2:40 PM

The Princess, The Star, And The Dragon

Posted by SepociKopi |

Syahdan, ada seorang perempuan yang hidup di menara tinggi. Seorang putri yang pandai memintal kata-kata dan sangat menyukai malam. Kata-kata yang dipintalnya berhamburan keluar saat langit mencipratkan semburat tintanya di lengkung malam. Sepotong bintang yang berada di gugusan paling terang mendengar kata-kata yang dipintalnya. Tiap malam ia menyimak hujan kata-kata itu, tersentuh dan terpesona.

Dan pada satu malam yang teramat terang, dia tergelincir. Jatuh ke bumi dengan kecepatan tinggi, terdorong oleh rasa rindu yang menggebu. Bintang mendarat di lantai dengan suara denting yang lirih. Perempuan pemintal kata-kata tersentak, lalu berjalan mendekati bintang.

Serbuk bintang berhamburan di tangannya saat perempuan pemintal kata-kata menyentuh kelima ujung bintang. Dengan serbuk itu, kata-kata yang dipintalnya semakin berseni, semakin berseri. Bintang memberikan kebahagiaan yang tak terperi bagi perempuan pemintal kata-kata. Untaian kata-kata yang dibuat mereka berdua semakin bergema ke seluruh pelosok negeri. Dan orang-orang pun berdatangan ke bawah menara, ingin mendengar lebih dekat.

Suatu hari Bintang melongokkan kepalanya dari jendela.

“Lihatlah, Sayang!” serunya. “Orang-orang yang kerap kulihat dari langit atas. Mereka tampak begitu dekat. Mari kita turun ke bawah.”

Perempuan pemintal kata-kata menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Tidak, apa yang kupunya di sini telah membahagiakanku. Aku tidak ingin turun.”

Bintang telah terlalu lama mengamati pergerakan bumi dan manusia, sehingga ingin menjadi bagian dari kehidupan di bawah. Saat kekasihnya sedang terlelap atau bekerja, dia menyelinap turun, bersenang-senang. Bintang bertemu dengan badut, manusia paling pemurung yang menyembunyikan kegetiran hidupnya dalam coreng moreng keriangan palsu di wajah. Bintang dan badut bersama-sama, melupakan malam, melupakan pagi, melupakan perempuan pemintal kata-kata yang merenda sunyi di atas menara. Bintang dan badut bergenggaman tangan, mabuk kepayang seperti ikan yang tenggelam di laut dan burung yang tersesat di udara.

Perempuan pemintal kata-kata mulai menangis. Air matanya jatuh satu per satu ke bawah, menetes turun bagai hujan membasahi bumi. Sebagian membasahi wajah bintang, sehingga membuatnya tersadar dan mendongak ke atas. Hatinya remuk redam melihat kekasihnya bersedih. Dia mencari cara untuk kembali ke menara. Tapi tak ditemukan tangga apa pun di sana. Cahaya bintang meredup oleh kepedihan tak berujung.

Perempuan pemintal kata-kata duduk di pinggir jendela, mengamati garis horison dan lengkung cakrawala. Dia selalu mengingat bahwa kebahagiaannya selalu berawal dari atas. Air matanya masih menetes saat dia melihat gerakan yang turun dari bayang pelangi. Sosok kecil yang mengambang ringan, seperti kupu-kupu bersayap paling halus. Kulitnya berwarna biru cerah, matanya bagai mutiara paling bening yang diketahuinya, dan cakarnya sangat lembut dengan ujung-ujung keperakan yang menawan.

Oh. Seekor naga biru kecil.

Naga biru kecil menyelinap di jendela, malu-malu.

Perempuan pemintal kata-kata terpana, bermenit-menit. Lalu tangannya terentang, memanggil naga biru kecil. “Kemarilah!” serunya lembut.

Naga biru kecil mengepakkan sayapnya. Maju mundur, menatap bintang di bawah, dan menatap perempuan pemintal kata-kata. Bolak-balik. Penuh keraguan. Penuh kebimbangan.

“Kemarilah!” panggil perempuan pemintal kata-kata sekali lagi, penuh permohonan.

Di bawah, bintang mendongak, mendapati seekor naga biru mungil bersayap keperakan sedang menyeka air mata perempuan pemintal kata-kata.

@Alex, RahasiaBulan, 2007
@Lakhsmi, JejakArtemis, 2007

9:12 AM

You Never Know What You've Got until It's Gone

Posted by Anonymous |

Pernahkah kau menyadari saat kau terbiasa tidur dengan seseorang, kau dan orang itu memiliki sisi ranjang masing-masing. Dan ketika orang itu tidak ada, kau tetap tidur di sisi ranjangmu dan membiarkan sisi tempat tidur orang itu tetap kosong. Menunggu orang itu datang mengisinya. Kemarin pagi, hari dimulai ketika saya terbangun dan mendapati sisi sebelah saya kosong. Dan rasa kehilangan itu terasa menyesakkan. Kemudian ketika Lakhsmi naik ke ranjang tak lama kemudian, mengisi tempat yang memang miliknya, saya merasa penuh dan hangat lagi. Yeah, memang, you never know what you’ve got until it’s gone.

Ketika baru tiba di kantor, sahabat sebelah saya berkata, “Bye, hari ini gue pindah duduk. Lo nggak akan ketemu gue.” Saya dan sahabat saya itu memiliki hubungan unik. Semacam "Love and Hate Relationship." Kemarin dia menghilang sementara karena komputernya harus diperbaiki dan dia harus menggunakan komputer cadangan yang letaknya jauuuuh. Ternyata kehilangan dia membuat saya sadar betapa kami sering mengabaikan satu sama lain. Ketika saya melewati tempat duduk “baru”nya, dia bilang "teman-teman baru"nya tidak mengerti dia seperti saya memahaminya. Yeah, kami sudah mencapai pengertian begitu dalam, sehingga hanya dengan desahan napas saja atau posisinya duduk saya bisa tahu suasana hatinya. Saya baru sadar betapa saya merindukan kehadirannya yang walaupun terkadang bikin bete tapi ternyata ngangenin. Akhirnya pada sore hari seusai jam kerja, kami ngobrol panjang dan lama, yang ternyata ini saya rindukan dari dia. Sahabat lalu saya bilang, “Lex, you never know what you’ve got until it’s gone.”

Sore harinya saya mendapat telepon dari seorang sahabat lama semasa kuliah. Dengan suaranya yang panik dia mengabarkan berita menyedihkan. Ternyata salah seorang sahabat satu genk kami dulu menderita kanker rahim dan saat ini berada dalam kondisi kritis. Saya kehilangan kata-kata selama beberapa detik. Tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Kabar itu terlalu mengejutkan. Di usia saya sekarang, saya menganggap kehidupan masih terbentang begitu luas di depan saya. Dan kini, kabar duka itu membuat saya berpikir ulang tentang hidup. Bahwa dalam satu kedipan mata semua bisa berakhir. You never know what you’ve got until it’s gone.

Berbagai peristiwa seharian kemarin membuat saya memiliki sudut pandang baru. Mungkin tidak bisa dibilang baru juga, tapi lebih berupa sudut pandang yang tak pernah saya lihat sebelumnya. Malam harinya saya bertemu Lakhsmi dan anak-anak. Kami makan bersama di rumah lalu nonton DVD lagu anak-anak sambil berpelukan di sofa, sementara di sebelah kami ada dua anak yang matanya tak lepas dari TV. Seperti kata iklan Mastercard, suasana seperti ini... Priceless. Dan saya tidak mau kehilangan dulu untuk menyadari betapa tak ternilai harganya apa yang kini saya miliki sekarang.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

10:45 AM

To Fall in Love Again

Posted by Anonymous |

Bagaimana membuat seseorang yang pernah mencintaimu untuk jatuh cinta lagi padamu di saat cinta itu hilang?

Orang Pesimis akan berkata, “Halah, percuma, apa yang hilang takkan kembali.”
Orang Optimis akan berkata, “Kalau dia pernah jatuh cinta padamu, kau pasti bisa membuatnya jatuh cinta lagi.”
Orang Sinis akan berkata, “Makan tuh cinta!”

Saya pernah jadi ketiga orang di atas.

Di usia belasan saya orang yang pesimis.
Di usia pertengahan 20-an saya orang yang optimis.
Sebelum menjalin hubungan dengan Lakhsmi ketika usia saya menjelang 30 tahun, saya orang yang teramat sinis terhadap cinta. In a heart of a cynic beats a broken heart of a romantic. Lakhsmi mengajari saya untuk tidak jadi orang sinis dan membuka hati saya untuk cinta.

Sesungguhnya saya takut membuka hati saya selebar-lebarnya. Karena dengan demikian saya berarti membiarkan hati saya jadi sitting duck. "Shoot me, shoot me," teriak si bebek itu ketika berbaris menunggu ditembak. Dan jujur, saya takut. Makanya saya selalu membentengi hati saya. Bersama Lakhsmi saya belajar menyusuri jalan berliku bahwa membuka hati berarti membuka banyak keajaiban. Membuka hati berarti mendapat berlipat-lipat kebahagiaan yang tak terbayangkan. Seperti orang yang menjalani hidup dengan perasaan bahwa besok dia akan mati... itulah yang saya rasakan ketika saya belajar mencintai dengan sepenuh hati.

Kini tiga tahun berlalu sejak saya membuka hidup, diri, dan hati saya. Kini ketika cinta itu hilang dan saya harus berjuang untuk mendapatkannya kembali, saya goyah. Saya merasa tak berdaya dan tidak bisa melakukan apa-apa.

Minggu lalu saya menemukan jawabannya ketika membaca majalah Hidup.
Kolom “Tujuh Kata Pokok” Paulo Coelho menjawab kegelisahan saya. Tujuh kata pokok kali ini adalah “Doa”.

Matius 7-7: “Mintalah, maka kalian akan menerima. Carilah, maka kalian akan mendapat. Ketuklah, maka pintu akan dibukakan untukmu.”

Kini saya menyerahkan diri dan cinta saya kepada kekuatan doa.
Saat ini saya jadi Orang Religius.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

*spoiler alert*

High Art termasuk kategori film “suram”. Dirilis pada tahun yang sama dengan Gia, tahun 1998, menjadikan tahun ini semacam tren "lesbi mati karena narkoba". Film ini sudah lama saya tonton, rasanya masih zaman VCD dulu. Tapi waktu saya browsing di mangdu beberapa minggu lalu, saya melihat film ini di salah satu konter.

Salah satu alasan saya menonton film ini adalah aktris-aktrisnya. Radha Mitchell dan Ally Sheedy. Radha Mitchell adalalah aktris Australia yang sebelumnya pernah berperan sebagai lesbian dalam film indie Australia, Love and Other Catrastrophes. Kariernya di Hollywood bisa dilihat dalam film seperti Melinda and Melinda dan Silent Hill. Dalam High Art dia berperan sebagai Sydney, editor di majalah fotografi.

Sementara Ally Sheedy adalah aktris remaja tahun 1980-an yang bermain dalam film populer seperti St Elmo's Fire dan The Breakfast Club. Dan Ally Sheedy layak mendapat acungan jempol dalam High Art. Saking seriusnya berperan sebagai pecandu narkoba, konon Ally Sheedy keterusan mengalami ketergantungan obat tidur akibat perannya di film ini.

Film dimulai ketika suatu hari atap apartemen Syd bocor dan kena rembesan air dari lantai atas. Jadilah Syd harus ke apartemen tetangganya di atas dan bertemu dengan Lucy (Ally Sheedy), fotografer terkenal yang gemar berpesta narkoba dengan kekasih dan teman-teman lesbiannya. Terpesona melihat hasil foto Lucy, Syd akhirnya bekerja sama dengan Lucy untuk majalahnya.

Meskipun sudah punya kekasih pria, Syd tidak bisa menahan diri untuk tidak jatuh cinta pada Lucy dan menerabas garis batas pekerjaan sehingga mereka pun tidur bersama. Saya agak lupa, tapi seingat saya ini termasuk film dengan adegan ranjang yang lumayan bagus, mungkin saya perlu mencari VCDnya lagi untuk menyegarkan ingatan saya :). Sepanjang film, sebenarnya kita sudah bisa merasakan akhir yang buruk untuk mereka, apalagi saat Lucy memutuskan untuk memilih narkoba dibanding Syd.

Well, apa pun endingnya... secara garis besar High Art film yang bagus karena digarap serius oleh sang sutradara dan aktris-aktrisnya yang meskipun bukan aktris ngetop, tapi menampilkan akting yang membuat kita percaya.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

9:57 PM

Terapi Patah Hati ala Film India

Posted by Anonymous |

Ada kalanya saya merasa kepingin mengucurkan air mata... bukan, bukan air mata sedih. Tapi air mata yang ingin dikeluarakan agar rasa lega bisa terasa. Akhir pekan kemarin, partner berangkat ke Bali bersama sobat-sobat lesbiannya sebagai upaya terapi patah hati selama tiga hari.

Biasanya saya membungkus diri saya dengan buku, tapi kali ini saya sedang nggak mood. Untungnya pada saat yang sama di bioskop memutar film India yang memang selalu jadi favorit saya... :p Bukan hanya satu film, tapi dua. Saawariya dan Om Shanti Om. Saawariya diperankan oleh aktor muda berbakat Ranbir Kapoor dan Sonam Kapoor yang walaupun cantik sayangnya cuma punya modal cantik saja. Dan Om Shanti Om diperankan oleh Shah Rukh Khan dan Deepika Padukone (yang oleh menurut SMS teman saya, "Lo pasti suka cewenya, cantik sih, hehe). Sebenarnya kami pernah janjian untuk double date bersama sahabat gay kami untuk menonton salah satu dari kedua film tersebut, tapi, yah... karena kami lagi butuh waktu dan ruang privasi, jadinya saya terpaksa sendirian. :)

Akhir pekan kemarin saya memuaskan diri saya dengan dua film tersebut. Hari Sabtu saya habiskan dengan Saawariya, yang berarti Kekasih. Saya punya ekspektasi tinggi terhadap Saawariya secara film ini diadaptasi dari cerita pendek Fyodor Dostoevsky berjudul White Nights. Cerita pendeknya sendiri merupakan kisah yang pedih, bercerita tentang 4 malam dan 1 pagi antara sepasang lelaki dan perempuan. Lelaki itu adalah lelaki paling kesepian dan perempuan itu adalah perempuan yang menggantungkan harapanya pada malam menanti kembalinya sang calon suami.

Seharusnya ini jadi cerita teramat sedih. Bagaimana tidak? Malam pertama lelaki itu berkenalan lalu menawarkan persahabatan pada perempuan itu. Malam kedua si perempuan mulai menerima persahabatan lelaki asing ini dan bercerita tentang dirinya yang menunggu pulangnya sang kekasih. Malam ketiga si lelaki dan perempuan jatuh cinta terhadap satu sama lain. Malam keempat mereka membenamkan diri dalam cinta namun sayangnya lelaki calon suami itu pulang dan si perempuan meninggalkan lelaki yang telah mendampinginya selama 4 malam untuk memenuhi janji bersama calon suaminya.

Setting film ini luar biasa indah, ala Moulin Rouge dengan dominasi warna biru dan gelap. Dalam film ini si lelaki digambarkan sebagai penyanyi, saya lupa seharusnya dia jadi apa di cerita pendeknya. Statusnya sebagai penyanyi ini seharusnya bisa membuatnya jadi makin India, tapi sayang lagunya kurang banyak dan film ini juga kurang panjang untuk ukuran film India, hanya 130 menit.

Walaupun saya tetap menangis di akhir cerita, tapi Sanjay Leela Bhansali, sang sutradara, membuat saya kecewa karena tidak mengembangkan White Nights itu menjadi cerita yang mengharubiru ala India, padahal ia punya modal yang luar biasa dalam segi cerita. Yah, mungkin karena ekspektasi saya terlalu tinggi.

Hari Minggu saya menonton Om Shanti Om. Pertama saya pikir Shah Rukh Khan terlalu tua untuk berperan sebagai Om, aktor nggak penting tahun 1970-an yang jatuh cinta pada aktris besar bernama Shanti. Dalam suatu peristiwa tragis Om tewas ketika berusaha menyelamatkan Shanti dari kebakaran. Kemudian Om pun terlahir dalam keluarga Kapoor yang menjadikannya sebagai bintang tenar India masa sekarang.

Entah pada menit keseratus berapa saya menganggap Shah Rukh Khan memang layak mendapat julukan King Khan. Dia tampil luar biasa. Dan saya sukaaaaa sekali adegan fanfare, ketika Shah Rukh bersama 31 aktor dan aktris tenar India menjadi cameo dalam lagu Deewali. Benar-benar menghibur. Hingga saya tertawa sampai menangis. Secara sutradara film ini Farah Khan, jadi koreografinya bener-bener patut dapat acungan jempol. Buat penggemar film India, Om Shanti Om adalah film yang tak boleh dilewatkan. Tidak ada satu pun adegan membosankan dalam film berdurasi 168 menit ini.

Menonton film ini timbul pertanyaan dalam benak saya, Pernahkah kau begitu mencintai seseorang sehingga rela mati untuk orang itu dan satu kehidupan pun tidak cukup bagimu untuk mendampinginya? Atau semua itu hanyalah dalam film? Entahlah.

Menonton Saawariya dan Om Shanti Om benar-benar terapi menyegarkan yang luar biasa di akhir pekan saya. Sudah lama saya tidak menikmati kesendirian. Kadang-kadang hanya butuh satu-dua hal yang tepat untuk terapi patah hati semacam ini. Saya ingat terakhir kalinya saya butuh mengeluarkan air mata, entah berapa tahun lalu. Saya mengambil buku A Walk to Remember-nya Nicholas Sparks dan menangis hingga mata saya bengkak ketika habis membacanya. Hingga yang tersisa cuma rasa lega di dada.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

7:28 PM

Perjuangan yang Membutakan

Posted by Anonymous |

Tulisan ini sudah lama terkatung-katung karena saya patah hati minggu lalu. Berkat dukungan teman-teman semua, kini saya merasa dunia tidaklah sesuram gua gelap seperti di film The Descent. :p

Beberapa minggu lalu saya menonton film berjudul Titanic Town di layar televisi. Ceritanya tentang seorang ibu yang jadi aktivis di kota kecil di Irlandia Utara. Si itu berjuang untuk menghentikan pertikaian antara Inggris dan Irlandia. Walaupun sudah diwanti-wanti agar tidak terlalu vokal, akhirnya si ibu ini malah jadi aktivis yang melakukan kampanye besar-besaran menentang perang antara IRA dan Inggris hingga masuk TV dan koran lalu si ibu itu jadi terkenal. Kemudian anak-anak dan suaminya mendapat ancaman dan teror, rumahnya jadi sasaran pengrusakan, dan keluarganya hidup dalam ketakutan.

Ketika saya menontonnya, saya kasihan dan kesan pada si ibu. Layak nggak sih berjuang sampai sejauh itu? Memang sih nasib ibu itu tidak semalang perempuan yang anaknya diculik, lalu diperkosa dan dibunuh di depan matanya dalam film Imagining Argentina. Ibu itu yang diperankan oleh Emma Thompson adalah pejuang tangguh menghadapi represi pemerintah. Tapi bagi saya, kedua ibu ini adalah ibu egois yang hanya mementingkan diri sendiri.

Apa sih sebenarnya yang mendorong mereka berjuang? Alasan yang mereka pakai adalah mereka berjuang demi masa depan anak-anak mereka agar bisa hidup lebih baik. Yeah, right. Whatever deh.

Di mata saya mereka berjuang karena perjuangan membawa kemahsyuran. Kemasyuran yang berubah jadi candu. Dan membuat buta. Kadang-kadang orang jadi tidak melihat sisi lain karena terlalu fokus pada perjuangan. Mereka marah saat orang-orang tidak ikut berjuang. Merasa dunia seharusnya berputar di sekitar mereka. Mempertanyakan kenapa orang tidak ikut berjuang bersama mereka. Dan yang paling miris, mereka membuat orang-orang yang dekat dengan mereka sebagai korban.

Yeah, kadang-kadang perjuangan itu menghasilkan kemenangan sesaat, tapi dengan harga yang mahal. Anak perempuan dalam Imagining Argentina mati mengenaskan. Anak lelaki dalam Titanic Town kepalanya bocor hingga nyaris mati. Yang lebih miris, perjuangan mereka dimanfaatkan, dijadikan kendaraan politik oleh oknum-oknum politisi atau mereka yang ingin mencari nama dan uang. Pejuang-pejuang itu cuma dijadikan pion tidak penting yang bisa dikorbankan.

Jadi kita tidak harus berjuang? Tidak juga. Berjuanglah secara cerdas. Jangan pernah jadi martir. Jangan pernah berpikir bahwa berjuang sama artinya dengan mengorbankan diri. Saat kau mati, kau mati. Saat keluargamu hidup dalam ketakutan karena teror, kau jadi orang yang bertanggung jawab sebagai penyebabnya. Tidak ada perjuangan yang terlalu penting hingga harus membuat orang-orang di dekatmu menderita.

Yang lebih ironis lagi, setelah kau mati-matian berjuang kau harus pergi dari tempat yang kauperjuangkan karena kau ternyata menciptakan lebih banyak musuh. Lupakan perjuangan, kecuali kau tahu kau akan menang. Segala sesuatu akan terjadi jika waktunya pas. Matahari akan terbit saat fajar. Bintang bersinar di malam hari.

Saya lupa siapa, tapi ada yang pernah bilang bahwa coming out sebagai lesbian adalah suatu bentuk perjuangan kita sebagai lesbian. Rahang saya sampai nyaris copot mendengar komentar itu. Yang lebih bodoh lagi adalah ajakan/hasutan untuk coming out. Saya yakin, tanpa diajak pun, setiap lesbian merasakan kegelisahan untuk out.

Been there, done that.

Saya melewati masa muda yang penuh kegelisahan. Rasanya saya ingin menjerit di puncak gunung tertingi dan menyatakan diri sebagai lesbian. Mengaku kepada ibu saya tinggal seujung kuku lagi ketika saya masih duduk di bangku kuliah. Tapi saya tidak melakukannya ketika saya masih muda dulu, walaupun hati saya sakit karena harus memendam perasaan. Ya, akhirnya memang saya out ketika saya merasa waktunya tepat dan orang-orang pasti bisa menerima kelesbianan saya. Saya tidak mau jadi pecundang yang cuma bisa mengaku lesbian dan menjadikan lesbian sebagai identitas. Meminjam istilah Nagabonar, Apa kata dunia?

Ada orang yang sepenuhnya in the closet. Ada yang memilih out di kalangan sesama lesbian. Ada yang memilih out di lingkungan kerja saja. ada orang yang memilih out di lingkungan keluarga saja. Ada orang yang sebegitu out-nya sehingga identitasnya cuma si anu yang lesbian. Itu semua hak masing-masing. Terserah di mana letak kenyamanan orang tersebut. Apa yang bagus buatmu belum tentu bagus buat orang lain. Kau tidak pernah bisa menempatkan hidupmu dan penerimaan terhadap dirimu terhadap diri orang lain.

Sebagaimana cerita di atas, jika kau tidak tahan lagi dan ingin out, lakukan secara cerdas. Janganlah melakukannya dengan membabibuta apalagi karena menuruti emosi/amarah. Atau kau melihat si A melakukannya dan tampaknya cool atau ditekan oleh pasangan untuk melakukannya. Lakukan dengan penuh pertimbangan, paling tidak yang bisa kauprediksi bahwa kira-kira orang yang mendengar ceritamu akan bisa mendukungmu. Saya memilih out kepada orang-orang yang sudah saya kenal baik dan tidak kepada keluarga.

Beberapa hari yang lalu ibu saya bilang, “Kamu tuh anak yang baik.” DUK. Secara ibu saya bukan tipe memuji, saya langsung cemas. Dan dengan tatapan gundah, saya balik bertanya, “Mama nggak kenapa-napa, kan?”
Ibu saya malah ketawa terbahak-bahak. “Masa nggak boleh memuji anak sendiri?”

Saya tidak pernah out pada ibu atau keluarga besar saya, karena saya tahu karakter ibu saya yang memilih untuk “Don’t ask don’t tell.” Dia memilih diam dan menerima keadaan saya yang sejak kuliah sering membawa “teman perempuan” ke kamar (kamar saya letaknya persis di sebelah kamar ibu saya yang cuma dibatasi tripleks, jadi bayangkan sendiri deh :p), plus mengajak teman perempuan menginap di rumah, plus pernah tinggal di kos bareng bersama “teman perempuan” dengan ranjang yang kata ibu saya, “Terlalu sempit untuk berdua”. Saya rasa membahas orientasi seksual saya adalah penghinaan buat kecerdasan ibu saya. Kemudian ibu saya memotong lamunan saya dan berkata, “Mami lagi banyak duit nih. Gimana kalau hari Minggu kita makan siang di luar? Oya, jangan lupa ajak Lakhsmi sekalian.”

Ah, mendadak saya teringat tulisan entah di mana, "We’re happy, we’re gay." Tolong jangan buat saya merasa bersalah karena merasa bahagia.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

9:08 AM

Pulang II

Posted by Anonymous |

"There's beggary in the love that can be reckon'd."
Antony and Cleopatra


Minggu lalu seorang sahabat lama mengirim SMS, “Menurut lo, cinta sejati tuh apa?”
Heh? Mendadak kepala saya seakan kosong melompong. Saya berusaha menggali tapi tak menemukan jawabannya di sana. Dan saya cuma bisa bilang, “Nggak tau.”

Pertanyaan itu menghantui saya selama berhari-hari, menyelinap dalam benak saya ketika saya sedang duduk di motor, menonton TV, menyesap kopi. Saya berusaha keras memikirkan jawabannya. Otak saya yang movie freak ini menyetel kembali film-film yang pernah saya tonton. Apakah cinta sejati seperti film Serendipity, When Harry Met Sally, While You Were Sleeping, dst, dll? Entah kenapa saya tidak menemukan jawabannya di sana.

Tadi malam saya merendam diri dalam seperempat botol Limoncello berkadar alkohol 31% yang langsung saya habiskan dalam waktu tiga menit. Setelah itu, bukan kejutan jika saya langsung terkapar pingsan dalam tidur.

Saya terbangun dengan jawaban atas pertanyaan yang selama ini mengusik saya. Cinta sejati adalah rumah. Orang yang jadi tujuanmu pulang. Dan kesadaran ini membuat saya begitu terpukul. Karena belakangan ini saya tidak menyukuri rumah yang saya miliki.

Selama kurang lebih tiga tahun lima bulan saya menjalin hubungan luar biasa bersama perempuan yang tak kalah luar biasa bernama Lakhsmi. Kalau saya percaya pada yang namanya soulmate, dialah orangnya. Entah bagaimana kami berhasil menciptakan rumah kami sendiri dalam dunia yang tidak sempurna ini. Di rumah itu, kami bisa pulang kepada satu sama lain. Pulang dalam kenyamanan daster robek dan kaus kumal yang enak banget dipakai tidur. Pulang ke depan sofa sambil duduk berdempetan seraya menonton TV dan memberi komentar nggak penting. Pulang ke dalam pelukan yang rasanya pas dan memang diciptakan untuk tubuh saya. Pulang ke sisi ranjang kami masing-masing ketika malam menutup hari....

Ah, tapi seharusnya saya belajar dari tragedi Shakespeare.

Dia adalah master dalam menciptakan tokoh-tokoh yang kacau dalam dunia yang tragis. Dalam panggung sandiwara kali ini saya mendapat peran sebagai bajingan, bangsat terkutuk yang tak layak memperoleh ampunan. Dan betapa saya berharap dunia ini hanyalah panggung sandiwara, ketika tepuk tangan membahana kita bisa turun dari panggung lalu menjadi orang lain.

Tapi kita tidak bisa melakukannya. Saya tidak bisa mengetik Ctrl + Z untuk meng-undo semua yang saya lakukan. Kematian paling menyakitkan sekalipun masih kalah sakitnya ketika kau melihat pasanganmu menangis, sakit hati akibat perbuatanmu. Melihat kepedihan di matanya. Melihat kebencian terhadap dirimu terpantul di sana. Saya berharap saya disambar petir, dikutuk jadi batu, atau mati saat itu juga. Tapi petir tidak menyambar dan saya tidak mati. Saya harus hidup dengan konsekuensi perbuatan saya yang gegabah.

Jika butuh waktu seumur hidup saya untuk memperbaikinya, saya akan melakukannya.

@Alex, RahasiaBulan, 2007


9:13 AM

Kematian Paling Menyakitkan

Posted by Anonymous |

Kau tahu kematian apa yang paling menyakitkan?
Kematian karena sakit hati.
Perlahan-lahan jantungmu diganduli beban yang makin lama makin berat, sementara jantungmu diremas oleh tangan raksasa.
Lama-kelamaan jantungmu terlalu lelah, terlalu berat.
Hingga jantungmu berhenti berdetak.
Begitu saja.

@Alex, Rahasiabulan, 2007

6:00 PM

Pulang

Posted by Anonymous |

Ketika Aku lebih berkuasa daripada Kita.
Ketika kata-kata terucap penuh amarah.
Ketika api membakar segalanya dalam malam yang basah.
Ketika kata maaf tak bisa lagi membayar semua kesalahan.

Aku ingin pulang tapi tak tahu harus ke mana.
Aku ingin pulang menunggu mendung mengantar hujan.
Agar dalam neraka jalanan itu air dari langit bisa mengguyurku.
Agar aku bisa menangis tanpa ketahuan


18.05 Rabu. 7 November 2007

@Alex, RahasiaBulan, 2007

12:24 PM

That's What Friends are For

Posted by Anonymous |

Pernahkah kau baru bertemu dengan seseorang tapi kau tahu dia akan jadi sahabatmu? Seakan ada bunyi “klik” dalam otakmu ketika kalian menghabiskan waktu bersama. Kami bertemu dalam probabilitas waktu dan tempat yang tak terpikirkan. Lewat jutaan huruf dalam ketikan keyboard, dalam dunia maya yang awalnya dimulai dengan nama palsu. Dari dunia di balik monitor, kami bertemu dan mendapatkan “klik” itu ketika kemayaan tersebut runtuh dan berganti dengan realitas.

Saya tidak punya banyak sahabat dekat dalam dunia lesbian. Bukan, bukan karena saya tidak bergaul atau apa. Tapi jujur saja, kalau saya mengedarkan diri di komunitas, biasanya saya cuma cari pacar. Jadi sahabat-sahabat saya (dulu) kebanyakan orang-orang yang pernah dekat dengan saya. Kini izinkan saya bercerita tentang dua sahabat baru saya.

Meminjam pernyataan dalam blog JejakArtemis. Sahabat menyusup masuk. Begitu lembut, bagai kuntum bunga yang luruh. Mengalir, bagai angin. Senyap, bagai udara. Tahu-tahu dia akan hadir begitu saja. Sebut saja namanya J. Pada dirinya saya seakan menemukan cermin diri. Orang yang memiliki vibrasi otak yang sama dengan saya. Seseorang yang sebenarnya tidak perlu mengaku cool dan keren karena pada kenyataannya dia memang begitu. :p

Kami menjadi dekat dalam dunia realitas di mana ID yang ada hanyalah KTP, SIM, atau Paspor. Statusnya yang selibat dan status saya yang terlibat membuat kami---dua anak nakal---ini kadang-kadang merasa terlalu aman dan nyaman. Hingga jadilah kami dua anak nakal yang kena batunya. Ada godaan teramat besar dalam diri saya untuk menaklukkan keselibatannya. Dan jika kautanya apakah saya menyerah pada godaan?

Ya, saya nyaris terpeleset, tapi untuk pertama kalinya saya tidak menyerah. J pun tidak. Anehnya, kedekatan kami malah saling menguatkan keselibatannya dan keterlibatan saya. Yeah, yeah, yang kenal saya pasti ketawa secara saya bajingan dan ratu bokis. Terserah mau percaya atau tidak. Seperti yang saya nyatakan pada sahabat saya yang lain, D, “Kalau gue sampai tidur dengan J, gue akan merasa sangat berdosa. Gue membayangkan sehabis melakukannya tanah terbelah dan gue langsung ditarik masuk neraka.” Selain daripada itu, saya tidak ingin menyakiti partner karena tidak ada seorang pun yang layak menggantikannya. Partner dan anak-anak. Empat tahun kami bersama. Terlalu mahal harga yang harus dibayar demi kenikmatan sesaat. Terlalu sayang untuk menodai persahabatan yang tulus dengan urusan seks.

Bersama J dan D (yang ternyata tidak semenyeramkan yang saya kira) kami menjalin hubungan persahabatan yang langka. Langka karena dalam dunia persahabatan lesbian, saling rebut pacar adalah makanan paginya, saling menjelekkan adalah makan siang, dan menikam dari belakang adalah makan malamnya. Sementara, sejauh ini kami, eh, saya, merasa kami tulus terhadap satu sama lain. Kami menjadi tong sampah satu sama lain. Kami mendukung sahabat lain yang ditinggal kawin kekasih perempuannya. Kami saling menjadi wanita penghibur terhadap satu sama lain dalam jam-jam ngantuk di kantor ketika gelas kopi ketiga tidak sanggup mengalahkannya.

Tadi malam adalah malam terpanjang selama empat tahun belakangan ini. Shit happens! Dan saya mencari perlindungan dan dukungan dalam diri sahabat-sahabat baru saya ketika semua tahi berterbangan tertiup kipas angin. Orang pertama yang saya hubungi adalah J, menghabiskan dua jam lebih lewat telepon dalam curhat yang penuh emosi yang kemudian berubah menjadi tawa ketika kenarsisannya malah menghabiskan setengah dari waktu curhat.

Menjelang curhat dengan J berakhir, D mengirim SMS yang menyatakan kekuatirannya pada diri saya. Dan jadilah saya berpindah ke D untuk curhat sesi 2. Dengan sabar dia mendengarkan cerocosan saya yang laksana petasan banting. Ah, curhatnya terlalu panjang untuk saya ceritakan di sini dan saya terlalu lelah untuk mengulangnya.

Buat saya kekayaan terbesar adalah ketika kau memiliki sahabat-sahabat yang baik. Sahabat-sahabat yang tidak mendorongmu ke lembah nista, tapi mengangkatmu ketika kau jatuh. Mendampingimu dalam tawa bahagia atau tangis sedih. Dalam realisasinya, sahabat adalah orang menemanimu ke karaoke ketika kau ingin bernyanyi melupakan kesedihanmu karena ditinggal kawin kekasihmu. Membelikanmu handsfree saat kau butuh. Mendengarkan curhat yang sama berkali-kali yang hingga kau pun bosan mengulangnya lagi.

Dalam perjalanan hidup hingga rambut saya mulai beruban dan rasanya tahun depan saya mulai butuh kacamata plus, saya menemukan banyak sahabat. Namun tidak banyak yang menjadi Soulmates saya dalam persahabatan. Orang-orang yang punya vibrasi otak yang sama, orang-orang yang membunyikan “klik” dalam otak saya. Orang-orang berharga yang membuat saya ingin bertanya, “Pernahkah kau baru bertemu dengan seseorang, tapi kau tahu dia akan jadi sahabatmu?”

@Alex, RahasiaBulan, 2007

Subscribe