10:38 PM

Christmas Miracle

Posted by Anonymous |

Malam Natal tiba. Di antara semua hari libur, hari Natal selalu jadi hari libur favorit saya. Meskipun kadang-kadang ada kesedihan luar biasa pada hari Natal karena ayah saya meninggal tepat pada hari Natal lebih dari 20 tahun lalu. Entah kenapa Natal—meskipun saya tidak merayakannya—selalu membawa kesan keajaiban tersendiri bagi saya.

Natal membawa suasanya keceriaan, kedamaian, dan mukjizat. Tidak heran, karena film Natal favorit saya adalah It’s a Wonderful Life. Saya bisa menonton film hitam-putih yang dirilis tahun 1946 itu setiap Natal, seperti ketika zaman Orba dulu saya dipaksa nonton film Pengkhianatan G30S/PKI. Bedanya, saya bahagia menonton It’s a Wonderful Life. Ceritanya tentang seorang lelaki yang memutuskan untuk bunuh diri pada malam Natal karena merasa hidupnya terpuruk dan merasa dunia lebih baik tanpa kehadirannya. Namun usaha bunuh diri itu gagal karena lelaki itu diselamatkan oleh “calon malaikat”. Dan pada akhirnya lelaki itu sadar bahwa kehadiran seseorang, seberapa pun tak pentingnya, bisa menyentuh hidup orang lain sedemikian rupa dan menjadikan hidup jadi tak pernah sama lagi tanpa kehadirannya.

Tahun ini begitu banyak orang baru yang masuk dalam hidup saya dan partner. Ada yang kehadirannya mengejutkan bak terjangan badai, ada yang seperti hantaman gelombang laut, ada yang tenang bagai angin sepoi-sepoi sore hari. Dan kehadiran orang-orang itu menyentuh hidup kami sedemikian rupa hingga menjadikannya tak pernah sama lagi. Kemarahan, kesedihan, kekacauan, kegembiraan, keceriaan, kini sudah berpadu dan menjadikan kami orang-orang yang hidupnya saling bersentuhan dan berbelitan dengan cara yang ajaib dan sulit dimengerti dengan logika.

Di malam Natal seperti ini, percayakah kau pada mukjizat? Jiwa dewasa saya tidak bisa percaya lagi pada Santa Claus yang datang membawa hadiah dengan kereta yang ditarik rombongan rusa kutub. Namun ada jiwa yang tak pernah mati dalam diri saya yang percaya pada segala keajaiban yang bisa timbul di hari yang kudus ini.

Hari ini 24 Desember 2007. Hari penuh keajaiban berlalu demikian tak terasa. Dimulai dengan pagi yang heboh karena harus menemani Lakhsmi ke dokter mata, siang yang bingung hingga akhirnya memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama Will Smith sang Legenda, dan malam yang berusaha kami jadikan malam romantis dengan candlelight dinner di restoran di puncak gedung tinggi. Namun keajaiban terbesar terjadi di rumah, ketika kami pulang dan anak-anak menunggu kami tidak sabar untuk menaruh rumput di sepatu mereka dan menyiapkan susu dan kue untuk Santa Claus yang akan datang pada tengah malam.

Saya bertanya dalam hati, jika anak-anak ini tak pernah ada dan menyentuh hidup saya, akan seperti apakah hidup saya? Apakah akan lebih baik? Karena tanpa anak-anak dan partner, saya bisa bebas menjalani hidup liar, merdeka, tanpa tanggung jawab. Kemudian Lakhsmi memandang saya dan tersenyum, sementara si kecil yang berada dalam gendongan mengecup bibir kami berdua lalu minta dibuatkan susu botolnya. Dan saya tahu, saya tidak bisa lagi membayangkan hidup tanpa mereka. Bersama anak-anak dan Lakhsmi, mengutip pernyataan Walt Whitman, “To me every hour of the light and dark is a miracle.”

Natal memang penuh keajaiban. Keajaiban yang datang seperti mukjizat, mengantar makna hidup lebih daripada hidup itu sendiri. Dan, seperti malam-malam sebelumnya, saya menunduk, bersyukur bahwa saya mendapat kesempatan lagi untuk menyadari betapa hidup saya dipenuhi dengan keajaiban ini. Selama 365 hari, terus-menerus.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

12:20 AM

The Lightning Tree

Posted by Anonymous |

Kemari, kemarilah. Mendekatlah, dan dengarkan kata-kataku. Aku punya dongeng tentang pohon terang. Dongeng indah yang ingin kubagikan pada malam ini. Kemari, kemarilah. Letakkan telingamu di atas aku, Sang Bantal. Bantal adalah pendongeng yang paling pandai. Keturunan kami menyimpan jutaan dongeng dari ratusan negeri dan kerajaan. Kemari, kemarilah. Riapkan rambutmu, luruskan tungkaimu, dan sentuhkan pipimu yang lembut itu. Bergelunglah dengan nyaman. Sudah siapkah kau mendengar ceritaku?

Syahdan, bintang yang telah menjalani perjalanan mata dan hati berbaring di pasir dengan sedih. Bintang tak tahu bahwa putrinya, perempuan pemintal kata, telah kembali ke menara tinggi. Yang dia tunggu adalah pertanda dari langit, bahwa kelak dia dapat kembali menjadi sebentuk sinar yang berkelip-kelip di singgasananya. Sinarnya akan meraja, lebih besar dari wilayah kesultanan mana pun di dunia.

Dan malam pun turun, merengkuh bumi dan memeluknya diam-diam. Pendar bintang perlahan-lahan semakin lemah; pucat dan pudar. Dia berbaring miring di pasir, nyaris tenggelam di ribuan butirnya, kesepian, sambil memandang lengkung langit yang berwarna seperti rona samudra. Takdir bintang tercatat di sana, konon bintang yang telah jatuh di bumi takkan mampu kembali ke langit. Tapi tidak, bintang tidak rindu dengan langit, ia hanya rindu kepada kekasihnya. Saat air mata pertamanya meluncur turun, bintang pun mulai bernyanyi.

Lagu itu didendang sepenuh jiwa, sehingga suaranya terpantul dan bergema. Senandung bergita menjulang tinggi, membuat perempuan pemintal kata tercekat. Dia ingat tembang itu; selarik kidung yang berasal dari masa lalu – belum pudar oleh usia, dan tentu saja belum menua. Perempuan pemintal kata bergegas ke jendela, melempar tatap ke segala arah, mencari dan menilik. Dia tak melihat apa pun sejauh yang dapat dilihatnya. Putus asa dia menjulurkan tubuhnya jauh-jauh dari jendela. Sia-sia usahanya. Keberadaan sang biduan tetap tak terlihat.

Apa yang perempuan pemintal kata lakukan?

Dia menari!

Cahaya bulan menerobos jendela, menyinari rambutnya sehingga tampak berkilau. Dalam tariannya, dia meliuk dan bergemulai. Kakinya berdetak mengikuti irama lekukan tubuhnya. Detakan itu seritmis dengan napas semesta, sehingga semesta pun tergoda, menari bersamanya.

Belukar bergoyang, terpilah-pilah. Angin membubung tinggi, bergasing-gasing. Rumpun dan bunga berayun, berjeda-jeda. Ribuan pasir terbuai, berserak-serak.

Dan perempuan pemintal kata dapat melihat di mana letak bintang yang kini berbaring sendirian, tak di pasir, tak pula tertutup belukar maupun rumpun. Seluruh alam raya sedang menari, memberikan jendela lapang bagi perempuan pemintal kata untuk dapat memindai di mana letak kekasihnya.

Tatapan mereka berbenturan di udara. Hancur, lumat. Menimbulkan miliaran zat halus yang berubah menjadi embun di ujung kelopak daun yang setia mengikuti perjalanan musim agar terciptalah warna-warna memesona seperti warna sekotak krayon. Maka pohon pun terpesona dengan keindahan embun-embun itu. Dia mengucapkan mantra pohon, menyenandungkan bait dan syair, menggubah dendang terindah.

Perlahan-lahan bintang bergerak, tubuhnya menjadi ringan. Dia melayang di permukaan tanah, mendaki tujuh tangga pelangi, dan terus bergerak makin tinggi. Pohon berkata padanya, mahkotailah aku, bertakhtalah di ujung pucukku. Jikalau kau tak dapat berkilau di singgasana langit, duduklah di peraduanku. Bersinarlah terang, ceritakan kepada dunia tentang sekelumit kisah cinta yang kau punya bersama kekasihmu. Bintang pun naik, meletakkan dirinya dengan sempurna di ujung pucuk pohon. Berkedip-kedip, berkelip-kelip.

Perempuan pemintal kata melihat pemandangan itu. Seluruh jiwanya bergetar, senyumnya mengembang elok. Sepotong pohon, menjulang di tengah kegelapan hutan, ditandai oleh cahaya indah kekasihnya; Sang Bintang. Sinarnya sungguh meraja, membunuh kekelaman malam. Perempuan pemintal kata melafalkan syair terindah dari tempatnya berada, sehingga sinar bintang dan ribuan kata yang dipintalnya bergemerencing merdu bagai genta di udara. Cinta mereka bersatu di sana, seperti embun yang setia pada subuh.

Maka manusia yang melihatnya menandai peristiwa itu pada malam-malam tertentu. Mereka merayakan cinta dan kasih sayang dengan meletakkan pohon yang terhijau di ruangan tempat keluarga berkumpul, menghiasinya dengan aneka buah ceri dan gula-gula kapas, lalu meletakkan bintang bersepuh emas di atas pucuknya. Memang itu hanya sekadar bintang mainan, tapi saat setiap pasang kekasih melihat bintang itu, mereka diingatkan akan cinta yang tak lekang oleh waktu; cinta yang tak pernah menyerah oleh angin utara yang membekukan tulang; serta cinta yang tak sudi dipatahkan seperti ranting kering. Bintang adalah penanda, dan dongeng ini telah ditandai dengan sempurna oleh perempuan pemintal kata.

Beginilah akhir kisahku. Apakah kau tertidur, ataukah matamu terpejam karena kau menyimpan rapat-rapat rahasia ini? Kulihat air matamu menetes di pipi, usapkan padaku agar dapat kulihat pipimu kembali merona merah bagai apel terlezat. Kembalilah kapan-kapan, untuk seuntai dongeng lain yang ingin kuceritakan padamu. Kau pasti ingat sepanjang hela napasmu, ada sepenggal cerita yang dapat kau dengar di atas bantal.

@Alex, RahasiaBulan, 2007
*Tulisan ini adalah kado untuk hari ulang tahun saya.
Thank you, my dear Lakhsmi.

9:05 PM

Film: But I'm a Cheerleader: Katro, Lucu, Satire

Posted by Anonymous |

Ini adalah film lesbian paling katro yang pernah saya tonton. Ceritanya tentang orang-orang dalam panti rehabilitasi untuk menyembuhkan homoseksual. Film komedi satire ini adalah film tahun 1999, disutradari oleh sutradara lesbian Jamie Babbit dan penulis skenario Brian Wayne Peterson yang juga gay. Pemeran utamanya sendiri adalah dua aktris muda, Natasha Lyonne dan Clea DuVall.

Natasha Lyonne berperan sebagai Megan, gadis cheerleader yang ceria dan populer. Oleh orangtuanya, Megan dimasukkan ke panti rehab True Directions untuk disembuhkan karena menunjukkan tanda-tanda “lesbianisme”. Konon panti rehab ini menjamin enam minggu berada di kamp ini, si lesbi atau gay akan keluar sebagai straight.

Walaupun Megan berkeras menyatakan dirinya bukan lesbian, tapi keluarga dan teman-temannya yakin Megan lesbian karena sebagai cheerleader dia lebih suka melihat perempuan dan tidak suka berciuman dengan cowoknya. Di panti rehab yang isinya gay/lesbian yang harus disembuhkan itu Megan justru jadi sadar bahwa dirinya memang lesbian. Apalagi Megan kemudian berkenalan dengan teman sesama anggota panti rehab, Graham (Clea DuVall). Pertama kali bertemu Megan dan Graham saling membenci, tapi kemudian jadi bersahabat, dan akhirnya malah saling jatuh cinta.

Untungnya But I’m a Cheerleader memang film yang dibuat dengan tujuan komedi yang ngawur dan katro banget, jadi dalam banyak adegan kita bisa ketawa melihat adegan-adegan norak yang sengaja dibuat berlebihan. Contohnya, bagaimana pembagian peran perempuan dan lelaki di panti rehab. Bagaimana perempuan identik dengan warna pink dan lelaki dengan warna biru. Dan bagaimana gay/lesbian ini dipaksa untuk mengakui keheteroan mereka.

Secara ini film satire, berbagai sindiran juga terasa jelas. Bagaimana kalau pada dasarnya dirimu homo, ya diapain juga tetap saja jadi homo.


@Alex, RahasiaBulan, 2007


11:18 PM

Perjalanan Mata dan Hati

Posted by Anonymous |

“What do stars do? They shine.”
-Stardust

Bintang kehilangan pudarnya seketika. Ketika mendongak, dia tidak bisa melihat sang naga dan putri dari balik jendela dari tempatnya berdiri di bawah. Mendadak segala yang ada di sekeliling bintang berubah.

Sosok badut yang dilihat bintang tertawa-tawa sambil memegangi perutnya. Giring-giring di kakinya bergemerencing saat dia sedang tertawa. Bintang terkejut ketika perlahan-lahan sosok badut berubah, menjadi lebih langsing, berhidung panjang, dan bermata besar. Mata itu menatap Bintang dengan tatapan tajam.

Lihatlah baik-baik, kata badut.t Aku bukan badut, aku adalah joker.

Bintang gemetar. Badut yang kini tampak seperti joker mendekatkan dirinya di hadapan bintang. Dia berkata-kata cepat.

Joker masuk ke dalam kepala manusia. Bertanya-tanya, menantang, dan menggoda. Dia hadir seperti pilihan menarik yang tak bisa kauputuskan, tapi pada akhirnya harus kauputuskan. Joker ada untuk proses pendewasaanmu, Joker adalah tamparan di pipi saat kamu melakukan kesalahan dalam hidup, Joker adalah bisikan setan dan malaikat dalam jiwamu.

Joker tertawa lagi, dan tiba-tiba menghilang digantikan kabut. Bintang berdiri terkejut. Perlahan-lahan kabut memudar, memunculkan makhluk teramat indah yang berdiri gagah. Unicorn. Konon, Unicorn adalah makhluk luar biasa yang tak bisa dijinakkan dan darahnya merupakan obat mujarab yang mampu menyembuhkan segala penyakit. Unicorn dengan bulu putih berkilau itu merendahkan tubuhnya agar sang bintang bisa naik ke punggungnya.

Kabarnya, ada satu tempat yang jadi puncak dunia. Di sana, ketika kau menjulurkan tanganmu ke atas, kau bisa menyentuh lengkungan langit. Tapi tak ada yang tahu di mana tempat itu persisnya. Mitos, ah, entahlah. Perjalanan itu kabarnya hanya bisa ditempuh melalui perjalanan mata dan hati. Bintang menunggang unicorn melewati hutan belantara, samudra luas, dan kota-kota yang padat. Bintang mencari dan terus mencari tanpa istirahat atau tidur.

Tiga hari dua malam berlalu. Bintang duduk kelelahan di atas unicorn. Kilau sang bintang makin pudar. Tapi sesuatu terjadi kala itu. Perjalanan mata dan hati, kalimat itu terlintas dalam benak Bintang. Bagaimana aku melakukannya? pikirnya lagi. Dalam keletihan teramat sangat, Bintang memejamkan matanya sedetik, kedua tangannya memeluk leher unicorn sambil menyandarkan tubuhnya di punggung makhluk yang luar biasa indah itu. Dalam benaknya muncul wajah sang putri pemintal kata.

Hanya sedetik. Tapi itu cukup.

Unicorn terus bergerak menuju timur. Wajah perempuan sang pemintal kata berkelebat makin sering dalam benak Bintang sehingga membuat Bintang tak berani membuka mata. Takut kalau-kalau bahkan bayangan perempuan pemintal kata pun akan musnah jika dia membuka matanya.

Sang unicorn mengantar Bintang hingga tiba di pantai berpasir putih. Ketika Bintang membuka mata, unicorn sudah pergi sebelum dia sempat mengucapkan terima kasih. Matahari bersinar terik dan Bintang tak terbiasa terjaga pada siang hari. Bintang berbaring di pasir, kebingungan, dan mendengar suara perempuan pemintal kata yang berbisik di telinganya. “Sebentar lagi waktunya tiba.” Dia tak mengerti maksudnya apa, tapi Bintang menunggu dengan sabar.

Matahari perlahan-lahan turun di batas cakrawala.

Melihat pemandangan itu, Bintang tersenyum bahagia. Senyum pertama yang terukir di bibirnya sejak meninggalkan menara perempuan pemintal kata. Senja melebarkan sayapnya. Dunia semakin gelap.

Inilah yang ditunggu! Bintang menahan napas.

Dalam gulita, ia akan bersinar, terang menyala, berkuasa. Sinarnya akan menembus kegelapan, naik ke atas menara, menuju tempat di mana dia seharusnya berpendar.

Dan gelap pun mulai membayangi bumi....

@Alex, RahasiaBulan, 2007

Subscribe