2:26 PM

Let's Come Out of the Closet

Posted by Anonymous |

Saya merasakan dorongan teramat kuat untuk coming out ketika saya berusia awal 20-an, ketika saya merasa teramat sendirian dan kesepian. Kehampaan yang bahkan tidak bisa diisi oleh sahabat-sahabat lesbian yang saya miliki saat itu. Saya merasa membawa beban berton-ton setiap kali bertemu dengan sahabat saya. Saya harus mengarang cerita yang bukan diri saya pada mereka. Pikiran untuk mengakhiri hidup beberapa kali mampir ke benak saya, namun saya terlalu pengecut untuk mati di tangan saya sendiri. Hingga suatu hari saya tidak tahan lagi...

Saya tahu saya harus menerima diri saya adalah lesbian. Menerimanya dengan lapang dada. Saya berdamai dengan diri saya sendiri dan memeluk kelesbianan saya seutuhnya. Tahu bahwa saya lesbian, dan tidak bertanya lagi. “Why me?”

Ya, saya lesbian, dan itu tidak membuat saya jadi lebih rendah atau lebih tinggi dibanding orang lain. Saya tidak mau berlama-lama berkubang dalam derita, kenapa-saya-lesbian. Yang harus saya pikirkan adalah bagaimana menjadi lesbian yang sehat. Saya bangga akan diri saya, bukan karena saya lesbian. Saya bangga karena saya adalah saya. Dan menurut saya ini adalah proses coming out pada diri sendiri adalah yang terpenting bagi kita.

Ada bagian dari diri saya yang butuh dikeluarkan dari ruang gelap, yang selama ini saya sembunyikan, rahasia-rahasia yang tidak ingin saya perlihatkan pada orang lain. Rahasia yang menggerogoti saya dari dalam, yang lama-kelamaan membuat saya sakit. Dan rasa sakit itulah yang membuat saya mengambil keputusan untuk coming out.

“Katakan bahwa kau lesbian pada sahabat (straight) yang kaupercaya,” demikian selalu saran saya kepada sahabat-sahabat lesbian yang merasa gelisah ingin bercerita tentang orientasi seksualnya. “Jika mereka bisa menerimamu, kau mendapat berkah. Jika mereka tidak bisa menerimamu, bersiaplah akan kehilangan seorang sahabat. Tidak perlulah coming out besar-besaran kepada orangtua atau semua orang yang kaukenal sekaligus dengan sekali gebrak.”

Coming out selain tidak bisa di-undo, ternyata seperti candu. Sekali kamu berhasil melakukannya dengan mulus, kau merasa sudah menaklukkan dunia. Muncul perasaan euforia untuk menyatakan diri terus-menerus bahwa kau lesbian. Saya nyaris kebablasan semasa kuliah. Saya tidak bisa berhenti. Coming out membuat rasa melayang. Kau ingin seluruh dunia tahu siapa dirimu. Kalau si A bisa menerima, si B seharusnya bisa. Ketika berhadapan dengan orang yang tidak bisa menerima, saya marah. Saya menganggap mereka berpikiran picik karena tidak bisa menerima status saya yang lesbian. Namun kemudian saya berpikir, itu bukan salah mereka. Itu bukan salah saya juga. Itu adalah haknya. Karena pengakuan semacam ini sesungguhnya bersifat subjektif. Kalau kita sendiri awalnya sulit menerima keadaan diri kita, kenapa pula kita harus memaksa orang lain secara instan menerima diri kita.

Kemudian saya mundur sejenak dan melihat jejak coming out yang saya tinggalkan. Gosip menyebar bak downline-downline MLM. Sahabat-sahabat yang tidak terlalu akrab dengan saya pun, mulai memandang saya sebagai si lesbi. Sekali lagi, itulah risiko yang harus saya terima. Saya tidak bisa marah karena gosip tentang saya yang lesbian tersebar luar. Lha wong, saya sendiri yang ngaku kok. Dan saya memutuskan untuk lebih menahan diri, menjaga keadaan agar tidak makin kebablasan seperti kebakaran hutan, karena saya tidak mau dikenal sebagai Alex si lesbi. Saya ingin dikenal karena prestasi dan kesuksesan saya, bukan sebagai si lesbi yang berisik.

Saya berpikir beberapa langkah ke depan ketika selanjutnya saya memutuskan untuk coming out. Saya mempertimbangkan baik-buruknya keputusan saya itu. Apakah kira-kira lingkungan tempat saya coming out akan bisa menerimanya? Apakah saya sanggup menerima reaksi terburuk sekalipun? Setelah pengakuan, biasanya akan muncul pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan yang terkadang bikin dahi mengernyit, pertanyaan yang terkadang membuat meringis. Dan bersiaplah menghadap segala hal yang tak terduga.

Jika kamu ingin coming out, lakukan dengan cerdas. Kenali dulu lingkunganmu, apakah kira-kira mereka akan menerimanya? Lakukan selangkah demi selangkah. Pikirkan setiap langkah yang kauambil. Jangan membabibuta. Jangan terbawa arus euforia oleh orang-orang sekelilingmu yang sudah out. Ambil napas dalam-dalam lalu pikirkanlah segala konsekuensinya dari berbagai sudut, baru kemudian ambil keputusan.

Coming out merupakan hal yang paling sulit bagi saya. Kadang-kadang coming out juga tidak berjalan sesuai dengan apa yang saya harapkan. Dan jangan lupa sekali keluar dari closet, kau tidak bisa masuk lagi. Tetapi, coming out adalah sesuatu yang sangat berharga dan menyehatkan bagi saya sebagai lesbian.

@Alex, RahasiaBulan, 2008

9:41 AM

Will You Marry Me?

Posted by Anonymous |

"Nearly all marriages, even happy ones, are mistakes: in the sense that almost certainly (in a more perfect world, or even with a little more care in this very imperfect one) both partners might be found more suitable mates. But the real soulmate is the one you are actually married to."
– J.R.R. Tolkien

Saya jadi teringat pada malam sekitar 3 tahun lalu ketika kami mengucapkan semacam ikrar. Yang preludenya dimulai saat kami berjalan melewati etalase toko perhiasan dan partner bilang, “Chay, kamu suka cincin yang mana?” Saya pun membeku, tak tahu harus menjawab apa. Maklum deh, saya tidak pernah dilamar sih jadi darah dalam otak saya otomatis langsung berhenti mengalir ketika pertanyaan itu terucap. Ternyata walaupun ekstrovert, saya gampang panik dan bukan orang yang spontan. Hahaha...

Kami sempat tegang sejenak karena masalah “cincin” ini, tapi kemudian kami malah jadi memilih-milih cincin ditemani beberapa teman straight yang amat sangat suportif dalam urusan ini. They were so cute... really. :)

Saat melakukan perjalanan menuju suatu tempat romantis mengikat diri padanya, saya dipenuhi keraguan yang luar biasa besar. Sejujurnya, saat itu saya merasa cinta saya padanya tidak cukup besar untuk membuat saya rela mengikat diri denganya..., hanya untuknya. Saya pikir, langkah seperti ini seharusnya dibuat ketika kita merasakan cinta yang bergelora dahsyat. Ah, betapa hijaunya saya kala itu.

Keraguan itu menggerogoti saya bahkan hingga saat-saat menjelang kami mengikat diri. Saya berpikir, Apakah saya siap? Apakah dia the one saya? Apakah saya akan menyesali keputusan ini? Saya mungkin orang yang konservatif... buat saya sekali menikah berarti satu untuk seumur hidup dan janji bukanlah sesuatu yang bisa kauucapkan dengan sebelah mata hanya untuk lip service.

Berdua di bawah naungan langit malam, kami berdiri di balkon disaksikan jutaan bintang dan bulan. Dengan tubuh kami yang tidak berbeda jauh tingginya, saya bisa selevel memandang matanya tanpa perlu mendongak atau menunduk. Dia membacakan janjinya pada saya dengan air mata berlinang. Untuk pertama kalinya saya melihat air matanya tumpah, hingga menular. Saya menyeka air mata di mata kami berdua kemudian mengucapkan janji padanya...

Aku menerimamu sebagai pasangan hidupku, sahabat terbaik yang menjadi tempat berbagi tawa maupun tangis, dalam sehat maupun sakit, dalam keadaan baik maupun buruk.

Aku akan menghabiskan sisa hidupku mendengarkan setiap angan dan mimpimu, berbagi kisah hari demi hari. Berdua, kita akan membuat setiap angan dan mimpi itu jadi kenyataan.

Kini aku menyerahkan diriku padamu seutuhnya dengan segenap jiwa dan raga untuk mendampingimu, menghabiskan hidup bersamamu, karena aku mencintaimu dalam setiap denyut napasku. Kini dan selamanya.


Kami pun saling memasang cincin ke jari satu sama lain, berpelukan, berciuman dalam derai air mata, dan pada saat itulah aku tersadar. Cinta kami hidup, bergerak, dan memiliki nyawa sendiri dalam ikatan kami. Keraguan saya lenyap sudah. Saya yakin, seyakin-yakinnya bahwa dialah perempuan yang ingin saya ajak berbagi hidup dan mati. Hingga maut memisahkan kami.

@Alex, RahasiaBulan, 2008

PS: Beib, aku mungkin nggak sering mengirim lagu cinta buat kamu, nggak pernah bernyanyi untuk kamu di telepon. :p Atau memuja kamu habis-habisan hingga membuatmu melayang. Tapi aku ada di sini... berada di depan, samping, dan belakang kamu. Membangun mimpi-mimpi kita. Buka mata kamu dan lihatlah... apa yang kita bangun dalam rentang waktu yang tak seberapa kini lebih besar daripada hidup itu sendiri.

10:18 PM

It's All Wrong, and It's Not All Right

Posted by Anonymous |

Dua orang mantan saya merekomendasikan buku Waiting karangan Ha Jin untuk saya baca. Buku ini yang dibuka dengan kalimat pertama, “Every summer Lin Kong returned to Goose Village to divorce his wife, Shuyu”, bercerita tentang seorang lelaki yang bertahun-tahun ingin menceraikan istrinya untuk bisa menikah dengan selingkuhannya. Namun karena sang istri tidak mau dicerai, dan Lin Kong tidak sanggup menceraikannya, ia terpaksa menunggu sesuai peraturan untuk bisa bercerai. Dan ketika akhirnya dia berhasil menceraikan istrinya lalu menikah dengan selingkuhannya, bahagiakah Lin Kong setelah sekian lama menunggu akhirnya memperoleh apa yang diinginkannya?

Mungkin cuma kebetulan ketika dua mantan saya menyuruh saya membaca buku ini. Ketika pertama kali membacanya, saya tidak mengerti di mana bagusnya buku ini. Belakangan ini saya baru menyadari bahwa Lin Kong adalah lelaki yang teramat menyedihkan, kesepian, dan tidak bahagia karena hatinya selalu bercabang. Dan dia membuat semua orang yang mencintainya jadi sakit hati.

Saat seseorang “berlari” menuju orang lain atau bahkan tidur dengan orang lain yang bukan partnernya, hal itu adalah perbuatan yang amat sangat menyakitkan bagi sang partner.
Ulangi: Amat. Sangat. Menyakitkan.

Apa pun alasannya.

Ketidaksetiaan menghancurkan kepercayaan dalam hubungan. Ketidaksetiaan apa pun bentuknya menimbulkan abses dan nanah dalam hubungan. Dan saya tak pernah bisa mengerti di mana nikmatnya berpoligami atau poliandri, dalam hal ini. Selingkuh itu tidaklah indah, melainkan melelahkan dan membuat kesepian. It's All Wrong, and It's Not All Right. Ibarat meminum air laut, tak pernah bisa memuaskan dahaga. E-mail-e-mail rahasia yang hanya bisa disimpan di ruang paling pojok. SMS atau telepon secara sembunyi-sembunyi seakan menjadikan si pelaku seperti pencuri di rumah sendiri. So pathetic. Ketidakjujuran menimbulkan jarak dengan pasangan hidup dan itu membuatmu jadi makin sepi dan sendiri karena kau dengan sia-sia menggapai pasanganmu dengan hatimu yang tertutup nanah.

Bagi saya, partner bukan sekadar partner seksual, dia juga partner emosional, partner spiritual untuk saya. Pasangan jiwa bagi saya. Tempat saya pulang ketika saya terjatuh. Dan percayalah, saya jatuh berkali-kali. Dan partnerlah yang menangkap saya setiap kali saya oleng dan jatuh. Partnerlah tempat saya pulang setelah mengarungi perjalanan hari yang panjang dan melelahkan.

Kau tahu kau berada di rumah ketika kau bisa pulang pada seseorang yang bisa menerimamu apa adanya. Seseorang yang bisa kauajak bicara tentang segala masalahmu, ketakutanmu, kegelisahanmu, dan tempatmu mengakui segala kebejatan yang kaulakukan. Orang yang bisa melihatmu telanjang hingga ke jiwamu yang terdalam dan tetap menyambutmu dalam pelukannya yang penuh kasih sayang dan pengampunan. Isn’t it wonderful?

Mungkin dalam kehidupan berpasangan kita harus menjadi koki di dapur, pelacur di ranjang, dan pastor di ruang hati. Saya dan partner pernah melakukan pengakuan gila-gilaan... membuka ruang hati kami selebar-lebarnya dan saya tidak pernah merasa lebih mencintainya saat itu. Partner berdiri di hadapan saya dengan segala kesedihan dan kelemahannya, dengan segala noda dan permohonan. Saya hanya bisa memeluknya, dengan perasaan cinta yang begitu membuncah saat dia menunjukkan ketidakberdayaannya sebagai manusia.

Begitu mudah mencintai seseorang karena dia baik, cantik, perhatian, sexy... Pernahkah kau mencintai seseorang hingga cintamu menyembur dari setiap pori-pori tubuhmu ketika dia berdiri di hadapanmu dengan segala kelemahannya?

@Alex, RahasiaBulan, 2008

The door of my heart is open to you, no matter what you do with all of your mistake. I always be your friend. I will never critize you or put you down. I will understand you. I will never measure you or compare you. I accept you for who you are.
-Ajahn Brahmavamso

11:44 PM

Film: When Night is Falling

Posted by Anonymous |

Ini adalah film yang sudah saya tonton sepuluh tahun lalu. When Night is Falling adalah produksi Kanada tahun 1995 yang sebenarnya bukan film yang jelek tapi juga tidak bagus-bagus amat. Masalah terbesar saya terhadap film ini adalah chemistry antara kedua pemeran utama yang buat saya tidak pas. Atau mungkin tipe film semi-surealis seperti ini memang tak pernah membuat saya bahagia.

Pascale Bussières berperan sebagai Camille, dosen bahasa Inggris di kampus beragama yang bertunangan dengan Martin (Henry Czerny). Hidupnya yang lurus langsung berubah 180 derajat ketika dia bertemu dengan Petra (Rachael Crawford), seorang pemain sirkus keliling yang tanpa ampun mengejarnya. Petra sengaja menukar cuciannya dengan cucian Camille di Laundromat agar mereka bisa punya kesempatan bertemu lagi. Singkat cerita, jadilah Camille berada dalam dilema cinta antara memilih cinta perempuan yang menggebu-gebu atau cinta dari lelaki calon suaminya yang tenang dan lurus.

Sungguh saya tidak tahan melihat Camille dan Petra. Entahlah, ini cuma saya atau apa tapi saya melihat cinta mereka, eh, atau akting mereka hanya sebatas permukaan. Terutama Rachael Crawford yang berperan sebagai Petra.

Namun ada beberapa adegan yang memorable dalam film ini, selain adegan anjing mati yang dimasukkan ke dalam kulkas, yang tak pernah bisa saya pahami sampai sekarang. Adegan percintaan yang dimulai dengan tampilan siluet hingga kedua perempuan ini di ranjang merupakan satu-satunya adegan yang saya anggap paling hidup.

Ketika Martin mengetahui perselingkuhan Camille dengan Petra, lelaki itu marah besar. Hingga Camille dihadapkan pada keputusan untuk memilih antara cinta yang "normal" atau cinta yang "hidup". Dan endingnya sebenarnya mudah ditebak ketika kita melihat betapa HOTnya pecintaan Camille dan Petra.

@Alex, RahasiaBulan, 2008

10:49 PM

Summer Glow

Posted by Anonymous |

Demikian aku melihat pendar benderang dari dirinya ketika kami duduk berdekatan. Sekian lama aku mengenalnya, entah bagaimana baru kali ini aku melihatnya sebagai perempuan yang berbinar. Bukan, ini bukan pendar karena dia jatuh cinta. Ini adalah pendar yang berasal jauh dari dalam dirinya. Pendar seterang cahaya musim panas yang membuat kita ingin membuka pakaian dan memamerkan tato di tubuh kita dan berjalan di sepanjang pantai.

Dia sedang sibuk mengetik di laptopnya, ketika aku berdiri memandangnya di ambang pintu. Dia mendongak memandangku, tersenyum begitu cerah memamerkan barisan giginya yang rapi. Kuhampiri dia, kutanyakan apakah perutnya masih sakit dan apakah teh hangat yang kuberikan tadi bisa membuatnya lebih baik. Dia bilang, dia sudah mendingan dan sebaiknya aku tidak berdiri di dekatnya saat dia sedang menulis. Aku hanya tertawa, mengenal baik kebiasaannya yang satu ini. Tapi tetap kuhampiri dia dan kukecup bibirnya dengan penuh sayang, dan kukatakan padanya bahwa melihatnya tadi aku mendadak punya judul untuk menulis blog.

Memandangnya, aku merasa sudah mengenal perempuan ini seumur hidupku tepat ketika kami membuka hati kami berdua lima tahun lalu. Perempuan penuh semangat dan energi meluap. Perempuan dengan tawanya yang menular. Perempuan yang tak hentinya membuatku terpesona dengan keteguhan hatinya. Perempuan yang mencintaiku sebesar cara semut memandang kelopak daun. Perempuan yang panas membara seperti sengatan matahari musim panas.

Ada kalanya kilau cahayanya terselaput awan hitam. Awan-awan mengganggu yang membuatnya tak tampak, cerah dan terangnya menghilang. Awan-awan yang membuatku ingin jadi Aeolus, yang bisa mengenyahkan awan itu dengan sekali embusanku.

Cahaya benderangnya membantuku melewati musim-musim dingin yang terdingin dan musim-musim gugur yang menggigilkan tulang. Ada saat-saat tertentu ketika aku takut ada orang lain datang mencuri cahaya musim panas itu dariku. Karena benderangnya menarik makhluk-makhluk kegelapan pencari cahaya yang bak laron rela menerjang api lalu mati hanya demi sececap kebahagiaan. Maafkan aku, cahaya musim panasku, jika aku tidak rela mati seperti mereka. Aku memilih hidup bercahaya bersamamu, bukan terbakar oleh silaumu. Menua bersamamu bukan mati demi dirimu.

Malam tiba, tapi cahaya musim panasnya tak pernah padam. Bahkan dalam gelapnya kamar, bisa kurasakan cahayanya. Dia bergerak naik ke sisiku. Berbaring di sebelahku dan mencari posisi yang nyaman untuk dirinya. Selimuti aku, katanya manja, seakan kamu sayang aku. Kuselimuti dirinya, kukecup pipinya lembut lalu kuberbisik, aku selalu sayang kamu, bodoh.

@Alex, RahasiaBulan, 2008

Subscribe