah dalam hal ini. Semuanya terjadi begitu saja. Flavia jatuh cinta pada Yip tanpa direncanakan. Mungkin karena beda kultur, rasa kedua film ini pun berbeda. Rasa bersalah, cintanya yang terbagi dan kesulitan yang dihadapi Flavia dalam Butterfly terasa lebih berat "mengoyak" karena dia hidup dalam masyarakat Timur.
Walaupun menurut saya endingnya terasa dibuat gampang, apa pun yang Anda pilih untuk Anda tonton, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, keduanya tidak akan mengecewakan Anda yang penggemar “happy end”. Secara garis besar kedua film ini mencerahkan sebagai tontonan. (Ya, ada adegannya kok... :p). Saya lebih memilih Butterfly, mungkin lebih karena kedekatan ras Asia dan setting yang menurut saya lebih oke. Atau mungkin karena Amour de Femme memberi kesan film yang dibuat dengan biaya irit dan pas-pasan.


Sumber: wikipedia dan imdb.com
Butterfly
Directed by Yan Yan Mak
Written by Xue Chen (novel)Yan Yan Mak (screenplay)
Starring:
Josie Ho, Tian Yuan, Eric Kot, Isabel Chen, Joman Chiang
Running time:129 min

Amour de Femme
Directed by Sylvie Verheyde
Written by: Sylvie Verheyde (story)
Starring:
Hélène Fillières , Raffaëla Anderson , Anthony Delon
Running Time: 89 min

Subscribe