Yap, kali ini yang jadi lesbian adalah sang ibu. My Mother Likes Women atau dalam judul Spanyolnya A Mi Madre Le Gustan Las Mujeres dimulai ketika sang ibu, Sofia (Rosa Maria Sarda) yang sudah berusia lebih dari 50 tahun memperkenalkan kekasih barunya kepada tiga putrinya. Tiga bersaudara ini, Jimena (Maria Pujalte), Elvira (Leonor Watling), dan Sol (Silvia Abascal), shock mendapati ibunya yang sudah lama menjanda memperkenalkan perempuan muda sebagai objek cintanya

Perempuan itu bernama Eliska (Eliska Sirova), seorang pianis asal Ceko yang usianya selisih dua puluhn tahun dengan sang ibu. Di antara ketiga bersaudara itu, yang paling shock adalah Elvira, si anak tengah berusia 20-an yang bercita-cita menjadi penulis. Melihat ibunya lesbian, Elvira jadi bertanya-tanya apakah dirinya mungkin juga lesbian karena selama ini hubungannya dengan laki-laki selalu kandas. Elvira yang sedikit neurotik dan insecure inilah yang jadi karakter utama dalam film.

Tiga bersaudari ini kemudian mengatur plot untuk memisahkan sang ibu dengan Eliska, karena mereka yakin Eliska hanya mengejar uang sang ibu. Sol disuruh merayu Eliska, namun Elvira-lah yang kemudian jadi akrab dengan Eliska. Lalu dimulailah kesalahpahaman ala komedi romantis yang menjadikannya konflik dengan akhir yang tidak sulit ditebak.

Chemistry antara Sofia dan Eliska lebih terasa seperti ibu dan anak daripada hubungan kekasih. Kemesraan antara mereka tampak terasa ketika Eliska bersama Sofia yang juga pianis memainkan karya Schubert bersama, tapi selain daripada itu... nada. Malah chemistry antara Eliska dan Elvira yang walaupun hanya muncul dalam beberapa adegan bersama tampak lebih meletup.

Humor dalam film ini bukan jenis humor yang membuat kita tertawa ngakak, tapi humor yang membuat kita nyengir sejenak. Yang membuat A Mi Madre Le Gustan Las Mujeres menarik untuk ditonton adalah akting Leonor Watling sebagai Elvira. Leonor Watling sendiri mendapat beberapa penghargaan atas perannya di film ini. Dia muncul dalam lebih dari setengah adegan My Mother Likes Women, dan dialah yang jadi jiwa film ini. Bagaimana dia dengan karakternya yang resah dan gelisah akhirnya menemukan akhir yang bahagia.

Dalam film komedi keluarga buatan Spanyol tahun 2002 ini, sekali lagi kita melihat bagaimana keluarga beradaptasi dengan anggota keluarga yang homoseksual, kali ini dengan rasa humor ala Amerika Latin. Kali ini dengan pertanyaan, “Bagaimana jika ibumu adalah lesbian?”


@Alex, RahasiaBulan, 2008

11:53 AM

Bercinta di Bawah Langit

Posted by Anonymous |

Entah kenapa, kami selalu memilih hari kerja untuk liburan, meskipun akibatnya harus mengorbankan cuti. Sebenarnya, kami ngepasin tanggalnya biar bisa honeymoon. Kenapa? Karena pada tanggal segitu empat tahun lalu, Lakhsmi jatuh cinta kepada saya. Di lorong itu... ketika kami berpapasan tanpa sengaja dengan sweter tebal yang membuat saya seperti penguin yang kedinginan, katanya.

Akhirnya hari itu pun tiba... Perjalanan yang dimulai sejak subuh ketika kami bisa melihat matahari terbit dalam perjalanan menuju bandara berakhir ketika kami tiba di bandara Ngurah Rai pukul 10 siang. Sepanjang waktu di pesawat kami habiskan dengan tidurrrrrrr... sambil bergenggaman tangan. Yah, pokoknya PDA banget deh.

Suasana hotel begitu romantis cocok buat honeymooners. Kami disambut dengan pegunungan hijau dan gemerecik air sungai di kejauhan. Suasana hotel super duper romantis tak terkira. Berdua kami cekikikan mendapati betapa hotel ini cucok banget buat bulan madu.

Sampai di kamar nuansa romantis makin menjadi-jadi melihat ranjang yang dihiasi kelopak mawar. Wuihhhh.... Bikin kepingin buru-buru berbaring telanjang deh... :) Eniwei, akhirnya kami nggak langsung ke ranjang. We wanted to save the best for last. Jadi pakai sofa dulu... hahahaha. Bercanda ding. :p

Kami berpelukan di sofa melihat ke luar jendela besar, memandangi pegunungan yang terlukis indah di luar sana. Rasanya dunia sungguh cuma milik berdua. Waktu seakan berhenti berdetak. Hanya saya dan dia.

Di bawah awan cerah dan pegunungan yang menakjubkan di balik dinding kaca itu, saya bersyukur. Bersyukur bisa ada di sana. Bersyukur atas segala waktu yang diberikan kepada kami. Bersyukur bisa diberi kesempatan untuk bertemu dengan partner dan bisa mengukir hidup bersamanya. Bersyukur atas segalanya.

Di bawah gunung dan awan yang dinaungi langit biru, saya merasa kecil dan tak berarti. Mungkin ini klise ya, saat kita berada di dekat anugerah yang begitu indah, kita langsung merasa tak ada apa-apanya... tapi sungguh itulah yang saya rasakan. Bahkan sempat saya merasa malu. Malu karena selama ini saya merasa kurang mengapresiasi segala yang saya peroleh. Kadang-kadang saya lupa. Dan di saat-saat seperti inilah saya seakan dijitak, diingatkan betapa besar anugerah yang saya terima setiap hari.

Ada saat-saat tertentu ketika kami begitu saling terbiasa dengan kehadiran satu sama lain, tenggelam dalam rutinitas sehari-hari sehingga kami seakan tidak punya waktu untuk hanya saling memandang. Kadang-kadang kita tidak merasa perlu untuk memberi genggaman, pelukan, atau ciuman karena berpikir, “Ah, toh, tiap hari juga ketemu... buat apa? Nanti malah jadi horny, dan kami jadinya ML melulu...” Bukan berarti saya komplain karena ML melulu lho, hehehe... tapi ada saat-saat tertentu ketika kebanyakan waktu rutin bersama malah jadi bumerang karena kita jadi kurang menghargai apa yang kita miliki.

Dan pada saat liburan inilah, waktu berhenti dan berjalan untuk kami. Sejenak. Kami menikmati kebersamaan kami sepenuhnya. Berdua. Ngobrol. Nonton TV. Tidur. Mandi bareng. Makan. Bergenggaman tangan. Berpelukan. Berciuman. Bercinta. Di bawah langit.

@Alex, RahasiaBulan, 2008

10:24 PM

Lesbian? Ya, Iyalah...

Posted by Anonymous |

Berapa banyak teman-teman lesbian yang langsung bergidik mendengar kata “lesbian” diucapkan atau ditulis secara terang-terangan? Atau Anda sendiri juga merasa risi dan tidak nyaman mendengarnya? Dan setiap kali mendengar kata ini disebut, otak Anda langsung otomatis bernyanyi, “Lalalalalalalala...” Tidak mau mendengar dan Anda berlagak budek seakan telinga Anda isinya penuh dengan kotoran lalalalalalala.

Sebagai pengganti kata lesbian yang menyeramkan ini, banyak orang yang menggantinya dengan kata lain. Belakangan ini kata yang sedang eksis sebagai kata pengganti adalah “L” (dibaca: el) yang merupakan singkatan dari LESBIAN. “Menurut lo dia el nggak?” Saat melihat cewek bertampang butch atau andro lewat di mal. Atau, “Lex, temen gue akhirnya udah ngaku el tuh.”

Sebelum kata “L” digunakan, istilah yang sempat happening pada awal tahun 2000-an adalah “Belok”. “Gue kenalin ama temen gue ya, anak kampus kita. Belok juga.” Yah, kurleb seperti itu pemakaiannya. Kata Belok digunakan sebagai lawan kata straight yang artinya lurus. Saya sering bercanda dengan teman saya dulu setiap kali dia bilang dirinya Belok. “Paling enak belok kiri, karena boleh langsung. BeKiBoLang.” Hehehe, jayus, memang.

Mundur sejenak ke era tahun 1990-an, istilah yang sering dipakai untuk menggantikan kata LESBIAN adalah “Lines”, (dibaca: li-nes bukan lains). Yah, zaman lesbi-lesbi masih digambarkan sering ajeb-ajeb di diskotek buat cari cewek dan lesbian party gitu deh, lalu ceritanya dimuat di majalah Fakta Plus, hahahaha.... Yah, kurleb sezaman ketika cerita lesbian yang paling in adalah “Aku Jadi Lesbi Karena Disakiti Laki-Laki".

Eniwei, istilah di atas belum seberapa mengerikan dibanding mendengar istilah “Sakit” yang so eighties banget deh. Sumpe deh, saya dengar dengan telinga yang nyantel di kepala saya tahun kemarin masih ada yang masih memakai istilah ini. Hareee geneeee...? Ya ampyunnnn, ke mane aje, Mbak?! “Si anu kan sakit juga, kaya kita-kita ini, cuma nggak mau ngaku aja....” Haiyaaaaahhhh, saya sampai bengong beberapa detik. Beneran bengong total. Bengong sampai ada gemanya... ngong... ngong... ngong.

Eufimisme semacam ini merupakan suatu cara untuk memperhalus istilah yang membuat telinga tidak nyaman. Sopir diperhalus dengan kata driver, Indian dengan Native American, Cina dengan Tionghua. Dan istilah-istilah di atas biasanya dibuat oleh kaum lesbian sendiri yang tidak sampai hati menggunakan kata Lesbian itu.

Dulu sewaktu saya masih muda, hijau, tidak berpengalaman, meskipun sudah tidak perawan lagi... (Baca: zaman kuliah), saya juga nggak kuasa menyebut kata Lesbian dengan enteng. Kayanya lidah ini terbuat dari logam mulia, dan sulit ditekuk untuk menyebut kata "les-bi-an." Sampai saya ketemu seorang sahabat lesbian yang out, loud, and proud.

Saya dan sahabat out saya yang cantik dan punya rambut yang cocok jadi model iklan sampo itu kemudian bersahabat baik. Secara dia kalau ngomong nggak ada remnya, dia bisa dengan mudah berkata, “Emangnya kenapa kalau gue lesbian?” semudah dia berkata. “Emangnya kenapa kalau jempol gue kutilan?” Awalnya saya nyaris pingsan setiap kali kata "lesbian" nyembur dari mulutnya, yang remnya blong itu.

Hingga kemudian saya menyadari bahwa bukan kata “lesbian” yang membuat saya takut. Tapi saya takut pada diri saya sendiri. Saya takut dengan kenyataan bahwa saya adalah LESBIAN. Detik itu pula saya menyadari bahwa saya homofobia pada diri saya sendiri, dan saya belum berdamai dengan hati, jiwa, dan pikiran lesbian saya.

Kesadaran itu muncul ketika saya sedang menyusuri malam dengan berjalan kaki sejauh 2 km, sambil berpikir merenungkan siapa diri saya sebenarnya. Saya membuat dialog dalam benak saya. Tanya-jawab imajiner. Siapa kamu? Apa kamu? Mengapa? Sepanjang waktu itu dialog tanya-jawab dalam otak saya terus-menerus menenangkan hati saya yang gelisah. Yang selanjutnya perlu saya lakukan adalah coming out pada diri saya sendiri.

Puncaknya saya menyerah. Saya tidak menafikan diri saya lagi. Saya menyerah dan mengakui dengan lantang (dalam otak saya) bahwa saya LESBIAN. Perempuan yang mencintai sesama perempuan. Dan ternyata... bumi tidak berhenti berputar. Bintang di atas langit masih tetap bintang yang sama, dan orang gila di dekat rumah saya masih tetap gila. Tapi saya berubah.... Saya berdamai dengan sisi lesbian dalam diri saya.

Setelah itu kata “Lesbian” tidak lagi membuat saya bergidik, menjauh, atau melarikan diri. Bahkan beberapa minggu lalu, entah bagaimana seorang teman (straight) yang berusaha akrab menggunakan istilah “L” untuk bicara dengan saya. “Eh, Lex, beneran ya Jodie Foster itu el?”(*) Sementara tangannya teracung menunjukkan ibu jari dan telunjuk melambangkan huruf “L” dan wajahnya tampak tidak nyaman dengan eufimisme itu, yang saya yakin sebenarnya juga membuat dia merasa risi.

Saya langsung menjawab, “Ya, iyalah doi lesbian, masa ya iya dong? Dia baru putus sama pacarnya tuh.” Teman saya langsung nyengir, “Aje gile, gue mau deh jadi lesbi kalau pacaran sama Jodie Foster.” Halaaahhh... ampun, susahnya punya teman yang gokil! Go to the ocean dehhhh.

@Alex, RahasiaBulan, 2008
(*)Entah kenapa saat kamu sudah out lesbian, teman-temanmu sering bertanya siapa saja orang yang lesbian... Seakan-akan kami jadi memiliki semaca marga kekerabatan yang sama...:p

11:44 PM

"The Forbidden Fruit Always Tastes the Sweetest..."

Posted by Anonymous |

Beberapa bulan terakhir bayangan Edward bergentayangan dalam benak saya. Sungguh, saya tidak menyangka sama sekali bagaimana Edward bisa membuat lesbian seperti saya jatuh cinta setengah mati padanya. Entah bagaimana Edward menjadi sosok yang tak bisa dilupakan. Tatapan matanya yang menyihir, begitu sexy. Setiap kali membayangkan Edward secara visual saya membayangkan rambutnya yang acak-acakan, kulitnya yang putih pucat, dan matanya yang tajam. Dan seluruh keberadaan dirinya begitu berkilau. Memukau dan memesona.

Sayangnya Edward adalah tokoh fiksi rekaan karangan Stephenie Meyer dari novel Twilight. Dia adalah vampir 17 tahun yang sudah hidup lebih dari seabad. Novel ini berkisah tentang cinta terlarang antara manusia dan vampir. Ah, kenapa setiap kali bicara tentang cinta terlarang saya selalu teringat pada kisah cinta lesbian.

Twilight
adalah kisah cinta Edward Cullen dan Bella Swan. Lupakan semua "teori" yang pernah kamu baca tentang cinta pertama. Dan rasakan pengalaman jatuh cinta dalam buku ini. Saya jadi ikut terseret menjadi cewek 16 tahun yang mengalami cinta pertamanya. Saya jatuh cinta lagi, berkali-kali.

Buku ini ditulis dari sudut pandang Bella yang baru pindah ke kota Forks, Washington. Di sekolahnya dia bertemu keluarga Cullen yang semuanya vampir. Dan perlahan tapi pasti Bella terpesona dan jatuh cinta pada Edward. Setiap kali Edward dan Bella berdialog, dalam benak saya mereka sedang bercinta dengan kata-kata yang terlontar. Yah, karena ini buku remaja nggak ada adegan seks di sini. Tapi sengatan listrik antara Bella dan Edward sering membuat saya “nyetrum”.

Edward dan Bella saling jatuh cinta meskipun darah Bella membuat Edward lapar dan dia berusaha mati-matian menahan diri untuk tidak mengisap darah perempuan yang dicintainya. Ditulis dengan bahasa yang sederhana namun indah. Membuat pembaca bisa merasakan aroma cinta terlarang yang menyengat antara Bella dan Edward. Dan sexual tension antara mereka.... OMG! Saya bisa terbakar saking panas dan tegangnya....

Kisah cinta antara Edward dan Bella terasa tidak nyata namun ada. Terasa jauh namun dekat, dan mereka berdua sama-sama tidak rela melepaskan harapan akan cinta yang tak mungkin ini. Bagi Edward, mencintai Bella adalah kebahagiaan dan siksaan. Cintanya pada Bella bagai singa yang jatuh cinta pada domba. Bahagia karena akhirnya dia bisa merasakan cinta. Dan siksaan karena dia tidak sanggup membuat Bella menjadi seperti dirinya. Karena vampir adalah makhluk terkutuk yang tak punya tempat di surga.

Bisa dibilang saya selalu obses dengan cerita bertema vampir. Tanyakan saya setiap episode dalam 7 season Buffy the Vampire Slayer dan bagaimana pendapat saya tentang hubungan cinta antara Buffy dan Angel atau Buffy dan Spike... dan kita akan menghabiskan 2 cangkir kopi tanpa berhenti bicara. Atau tanyakan saya tentang Vampire Chronicles-nya Anne Rice yang penuh dengan unsur homoerotica... kita akan menambah secangkir kopi lagi. Shoot, saya bahkan membaca Anita Blake series atau Harlequin Nocturne yang penuh dengan unsur erotisme, :p

Entah bagaimana saya selalu menarik analogi antara kisah cinta vampir dan manusia dengan kisah cinta sesama jenis. Dalam konteks ini, kisah cinta lesbian. Edward dan Bella saling mencintai tapi mereka tidak bisa bersama-sama karena cinta mereka adalah cinta yang tidak lazim. Sebagai lesbian, kita pasti pernah merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta pada seseorang yang seharusnya tidak boleh jadi objek cinta kita. Objek terlarang. Namun (katanya) buah terlarang itulah yang paling manis rasanya.

Vampir adalah makhluk terkutuk yang konon akan masuk neraka. Mereka adalah makhluk-makhluk kesepian yang selalu mencari cinta dalam hidup abadi mereka. Bahaya yang menantang dalam cinta ini dan kemustahilan dalam hubungan ini membuat cinta terlarang ini jadi begitu megah dan menggebu-gebu. Saya tidak perlu menerangkan bagaimana hubungan lesbian adalah hubungan terlarang, bukan? Dan bagaimana rasanya cinta yang dipendam justru jadi membuncah berlebihan melewati takaran.

Dalam cerita-cerita vampir, mereka sering digambarkan sebagai makhluk yang tak bisa dilawan pesonanya. Vampir punya “sesuatu” yang membuat manusia tidak berdaya menolak mereka. Mereka begitu memesona, menawan, dan bercahaya. Tanyakan itu pada perempuan-perempuan lesbian yang “dulunya” straight yang kemudian jatuh cinta setengah mati pada perempuan.

Menjalin hubungan dengan vampir berarti bersiap-siap hidup dalam kegelapan. Dan kalau menurut buku ini saat paling aman adalah twilight. Rembang Petang. Ketika matahari nyaris terbenam dan malam tiba. Menyedihkan? Tidak juga, karena tanpa ada malam kau tak bisa melihat bintang.

Balik ke Edward lagi, dan buku yang super duper keren ini. Saya penasaran bagaimana Mrs. Meyer akan mengakhiri cerita ini. Vampir dan manusia jelas tidak bisa bersatu, tanpa membuat si manusianya berubah jadi vampir. Sementara menjadikan seseorang sebagai vampir adalah tindakan yang amat uncool, dan sudah tidak romantis lagi. (Note: Kamu boleh bercinta dengan vampir, tapi tetap dalam kondisimu sebagai manusia. Dan itu akan membuat cinta terlarang ini jadi indah.)

Membaca Twilight membuat saya kadang-kadang merasa menjadi Edward dan di saat lain saya menjadi Bella. Juga membuat saya teringat pada cinta saya dengan perempuan. Bagaimana saya selalu tersihir dan tak berdaya menahan diri untuk tidak jatuh cinta pada perempuan. Dan terutama, saya teringat pada kekasih. Bagaimana saya selalu tersihir ketika memandang mata kekasih, dan jatuh ke dalam pesonanya. Bagaimana saya selalu "nyetrum" ketika berada di dekatnya. Dan betapa saya ingin terus memandanginya lalu menyelusupkan jemari saya ke rambutnya dan menelisiknya pelan-pelan....

@Alex, RahasiaBulan, 2008.

PS: Twilight saga ini sudah terbit 3 judul. Twilight, New Moon, Eclipse, dan yang akan terbit bulan Agustus 2008, Breaking Dawn.

5:41 PM

Isn't it Romantic?

Posted by Anonymous |

“Ah, chay, setelah empat tahun kamu nggak romantis lagi...,” demikian kata Lakhsmi ketika kami berteleponan beberapa malam lalu.
“Masa sih?”
“Iya, tadi aku bilang suara kamu bagus, tapi kamu cuek gitu...”
“Hihihi...” Saya kembali tertawa lalu melanjutkan, “Cuma kamu yang bilang suaraku bagus... jadi tadi pasti gombal banget tuh.”

Saya teringat kata-kata seseorang, “Wah, pacaran sama Lakhsmi pasti romantis banget ya...” Saya langsung tertawa terbahak-bahak. Entah kenapa romantis adalah kata yang jauh dalam menggambarkan hubungan kami. Tapi setelah saya pikir-pikir, mungkin saya salah.

Romantis itu hal-hal mudah, bukan sesuatu yang harus dilakukan dengan susah payah. Romantis itu hal-hal sederhana yang dilakukan sehari-hari. Hal-hal kecil yang (mungkin) nggak penting buat orang lain tapi bermakna buat kami.

Romantis adalah ketika malam-malam dia mengirim SMS dan bilang, “Chay, masak indomi yuk, laper...” Lalu kami akan masak bersama di dapur, dengan saya yang berpanas ria memasak mi yang katanya cuma perlu direbus selama 3 menit itu. Sementara dia duduk dengan manis di kursi makan, sehabis menyediakan dua gelas minuman untuk kami. Kemudian kami melahap indomi itu dengan kenikmatan yang rasanya tak habis dibawa tidur.

Romantis adalah ketika saya dan dia sedang duduk di ruang kerja, dia bekerja, saya membaca buku atau sebaliknya, atau kami sama-sama bekerja dalam keheningan yang nyaman. Kadang-kadang keheningan itu dipecahkan dengan suara saya atau suaranya. Kadang-kadang dia akan berkata, “Chay, ada puisi bagus, aku bacain ya...” Lalu saya akan meletakkan pensil dan meninggalkan pekerjaan saya atau melepaskan buku yang sedang saya baca dan mendengarkan suaranya yang bergema di dalam ruang kerja hingga merasuk ke dalam otak mengalir dalam aliran darah dan masuk sampai ke hati.

Romantis adalah ketika dia melempari saya dengan bom SMS bertubi-tubi hingga HP saya sering hang dan dia harus membelikan HP baru--- hehehe, kidding, beib. Badai SMS gila yang “meneror” dan bikin detak jantung jadi bertambah cepat ratusan kali lipat jika tidak segera dibalas. Duh, sumpe deh saya cinta banget kalau dia sudah begini. :)

Romantis adalah ketika dia duduk di samping saya di sofa dengan kaki yang diselonjorkan, membuat saya secara otomatis langsung memijatnya. Atau ketika dengan manisnya meminta saya menyingkir dari bagian sofa terujung, "Geser, babe. Aku duduk di sini ya.” Dan mencari PW-nya. (PW = Posisi Wuenak). Lalu kami bisa duduk berimpitan sambil nonton acara nggak jelas di TV.

Romantis adalah ketika kami berdiskusi sastra, berdebat seru, saling mengkritik atau memuji tulisan, film, buku, puisi yang pernah singgah di kepala kami. Hingga kadang-kadang saya pikir penulis/sutradara yang sedang kami bicarakan itu pasti gatal kupingnya mendengar omongan kami.

Romantis adalah saat kami tidur sekamar tiba-tiba SMS-nya masuk, yang bilang, “I love u.” Atau SMS yang masih saya simpan sampai sekarang dari dia, “Aku gk bisa nyanyi lagu2 cinta buat km dan gk suka dinyanyiin jg. Aku bkn penggemar lagu atau band sampai maniak. Aku cuma bisa menulis banyak kata2 indah buat kamu.”

Atau...

Romantis adalah ketika saya mendapat kiriman bunga di kantor pas hari ultah saya. Romantis adalah ber-honeymoon ke Bali setiap tahun di bulan-bulan "terserah deh" yang bisa kami jadikan bulan madu kami. Romantis adalah memandang matanya lekat-lekat dan tanpa gentar berkata, "Aku mencintai kamu. Sepenuh hatiku."


@
Alex, RahasiaBulan, 2008
PS: Babe, if I could grant you one wish, I’d wish you could see the way you love me.

Subscribe