12:22 AM

Sudut Pandang Lelaki dalam Novel Grafis Lesbian

Posted by Anonymous |

Saya paling sebal dengan pembaca yang sering kali menarik garis “pengalaman” antara pengarang dan karya yang dihasilkannya. Sering banget pengarang, terutama di Indonesia, yang “dituduh” menulis pengalaman pribadi dalam karya fiksi yang dihasilkannya. Ugh! Payah banget! Menurut saya, pengarang fiksi yang cuma menuliskan pengalaman pribadinya dalam karya yang dihasilkannya adalah pengarang payah. Kalau memang benar karya fiksi adalah pengalaman pribadi pengarang, saya sudah berhenti membaca fiksi sejak SMA. Pasti karya-karya seperti itu akan membosankan habis, dan pengarang itu hanya akan menulis novel dalam jumlah yang bisa dihitung dengan satu tangan.

Salah satu konsep cerita fiksi lesbian yang buat saya amat menarik adalah komik/novel grafis yang ditulis oleh lelaki hetero. Lihat saja buku-buku yang ditulis oleh Neil Gaiman. Brian K. Vaughn, Terry Moore, Alan Moore, Joss “The God” Whedon. Lelaki-lelaki ini bisa menulis tentang kisah lesbian yang ditulis mereka memiliki sudut keseksian yang berbeda dan segar. Ada pendekatan lain dari sudut pandang di luar konteks lesbian dari sudut “aku” yang berbeda daripada yang ditulis oleh pengarang lesbian.

Ya, ya, saya pernah mendengar bahwa membayangkan dua perempuan bercinta merupakan fantasi bagi banyak lelaki. Tapi jika kita melihat komik-komik atau novel grafis buatan mereka, saya tidak menemukan hal itu. Bukan semata tentang seks, tapi tentang wawasan dan gagasan yang tak termuatkan oleh otak lesbian.

Walaupun saya harus mengakui bahwa pengetahuan saya tentang novel grafis ini masih jauh dari mumpuni karena saya baru berkenalan dengan tema ini selama tiga tahun belakangan. Novel grafis ini belum banyak terjemahannya di Indonesia, dan buku aslinya termasuk buku-buku mahal dan hanya tersedia di toko-toko buku tertentu. Bisa dibayangkan berapa modal yang harus dikeluarkan jika kita harus membaca novel grafis dalam bentuk serial. Novel grafis sesunggunya bagian dari seni komik, namun novel grafis biasanya menampilkan karakter yang tidak hitam-putih, seperti jagoan vs penjahat dalam komik dan pada akhirnya jagoan menang. Kompleksitas dalam novel grafis juga lebih kental dibanding komik dengan cerita-cerita yang menawaran gagasan dan terkadang “keanehan” serta “absurditas” yang mencengangkan. Membuktikan bahwa imajinasi memang tak kenal batas.


Pertama kali saya menemukan lesbianisme dari padangan komikus lelaki ini adalah dalam novel grafis V for Vendetta yang amat penuh dengan gagasan. Alan Moore sebagai tukang cerita dan David Lloyd sebagai tukang gambar menampilkan karakter lesbian minor namun menjadi bagian dari saraf cerita V for Vendetta ini. Valerie dan Ruth adalah lesbian yang tak kenal kata meminta maaf atau ampunan atas kelesbianan mereka. Yang dengan keberadaannya melahirkan sebuah gagasan besar dalam misi V sebagai tokoh utama dalam novel grafis yang sudah diangkat ke layar lebar ini.


Mulai dari sini saya dipaparkan dengan karya-karya pengarang lain. Neil Gaiman, misalnya. Dengan The Sandman-nya dia membuat saya ketakutan dan gila setengah mati. Namun dari serial The Sandman, saya juga dipaparkan dengan pasangan lesbian. Pasangan lesbian Hazel dan Foxglove yang weird and odd, tapi tetap saja pasangan lesbian. Sandman ini terlalu dark dan aneh buat saya, walaupun bukan jadi novel grafis favorit, tapi tetap bisa jadi pilihan bacaan buat penggemarnya. Boleh jadi novel-novel karya Neil Gaiman pun bisa jadi pilihan bacaan untuk kita. Seperti Neverwhere, yang selalu saya yakini memiliki subteks lesbian, dengan tokoh Hunter.


Brian K. Vaughn, termasuk komikus grafis yang pernah beberapa kali menampilkan unsur lesbian dalam karya-karyanya. Sebut saja serial Y: The Last Man, yang sejauh ini merupakan novel grafis yang paling menggugah saya dengan beragam konsep dan gagasannya. Brian K. Vaughn, mengawali novel grafis ini dengan pertanyaan, “Bagaimana jika lelaki musnah di muka bumi ini? Dan hanya tersisa satu lelaki yang menjadi hero dan antiheronya?” Perempuan, feminisme, dan lesbian menjadi beberapa topik gagasan yang dibahasnya di sini. Bahkan di dunia tanpa lelaki, seorang yang bukan lesbian ya tidak bisa dipaksa juga jadi lesbian. Novel grafis pemenang berbagai penghargaan ini terdiri atas sepuluh seri dan bakal menghabiskan jutaan rupiah jika kita ingin mengoleksi serial bahasa Inggrisnya. Tapi kalau buat saya sih worth it banget.

Terry Moore juga termasuk komikus novel grafis yang dekat dengan dunia lesbian. Serial Strangers in Paradise-nya memperoleh Eisner Award, namun karena keterbatasan akses dan aset saya tidak membaca semua seri ini. Tokoh utama serial ini adalah perempuan biseksual dalam hubungan cinta segitiganya dengan seorang lelaki dan perempuan. Selain Strangers in Paradise ini, Terry Moore juga menjadi salah satu penulis di serial novel grafis Runaways, di mana dalam Runaways, terdapat seorang tokoh bernama Karolina yang lesbian, sayangnya saya belum pernah membaca dan memegang novel grafis Runaways secara fisik.

Selain Terry Moore, Joss Whedon merupakan salah satu penulis di Strangers in Paradise. Dia merupakan kreator yang saya kagumi. Mulai dari Buffy the Vampire Slayer di layar televisi hingga menjadi salah satu menulis dalam komik Runaways, dia selalu bisa menyampaikan gagasan lesbian dalam bentuk yang non-stereotipe dan cool. Dalam Buffy season 8 yang hanya dimunculkan dalam komik karena serial TV-nya berakhir pada season 7, Buffy yang tidur dengan perempuan, tapi tidak menjadikannya lesbian. Bukan pula eksperimen, tapi ya terjadi begitu saja. "Lesbianisme" dalam Buffy ini tidak mengejutkan karena dalam serial TV-nya berkali-kali penonton lesbian mengharapkan terjadinya hal semacam itu. Walaupun dalam serial TV, Joss "hanya" menjadikan Willow, salah satu sahabat Buffy sebagai lesbian yang bukan jenis lesbian biasa.


Pemujaan terhadap para lelaki ini tidak mengecilkan novelis atau komikus lesbian seperti Alison Bechdell yang saya kagumi, misalnya. Alison yang menulis comic strip Dykes to Watch Out For juga membuat novel grafis semi-autobiografi berjudul Fun Home. Fun Home adalah sedikit dari novel grafis yang diterbitkan dalam bentuk hard cover dan menjadi buku pemenang Lambda Award dan menjadi buku laris Amazon tahun 2006.

Tulisan ini hanyalah segelintir contoh novel grafis yang kebetulan bisa saya baca, masih banyak komik/novel grafis hasil karya lelaki semacam ini yang menunggu untuk kita temukan. Meskipun memang keberadaan penulis lelaki ini tidak akan cukup memuaskan dahaga lesbian-lesbian, namun membaca karya lelaki-lelaki ini membuka wawasan yang berbeda, memperkaya diri, dan memberi kita kesempatan melihat dari luar konteks mata dan benak penulis lesbian semata.


@Alex, RahasiaBulan, 2008

Tadi pagi saya dan partner menonton preview film Twilight. Film ini baru beredar secara resmi di Indonesia tgl 2 Desember 2008, tapi yang fans berat bisa midnight show malam ini tanggal 29 November. Kalau saya sih, sudah kalap menunggu film ini sejak diputar di Amrik 21 November minggu lalu. Melihat bagaimana Bella dan Edward saling jatuh cinta membuat saya jadi luluh, lemas, dan konsentrasi penuh pada layar bioskop. Saya dan Lakhsmi terpaku pada layar dan nyaris tidak sempat komentar saking otak kami penuh banget dengan cintanya Bella dan Edward ini.

Oke, oke, mungkin masih ada yang tinggal di hutan belantara selama setahun terakhir jadi nggak tau saya ngomong apa. Twilight merupakan novel yang ditulis oleh Stephenie Meyer dan terbit pada tahun 2004, yang sejauh ini sudah dibuat tetralogi. Twilight, New Moon, Eclipse, Breaking Dawn. Ceritanya tentang remaja 16 tahun bernama Bella Swan yang jatuh cinta pada Edward Cullen. Masalahnya adalah Edward bukan manusia biasa, melainkan vampir.

Selama berbulan-bulan saya sudah merecoki semua orang dengan novel ini, tak terkecuali Lakhsmi. Hihihi... Sayang, kita tuh Edward dan Bella banget. Itu yang selalu saya katakan padanya. Kalau ada pertanyaan “Kenapa sih saya dan Lakhsmi masih bersama-sama sampai saat ini?” Baca aja Twilight dan kamu pasti ngerti. Nggak usah nunggu sampai 5 tahun pacaran untuk bisa menjawabnya... hahaha.

Balik ke filmnya. Film ini dibuat dengan bujet hanya 31 juta dolar untuk buku yang menghebohkan ini. Tidak banyak teknologi khusus seperti Harry Potter atau LOTR atau aktris-aktris ngetop sebagai pemerannya karena awalnya Twilight adalah film yang tidak dilirik perusahaan film raksasa. Saya suka sekali Kristen Stewart dan Robert Pattinson yang berperan sebagai Bella dan Edward. Ini merupakan lompatan karier terbesar bagi mereka berdua. Kristen Stewart pernah jadi anak perempuan Jodie Foster yang tomboi dalam The Panic Room. Sementara Robert Pattinson adalah Cedric Diggory dalam Harry Potter and the Goblet of Fire.

Kristen Stewart menampilkan Bella yang gelisah, kuper, dan bingung saat pertama kali harus pindah ke kota dan sekolah baru. Robert Pattinson juga sukses menjadi Edward oh Edward yang awalnya tampak tegang selalu dan makin lama makin santai dan rileks. Pertama kali lihat wajah Edward sih agak aneh gitu, tapi lama-lama saya sudah menganggap dia sebagai Edward beneran. Wuih, apalagi pas adegan di hutan.


Tokoh-tokoh vampir lain, terutama vampir perempuannya juga memiliki karakter kuar. Victoria, sang vampir jahat juga akan saya nantikan jika nanti film lanjutannya, New Moon, dibuat. Alice juga kelihatan cantik, Rosalie tampil dingin bagai es dan keduanya cocok banget dengan peran mereka.

Oke, tadinya saya agak ilfil dengan pemilihan Taylor Lautner sebagai Jacob, tapi tenyata pas di layar dia not bad kok. Apalagi pas adegan dia dipelototin sama Edward gara-gara Jacob berani “mendekati” Bella. Saya langsung berteriak, “Patahin! Patahin aja kakinya si Jacob...!” Hahaha, terpengaruh gituuuu... norak deh gue.

Selain filmnya yang setia pada novelnya, soundtrack filmnya juga keren bangeeet. Dan Robert Pattinson nyanyi dua lagu dalam soundtracknya. Pas adegan dansanya, waduh, saya hampir pingsan saking irinya dan langsung pegangin tangan Lakhsmi karena saya jatuh cinta sama Edward.

Film ini disutradari oleh sutradara perempuan Catherine Hardwicke dan ditulis skenarionya oleh Melissa Rosenberg. Produser film ini Summit Entertainment berhasil meraup untung besar dengan pemasukan box office 69,5 juta dollar pada minggu pertama pembukaannya. Melalui Twilight, dia menjadi sutradara perempuan dengan penghasilan box-office terbesar. Film ini langsung menggeser kedudukan Quantum of Solace yang cuma bertahan satu minggu di posisi pertama. Dan menyesalah eksekutif-eksekutif film yang kebanyakan lelaki berjas di Paramount Pictures, yang tadinya mau memutilasi habis-habisan cerita untuk film Twilight ini, namun ditentang oleh Stephenie Meyer, karena menurut mereka, “Siapa sih yang mau nonton film cewek abege yang jatuh cinta sama vampir?”

Maverick, perusahaan hiburan milik Madonna melihat potensi novel ini untuk menimbulkan histeria massa terbesar setelah Harry Potter dan memutuskan untuk membeli hak filmnya pada tahun 2004. Dan bisa dibilang inilah era kebangkitan perempuan dalam film Hollywood. Filmnya diangkat dari novelis perempuan, ditulis skenarionya oleh perempuan, disutradarai oleh perempuan, dieditori oleh perempuan. Bukunya sendiri sudah beredar sebanyak 25 juta eksemplar dan diterjemahkan ke 37 bahasa serta menimbulkan histeria bagi jutaan perempuan berusia 12-45 tahun. Mengutip kata Edward, "You can google it if you want."

Apa sih hebatnya Twilight? Apa yang membuat bahkan Barack Obama saja mengatakan bahwa dia juga ikut membacanya. Padahal ini cuma kisah cinta kacangan yang ditulis oleh ibu tiga anak dari Arizona Amerika Serikat, yang penganut agama Mormon yang taat pula. Beneran kok ceritanya roman nggak penting, tapi cara Stephenie Meyer menampilkan cinta yang sensual tanpa seks itulah yang membuat para pembaca tambah berdebar-debar, sampai menahan napas. Di filmnya, kobaran ini tidak sedahsyat dalam buku, namun tidak bisa dibilang gagal pula. Pas, tapi kurang. Kurang puas rasanya mendengar ungkapan-ungkapan cinta Edward pada Bella. Yah, yah, I'm a romantic fool.


Cinta. Patah hati. Kebaikan. Kejahatan. Manusia. Iblis. Itulah inti Twilight. Sebagai manusia kita akan terhubung dengan kejadian-kejadian dalam novel ini dengan komentar, “ya ampun ini gue banget ya!”

Siapa pun orang yang pernah jungkir-balik karena cinta, pasti akan ngerti buncahan perasaan Bella dan Edward dalam Twilight. Bagi yang pernah patah hati karena cinta, pasti akan langsung “kena” ketika baca New Moon. Bagi yang pernah merebut kembali pacarnya atau mencintai milik orang lain, pasti akan nyambung saat baca Eclipse. Terlebih lagi buat pembaca perempuan, ditambah bumbu cinta terlarang, hm, makin klop kan untuk pembaca lesbian?

Meskipun “terlahir” sebagai predator paling berbahaya di muka bumi, Edward dan keluarganya tidak berburu darah manusia, mereka hidup dengan darah binatang. Yang kalau diibaratkan, mereka adalah keluarga vegetarian. Dan mereka harus banyak melakukan kontrol diri untuk bisa menahan nafsu monster dalam diri mereka. Sama seperti manusia. Saat sudah punya pasangan, begitu besar kendali yang harus kita terapkan bagi diri kita kalau kita tidak mau “membunuh” pasangan kita. “Control your thrist.” Begitu banyak makanan di luar sana yang memohon untuk dicicipi, tapi pada akhirnya yang membedakan kita dari monster adalah kemampuan kita mengendalikan diri.

Eniwei, film sepanjang 121 menit ini bergerak dengan lambat di saat adegan roman dan bergerak cepat di saat adegan-adegan aksi. Jika kamu fans novel Twilight, film ini jelas kudu ditonton! Filmnya setia dengan buku. Bodo amat deh kalau ada komentar jelek tentang film ini... tapi buat saya, ini film yang berhasil mengangkat buku ke film dengan baik. Sampai saat ini otak saya masih dipenuhi wajah Edward. Ampun deh.

@Alex, RahasiaBulan, 2008


Tulisan Lakhsmi tentang Twilight,
http://treeofheart.blogspot.com/2008/11/twilight.html

Oleh: Alex

Apa yang kaulakukan jika kau sudah menikah, memiliki tiga anak, dan jatuh cinta pertama kalinya dengan perempuan?


Alice Jordan memiliki kehidupan yang sempurna. Rumah idaman di pedesaan yang baru dibelikan oleh suaminya, Martin. Tiga anak yang melengkapi hidup berkeluarganya. Dan suami setia dan pekerja keras yang tak menuntut macam-macam darinya.

Akan tetapi, Alice tidak bisa menghilangkan perasaan depresinya. Perasaan bahwa dia menjalani hidup selama 31 tahun sambil “tidur”. Niatnya untuk meneruskan hobi melukis di rumah baru yang dinamai The Grey House di desa Pitcombe, Inggris, ternyata membuat Alice makin tertekan. Setelah melahirkan anak ketiganya, Charlie, Alice mandek dan tidak bisa melukis lagi.

Selama sepuluh tahun perkawinannya Alice Jordan tidak pernah merasakan gejolak perasaan yang membuncah terhadap suaminya, Martin. Dia bertemu dengan Martin pada awal usia dua puluhan, menikah karena jatuh cinta pada kebaikan Martin dan menyayangi ibu mertuanya yang memiliki taman indah idamannya. Tahun berlalu, kemudian Alice hamil anak pertama, Natasha, dilanjutkan dengan anak kedua, James, dan anak ketiganya, Charlie dalam masa sepuluh tahun. Namun selama itu Alice tidak pernah menjalani hidup sehidup-hidupnya.

Hingga akhirnya Alice bertemu dengan Clodagh Unwin, putri bungsu bangsawan di desa itu. Clodagh yang baru tiba dari New York adalah perempuan ugal-ugalan manja tipikal gadis kaya yang biasa mendapatkan apa yang dia mau. Menurut gosip yang beredar di desa, Clodagh pulang ke desa membawa patah hati dari New York. Namun yang tidak diketahui oleh semua orang adalah, Clodagh meninggalkan kekasih perempuannya di New York karena tidak tahan hidup bersamanya. Clodagh kemudian jatuh cinta pada Alice dan tanpa malu-malu masuk ke dalam hidup Alice dan menjadi bagian dari The Grey House. Kehadiran Clodagh pada awalnya memberikan warna dan kesegaran bagi hidup Alice yang tanpa warna. Anak-anak Alice pun jatuh sayang pada Clodagh yang mahir masak dan selalu menemani mereka sepanjang hari.

Alur cerita novel ini berjalan lambat, sesuai dengan karakter Alice yang lambat dan plegmatis melankolis. Baru pada halaman 100 dari novel setebal 270 halaman, Alice menemukan diri Clodagh yang sesungguhnya. Pada diri Clodagh, Alice menemukan dirinya sendiri yang lama mati suri. Bersama Clodagh pula, Alice menemukan arti kebahagiaan yang tak pernah ia kenal sebelumnya.

“What Clodagh has given me has enriched me. It hasn’t impoverished anything about me... It’s grown me up. It’s enabled me to love everyone else in my life properly, and as far as I can see only another woman would do for that instructive kind of love because only another woman could see I needed it and could understand about children and self and the permanent balancing act of motherhood and self.” (hal 238)

Novel ini diterbitkan pada tahun 1989, dan bersetting di pedesaan Inggris pada akhir tahun 1970-an hingga 1980-an. Jadi bisa dibayangkan bagaimana kisah ini sangat “kampung Inggris”. Dan membaca judulnya saja, kita tahu bahwa affair Alice dan Clodagh pada akhirnya tercium dan berada di kampung membuat gosip yang beredar di pedesaan bisa menghancurkan keluarga. Dan pada akhirnya pilihan harus dibuat. Pilihan-pilihan yang jika dibaca dua puluh tahun sejak novel ini pertama kali terbit tampak "sesuai" sebagai keputusan dan pilihan era tahun 1980-an di desa.

Joanna Trollope, sang penulis novel ini, sudah menulis novel selama lebih dari 30 tahun. Berbagai penghargaan dan pujian telah diterimanya. Pada tahun 1996, dia memperoleh penghargaan OBE atas sumbangsihnya pada dunia sastra dari Ratu Ingrgis. Dia juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Lahir pada tahun 1943, Joanna Trollope masih menulis hingga sekarang. Dia menikah dua kali dan kini tinggal sendiri di London, dia memiliki dua anak perempuan dan dua anak tiri serta beberapa cucu.

Untuk kesekian kalinya Joanna Trollope menempatkan tokohnya dalam dilema Keinginan diri sendiri versus Tanggung jawab terhadap orang yang disayangi, sebagaimana yang terdapat dalam novel Trollope yang lain, Marrying the Mistress yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dan pada akhirnya pilihan yang harus diambil oleh Alice juga dihadapkan pada dilema semacam itu.

Novel ini sudah diangkat ke layar televisi pada tahun 1994. Membandingkan novelnya dengan film, jelas dua hal yang berbeda. Novelnya jauh lebih kaya menampilkan pribadi sosok Alice hingga menjadi dirinya yang lesbian. Filmnya sendiri jauh lebih membosankan dibanding bukunya. Tapi paling tidak dalam novel, Joanna Trollope bisa menunjukkan perubahan karakter dan emosi Alice Jordan dari hanya sekadar ibu rumah tangga lemah hingga menjadi perempuan mandiri dengan segala konsekuensi keputusan yang harus diambilnya.

@Alex, RahasiaBulan, 2008

10:55 PM

Wajah Pembaca Novel Lesbian Indonesia

Posted by Anonymous |

“Aku nggak suka baca novel,” demikian kata seorang sahabat. “Aku cuma baca novel lesbian,” lanjutnya dengan bangga.

"Mana yang bagus?"

"Semuanya bagus. Semuanya gue banget."

Beberapa kali saya mendapat sambutan seperti itu saat chatting dengan sahabat-sahabat lesbian. Koleksi bukunya cuma novel-novel bertema lesbian dengan tokoh utama atau tokoh-tokoh minor yang lesbian. Saya prihatin dengan kondisi ini.

Sebagai orang yang hidup dan bernapas dalam buku, saya kecewa. Saya tidak melihatnya sebagai kebanggaan. Saya mengukur kecerdasan dan wawasan seseorang dari buku-buku yang dibacanya. Saya belajar banyak dari buku-buku yang saya baca. Di dalam buku saya bisa menyelam tanpa perlu tabung oksigen, saya bisa terbang walau tak punya sayap. Buku, baik fiksi dan non fiksi, selalu membuat saya tak habis kagum pada penulisnya. Untuk fiksi, ada kekaguman yang berbeda dari cara mereka menciptakan realitas melalui tulisan. Pada cara mereka menciptakan dunia yang membuat saya percaya. Pada cara mereka mengajak saya terbang ke sebuah alam di negeri yang punya nyawa dan hidup sendiri.

Seperti kata Tom Clancy "The difference between fiction and reality? Fiction has to make sense."

Pembaca lesbian yang cuma membaca buku fiksi yang “gue banget” itu bukanlah pembaca buku fiksi. Dan di mata mereka semua buku fiksi lesbian itu gue banget dan bagus. Tidak ada buku fiksi lesbian jelek. Pokoknya asal lesbian, bagus punya deh! Mengharukan dan menyentuh, apalagi kalau ceritanya happy ending. Ya! Happy ending, itu yang paling penting! Asal happy ending buku menjadi bagus “banget”.

Pembaca fiksi lesbian masih tersaruk-saruk dan “nyangkut” di kisah happy ending. Walaupun cerita nggak masuk akal serta hukum sebab akibat tidak digarap dengan baik. Atau ditulis dengan bahasa acak-acakan seolah nggak pernah tahu bahwa kita punya kamus bahasa Indonesia. Atau pula plot yang lemah dan berantakan. Itu dianggap sebagai buku yang bagus oleh banyak lesbian. Apalagi jika ditulis oleh sesama sista, maka kualitasnya semakin menjanjikan seolah-olah terlupakan bahwa fiksi berbeda dengan menulis pengalaman pribadi. Nilai sastra tidak menjadi penting lagi, yang penting adalah sistahood-nya.

Pembaca lesbian seharusnya tidak terjebak dalam dikotomi hanya membaca buku fiksi lesbian sementara buku fiksi non-homoseksual dianggap tidak penting dan tidak perlu dibaca. Ini mengakibatkan, nilai pengetahuan atas kualitas sastra pembanding menjadi minim, kalau tak mau dikatakan nol. Jika ada tulisan yang berbeda dari jalur kelaziman langsung dipuja-puja. Atau langsung dilaknati. Sebut saja novel fenomenal seperti Da Vinci Code, berapa besar kepanikan yang ditimbulkan oleh ketakutan bahwa novel ini akan menggoyahkan iman? Jika kita sering membaca buku fiksi, kita tahu bahwa novel ini hanyalah fiksi yang dibuat dengan sangat baik oleh Dan Brown sehingga membuat kita "percaya". Dan kita tahu bahwa apa yang diangkatnya bukan “barang baru” dalam dunia fiksi.

Kepanikan sejenis itu terjadi dalam dunia sastra lesbian kita.

Ada pembaca lesbian yang langsung panik dan ngeri setengah mati saat melihat novel lesbian yang dikaitkan dengan narkoba. Pembaca lesbian yang tidak awam dengan keragaman fiksi langsung seperti cacing kena abu hanya dengan melihat judulnya saja. Padahal novel tersebut memenangkan salah satu penghargaan bergengsi dalam dunia sastra Indonesia. Atau saat melihat novel dengan mencantumkan judul “Lesbian” besar-besar, pembaca seperti ini langsung kalap kegirangan melihat ada novel lesbian yang beredar.

Cerita-cerita lesbian yang menyedihkan, teraniaya, curhat tak bertepi tentang kehidupan sebagai lesbian adalah cerita yang paling dicari oleh pembaca lesbian. Tentang konflik internal dalam diri. Masih sebatas itulah yang dicari pembaca-pembaca lesbian. Kalau lesbiannya terlalu bahagia atau tidak ada konflik batinnya itu dianggap tidak real. Jadi pola yang dicari oleh pembaca lesbian adalah sepanjang novel si lesbian harus terus-menerus dirundung derita lalu menjelang akhir dia akan menemukan happy ending seperti cerita-cerita sinetron yang sering kita lihat di televisi.

Fanatisme buta semacam itu bukanlah penghargaan terhadap pengarang sebagai pengarang. Dia tidak dihargai karena hasil karya sastranya. Jika dia tidak menulis novel lesbian lagi, apakah si pengarang masih akan dipuja oleh pembacanya yang notabene lesbian?

Akhirnya, karya-karya fiksi lesbian yang berkualitas rendah dalam bobot sastra tidak mendapatkan kritik proporsional dari para pembaca sastra (baca: pembaca lesbian) sendiri. Semuanya menjadi bias dan akhirnya studi ilmiah tentang sastra lesbian semakin melemah karena ketiadaan wacana yang sehat dan intelektual. Ini sungguh-sungguh menyedihkan dan memprihatinkan. Entah mau dibawa ke manakah para pembaca fiksi lesbian Indonesia?

@Alex, RahasiaBulan, 2008

9:04 PM

Tabula Rasa – Pertanyaan-Pertanyaan Tentang Cinta

Posted by Anonymous |

Dua tokoh utama dalam novel ini melakukan begitu banyak perjalanan untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka tentang cinta. Galih mencintai Krasnaya. Raras mencintai Violet. Namun sejak awal kita tahu cinta mereka adalah cinta yang tak dipersatukan karena dipisahkan maut. Bahkan dalam daftar isi yang terbagi atas empat bagian pun kita sudah tahu. In Memoriam: Krasnaya. In Memoriam: Violet. Ego Distonik. Ego Sintonik.

Dalam Tabula Rasa, kita melihat gambaran manusia-manusia modern yang dirangkai dalam bentuk fragmen-fragmen dengan setting waktu dan tempat semau si pengarang. Sudut pandang cerita yang dibuat bergerak cepat dan berganti-ganti membuat pembaca bisa saja ogah membaca karena membingungkan, namun bisa juga membuat pembaca lain terseret pada gelombang naik-turun gejolak emosi tokoh-tokohnya. Akan tetapi Ratih Kumala, sang pengarang, berhasil membimbing pembaca memasuki dunia tokoh-tokohnya dengan menerabas waktu dan tempat.

Selama bertahun-tahun Galih berhenti membuka hatinya untuk cinta karena ia keukeuh menambatkan cintanya pada Krasnaya meskipun hatinya pedih dan kesepian. Ia yakin takkan bisa menemukan cinta yang lain seperti cintanya pada Krasnaya. Bertahun-tahun kemudian pula Galih bertemu Raras. Perempuan muda, mahasiswinya, yang menyimpan banyak kegundahan terhadap dirinya sendiri. Melalui Raras, Galih berusaha mengisi hatinya yang sekarat dengan rasa.

Tokoh-tokoh dalam novel ini bertindak atas nama cinta. Dalam perjalanan awal, Raras dan Galih menggenggam rasa mencintai itu dalam hati mereka. Mati-matian mereka berpikir beranggapan bahwa itulah hakikat cinta. Dengan terus bertahan menggenggam rasa cinta tanpa menyadari bahwa mereka sebenarnya hanya mengepalkan tangan. Dan saking kuatnya mengepal, Galih menutup hatinya untuk cinta. Sementara saking kuatnya mengepal, Raras tidak membuka hatinya untuk berbagai kemungkinan atas cinta.

Raras adalah perempuan dengan masa lalu kelam dan berada dalam kondisi bimbang terhadap siapa diri dia sebenarnya. Ia berada di persimpangan jalan antara membalas cinta lelaki yang baik bernama Galih ini atau terus mempertanyakan cintanya pada Violet. Raras berusaha menyelami kembali siapa dirinya. Apakah dia lesbian, apakah dia hetero, apakah dia biseks? Pertanyaan-pertanyaan yang kian lama tampak wajar dalam dunia modern ini.

Jawaban-jawaban atas pertanyaan tentang cinta itu terjawab dengan sendirinya oleh hidup itu sendiri. Oleh pengalaman-pengalaman dan keputusan-keputusan yang diambil pada setiap belokan yang mereka temui dalam perjalanan hidup.
Hal-hal bodoh yang pernah kulakukan di masa lalu. Selalu anehnya pada waktu itu kita berpikir bahwa itu adalah yang terbaik... Ada suara hati yang berbisik dan kita mendengarkannya. Dan dari semua hal, nafsu adalah hal yang paling abadi, dominan, permanen... Pusat pikiran serta konsentrasi kita padanya melebihi pegangan hidup kita lainnya seperti iman dan segala aturan, baik agama maupun negara, yang katanya untuk membimbing hidup. Apa lagi yang mengendalikan hidup kita selain hati? Akal, dan hanya itu yang bisa kita harapkan. (h.134-135)

Lesbianisme dalam Tabula Rasa bukanlah jadi wacana "mengapa" dan "bagaimana" tapi merupakan sesuatu yang memang sudah ada dan menunggu untuk ditemukan oleh Raras, si lesbian dalam novel ini. Cintanya pada Violet dan hubungannya dengan Galih menjadi sesuatu yang sifatnya empiris.

Tabula Rasa adalah pemenang ketiga Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2003. Dan ini merupakan novel pertama Ratih Kumala, perempuan kelahiran tahun 1980, lulusan Sastra Inggris Universitas Sebelas Maret. Selain menulis novel, cerpen-cerpen Ratih Kumala juga dimuat di berbagai media massa nasional. Pada tahun 2005, ia menerbitkan sebuah novel berjudul Genesis dan kumpulan cerpen berjudul Larutan Senja tahun 2007. Meskipun memperoleh penghargaan bergengsi, Tabula Rasa sebenarnya bukan novel “berat”. Ini adalah novel yang santai, namun sayangnya ada beberapa bagian yang seharusnya diedit dengan lebih rapi. Kesalahan-kesalahan ketik dan penggunaan bahasa yang berlapis dengan terjemahan menganggu kenyamanan pembaca.

Menurut wikipedia, Tabula Rasa yang berasal dari bahas latin berarti kertas kosong, merujuk pada pandangan pandangan epistemologi bahwa seorang manusia lahir tanpa isi mental bawaan, dengan kata lain "kosong", dan seluruh sumber pengetahuan diperoleh sedikit demi sedikit melalui pengalaman dan persepsi alat indranya terhadap dunia di luar dirinya.

Dan di sinilah konsep lesbianisme yang ditawarkan Ratih Kumala, sang pengarang. Raras menjadi lesbian berdasarkan hasil pengalaman, yang terbentuk dari jalannya hidup. Aku dilahirkan sebagai batu yang kosong. Aku tabula rasa, aku adalah dogma dari aliran empiris dan aku terbentuk dari jalannya hidup. (h.183)

@Alex, RahasiaBulan, 2008

9:31 PM

Kronologi 25 Tahun Sastra Lesbian di Indonesia

Posted by Anonymous |

Buku-buku lesbian termasuk salah satu genre yang menjadi lirikan saya setiap kali ke toko buku. Terutama buku-buku fiksi. Saat melihat kembali buku-buku yang berderet di rak buku, tangan saya menelusuri buku-buku tersebut dan mata saya membaca kembali tulisan-tulisan yang tertera di dalamnya sehingga terbersit niat untuk membuat semacam kronologi singkat sejarah sastra lesbian di Indonesia selama 25 tahun.


Relung-Relung Gelap Hati Sisi - Mira W. (1983)
Dimulai pada tahun 1983, ketika Mira W. menerbitkan Relung-Relung Gelap Hati Sisi yang menjadikannya novel populer pertama di Indonesia yang mengangkat isu lesbian. Buku ini mengisahkan sepasang gadis SMA bernama Sisi dan Airin yang jatuh cinta terhadap satu sama lain, namun memutuskan untuk membunuh hasrat tersebut. Airin memutuskan pergi ke Amerika, sementara Sisi berkonsentrasi pada kuliah kedokteran. Namun cinta mereka terlalu besar untuk dipadamkan begitu saja dan baik Sisi maupun Airin tidak bisa melupakan cinta mereka. Hingga bertahun-tahun kemudian Sisi dan Airin bertemu lagi ketika Airin menjadi pasien, dan Sisi menjadi dokter.

Sampai saat ini, Relung-Relung Gelap Hati Sisi masih terus dicetak ulang dan mencapai cetakan ketujuh. Mira W. Sendiri adalah salah satu pengarang senior papan atas Indonesia yang sudah berkarya selama lebih dari 30 tahun dan telah menghasilkan lebih dari 70 buku. Kisah cinta Airin dan Sisi dalam novel yang terbit pertama kali 25 tahun lalu masih menjadi kisah yang relevan untuk dibaca sampai zaman sekarang tidak hanya oleh pembaca lesbian, namun juga untuk pembaca heteroseksual.

Menguak Duniaku: Kisah Sejati Transeksual - R. Prie Prawirakusumah dan Ramadhan KH (1988)
Menguak Duniaku: Kisah Sejati Transeksual pertama kali terbit tahun 1988, ditulis oleh R. Prie Prawirakusumah dan Ramadhan KH. Buku ini dicetak ulang dengan beberapa revisi di sana-sini pada tahun 2005. Mungkin buku ini akan “lewat” begitu saja dan hanya akan jadi buku ala biografi yang dipandang sebelah mata jika bukan ditulis oleh Ramadhan KH. Ramadhan KH. adalah sastrawan terkemuka yang telah menulis puluhan biografi orang penting, termasuk biografi Soekarno dan yang biografi terakhir sebelum Ramadhan KH. meninggal dunia tahun 2006 lalu adalah biografi Adnan Buyung Nasution, yang ditulisnya bersama Nina Pane.

Menguak Duniaku adalah novel semi-biografi yang berkisah tentang perempuan bernama Hen yang merasa terlahir di tubuh dan kelamin yang salah. Meskipun lahir sebagai perempuan, Hen merasa dirinya 100% laki-laki, dan jatuh-bangun dalam menjalin cinta dengan perempuan. Hen berusaha menjalani operasi ganti kelamin agar bisa menjadi lelaki sejati, namun apa dinyana tubuhnya dianggap tidak bisa menjalani operasi besar tersebut dan terpaksa harus tetap menjalani hidup sebagai “perempuan”. Menguak Duniaku adalah novel tentang kisah transeksual yang ditulis dengan baik, dan tidak hanya semata-mata curhat tentang derita menjalani hidup sebagai transeksual.

Saman - Ayu Utami (1998)
Saman sesungguhnya bukan novel lesbian, tapi tidak menyebut Saman dalam konteks ini rasanya tidak fair. Novel ini mengangkat nama Ayu Utami, sang penulisnya, ke level tertinggi dunia sastra Indonesia. Empat perempuan dalam Saman ditampilkan dengan karakter yang berbeda. Yasmin, Cok, Laila, dan Shakuntala adalah perempuan-perempuan yang mengalami “kegelisahan” seksual. Ada perempuan yang tidur dengan suami orang, perempuan yang tidur dengan pastor, perempuan yang menganut paham seks bebas, dan perempuan yang biseks. Konsep novel dengan perempuan baik hati dan cantik, yang menunggu cinta dari lelaki dihancurkan habis-habisan di sini. Dalam Saman, tokoh-tokoh perempuan memegang kendali atas tubuhnya sendiri dan melakukan pengambilan keputusan atas dasar itu.

Saman adalah novel yang terbit dalam momen yang teramat tepat, yaitu beberapa minggu sebelum kejatuhan Soeharto dan Orba pada bulan Mei 1998. Saman juga menjadi pemenang pertama novel DKJ tahun 1998 serta jadi novel yang paling dibicarakan satu dasawarsa lalu. Novel ini pula yang membuka kesempatan bagi penulis-penulis perempuan dengan tema-tema “berani”. Buku ini pula yang membuka pintu kesempatan untuk tokoh-tokoh lesbian atau gay menjadi karakter penting dalam novel. Kehadiran Saman melahirkan generasi perempuan penulis yang tidak malu buka-bukaan dan menelanjangi perempuan (dan laki-laki) habis-habisan dalam tulisan mereka serta membuka mata penerbit di Indonesia untuk menerbitkan tema-tema yang di luar garis.

Lines: Kumpulan Cerita Perempuan di Garis Pinggir - Ratri M. (2000)
Walaupun dengan segala keterbatasan yang ada Lines: Kumpulan Cerita Perempuan di Garis Pinggir karya Ratri M. yang diterbitkan secara indie tahun 2000 adalah kumpulan cerpen lesbian pertama di Indonesia. Kumpulan cerpen ini terbagi atas tiga bagian Kasih, Keraguan, dan Penantian. Hampir semua cerpen di sini ditulis dengan gaya bercerita ala “curhat” yang banyak berisi kegalauan dan kegelisahan sebagai lesbian. Kebingungan dan keresahan sebagai lesbian disampaikan dengan jelas di sini.

Ratri M. tidak berusaha sok nyastra dalam kumpulan cerpen ini dan menjadikan kesederhanaan sebagai hal yang ditonjolkannya. Realitas yang diangkat dalam cerpen-cerpen ini terasa amat “sehari-hari”. Kau bisa menemukan kisah yang ada di sini pada lesbian tetanggamu atau sahabat lesbianmu atau bahkan pada dirimu sendiri. Membaca kumpulan cerpen ini seakan berkaca pada dunia abu-abu lesbian.

Jangan Beri Aku Narkoba - Alberthiene Endah (2004)
Terbit pertama kali pada tahun 2004, Detik Terakhir (d/h Jangan Beri Aku Narkoba) adalah novel yang menjadi inspirasi film berjudul Detik Terakhir dengan peran utama Cornelia Agatha dan Sausan. Novel ini bercerita tentang gadis remaja bernama Arimbi yang berasal dari keluarga broken home hingga kemudian dia lari pada narkoba. Kasih sayang yang didambakan Arimbi akhirnya dia temukan pada diri Vela. Buku ini tidak terjebak dalam paradigma bahwa lesbian dan narkoba adalah semacam simbiosis. Justru cinta antara Arimbi dan Vela-lah yang membuat mereka mau berusaha keras melepaskan diri dari jerat narkoba. Hebatnya, buku ini memberikan kejutan manis kepada pembaca novel di Indonesia dengan menjadi pemenang I Adikarya Ikapi sebagai buku remaja terbaik tahun 2005.

Selain dikenal sebagai novelis, Alberthiene Endah sudah malang melintang di dunia media selama 15 tahun dan menjadi pemimpin redaksi majalah Prodo serta dosen jurnalistik. Spesialisasi lainnya adalah menulis biografi dan skenario. Biografi KD, Venna Melinda, Raam Punjabi, dan Chrisye adalah hasil buah tangannya. Buku-bukunya kerap diangkat ke layar film dan TV, di antaranya Detik Terakhir dan Dicintai Jo, yang dua-duanya bertema lesbian. Sebelumnya Alberthiene Endah juga mengarang sebuah novel lesbian bergenre MetroPop berjudul Dicintai Jo pada tahun 2005.

Dicintai Jo - Alberthiene Endah (2005)
Ditulis dengan bahasa zaman sekarang yang ngepop dan gurih tidak membuat Dicintai Jo terperosok jadi novel garing yang nggak penting. Novel ini menghadirkan sosok lesbian butch yang keren, kaya, dan baik hati. Pokoknya sosok butch impian deh. Dan Jo ini mencintai Santi---tokoh utama dalam novel ini---yang sayangnya adalah straight. Namun Jo tidak kemudian serta-merta berubah jadi lesbian sakit jiwa yang obses terhadap perempuan straight yang jadi objek cintanya, sebagaimana image yang sering ditampilkan dalam koran-koran lampu merah. Dia tetap jadi Jo yang keren, kaya, dan baik hati. Hal ini menjadikan Jo sebagai ikon lesbian butch yang sehat dan menyenangkan. Hingga tulisan ini dibuat, Dicintai Jo dan Jangan Beri Aku Narkoba masing-masing sudah memasuki cetakan ketiga dan mencapai oplah @15.000 eksempar hingga kini.

Rahasia Bulan - Is Mujiarso (ed.) (2006)
Bicara soal literatur queer, jelas kita tidak bisa meninggalkan antologi Rahasia Bulan. Ini adalah kumpulan cerpen antologi pertama bertema LGBT yang terbit pada tahun 2006. Cerpen-cerpen di dalamnya ditulis oleh sederetan penulis “beken” dan “pemula” dalam konsep yang mencampuradukkan gaya “sastra”, “pop” dan “in-between”.

Gado-gado jelas menjadi kekuatan dan kelemahan antologi ini. Alasan pemilihan cerpen tampak rancu, tidak jelas apakah cerpen-cerpen yang termuat di sini dipilih berdasarkan pengarangnya atau cerpennya itu sendiri. Tidak semua pengarangnya adalah gay/lesbian, dan tidak semua cerpennya pernah dimuat di media massa. Akan tetapi kegado-gadoan itu pula yang menjadi kekuatan karena antologi ini dalam niatannya untuk menampung segala aspek yang ada dalam sastra queer. Dan Rahasia Bulan juga lahir berdasarkan semangat mengusung tema LGBT sehingga menjadi satu antologi yang kehadirannya layak dicatat dalam catatan sejarah literatur Indonesia.

Gerhana Kembar - Clara Ng (2007)
Gerhana Kembar mungkin cerita lesbian yang dibaca oleh pembaca terbanyak di Indonesia sejak Oktober 2007, karena sebelum diterbitkan menjadi novel, Gerhana Kembar menjadi cerita bersambung di harian Kompas. Secara hitungan kasar, puluhan ribu pembaca, entah itu pembaca homoseksual atau heteroseksual, membacanya setiap hari.

Novel kesembilan karya Clara Ng ini dibuat dengan kisah pararel antara tahun 1960-an dan masa sekarang. Sebuah naskah tua dan lembaran-lembaran surat yang ditemukan seorang editor bernama Lendy perlahan-lahan membuka tabir rahasia hidup neneknya. Naskah itu pula yang membuat Lendy menelusuri kembali jejak masa lalu Nenek dan ibunya dan membantu Lendy menemukan arti cinta yang sebenarnya.

Tulisan di atas hanya menampilkan beberapa novel, kumpulan cerpen, dan antologi yang mengangkat tema lesbian selama 25 tahun terakhir. Karya-karya di atas memiliki arti penting karena menjadi pionir dalam caranya sendiri untuk menembus dunia penerbitan dan sastra Indonesia yang konon dingin dan tak terjangkau. Dan kini menapaktilas kembali sejarah panjang dunia sastra kita, kita bisa melihat jejak kehadiran buku-buku tersebut dalam dunia sastra (lesbian) Indonesia.

Buku-buku yang memiliki unsur lesbian, baik itu dalam tema utama ataupun tokoh sekunder, merupakan suatu cara untuk menunjukkan visibilitas lesbian di Indonesia. Fiksi menggunakan medium seni untuk menjangkau yang tidak terjangkau melalui gerakan non-seni. Dan meminjam kata pepatah, selama 25 tahun tampak bahwa "mata pena (ternyata) lebih tajam daripada mata pedang."

@Alex,RahasiaBulan, 2007

Gerhana Kembar menjadi novel yang teramat penting dalam catatan sejarah sastra Indonesia. Mengikuti jejak novel fenomenal karya legenda sastra Indonesia, Marga T. dengan Karmila pada tahun 1973, Gerhana Kembar dimuat sebagai cerita bersambung di harian Kompas sepanjang bulan Oktober 2007 hingga Januari 2008. Dan bisa dibilang, Gerhana Kembar adalah novel bertema lesbian yang dibaca oleh puluhan ribu pembaca koran setiap harinya.

Novel ini dibuat dengan kisah pararel antara tahun 1960-an dan masa sekarang. Mengisahkan tiga generasi nenek-ibu-cucu bernama Diana, Eliza, dan Lendy yang terangkai melalui sebuah naskah tua. Lendy yang berprofesi sebagai editor menemukan naskah yang diyakini sebagai naskah yang ditulis neneknya. Semakin lama Lendy membaca naskah itu, ia yakin naskah berjudul Gerhana Kembar tersebut merupakan kisah nyata.

Ber-setting pada tahun 1960-an, naskah Gerhana Kembar menceritakan tentang Fola dan Henrietta. Dua perempuan yang saling mencintai namun permainan takdir membuat mereka tidak bisa bersama. Setting tahun 1960-an mengingatkan kita bahwa lesbianisme bukanlah produk dari kebudayaan modern. Membuka mata kita bahwa sesungguhnya lesbianisme sudah ada sejak zaman nenek-nenek kita.

Novel ini tidak hanya bercerita tentang lesbian, tapi juga tentang menjadi perempuan. Tentang menjadi istri dan ibu. Tentang menjadi anak dan cucu. Tentang cinta dan kebahagiaan. Beberapa novel gay/lesbian menyatakan “Cinta tak mengenal jenis kelamin”, tapi baru pada Gerhana Kembar, kita bisa perbandingan dari pernyataan di atas.

Clara Ng, sang pengarang, dengan manis mempararelkan adegan percintaan Fola dengan Henrietta di halaman 184-185 dengan adegan percintaan Eliza dan Martin pada halaman 201-202.

Dia ingin Henrietta berkata bahwa cinta tak pernah salah, dan jika kau mencintai seseorang dengan sepenuh hatimu, kau sesungguhnya mendapat anugerah. (h.185)

Eliza ingin Martin mengatakan semuanya akan baik-baik saja, bahwa apa yang mereka lakukan tidaklah salah. Tapi jikalau salah, Martin akan berada di sampingnya untuk memperbaikinya demi cintanya pada Eliza. (h. 202)

Di antara pengarang-pengarang yang muncul setelah tahun 2000, Clara Ng adalah ratu pembuat twist dalam cerita dan kenekatannya untuk membuat kisah yang terkadang di luar garis. Coba baca novel-novelnya seperti Tujuh Musim Setahun, The (Un)Reality Show, Utukki: Sayap Para Dewa, Dimsum Terakhir, dan Tiga Venus. Anda akan lihat bagaimana gilanya sang pengarang dalam menabrakkan diri untuk menulis tema yang mungkin tidak terpikir oleh pengarang-pengarang lain. Dia juga pengarang serbabisa, bukan hanya dikenal sebagai novelis, tapi juga cerpenis yang karya-karyanya menghiasi media massa nasional, serta penulis buku anak yang memperoleh penghargaan Adikarya Ikapi selama dua tahun berturut-turut.

Gerhana Kembar tidak semata-mata bercerita tentang kisah lesbian. Sebagaimana Dimsum Terakhir, buku ini juga sangat perempuan. Tokoh-tokoh utama dalam novel ini adalah perempuan dan tidak ada peran antagonis ala sinetron di sini. Karakter lelaki di dalam Gerhana Kembar pun merupakan sosok lelaki-lelaki yang baik dan patut menerima cinta dari tokoh-tokoh perempuan.

Melalui Gerhana Kembar, sebagai lesbian kita akan terseret dalam dilema kebahagiaan yang dihadapi Fola dan Henrietta. Kebahagiaan adalah konsep yang bentuknya relatif. Seperti kata Diana pada halaman 314, “Bahagia itu memang pilihan. Melihat orang lain bahagia juga pilihan.” Dan bagi saya, novel ini memiliki ending bahagia yang “sempurna”. Sulit bagi saya membayangkan ending lain yang lebih baik dari ending yang diberikan oleh novel ini.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

Nick has a three-legged dog named Lucky, some pet fish, and two moms who think he's the greatest kid ever. And he happens to think he has the greatest Moms ever, but everything changes when his birth mom and her wife Jo start to have marital problems. Suddenly, Nick is in the middle, and instead of having two Moms to turn to for advice, he has no one.

Demikian sinopsis buku Between Mom and Jo ini. Nick remaja lelaki 14 tahun yang bernama lengkap Nicholas Nathaniel Thomas Tyler memiliki dua ibu. Satu ibu kandungnya, Erin, dan partner ibunya, Jo. Mom dan Jo memiliki sifat yang bertentangan. Mom orang yang hati-hati dan bertanggung jawab, sementara Jo serampangan dan tidak pedulian. Namun di mata Nick, keduanya adalah ibu yang terbaik. Yang satu mengisi kekurangan yang lain.

Dibesarkan dalam keluarga yang “berbeda” jelas membuat Nick sering jadi anak yang “unik”. Dia tidak punya banyak teman, atau saudara, bahkan ada gurunya yang tidak menyukainya lantaran dia anak dari pasangan lesbian. Namun Nick tidak peduli, karena cukup mendapat kasih sayang kedua ibunya. Terutama Jo, karena Mom lebih sering di luar rumah untuk bekerja. Sementara Jo adalah ibu yang asyik, yang bisa menemaninya bermain dan menghiburnya di kala sedih.

Namun dunia Nick runtuh ketika Mom dan Jo memutuskan untuk berpisah setelah belasan tahun bersama. Meskipun keluarga mereka telah melalui banyak hal bersama.... Kanker yang dialami Erin, ibunya, dan masalah kecanduan alkohol yang dihadapi Jo.

Karena Jo tidak pernah mengadopsinya, Nick harus tinggal bersama ibu kandungnya, Erin. Meskipun tidak mau kedua ibunya berpisah, namun Nick tidak berdaya. Keadaan makin runyam ketika ibunya memiliki kekasih baru bernama Kerri. Nick makin merasa kehilangan Jo. Meskipun Erin adalah ibu kandungnya, bagi Nick, Jo adalah ibu sejatinya.

“You’re my birth mom. I know that. I get that... But Jo...” I hesitate because I don’t know how Mom’s going to react to this. She has to know, though. Deep in her heart I think she does, and that’s the problem. That’s what makes it so hard to say. “Jo’s my real mom.” (hlm. 204)

Jika dalam buku-buku sebelumnya, seperti Luna dan Keeping You a Secret, Julie Anne Peters berkutat dalam permasalahan remaja transeksual dan lesbian, dalam Between Mom and Jo, sang pengarang selangkah lebih maju. Ia menuliskan suatu kisah tentang anak remaja yang memiliki sepasang ibu lesbian. Kisah yang membuat saya berkaca-kaca membacanya. Suatu kisah yang mengingatkan saya pada kebijaksanaan Salomo menghadapi dua perempuan yang memperebutkan bayi.


Kutipan dari: Between Mom and Jo - Julie Anne Peters, Hardcover edition, 232 pages, May 2006, Little, Brown and Company.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

Masa remaja selalu membingungkan... tanpa jadi lesbian pun segalanya tampak kacau dan membingungkan seiring terjadi perubahan hormon dalam tubuh remaja. Bahkan tidak hanya remaja, terkadang orang dewasa pun masih banyak yang bingung, kacau, dan galau kala berdamai dengan lesbian dalam dirinya.

Empress of the World, adalah kisah tentang persahabatan dan cinta yang datang dari arah yang tak terduga. Nicola Lancaster berusia 16 tahun dan mengambil kelas liburan musim panas untuk anak berbakat di Siegel Summer Institute. Di sana ia mengambil kelas arkeologi karena bercita-cita menjadi arkeolog karena hobinya dalam melakukan analisis dan klasifikasi. Di asrama itu dia bertemu dengan beberapa teman yang membawa hidupnya ke arah yang tak terduga. Katrina si jenius komputer. Isaac cowok baik yang bingung. Kevin si pemusik menyebalkan... dan Battle penari cantik berambut pirang bermata hijau dari North Carolina. Nic alias Nicola tak pernah menyangka di antara sahabat-sahabat barunya, dia akan mengalami cinta pertama di musim panas yang indah dengan Battle Hall Davies.

Karena asrama perempuan terpisah dengan asrama laki-laki, maka Nic, Battle, dan Katrina menjalin persahabatan akrab dengan kenakalan-kenakalan wajar anak remaja. Katrina merokok seperti cerobong asap, sering ngomong tanpa pikir panjang, adalah tempat curhat Nic saat dia merasa gelisah ketika menyadari perasaannya terhadap Battle ternyata makin lama makin intens.

Musim panas. Gejolak cinta remaja. Semuanya mempercepat proses hubungan antara Nic dan Battle yang bab-babnya disusun berdasarkan tanggal. Nic menolak menyatakan diri lesbian karena sebelum dengan Battle di sekolah dia pernah naksir cowok keren bernama Andre. Apakah itu menjadikannya biseksual? Lesbian? Lesbian bingung? Apa? Penting nggak sih untuk tahu siapa diri kita? Lesbian,biseksual, straight? Bisa nggak kita jalanin aja hubungan ini, dan nggak perlu dibahas? Itulah yang mungkin ada dalam benak Battle ketika Nic berusaha membahas hubungan mereka, apalagi Battle bukan tipe yang piawai berkata-kata.


"Why are you so obsessed with the whole lesbian thing? I've liked boys before, I probably will again, so I believe that the appropriate word is bisexual, since you so desperate to give me label."
"Why are you obsessed with not being one? I believe that the appropriate word is denial." (h.139)

Demikian debat antara Nic dan sahabatnya, Katrina, ketika Nic berusaha mengklasifikasikan dirinya dalam label. Nic lupa bahwa terkadang cinta hanya perlu dirasakan, karena cinta bukanlah semacam ilmu pasti yang bisa dibahas, dipilah, dan dijelaskan.

Buku ini ditulis dari sudut pandang orang pertama. Dari sudut pandang Nic seorang, jadi segalanya hanya bisa kita lihat dari mata Nic. Itulah yang membuat buku ini jadi tampak gagap karena kita hanya melihat satu sudut pandang. Ditambah lagi begitu banyak tokoh dalam buku ini sehingga tampak sejumlah tokoh yang tak tergali sepenuhnya dan membuatnya jadi terkesan tempelan semata. Namun untungnya Sara Ryan, sang pengarang, mampu mengangkat realitas remaja dalam novel pertamanya yang terbit tahun 2001 ini. Buku Empress of the World ini juga mendapat penghargaan ALA Best Book for Young Adults, Lambda Book Award Finalist, A Booklist Top Teen Romance, dan pemenang Oregon Book Award.

Empress of the World tidak repot-repot membahas masalah coming out, atau bagaimana-kalau-ortu-dan-teman-tahu-kita-pacaran. Isu besarnya bukan di sana, tapi tentang kisah asmara remaja, ketika kau jatuh cinta pertama kali, dan ternyata objek cintamu memiliki jenis kelamin yang sama denganmu. Tidak seperti Keeping You a Secret atau Annie on My Mind, yang menyentuh masalah penerimaan lingkungan terhadap lesbian. Dan Empress of the World adalah salah satu dari sedikit buku remaja yang menyentuh topik biseksual, tanpa menghakiminya. Seakan sang pengarang ingin berkata, "It's okay. Wajar kalau kamu bingung dengan orientasi seksualmu. Itu manusiawi."

@Alex, RahasiaBulan, 2007
PS: Buku ini saya peroleh di toko buku Kinokuniya Singapura $14.75

7:21 PM

Buku: Annie on My Mind - Let Love Win

Posted by Anonymous |

Liza Winthop pertama kali bertemu dengan Annie Kenyon di Metropolitan Museum of Arts di New York ketika ia mendengar suara nyanyian Annie yang sedang duduk di jendela. Dua gadis berusia 17 tahun ini pun langsung menjalin persahabatan, walaupun keduanya berasal dari latar belakang berbeda. Liza bersekolah di sekolah swasta dan tinggal di lingkungan elite New York, sementara Annie bersekolah di sekolah negeri dan tinggal di permukiman “tidak aman” di Brooklyn. Keduanya adalah gadis cerdas yang memiliki cita-cita dan impian. Liza bercita-cita menjadi arsitek dan melanjutkan kuliah di MIT, sementara Annie bermimpi untuk mengejar beasiswa di University of California, Berkeley melalui bakat nyanyinya. Singkat cerita, mereka adalah gadis baik-baik yang dibesarkan dalam keluarga yang penuh kasih sayang.

Hubungan mereka makin akrab, bahkan tidak jarang Annie dan Liza main ke rumah satu sama lain dan masing-masing dari mereka diterima dengan baik oleh orangtua yang lain. Namun hidup mereka berubah 180 derajat ketika hubungan persahabatan mereka perlahan-lahan berubah menjadi hubungan cinta.

Liza---terutama---panik saat menyadari bahwa perasaannya terhadap Annie bukan sekadar persahabatan antar teman, dan keduanya kemudian bersama-sama belajar menghadapi cinta mereka. Karena satu dan lain hal, hubungan Liza dan Annie tertangkap basah oleh pihak sekolah Liza sehingga Liza pun diskors dan diadukan lesbian pada orangtuanya.

Annie on My Mind ditulis berdasarkan narasi Liza dan kita mengikuti segala gejolak perasaan Liza bersama Annie serta perasaannya terhadap orang-orang yang dia sayangi ketika hubungannya dengan Annie terungkap. Salah satu kekuatan Annie on My Mind, selain kisah cinta remaja yang diiringi hasrat menggebu adalah sesungguhnya tidak ada yang jadi “orang jahat” dalam buku ini. Semua orang melakukan apa yang mereka anggap benar dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka. Apalagi harus diingat bahwa buku ini terbit pertama kali pada tahun 1982, dan APA (Asosiasi Psikiater Amerika) baru menyatakan homoseksual bukanlah penyakit kejiwaan pada tahun 1973.

Meskipun sudah 25 tahun berlalu sejak pertama kali buku ini terbit, Annie on My Mind masih relevan dalam menggambarkan remaja SMA yang lesbian dengan segala kekalutannya. Bagaimana takut dan bingungnya Liza ketika menyadari dirinya mencintai Annie dan penerimaan terhadap kenyataan bahwa dirinya lesbian ditulis melalui gambaran realistis oleh Nancy Garden.

Nancy Garden adalah penulis kelahiran Boston, Massachusetts tahun 1938. Kini di usianya yang hampir 70 tahun, ia masih tetap menulis, dan kebanyakan adalah buku-buku remaja. Nancy Garden termasuk salah satu orang pertama yang mendaftarkan pernikahan sesama jenis di Massachusetts bersama pasangannya, Sandy Scott, yang kala itu sudah jadi partner hidupnya selama 35 tahun, yang juga cinta pertamanya sejak sekolah menengah.

Annie on My Mind bisa dibilang buku yang membuatnya terkenal karena untuk pertama kalinya ada novel remaja yang menggambarkan kisah lesbian yang berakhir bahagia. Dan terjadi kejadian menghebohkan ketika pada tahun 1993, buku tersebut jadi buku terlarang dan dibakar di sekolah di Kansas City karena sejumlah orangtua khawatir jika Annie on My Mind bisa memengaruhi anak-anak remaja agar menjadi homoseksual. Akan tetapi pada tahun 1995, buku tersebut akhirnya dikembalikan lagi di rak perpustakaan sekolah karena menurut pengadilan pelarangan tersebut adalah pelanggaran terhadap Amandemen Pertama, yaitu kebebasan berekspresi.

The American Library Association menyebut Annie on My Mind sebagai buku "Best of the Best Books for Young Adults." The School Library Journal juga mencantumkan buku ini dalam daftar 100 buku anak dan remaja yang paling berpengaruh dalam abad 20. Selain itu, juga terpilih sebagai buku pilihan reviewer Booklist tahun 1982, American Library Association Best Books, and the ALA Best of the Best lists. Pada tahun 2003, the American Library Association memberi Nancy Garden penghargaan seumur hidup untuk penulisan buku-buku remaja.

Annie on My Mind adalah salah satu dari sedikit buku yang saya beri bintang lima untuk penggambaran karakter-karakternya yang bisa dibilang nyaris sempurna. Mungkin untuk bacaan remaja Amerika zaman sekarang, cerita buku terbitan tahun 1982 ini tampak “basi”, apalagi dengan setting kota besar seperti New York. Namun dalam banyak hal kisah cinta dalam Annie on My Mind adalah kisah abadi yang tak lekang oleh waktu. Cinta, terutama cinta pertama, adalah hal paling menakjubkan dan juga paling membingungkan, terutama bagi remaja lesbian. Akan tetapi, seperti yang ingin disampaikan oleh sang pengarang lewat buku ini, "Don't let ignorance win. Let love."

@Alex, Rahasia Bulan, 2007

*spoiler alert*

Oranges Are Not The Only Fruit adalah buku sudah lama kepingin saya baca, dan akhirnya setelah bertahun-tahun menunggu akhirnya kesampaian juga (thanks to Lakhsmi :p). Bukan semata-mata karena Oranges menampilkan isu lesbian, tapi lebih karena nilai sastra feminis yang terkandung dalam buku ini ketika pada tahun 2003 seorang praktisi media menulis di harian Kompas saat membandingkan buku ini dengan fenomena Inul.

Tokoh utama dalam novel semi-autobiografi ini bernama Jeanette--sama seperti nama sang pengarang, yang diadopsi oleh keluarga evangelist kelas menengah di wilayah utara Inggris pada tahun 1960-an. Di mata Jeanette hidup adalah Tuhan, Ibunya, dan Gereja dengan buku bacaan favorit: Alkitab. Bahkan sejak berusia tujuh tahun dia percaya dirinya ditakdirkan menjadi misionaris dan membebaskan dunia dari orang-orang kafir. Bab-bab dalam buku ini pun dibagi menurut nama-nama kitab dalam perjanjian lama.

Namun seiring bertambahnya usia, Jeanette yang mulanya sulit beradaptasi dengan lingkungan sekolah mulai mempertanyakan banyak hal yang berbeda dengan dunia yang diperkenalkan ibunya. Saat memasuki usia puber 14 tahun, dia mempertanyakan seksualitas dirinya ketika dia jatuh cinta pada sahabat perempuannya, Melanie.

Sebagai seorang Kristen lurus, awalnya Jeanette tidak menganggap perasaannya kepada Melanie adalah sesuatu yang salah, di matanya mereka hanya bersahabat akrab. Dia tidak menganggap dirinya dan Melanie menjalin hubungan yang disebut “Unnatural Passions”, sebagaimana sebutan ibunya terhadap dua perempuan yang tinggal bersama di kota itu. Dia tidak sadar dirinya lesbian, meskipun sahabat-sahabat ibunya sudah melihat tanda-tanda itu.

Dan akibatnya pada usia empat belas tahun tanpa sengaja Jeanette coming out pada ibunya saat dia dengan menggebu-gebu menceritakan perasaannya yang berlimpah ruah pada Melanie. Ibunya bersama pendeta mengadakan upacara pengusiran iblis dan memaksa Jeanette dan Melanie untuk mengakui dan menyesali dosa mereka karena saling mencintai. Namun di mata Jeanette dia tidak merasa dirinya melakukan hal yang salah, karena “Unnatural Passions” pastilah rasanya buruk, sementara cinta mereka begitu indah. Bahkan bersama Melanie, Jeanette merasa lebih mencintai Tuhan.

"I love her."
"Then you do not love God."
"Yes, I love both of them."
"You cannot."
(hal 103)

Demikian kata sang pendeta pada Jeanette ketika memaksanya mengaku dosa. Di mata sang pendeta, pilihannya adalah jika kau mencintai sesama jenis, kau tidak bisa mencintai Tuhan. Namun Jeanette mencintai Tuhan dan Melanie, dan dia tidak merasa ada yang salah dalam hal itu. Dua tahun kemudian, ketika Jeanette kedapatan (lagi) menjalin “hasrat yang tidak alami” dengan gadis lain, dia pun diusir dari rumah dan gerejanya.

Dalam kehidupan nyata, memang itulah yang terjadi dalam hidup Jeanette Winterston, sang pengarang. Setelah pergi dari rumah pada usia 16, dia bekerja serabutan di berbagai tempat pada malam hari dan akhir pekan untuk menghidupi dirinya pada tahun terakhir SMA-nya. Setelah setahun bekerja sebagai pembantu di RSJ, Jeanette mengumpulkan cukup uang untuk kuliah di Oxford. Oranges ditulis pada tahun 1983 saat dia berusia 23 tahun lalu diterbitkan pada tahun 1985 dan memenangkan Whitbread Prize.

Selain menulis novel, Jeanette Winterston juga menulis komik, buku anak-anak, esai, serta cerita pendek. Oranges juga diadaptasi ke dalam film pada tahun 1990 dan memenangkan Prix d'argent, Cannes Film Festival. Pada tahun 2006, dia mendapat gelar Order of British Empire (OBE) atas jasanya dalam bidang sastra.



Jeanette Winterston sendiri tidak ingin buku ini cuma dibaca oleh kaum lesbian saja, dia ingin membuka pikiran dan mata pembaca sebanyak-banyaknya dalam buku yang ditulis dari sudut pandang Jeanette kecil hingga remaja dengan sentuhan humor gelap di sana-sini. Dan buku ini memang bagus dibaca oleh semua perempuan. Bahkan belakangan Oranges dijadikan salah satu buku pilihan bacaan SMA-SMA di Inggris.

Oranges Are Not The Only Fruit bukan sekadar "buku lesbian", atau buku tentang “bagaimana coming out pada orangtuamu” atau “apa yang kaulakukan jika kau ketahuan lesbian oleh orangtuamu”. Tapi buku ini lebih tentang hidup dan harapan. Tentang mengikuti kata hati. Tentang menjadi perempuan dan tentang cinta. Tentang ikatan keluarga, bahwa se"gila"nya keluargamu, mereka tetaplah keluargamu. Dan tentang menyadari pilihan-pilihan yang diberikan hidup, karena bagaimanapun jeruk bukan satu-satunya buah.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

Sejujurnya, saya menganggap diri saya tidak cukup mumpuni untuk membahas Anais Nin. Bagi saya, menguliti buku karya Anais Nin mungkin selevel dengan menyelesaikan tesis. Tapi seorang sahabat baik memberikan buku Delta of Venus ini untuk saya pada tahun 2006 (thanks, Rose :p), dan buku itu teronggok terus di meja saya, memanggil saya untuk mereviewnya.

Anais Nin adalah salah satu dari pengarang perempuan legendaris. Dan Delta of Venus merupakan buku klasik yang keberadaannya tak terkikis masa. Ia lahir di Paris tahun 1903 berdarah campuran Spanyol, Kuba, dan Prancis dan meninggal pada tahun 1977 di Los Angeles. Anais Nin menghabiskan masa kecilnya di berbagai wilayah di Eropa hingga pindah ke Amerika Serikat. Kemudian pada tahun 1924-1939 bersama suaminya Anais Nin pindah ke Prancis. Ia menulis cerita-cerita pendek erotis ini pada tahun 1940-an untuk kolektor pornografi dengan bayaran satu dolar per halaman. Namun kumpulan cerita ini baru diterbitkan pada tahun 1969.

Bicara tentang karya Anais Nin, tidak bisa lepas dari erotika dan diari. Beberapa pengarang perempuan dari Indonesia seperti NH. Dini dan Ayu Utami sering dipersamakan dengan Anais Nin. NH. Dini dan Anais sama-sama diarist atau orang yang menulis novel berdasarkan kisah hidup mereka, NH Dini punya Seri Kenangan, sementara Anain Nin punya The Diary of Anais Nin. Dan Ayu Utami dianggap perempuan yang mendobrak budaya sastra Indonesia dengan bukunya yang “berani” dan mengandung unsur seks tinggi seperti karya-karya erotika Anais Nin. Meskipun, bagi saya setelah membaca Delta of Venus, unsur seks dalam Saman "tidak ada apa-apanya".

Membaca Delta of Venus berarti membaca imajinasi dan fantasi seksual seorang Anais Nin. Buat yang pernah menonton Henry and June---yang diangkat dari kisah hidup Anais ketika menjalin hubungan affair dengan pengarang Henry Miller dan istrinya June Mansfield---kita tahu bahwa Anais dipandang sebagai orang yang memiliki pandangan seksual bebas dan fluid.

Dalam Delta of Venus, kita bisa membaca pengalaman imajinasi seksual perempuan yang ditulis dengan sentuhan detail yang berbeda dengan tulisan yang ditulis laki-laki. Ya, 15 cerita pendek dalam Delta of Venus adalah cerita-cerita erotis dengan unsur pornografi di sana-sini. Incest, pedofilia, lesbian, homoseksual, biseksual semuanya ada di sini. Namun jangan bayangkan cerita-cerita dalam Delta of Venus ini adalah cerita yang cuma bikin horny. Beberapa cerita terasa gelap dan disturbing. Ambil contoh cerita pertama, The Hungarian Adventurer, yang mengambil tema pedofilia atau The Boarding School yang bercerita tentang perkosaan antara lelaki dan lelaki. Buat sebagian orang mungkin ada cerita yang begitu disturbing sehingga membuat muak.

Dua cerita favorit saya adalah Lilith dan Mallorca. Mallorca bercerita tentang Maria, putri nelayan yang cantik, yang suatu hari bertemu dengan perempuan yang memesona. Mereka bermain di air dan saling menggoda... lalu ternyata perempuan yang ditemui Maria itu berubah menjadi laki-laki dan mereka pun bercinta dengan penuh gairah. Lilith lebih mengandung unsur humor, dikisahkan bahwa Lilith perempuan yang tidak memilik hasrat seks, hingga suatu hari dia mengira dirinya habis menelan obat bius saat menonton bioskop bersama sahabat perempuannya. Dan saat Lilith mengira dirinya di bawah pengaruh obat, dia jadi “berani” mendekati sahabat perempuannya itu.

Bisa dibilang Delta of Venus merupakan salah satu karya terbaik dalam dunia sastra erotika. Anais Nin tidak main-main dalam mengekplorasi seks dalam 15 cerita yang terdapat dalam buku ini. Mulai dari sisi gelap, lembut, seksi, puitis, hingga kasar. Beberapa cerita memang ada yang mengutik unsur lesbian, tapi secara umum Delta of Venus adalah membaca pengalaman, imajinasi, dan fantasi seks serta erotika dari mata perempuan yang hidup melebihi zamannya.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

5:46 PM

Buku: Keeping You a Secret - Galau Remaja di SMA

Posted by Anonymous |

Sudahkah saya memberitahu betapa saya menyukai teenlit alias buku-buku bacaan remaja? Bagi saja, dunia remaja begitu memukau. Cinta pertama, ah, berjuta rasanya. Kepolosan remaja dalam memandang dunia yang penuh pelangi memberikan banyak cerita yang bisa dieksplorasi. Dan Julie Anne Peters adalah seorang penulis teenlit LGBT yang bagus.

Keeping You a Secret bercerita tentang Holland Jaeger, cewek dengan nilai bagus di sekolah, ketua OSIS, populer dan punya pacar cowok yang baik hati, namun hidupnya berubah ketika bertemu dengan Cece Goddard, anak baru di sekolah yang dengan lantang dan bangga mengakui dirinya lesbian.

Saat itu tahun terakhir Holland di SMA dan dia merasa hidupnya mentok, tidak tahu harus memilih kuliah di mana sementara ibunya terobsesi ingin agar dia diterima di universitas terkenal dan menjadi orang sukses nantinya. Pada tahun terakhir sekolah itulah Holland menemukan bakat yang tak pernah dia ketahui sebelumnya. Bakat seninya serta ketertarikannya pada sesama perempuan.

Saat pertama kali bertemu Cece, Holland merasakan sesuatu yang tak pernah dia rasakan sebelumnya.

First time I saw her was in the mirror on my locker door. I'd kicked my swim gear onto the bottom shelf and was reaching to the top for my calc book when she opened her locker across the hall. She had a streaked blond ponytail dangling out the back of her baseball cap.

Great. Now I was obligated to rag on her for violating the new dress code. Forget it, I decided. My vote - the only dissenting one in the whole student council - still counted. With me, anyway. People could come to school buck naked for all I cared. It wasn't about clothes. We slammed our lockers in unison and turned. Her eyes met mine.

"Hi," she said, smiling. My stomach fluttered.

"Hi," I answered automatically. She was new. Had to be. I would've noticed her. She sauntered away, but not before I caught a glimpse of her T-shirt. It said: IMRU? Am I what?

Itulah petikan dari Chapter 1, kalimat pembuka pada novel ini. Dan pada momen itulah Holland tertarik pada Cece.

Bersama Seth, cowoknya, Holland aktif melakukan kegiatan seksual, tapi bagi Holland hubungan seksual itu lebih seperti mengerjakan PR. Cece menimbulkan kepenasaran dalam dirinya untuk bisa selalu dekat pada gadis itu. Akhirnya keterarikan Holland terhadap Cece pun berbalas, karena diam-diam Cece juga jatuh cinta padanya. Dan mulailah hidup Holland bergerak di luar kendalinya. Ditambah lagi remaja di bawah 19 tahun memang konon berpikir dengan amygdala, yang melakukan pengambilan keputusan berdasarkan emosi bukannya nalar.

Cece yang sudah out and proud sebagai lesbian menyulitkan Holland untuk menutupi hubungannya. Meskipun Holland dan Cece berjanji menyimpan hubungan mereka sebagai hubungan rahasia, akhirnya mereka ketahuan juga. Holland diusir dari rumah oleh ibunya, nilai-nilainya merosot drastis, dijauhi teman-temannya, dan terancam kemungkinan tidak bisa kuliah.

Julie Anne Peters yang tahun ini meraih penghargaan Lambda Award untuk buku remaja LGBT terbaik tahun 2007 tidak menulis kisah hidup Holland dalam bentuk meratapi nasib. Perlahan-lahan Holland mengatur ulang hidupnya, menempatkan prioritas, dan yang terutama terus melanjutkan hidup walaupun dia harus tinggal di shelter bagi anak-anak pelarian LGBT yang tidak punya rumah. Dan pada akhirnya Holland berhasil mengubah haluan hidupnya ke arah positif, meskipun dengan pengorbanan yang amat besar.

Buku yang terbit tahun 2003 ini ditulis dengan amat sangat baik dan membuat kita tidak bisa berhenti membacanya. Namun sayangnya, bagi saya, ada beberapa bagian yang meluncur terlalu cepat di bagian menjelang akhir, mungkin akan lebih baik kalau hubungan Holland dan sahabat-sahabatnya atau saudara tirinya digali lebih dalam lagi. Jika dibanding Luna, novel remaja karya Julie Anne Peters setelah novel ini, terlalu banyak karakter di sini sehingga jadi kurang tergali sepenuhnya. Tapi itu bukanlah masalah besar karena pada dasarnya buku ini sudah lebih dari sekadar “bagus”.

Keeping You a Secret memperoleh banyak penghargaan, di antaranya 2003 Lambda Literary Award Finalist, Best of 2003 Young-Adult Books, Borders Books and Music, American Library Association Best Books for Young Adults, 2004 Nomination, An ALA Popular Paperbacks for Young Adults. Dan ini adalah buku yang amat direkomendasikan bukan hanya untuk bacaan remaja abege, namun juga untuk semua orang yang pernah merasakan kegalauan saat menyadari diri kita memiliki orientasi seksual yang berbeda.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

7:02 AM

The Life, Love, and Grief of Annie Leibovitz

Posted by Anonymous |

Annie Leibovitz adalah seorang fotografer Amerika paling ternama di dunia. Begitu banyak selebriti dan orang-orang penting dunia yang pernah difoto oleh Annie Leibovitz. Selain spesialis fotografer selebriti, Annie Leibovitz juga terjun ke lapangan mengambil foto-foto perang di Bosnia dan foto-foto 9/11. Dan ia terkenal dengan persiapan dan ketelitiannya sebelum memotret, bahkan tidak jarang si objek foto harus bersiap selama berjam-jam.

Annie Leibovitz lahir di Waterbury, Connecticut, USA pada tahun 1949, dari enam bersaudara keluarga tentara. Dia mengambil kuliah malam di Fine Arts School of Photography, San Fransisco, padahal mata kuliah utamanya adalah Painting. Tahun 1970, Leibovitz bergabung dengan majalah Rolling Stones yang baru berdiri kala itu, dan menjadi chief photographer di sana pada tahun 1973. Lalu pada tahun 1983, Leibovitz pindah ke Vanity Fair dan semakin melebarkan reputasinya.

Semasa kerjanya di Rolling Stones, Annie Leibovitz menghasilkan foto legendaris John Lennon yang telanjang memeluk Yoko Ono, yang diambil pada pagi hari dua jam sebelum John Lennon tewas ditembak. Foto itu kemudian menjadi sampul majalah Rolling Stones edisi #335, 22 Januari 1981. Beberapa foto terkenal, seperti Demi Moore telanjang dalam keadaan hamil, Whoopi Goldberg dalam bak penuh susu, dan penampilan media pertama Suri Cruise, adalah hasil buah tangannya.

Dalam kehidupan pribadi, sebagaimana orang-orang yang bekerja di belakang lensa, Leibovitz lebih nyaman memotret kehidupan orang lain, daripada harus mengungkapkan kehidupan pribadinya. Barulah setelah kematian Susan Sontag, penulis terkenal Amerika yang meninggal pada usia 71 tahun tanggal 28 Desember 2004 akibat penyakit kanker, terungkap hubungan istimewa antara Leibovitz dan Sontag.

Setelah kematian Sontag, Newsweek menerbitkan artikel tentang Leibovitz yang menyatakan, "Mereka bertemu pertama kali pada akhir tahun 1980, ketika [Leibovitz] memotret Sontag untuk foto di sampul bukunya. Mereka tidak pernah tinggal bersama, tapi mereka tinggal di apartemen yang berhadapan. Keduanya menjalin hubungan sekitar 16 tahun, dan tidak pernah mengungkapkan hubungan mereka ke publik.” Bagi Leibovitz, Sontag adalah mentor, soulmate, dan the love of her life. Bersama Sontag, Leibovitz melanglang buana ke berbagai penjuru dunia untuk memotret. Walaupun dikenal sebagai biseksual, Sontag amat sangat menjadi privasi kehidupan pribadinya.

Ketika Sontag didiagnosis menderita kanker pada tahun 1998, Leibovitz memutuskan untuk cuti selama beberapa bulan agar bisa menemani Sontag dan kala itu Sontag berhasil sembuh dari kanker. Pada bulan-bulan menjelang kematian Sontag tahun 2004, Leibovitz benar-benar berhenti memotret. “Aku tidak ingin berada di sana sebagai fotografer,” katanya dalam wawancara dengan NY Times. “Aku hanya ingin di sana bersamanya. Pada saat-saat terakhir, aku memaksa diriku memotret beberapa foto. Aku tahu dia mungkin sedang sekarat."

Kematian Sontag mendorong Leibovitz untuk membuat photographic memoir, berjudul A Photographer's Life: 1990-2005. "Buku ini merupakan hasil dari kesedihan," kata Leibovitz, dalam wawancaranya dengan Edward Guthmann, dari San Fransisco Chronicle. Dan [buku ini] tak akan pernah dibuat, jika dia tidak bertemu dengan Sontag pada tahun 1988, jatuh cinta padanya dan menjawab tantangan Sontag. "Kau bagus," Sontag memberitahu Leibovitz, "tapi kau bisa lebih baik lagi." Pendapat Sontag jelas penting bagi Leibovitz, karena selain sebagai penulis, Sontag juga kritikus foto.

Annie Leibovitz, photographed by Susan Sontag

Buku foto tersebut selain membuat foto-foto selebriti, juga memuat foto-foto keluarga dan foto Sontag dalam keadaan sekarat serta foto sehari setelah kematiannya. Ada pula foto Leibovitz dalam keadaan telanjang dan hamil yang diambil oleh Sontag, satu hari sebelum operasi Caesar. Dalam kata pengantar buku tersebut, Leibovitz berbicara tentang hubungan romantis/intelektualnya dengan Sontag, dan menggambarkan buku ini sebagai proses dukacita akibat kematian Sontag serta kematian ayahnya yang meninggal enam minggu setelah Sontag.

Annie Leibovitz memang bukan perempuan biasa. Pada usia 52 tahun, dia melahirkan putrinya Sarah, sebagai single mother melalui inseminasi buatan, tidak lama setelah peristiwa 9/11. Kemudian pada Mei 2005, beberapa bulan setelah kematian Sontag, dua putri kembarnya lahir dari rahim pinjaman. Dia menamai putrinya Susan dan Samuelle, seperti nama ayahnya.

Dalam wawancara radio dengan Tom Ashbrook di NPR, On Point, Leibovitz jelas-jelas mengakui hubungan romantisnya dengan Sontag sebagai hubungan intim yang sangat dekat. Leibovitz mengatakan kata yang tepat untuk menggambarkan hubungannya dengan Sontag adalah hubungan “kekasih”. Leibovitz juga mengulang pernyataannya pada San Francisco Chronicle: "Sebut kami kekasih. Aku menyukai kata ‘kekasih’. Kau tahu, ‘kekasih’ terdengar romantis. Maksudku, aku ingin jelas sejelas-jelasnya. Aku mencintai Susan.”

Leibovitz juga menjelaskan tentang hidupnya melalui deretan foto-foto dalam buku A Photographer's Life: 1990-2005, “Bersama Susan aku punya kisah cinta,” katanya. “Bersama orangtuaku, adalah hubungan seumur hidup. Dan bersama anak-anakku adalah masa depan. Aku hanya berusaha menciptakan karya yang jujur yang berisi semua hal tersebut di dalamnya.”

Sumber:
www.newsweek.com
http://www.sfgate.com
www.nytimes.com

Untuk mendengar wawancaranya Annie Leibovitz dengan Tom Ashbrook: klik: http://www.onpointradio.org/shows/2006/10/20061017_b_main.asp

@Alex, RahasiaBulan, 2007

10:07 AM

The Color Purple - Alice Walker

Posted by Anonymous |

The Color Purple adalah novel karya Alice Walker yang memenangkan Pulitzer tahun 1983. Buku ini kemudian diangkat ke layar lebar tahun 1985 oleh Steven Spielberg dengan peran utama Whoopi Goldberg. Meskipun sutradaranya Yahudi, tapi ini adalah film kulit hitam sehitam-hitamnya. Dan kita akan membahas buku maupun filmnya di sini.

Saya menonton filmnya lebih dulu sebelum membaca bukunya. Dan jelas, setiap buku yang diadaptasi ke film pasti mengalami sejumlah perubahan. The Color Purple adalah kisah yang amat sangat feminis, ditulis dengan gaya menulis diari/surat dengan tata bahasa ala kadarnya, yang sedikit mengingatkan saya pada gaya penulisan Pengakuan Pariyem (1981) karangan almarhum Linus Suryadi.

Diari itu ditulis oleh Celie, seorang gadis kulit hitam yang sejak kecil sudah mengalami tekanan dari laki-laki dalam hidupnya. Pada usia 14 tahun, Celie dihamili oleh ayahnya. Setelah melahirkan anaknya, Celie harus berpisah dengan anak yang dilahirkannya lalu dipaksa menikah dengan duda tua yang memiliki banyak anak. “Mr.----“ demikian Celie menulis nama suaminya di diari itu, menikahi Celie dengan tujuan untuk menjadi pelayannya, baik di ranjang maupun di rumah serta untuk mengurus anak-anak duda itu. Celie sering jadi bahan cemooh karena wajahnya yang jelek dan penampilannya yang bodoh. Dan Celie pun selalu pasrah terhadap sikap kasar suaminya.

Hingga kemudian datang Shug Avery, perempuan kulit hitam manis dan percaya diri, yang berprofesi sebagai penyanyi dan digila-gilai oleh Mr.---- alias Albert. Shug kemudian tinggal bersama Albert dan Celie, hingga di antara kedua perempuan itu timbul kedekatan yang membuka mata Celie terhadap diri keperempuanannya.
Dalam film, hubungan Celie dan Shug hanya dibahas sekilas, berkurang porsinya dibanding yang ada dalam novel. Dalam novel, perasaan Celie terhadap Shug tergambar lebih jelas. Tentang bagaimana perasaan Celie terhadap Shug, dan bagaimana dia belajar menjadi perempuan mandiri melalui eksplorasi seksual bersama Shug. Dari Shug yang ternyata biseksual, Celie belajar mengenali tubuhnya sendiri, belajar mengungkapkan perasaannya, dan belajar menemukan kekuatan di balik keperempuanannya yang selama ini tertindas.

Tapi The Color Purple bukanlah novel atau film lesbian. Hubungan lesbian antara Shug dan Celie fungsinya adalah membawa Celie ke jenjang pemahaman tubuh dan dirinya sendiri. Masih banyak cerita yang ada di sini, tentang represi kaum lelaki, tentang pandangan kaum kulit putih terhadap kulit hitam yang dianggapnya sebagai kaum rendahan. Dan terutama tentang kekuatan perempuan dan bagaimana mencapai kemerdekaan diri melalui kemandirian.

Anda bisa memilih, membaca atau menonton filmnya. Dua-duanya memiliki kenikmatan tersendiri. Whoopi Goldberg bermain amat bagus dalam film ini (kalau tidak salah ini debutnya dalam film). Filmnya sendiri mendapat 11 nominasi Oscar, tapi tidak memenangkan satu pun sehingga menimbulkan kontroversi yang lumayan heboh pada tahun 1985. The Color Purple kalah telak dari Out of Africa yang menjadi film terbaik "meskipun" hanya mendapat 7 nominasi.

Alice Walker, sang novelis, adalah seorang feminis dan aktivis dalam berbagai kegiatan seperti lingkungan hidup, hak asasi manusia atau hewan, dll. Dalam kehidupan personalnya Alice Walker dikenal sebagai biseksual. Dia pernah menikah dengan lelaki kulit putih namun kemudian bercerai setelah memiliki seorang putri. The Color Purple bisa dibilang karya masterpiece-nya sejak kariernya sebagai penulis yang dimulai pada tahun 1970-an. Oleh banyak kritikus, The Color Purple dianggap sebagai salah satu tonggak novel feminis yang menyuarakan tekanan yang dialami perempuan kulit hitam dalam budaya patriarki.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

PS: Buku The Color Purple bisa dicari di toko buku Aksara. Nonton filmnya sampai jam 3 pagi di TV7 (sekarang, Trans7)

4:51 PM

Buku: The Night Watch - Sarah Waters

Posted by Anonymous |

Sarah Waters adalah salah satu dari sedikit penulis yang berkonsentrasi pada genre buku-buku lesbian. Jika Julie Anne Peters mengambil topik remaja dalam novel-novelnya dan Alison Bechdell menuangkan karyanya ke bentuk novel grafis, Sarah Waters memusatkan dirinya dalam bidang fiksi novel, terutama fiksi sejarah.

The Night Watch adalah novel keempat penulis asal Inggris ini. Tiga novel sebelumnya Tipping the Velvet, Affinity, dan Fingersmith berkisah tentang kehidupan lesbian pada era Victoria abad 19. Sarah Waters yang mantan dosen ini memiliki gelar PhD dalam bidang sastra Inggris, dan novel pertamanya, Tipping the Velvet terinspirasi dari tesisnya dalam bidang lesbian historical fiction.

Dalam novel barunya, The Night Watch, Sarah Waters meninggalkan Inggris abad 19 dan mengambil setting di London pada masa Perang Dunia II. Cerita dibuka pada tahun 1947, dengan memperkenalkan empat tokoh utama; tiga perempuan dan satu lelaki yang hidupnya saling bersentuhan. Kay, yang bekerja sebagai sopir ambulans pada sif malam. Helen, yang hidup bersama dengan kekasihnya yang penulis, Julia. Vivian, yang menjalin hubungan gelap dengan tentara yang sudah beristri. Dan Duncan, saudara lelaki Viv yang menjalani hukuman di penjara.

Butuh waktu empat tahun bagi Sarah Waters untuk menulis novel ini. Dia melakukan riset mendalam tentang London pada tahun 1940-an dan masa Perang Dunia II. The Night Watch dimulai dari kesedihan dan kesepian yang dirasakan tokoh-tokohnya pada bab-bab awall, namun diakhiri dengan ending yang optimis. Bab berganti dan sedikit demi sedikit hubungan antara tokoh-tokoh itu terungkap melalui kehidupan masa lalu mereka. Kay ternyata pernah mengenal dan membantu Vivian. Dan Helen bertemu dengan Julia melalui Kay.

Cerita dimulai tahun 1947, makin ke belakang cerita mundur ke tahun-tahun sebelumnya, tahun 1944 di bagian tengah, dan ditutup pada tahun 1941. Hanya penulis dengan jam terbang tinggi yang mampu menulis seperti ini. Teknik menulis dengan alur mundur membutuhkan kepiawaian dan pengalaman agar tidak membuat isi novel jadi berantakan tidak keruan. Tidak heran jika The Night Watch masuk nominasi Booker Prize dan Orange Prize seperti halnya novel Waters sebelum ini, Fingersmith.

Secara pribadi, saya lebih menyukai Fingersmith, mungkin karena The Night Watch ini lebih melankolis dan lambat dibanding Fingersmith. Tapi jika Anda menyukai novel sejarah, atau lebih tepatnya novel sastra, sejarah, dan lesbian, The Night Watch adalah buku yang harus Anda baca.


@Alex, RahasiaBulan, 2007

8:59 PM

Buku: Middlesex - Jeffrey Eugenides

Posted by Anonymous |

"I was born twice: first, as a baby girl, on a remarkably smogless Detroit day in January of 1960; and then again, as a teenage boy, in an emergency room near Petoskey, Michigan, in August of 1974."

Itulah kalimat pembuka dari novel setebal lebih dari 500 halaman yang pertama kali diterbitkan tahun 2002. Berkisah tentang Calliope Stephanides yang terlahir sebagai perempuan dalam keluarga keturunan Yunani di Amerika yang kemudian menyadari bahwa dirinya berbeda saat usianya 14 tahun. Pada saat itu Calliope yang tidak pernah mengalami menstruasi jatuh cinta pada seorang gadis di sekolahnya.

Tadinya Calliope mengira dirinya lesbian, namun terjadinya kecelakaan membuat Calliope masuk rumah sakit dan di sana terungkap kenyataan bahwa dia terlahir dengan kelamin ganda. Akibat semacam mutasi genetik, sewaktu dilahirkan Calliope tidak memiliki penis, namun memiliki klitoris yang ukurannya lebih besar daripada ukuran wajar. Secara kromosom Calliope adalah laki-laki karena memiliki kromosom X dan Y. Namun karena ketiadaan penis itulah, Calliope dibesarkan sebagai anak perempuan.

Namun Middlesex tidak semata-mata bercerita tentang seorang gadis yang berganti kelamin menjadi laki-laki. Kisahnya jauh lebih kompleks daripada itu. Untuk mengetahui sejarah mutasi genetika Calliope, pembaca dibawa mundur hingga ke tahun 1920-an di Yunani ke desa tempat tinggal kakek-nenek Calliope tinggal dan terpaksa mengungsi ke Amerika saat terjadi perang Yunani – Turki. Kita dibawa mengenal keluarga Stephanides sebagai keluarga imigran keturunan Yunani di Amerika. Kita juga diajak menyaksikan kehidupan sosial-budaya masyarakat Amerika pada tahun 1960-an. Singkat cerita, Middlesex adalah epik tiga generasi keluarga Stephanides asal Yunani dalam kerangka kehidupan di Amerika Serikat yang pada tahun 1960-an dipenuhi isu perang, kerusuhan rasial, dan tampilan kota Detroit yang jadi cikal-bakal industri mobil Amerika.

Ada satu-dua kali saya merasa seperti sedang membaca buku teks pelajaran sejarah ketika membaca novel ini, tapi bukan dalam artian yang buruk dan membosankan. Oya, saya juga ingin mengingatkan bahwa ini BUKAN novel lesbian atau novel tentang transeksual ganti kelamin jadi laki-laki. Kalau cuma topik itu yang ingin dicari, lebih baik lupakan keinginan untuk membaca ini karena Anda hanya akan kecewa. Dari segi cerita, kalau saya mau menjelaskan dengan gampang novel ini mungkin bisa dianggap "gabungan" antara novel Captain Corelli's Mandolin karya Louis de Bernieres dan Time Traveller's Wife karya Audrey Niffenegger. Tapi itu juga tidak sepenuhnya benar. Middlesex adalah novel yang unik dan kaya cerita, hhh, membuat saya jadi teringat Life of Pi-nya Yann Martel.

Middlesex termasuk novel yang ditunggu-tunggu, karena butuh sepuluh tahun bagi Jeffrey Eugenides untuk menerbitkan novel kedua setelah menerbitkan novel pertamanya Virgin Suicides yang mendapat banyak pujian. Virgin Suicides juga diangkat ke layar lebar dengan peran utama Kirsten Dunst dan sutradara Sofia Coppola. Keunikan dan kekayaan cerita yang terentang selama kurang lebih delapan dekade dalam Middlesex membuat novel ini mendapat berbagai penghargaan. Salah satunya bahkan perhargaan tertinggi dalam jagad buku, yaitu Hadiah Pulitzer tahun 2003 untuk karya fiksi.


@Alex, RahasiaBulan, 2007

Subscribe