10:38 PM

Christmas Miracle

Posted by Anonymous |

Malam Natal tiba. Di antara semua hari libur, hari Natal selalu jadi hari libur favorit saya. Meskipun kadang-kadang ada kesedihan luar biasa pada hari Natal karena ayah saya meninggal tepat pada hari Natal lebih dari 20 tahun lalu. Entah kenapa Natal—meskipun saya tidak merayakannya—selalu membawa kesan keajaiban tersendiri bagi saya.

Natal membawa suasanya keceriaan, kedamaian, dan mukjizat. Tidak heran, karena film Natal favorit saya adalah It’s a Wonderful Life. Saya bisa menonton film hitam-putih yang dirilis tahun 1946 itu setiap Natal, seperti ketika zaman Orba dulu saya dipaksa nonton film Pengkhianatan G30S/PKI. Bedanya, saya bahagia menonton It’s a Wonderful Life. Ceritanya tentang seorang lelaki yang memutuskan untuk bunuh diri pada malam Natal karena merasa hidupnya terpuruk dan merasa dunia lebih baik tanpa kehadirannya. Namun usaha bunuh diri itu gagal karena lelaki itu diselamatkan oleh “calon malaikat”. Dan pada akhirnya lelaki itu sadar bahwa kehadiran seseorang, seberapa pun tak pentingnya, bisa menyentuh hidup orang lain sedemikian rupa dan menjadikan hidup jadi tak pernah sama lagi tanpa kehadirannya.

Tahun ini begitu banyak orang baru yang masuk dalam hidup saya dan partner. Ada yang kehadirannya mengejutkan bak terjangan badai, ada yang seperti hantaman gelombang laut, ada yang tenang bagai angin sepoi-sepoi sore hari. Dan kehadiran orang-orang itu menyentuh hidup kami sedemikian rupa hingga menjadikannya tak pernah sama lagi. Kemarahan, kesedihan, kekacauan, kegembiraan, keceriaan, kini sudah berpadu dan menjadikan kami orang-orang yang hidupnya saling bersentuhan dan berbelitan dengan cara yang ajaib dan sulit dimengerti dengan logika.

Di malam Natal seperti ini, percayakah kau pada mukjizat? Jiwa dewasa saya tidak bisa percaya lagi pada Santa Claus yang datang membawa hadiah dengan kereta yang ditarik rombongan rusa kutub. Namun ada jiwa yang tak pernah mati dalam diri saya yang percaya pada segala keajaiban yang bisa timbul di hari yang kudus ini.

Hari ini 24 Desember 2007. Hari penuh keajaiban berlalu demikian tak terasa. Dimulai dengan pagi yang heboh karena harus menemani Lakhsmi ke dokter mata, siang yang bingung hingga akhirnya memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama Will Smith sang Legenda, dan malam yang berusaha kami jadikan malam romantis dengan candlelight dinner di restoran di puncak gedung tinggi. Namun keajaiban terbesar terjadi di rumah, ketika kami pulang dan anak-anak menunggu kami tidak sabar untuk menaruh rumput di sepatu mereka dan menyiapkan susu dan kue untuk Santa Claus yang akan datang pada tengah malam.

Saya bertanya dalam hati, jika anak-anak ini tak pernah ada dan menyentuh hidup saya, akan seperti apakah hidup saya? Apakah akan lebih baik? Karena tanpa anak-anak dan partner, saya bisa bebas menjalani hidup liar, merdeka, tanpa tanggung jawab. Kemudian Lakhsmi memandang saya dan tersenyum, sementara si kecil yang berada dalam gendongan mengecup bibir kami berdua lalu minta dibuatkan susu botolnya. Dan saya tahu, saya tidak bisa lagi membayangkan hidup tanpa mereka. Bersama anak-anak dan Lakhsmi, mengutip pernyataan Walt Whitman, “To me every hour of the light and dark is a miracle.”

Natal memang penuh keajaiban. Keajaiban yang datang seperti mukjizat, mengantar makna hidup lebih daripada hidup itu sendiri. Dan, seperti malam-malam sebelumnya, saya menunduk, bersyukur bahwa saya mendapat kesempatan lagi untuk menyadari betapa hidup saya dipenuhi dengan keajaiban ini. Selama 365 hari, terus-menerus.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

12:20 AM

The Lightning Tree

Posted by Anonymous |

Kemari, kemarilah. Mendekatlah, dan dengarkan kata-kataku. Aku punya dongeng tentang pohon terang. Dongeng indah yang ingin kubagikan pada malam ini. Kemari, kemarilah. Letakkan telingamu di atas aku, Sang Bantal. Bantal adalah pendongeng yang paling pandai. Keturunan kami menyimpan jutaan dongeng dari ratusan negeri dan kerajaan. Kemari, kemarilah. Riapkan rambutmu, luruskan tungkaimu, dan sentuhkan pipimu yang lembut itu. Bergelunglah dengan nyaman. Sudah siapkah kau mendengar ceritaku?

Syahdan, bintang yang telah menjalani perjalanan mata dan hati berbaring di pasir dengan sedih. Bintang tak tahu bahwa putrinya, perempuan pemintal kata, telah kembali ke menara tinggi. Yang dia tunggu adalah pertanda dari langit, bahwa kelak dia dapat kembali menjadi sebentuk sinar yang berkelip-kelip di singgasananya. Sinarnya akan meraja, lebih besar dari wilayah kesultanan mana pun di dunia.

Dan malam pun turun, merengkuh bumi dan memeluknya diam-diam. Pendar bintang perlahan-lahan semakin lemah; pucat dan pudar. Dia berbaring miring di pasir, nyaris tenggelam di ribuan butirnya, kesepian, sambil memandang lengkung langit yang berwarna seperti rona samudra. Takdir bintang tercatat di sana, konon bintang yang telah jatuh di bumi takkan mampu kembali ke langit. Tapi tidak, bintang tidak rindu dengan langit, ia hanya rindu kepada kekasihnya. Saat air mata pertamanya meluncur turun, bintang pun mulai bernyanyi.

Lagu itu didendang sepenuh jiwa, sehingga suaranya terpantul dan bergema. Senandung bergita menjulang tinggi, membuat perempuan pemintal kata tercekat. Dia ingat tembang itu; selarik kidung yang berasal dari masa lalu – belum pudar oleh usia, dan tentu saja belum menua. Perempuan pemintal kata bergegas ke jendela, melempar tatap ke segala arah, mencari dan menilik. Dia tak melihat apa pun sejauh yang dapat dilihatnya. Putus asa dia menjulurkan tubuhnya jauh-jauh dari jendela. Sia-sia usahanya. Keberadaan sang biduan tetap tak terlihat.

Apa yang perempuan pemintal kata lakukan?

Dia menari!

Cahaya bulan menerobos jendela, menyinari rambutnya sehingga tampak berkilau. Dalam tariannya, dia meliuk dan bergemulai. Kakinya berdetak mengikuti irama lekukan tubuhnya. Detakan itu seritmis dengan napas semesta, sehingga semesta pun tergoda, menari bersamanya.

Belukar bergoyang, terpilah-pilah. Angin membubung tinggi, bergasing-gasing. Rumpun dan bunga berayun, berjeda-jeda. Ribuan pasir terbuai, berserak-serak.

Dan perempuan pemintal kata dapat melihat di mana letak bintang yang kini berbaring sendirian, tak di pasir, tak pula tertutup belukar maupun rumpun. Seluruh alam raya sedang menari, memberikan jendela lapang bagi perempuan pemintal kata untuk dapat memindai di mana letak kekasihnya.

Tatapan mereka berbenturan di udara. Hancur, lumat. Menimbulkan miliaran zat halus yang berubah menjadi embun di ujung kelopak daun yang setia mengikuti perjalanan musim agar terciptalah warna-warna memesona seperti warna sekotak krayon. Maka pohon pun terpesona dengan keindahan embun-embun itu. Dia mengucapkan mantra pohon, menyenandungkan bait dan syair, menggubah dendang terindah.

Perlahan-lahan bintang bergerak, tubuhnya menjadi ringan. Dia melayang di permukaan tanah, mendaki tujuh tangga pelangi, dan terus bergerak makin tinggi. Pohon berkata padanya, mahkotailah aku, bertakhtalah di ujung pucukku. Jikalau kau tak dapat berkilau di singgasana langit, duduklah di peraduanku. Bersinarlah terang, ceritakan kepada dunia tentang sekelumit kisah cinta yang kau punya bersama kekasihmu. Bintang pun naik, meletakkan dirinya dengan sempurna di ujung pucuk pohon. Berkedip-kedip, berkelip-kelip.

Perempuan pemintal kata melihat pemandangan itu. Seluruh jiwanya bergetar, senyumnya mengembang elok. Sepotong pohon, menjulang di tengah kegelapan hutan, ditandai oleh cahaya indah kekasihnya; Sang Bintang. Sinarnya sungguh meraja, membunuh kekelaman malam. Perempuan pemintal kata melafalkan syair terindah dari tempatnya berada, sehingga sinar bintang dan ribuan kata yang dipintalnya bergemerencing merdu bagai genta di udara. Cinta mereka bersatu di sana, seperti embun yang setia pada subuh.

Maka manusia yang melihatnya menandai peristiwa itu pada malam-malam tertentu. Mereka merayakan cinta dan kasih sayang dengan meletakkan pohon yang terhijau di ruangan tempat keluarga berkumpul, menghiasinya dengan aneka buah ceri dan gula-gula kapas, lalu meletakkan bintang bersepuh emas di atas pucuknya. Memang itu hanya sekadar bintang mainan, tapi saat setiap pasang kekasih melihat bintang itu, mereka diingatkan akan cinta yang tak lekang oleh waktu; cinta yang tak pernah menyerah oleh angin utara yang membekukan tulang; serta cinta yang tak sudi dipatahkan seperti ranting kering. Bintang adalah penanda, dan dongeng ini telah ditandai dengan sempurna oleh perempuan pemintal kata.

Beginilah akhir kisahku. Apakah kau tertidur, ataukah matamu terpejam karena kau menyimpan rapat-rapat rahasia ini? Kulihat air matamu menetes di pipi, usapkan padaku agar dapat kulihat pipimu kembali merona merah bagai apel terlezat. Kembalilah kapan-kapan, untuk seuntai dongeng lain yang ingin kuceritakan padamu. Kau pasti ingat sepanjang hela napasmu, ada sepenggal cerita yang dapat kau dengar di atas bantal.

@Alex, RahasiaBulan, 2007
*Tulisan ini adalah kado untuk hari ulang tahun saya.
Thank you, my dear Lakhsmi.

9:05 PM

Film: But I'm a Cheerleader: Katro, Lucu, Satire

Posted by Anonymous |

Ini adalah film lesbian paling katro yang pernah saya tonton. Ceritanya tentang orang-orang dalam panti rehabilitasi untuk menyembuhkan homoseksual. Film komedi satire ini adalah film tahun 1999, disutradari oleh sutradara lesbian Jamie Babbit dan penulis skenario Brian Wayne Peterson yang juga gay. Pemeran utamanya sendiri adalah dua aktris muda, Natasha Lyonne dan Clea DuVall.

Natasha Lyonne berperan sebagai Megan, gadis cheerleader yang ceria dan populer. Oleh orangtuanya, Megan dimasukkan ke panti rehab True Directions untuk disembuhkan karena menunjukkan tanda-tanda “lesbianisme”. Konon panti rehab ini menjamin enam minggu berada di kamp ini, si lesbi atau gay akan keluar sebagai straight.

Walaupun Megan berkeras menyatakan dirinya bukan lesbian, tapi keluarga dan teman-temannya yakin Megan lesbian karena sebagai cheerleader dia lebih suka melihat perempuan dan tidak suka berciuman dengan cowoknya. Di panti rehab yang isinya gay/lesbian yang harus disembuhkan itu Megan justru jadi sadar bahwa dirinya memang lesbian. Apalagi Megan kemudian berkenalan dengan teman sesama anggota panti rehab, Graham (Clea DuVall). Pertama kali bertemu Megan dan Graham saling membenci, tapi kemudian jadi bersahabat, dan akhirnya malah saling jatuh cinta.

Untungnya But I’m a Cheerleader memang film yang dibuat dengan tujuan komedi yang ngawur dan katro banget, jadi dalam banyak adegan kita bisa ketawa melihat adegan-adegan norak yang sengaja dibuat berlebihan. Contohnya, bagaimana pembagian peran perempuan dan lelaki di panti rehab. Bagaimana perempuan identik dengan warna pink dan lelaki dengan warna biru. Dan bagaimana gay/lesbian ini dipaksa untuk mengakui keheteroan mereka.

Secara ini film satire, berbagai sindiran juga terasa jelas. Bagaimana kalau pada dasarnya dirimu homo, ya diapain juga tetap saja jadi homo.


@Alex, RahasiaBulan, 2007


11:18 PM

Perjalanan Mata dan Hati

Posted by Anonymous |

“What do stars do? They shine.”
-Stardust

Bintang kehilangan pudarnya seketika. Ketika mendongak, dia tidak bisa melihat sang naga dan putri dari balik jendela dari tempatnya berdiri di bawah. Mendadak segala yang ada di sekeliling bintang berubah.

Sosok badut yang dilihat bintang tertawa-tawa sambil memegangi perutnya. Giring-giring di kakinya bergemerencing saat dia sedang tertawa. Bintang terkejut ketika perlahan-lahan sosok badut berubah, menjadi lebih langsing, berhidung panjang, dan bermata besar. Mata itu menatap Bintang dengan tatapan tajam.

Lihatlah baik-baik, kata badut.t Aku bukan badut, aku adalah joker.

Bintang gemetar. Badut yang kini tampak seperti joker mendekatkan dirinya di hadapan bintang. Dia berkata-kata cepat.

Joker masuk ke dalam kepala manusia. Bertanya-tanya, menantang, dan menggoda. Dia hadir seperti pilihan menarik yang tak bisa kauputuskan, tapi pada akhirnya harus kauputuskan. Joker ada untuk proses pendewasaanmu, Joker adalah tamparan di pipi saat kamu melakukan kesalahan dalam hidup, Joker adalah bisikan setan dan malaikat dalam jiwamu.

Joker tertawa lagi, dan tiba-tiba menghilang digantikan kabut. Bintang berdiri terkejut. Perlahan-lahan kabut memudar, memunculkan makhluk teramat indah yang berdiri gagah. Unicorn. Konon, Unicorn adalah makhluk luar biasa yang tak bisa dijinakkan dan darahnya merupakan obat mujarab yang mampu menyembuhkan segala penyakit. Unicorn dengan bulu putih berkilau itu merendahkan tubuhnya agar sang bintang bisa naik ke punggungnya.

Kabarnya, ada satu tempat yang jadi puncak dunia. Di sana, ketika kau menjulurkan tanganmu ke atas, kau bisa menyentuh lengkungan langit. Tapi tak ada yang tahu di mana tempat itu persisnya. Mitos, ah, entahlah. Perjalanan itu kabarnya hanya bisa ditempuh melalui perjalanan mata dan hati. Bintang menunggang unicorn melewati hutan belantara, samudra luas, dan kota-kota yang padat. Bintang mencari dan terus mencari tanpa istirahat atau tidur.

Tiga hari dua malam berlalu. Bintang duduk kelelahan di atas unicorn. Kilau sang bintang makin pudar. Tapi sesuatu terjadi kala itu. Perjalanan mata dan hati, kalimat itu terlintas dalam benak Bintang. Bagaimana aku melakukannya? pikirnya lagi. Dalam keletihan teramat sangat, Bintang memejamkan matanya sedetik, kedua tangannya memeluk leher unicorn sambil menyandarkan tubuhnya di punggung makhluk yang luar biasa indah itu. Dalam benaknya muncul wajah sang putri pemintal kata.

Hanya sedetik. Tapi itu cukup.

Unicorn terus bergerak menuju timur. Wajah perempuan sang pemintal kata berkelebat makin sering dalam benak Bintang sehingga membuat Bintang tak berani membuka mata. Takut kalau-kalau bahkan bayangan perempuan pemintal kata pun akan musnah jika dia membuka matanya.

Sang unicorn mengantar Bintang hingga tiba di pantai berpasir putih. Ketika Bintang membuka mata, unicorn sudah pergi sebelum dia sempat mengucapkan terima kasih. Matahari bersinar terik dan Bintang tak terbiasa terjaga pada siang hari. Bintang berbaring di pasir, kebingungan, dan mendengar suara perempuan pemintal kata yang berbisik di telinganya. “Sebentar lagi waktunya tiba.” Dia tak mengerti maksudnya apa, tapi Bintang menunggu dengan sabar.

Matahari perlahan-lahan turun di batas cakrawala.

Melihat pemandangan itu, Bintang tersenyum bahagia. Senyum pertama yang terukir di bibirnya sejak meninggalkan menara perempuan pemintal kata. Senja melebarkan sayapnya. Dunia semakin gelap.

Inilah yang ditunggu! Bintang menahan napas.

Dalam gulita, ia akan bersinar, terang menyala, berkuasa. Sinarnya akan menembus kegelapan, naik ke atas menara, menuju tempat di mana dia seharusnya berpendar.

Dan gelap pun mulai membayangi bumi....

@Alex, RahasiaBulan, 2007

2:40 PM

The Princess, The Star, And The Dragon

Posted by SepociKopi |

Syahdan, ada seorang perempuan yang hidup di menara tinggi. Seorang putri yang pandai memintal kata-kata dan sangat menyukai malam. Kata-kata yang dipintalnya berhamburan keluar saat langit mencipratkan semburat tintanya di lengkung malam. Sepotong bintang yang berada di gugusan paling terang mendengar kata-kata yang dipintalnya. Tiap malam ia menyimak hujan kata-kata itu, tersentuh dan terpesona.

Dan pada satu malam yang teramat terang, dia tergelincir. Jatuh ke bumi dengan kecepatan tinggi, terdorong oleh rasa rindu yang menggebu. Bintang mendarat di lantai dengan suara denting yang lirih. Perempuan pemintal kata-kata tersentak, lalu berjalan mendekati bintang.

Serbuk bintang berhamburan di tangannya saat perempuan pemintal kata-kata menyentuh kelima ujung bintang. Dengan serbuk itu, kata-kata yang dipintalnya semakin berseni, semakin berseri. Bintang memberikan kebahagiaan yang tak terperi bagi perempuan pemintal kata-kata. Untaian kata-kata yang dibuat mereka berdua semakin bergema ke seluruh pelosok negeri. Dan orang-orang pun berdatangan ke bawah menara, ingin mendengar lebih dekat.

Suatu hari Bintang melongokkan kepalanya dari jendela.

“Lihatlah, Sayang!” serunya. “Orang-orang yang kerap kulihat dari langit atas. Mereka tampak begitu dekat. Mari kita turun ke bawah.”

Perempuan pemintal kata-kata menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Tidak, apa yang kupunya di sini telah membahagiakanku. Aku tidak ingin turun.”

Bintang telah terlalu lama mengamati pergerakan bumi dan manusia, sehingga ingin menjadi bagian dari kehidupan di bawah. Saat kekasihnya sedang terlelap atau bekerja, dia menyelinap turun, bersenang-senang. Bintang bertemu dengan badut, manusia paling pemurung yang menyembunyikan kegetiran hidupnya dalam coreng moreng keriangan palsu di wajah. Bintang dan badut bersama-sama, melupakan malam, melupakan pagi, melupakan perempuan pemintal kata-kata yang merenda sunyi di atas menara. Bintang dan badut bergenggaman tangan, mabuk kepayang seperti ikan yang tenggelam di laut dan burung yang tersesat di udara.

Perempuan pemintal kata-kata mulai menangis. Air matanya jatuh satu per satu ke bawah, menetes turun bagai hujan membasahi bumi. Sebagian membasahi wajah bintang, sehingga membuatnya tersadar dan mendongak ke atas. Hatinya remuk redam melihat kekasihnya bersedih. Dia mencari cara untuk kembali ke menara. Tapi tak ditemukan tangga apa pun di sana. Cahaya bintang meredup oleh kepedihan tak berujung.

Perempuan pemintal kata-kata duduk di pinggir jendela, mengamati garis horison dan lengkung cakrawala. Dia selalu mengingat bahwa kebahagiaannya selalu berawal dari atas. Air matanya masih menetes saat dia melihat gerakan yang turun dari bayang pelangi. Sosok kecil yang mengambang ringan, seperti kupu-kupu bersayap paling halus. Kulitnya berwarna biru cerah, matanya bagai mutiara paling bening yang diketahuinya, dan cakarnya sangat lembut dengan ujung-ujung keperakan yang menawan.

Oh. Seekor naga biru kecil.

Naga biru kecil menyelinap di jendela, malu-malu.

Perempuan pemintal kata-kata terpana, bermenit-menit. Lalu tangannya terentang, memanggil naga biru kecil. “Kemarilah!” serunya lembut.

Naga biru kecil mengepakkan sayapnya. Maju mundur, menatap bintang di bawah, dan menatap perempuan pemintal kata-kata. Bolak-balik. Penuh keraguan. Penuh kebimbangan.

“Kemarilah!” panggil perempuan pemintal kata-kata sekali lagi, penuh permohonan.

Di bawah, bintang mendongak, mendapati seekor naga biru mungil bersayap keperakan sedang menyeka air mata perempuan pemintal kata-kata.

@Alex, RahasiaBulan, 2007
@Lakhsmi, JejakArtemis, 2007

9:12 AM

You Never Know What You've Got until It's Gone

Posted by Anonymous |

Pernahkah kau menyadari saat kau terbiasa tidur dengan seseorang, kau dan orang itu memiliki sisi ranjang masing-masing. Dan ketika orang itu tidak ada, kau tetap tidur di sisi ranjangmu dan membiarkan sisi tempat tidur orang itu tetap kosong. Menunggu orang itu datang mengisinya. Kemarin pagi, hari dimulai ketika saya terbangun dan mendapati sisi sebelah saya kosong. Dan rasa kehilangan itu terasa menyesakkan. Kemudian ketika Lakhsmi naik ke ranjang tak lama kemudian, mengisi tempat yang memang miliknya, saya merasa penuh dan hangat lagi. Yeah, memang, you never know what you’ve got until it’s gone.

Ketika baru tiba di kantor, sahabat sebelah saya berkata, “Bye, hari ini gue pindah duduk. Lo nggak akan ketemu gue.” Saya dan sahabat saya itu memiliki hubungan unik. Semacam "Love and Hate Relationship." Kemarin dia menghilang sementara karena komputernya harus diperbaiki dan dia harus menggunakan komputer cadangan yang letaknya jauuuuh. Ternyata kehilangan dia membuat saya sadar betapa kami sering mengabaikan satu sama lain. Ketika saya melewati tempat duduk “baru”nya, dia bilang "teman-teman baru"nya tidak mengerti dia seperti saya memahaminya. Yeah, kami sudah mencapai pengertian begitu dalam, sehingga hanya dengan desahan napas saja atau posisinya duduk saya bisa tahu suasana hatinya. Saya baru sadar betapa saya merindukan kehadirannya yang walaupun terkadang bikin bete tapi ternyata ngangenin. Akhirnya pada sore hari seusai jam kerja, kami ngobrol panjang dan lama, yang ternyata ini saya rindukan dari dia. Sahabat lalu saya bilang, “Lex, you never know what you’ve got until it’s gone.”

Sore harinya saya mendapat telepon dari seorang sahabat lama semasa kuliah. Dengan suaranya yang panik dia mengabarkan berita menyedihkan. Ternyata salah seorang sahabat satu genk kami dulu menderita kanker rahim dan saat ini berada dalam kondisi kritis. Saya kehilangan kata-kata selama beberapa detik. Tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Kabar itu terlalu mengejutkan. Di usia saya sekarang, saya menganggap kehidupan masih terbentang begitu luas di depan saya. Dan kini, kabar duka itu membuat saya berpikir ulang tentang hidup. Bahwa dalam satu kedipan mata semua bisa berakhir. You never know what you’ve got until it’s gone.

Berbagai peristiwa seharian kemarin membuat saya memiliki sudut pandang baru. Mungkin tidak bisa dibilang baru juga, tapi lebih berupa sudut pandang yang tak pernah saya lihat sebelumnya. Malam harinya saya bertemu Lakhsmi dan anak-anak. Kami makan bersama di rumah lalu nonton DVD lagu anak-anak sambil berpelukan di sofa, sementara di sebelah kami ada dua anak yang matanya tak lepas dari TV. Seperti kata iklan Mastercard, suasana seperti ini... Priceless. Dan saya tidak mau kehilangan dulu untuk menyadari betapa tak ternilai harganya apa yang kini saya miliki sekarang.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

10:45 AM

To Fall in Love Again

Posted by Anonymous |

Bagaimana membuat seseorang yang pernah mencintaimu untuk jatuh cinta lagi padamu di saat cinta itu hilang?

Orang Pesimis akan berkata, “Halah, percuma, apa yang hilang takkan kembali.”
Orang Optimis akan berkata, “Kalau dia pernah jatuh cinta padamu, kau pasti bisa membuatnya jatuh cinta lagi.”
Orang Sinis akan berkata, “Makan tuh cinta!”

Saya pernah jadi ketiga orang di atas.

Di usia belasan saya orang yang pesimis.
Di usia pertengahan 20-an saya orang yang optimis.
Sebelum menjalin hubungan dengan Lakhsmi ketika usia saya menjelang 30 tahun, saya orang yang teramat sinis terhadap cinta. In a heart of a cynic beats a broken heart of a romantic. Lakhsmi mengajari saya untuk tidak jadi orang sinis dan membuka hati saya untuk cinta.

Sesungguhnya saya takut membuka hati saya selebar-lebarnya. Karena dengan demikian saya berarti membiarkan hati saya jadi sitting duck. "Shoot me, shoot me," teriak si bebek itu ketika berbaris menunggu ditembak. Dan jujur, saya takut. Makanya saya selalu membentengi hati saya. Bersama Lakhsmi saya belajar menyusuri jalan berliku bahwa membuka hati berarti membuka banyak keajaiban. Membuka hati berarti mendapat berlipat-lipat kebahagiaan yang tak terbayangkan. Seperti orang yang menjalani hidup dengan perasaan bahwa besok dia akan mati... itulah yang saya rasakan ketika saya belajar mencintai dengan sepenuh hati.

Kini tiga tahun berlalu sejak saya membuka hidup, diri, dan hati saya. Kini ketika cinta itu hilang dan saya harus berjuang untuk mendapatkannya kembali, saya goyah. Saya merasa tak berdaya dan tidak bisa melakukan apa-apa.

Minggu lalu saya menemukan jawabannya ketika membaca majalah Hidup.
Kolom “Tujuh Kata Pokok” Paulo Coelho menjawab kegelisahan saya. Tujuh kata pokok kali ini adalah “Doa”.

Matius 7-7: “Mintalah, maka kalian akan menerima. Carilah, maka kalian akan mendapat. Ketuklah, maka pintu akan dibukakan untukmu.”

Kini saya menyerahkan diri dan cinta saya kepada kekuatan doa.
Saat ini saya jadi Orang Religius.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

*spoiler alert*

High Art termasuk kategori film “suram”. Dirilis pada tahun yang sama dengan Gia, tahun 1998, menjadikan tahun ini semacam tren "lesbi mati karena narkoba". Film ini sudah lama saya tonton, rasanya masih zaman VCD dulu. Tapi waktu saya browsing di mangdu beberapa minggu lalu, saya melihat film ini di salah satu konter.

Salah satu alasan saya menonton film ini adalah aktris-aktrisnya. Radha Mitchell dan Ally Sheedy. Radha Mitchell adalalah aktris Australia yang sebelumnya pernah berperan sebagai lesbian dalam film indie Australia, Love and Other Catrastrophes. Kariernya di Hollywood bisa dilihat dalam film seperti Melinda and Melinda dan Silent Hill. Dalam High Art dia berperan sebagai Sydney, editor di majalah fotografi.

Sementara Ally Sheedy adalah aktris remaja tahun 1980-an yang bermain dalam film populer seperti St Elmo's Fire dan The Breakfast Club. Dan Ally Sheedy layak mendapat acungan jempol dalam High Art. Saking seriusnya berperan sebagai pecandu narkoba, konon Ally Sheedy keterusan mengalami ketergantungan obat tidur akibat perannya di film ini.

Film dimulai ketika suatu hari atap apartemen Syd bocor dan kena rembesan air dari lantai atas. Jadilah Syd harus ke apartemen tetangganya di atas dan bertemu dengan Lucy (Ally Sheedy), fotografer terkenal yang gemar berpesta narkoba dengan kekasih dan teman-teman lesbiannya. Terpesona melihat hasil foto Lucy, Syd akhirnya bekerja sama dengan Lucy untuk majalahnya.

Meskipun sudah punya kekasih pria, Syd tidak bisa menahan diri untuk tidak jatuh cinta pada Lucy dan menerabas garis batas pekerjaan sehingga mereka pun tidur bersama. Saya agak lupa, tapi seingat saya ini termasuk film dengan adegan ranjang yang lumayan bagus, mungkin saya perlu mencari VCDnya lagi untuk menyegarkan ingatan saya :). Sepanjang film, sebenarnya kita sudah bisa merasakan akhir yang buruk untuk mereka, apalagi saat Lucy memutuskan untuk memilih narkoba dibanding Syd.

Well, apa pun endingnya... secara garis besar High Art film yang bagus karena digarap serius oleh sang sutradara dan aktris-aktrisnya yang meskipun bukan aktris ngetop, tapi menampilkan akting yang membuat kita percaya.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

9:57 PM

Terapi Patah Hati ala Film India

Posted by Anonymous |

Ada kalanya saya merasa kepingin mengucurkan air mata... bukan, bukan air mata sedih. Tapi air mata yang ingin dikeluarakan agar rasa lega bisa terasa. Akhir pekan kemarin, partner berangkat ke Bali bersama sobat-sobat lesbiannya sebagai upaya terapi patah hati selama tiga hari.

Biasanya saya membungkus diri saya dengan buku, tapi kali ini saya sedang nggak mood. Untungnya pada saat yang sama di bioskop memutar film India yang memang selalu jadi favorit saya... :p Bukan hanya satu film, tapi dua. Saawariya dan Om Shanti Om. Saawariya diperankan oleh aktor muda berbakat Ranbir Kapoor dan Sonam Kapoor yang walaupun cantik sayangnya cuma punya modal cantik saja. Dan Om Shanti Om diperankan oleh Shah Rukh Khan dan Deepika Padukone (yang oleh menurut SMS teman saya, "Lo pasti suka cewenya, cantik sih, hehe). Sebenarnya kami pernah janjian untuk double date bersama sahabat gay kami untuk menonton salah satu dari kedua film tersebut, tapi, yah... karena kami lagi butuh waktu dan ruang privasi, jadinya saya terpaksa sendirian. :)

Akhir pekan kemarin saya memuaskan diri saya dengan dua film tersebut. Hari Sabtu saya habiskan dengan Saawariya, yang berarti Kekasih. Saya punya ekspektasi tinggi terhadap Saawariya secara film ini diadaptasi dari cerita pendek Fyodor Dostoevsky berjudul White Nights. Cerita pendeknya sendiri merupakan kisah yang pedih, bercerita tentang 4 malam dan 1 pagi antara sepasang lelaki dan perempuan. Lelaki itu adalah lelaki paling kesepian dan perempuan itu adalah perempuan yang menggantungkan harapanya pada malam menanti kembalinya sang calon suami.

Seharusnya ini jadi cerita teramat sedih. Bagaimana tidak? Malam pertama lelaki itu berkenalan lalu menawarkan persahabatan pada perempuan itu. Malam kedua si perempuan mulai menerima persahabatan lelaki asing ini dan bercerita tentang dirinya yang menunggu pulangnya sang kekasih. Malam ketiga si lelaki dan perempuan jatuh cinta terhadap satu sama lain. Malam keempat mereka membenamkan diri dalam cinta namun sayangnya lelaki calon suami itu pulang dan si perempuan meninggalkan lelaki yang telah mendampinginya selama 4 malam untuk memenuhi janji bersama calon suaminya.

Setting film ini luar biasa indah, ala Moulin Rouge dengan dominasi warna biru dan gelap. Dalam film ini si lelaki digambarkan sebagai penyanyi, saya lupa seharusnya dia jadi apa di cerita pendeknya. Statusnya sebagai penyanyi ini seharusnya bisa membuatnya jadi makin India, tapi sayang lagunya kurang banyak dan film ini juga kurang panjang untuk ukuran film India, hanya 130 menit.

Walaupun saya tetap menangis di akhir cerita, tapi Sanjay Leela Bhansali, sang sutradara, membuat saya kecewa karena tidak mengembangkan White Nights itu menjadi cerita yang mengharubiru ala India, padahal ia punya modal yang luar biasa dalam segi cerita. Yah, mungkin karena ekspektasi saya terlalu tinggi.

Hari Minggu saya menonton Om Shanti Om. Pertama saya pikir Shah Rukh Khan terlalu tua untuk berperan sebagai Om, aktor nggak penting tahun 1970-an yang jatuh cinta pada aktris besar bernama Shanti. Dalam suatu peristiwa tragis Om tewas ketika berusaha menyelamatkan Shanti dari kebakaran. Kemudian Om pun terlahir dalam keluarga Kapoor yang menjadikannya sebagai bintang tenar India masa sekarang.

Entah pada menit keseratus berapa saya menganggap Shah Rukh Khan memang layak mendapat julukan King Khan. Dia tampil luar biasa. Dan saya sukaaaaa sekali adegan fanfare, ketika Shah Rukh bersama 31 aktor dan aktris tenar India menjadi cameo dalam lagu Deewali. Benar-benar menghibur. Hingga saya tertawa sampai menangis. Secara sutradara film ini Farah Khan, jadi koreografinya bener-bener patut dapat acungan jempol. Buat penggemar film India, Om Shanti Om adalah film yang tak boleh dilewatkan. Tidak ada satu pun adegan membosankan dalam film berdurasi 168 menit ini.

Menonton film ini timbul pertanyaan dalam benak saya, Pernahkah kau begitu mencintai seseorang sehingga rela mati untuk orang itu dan satu kehidupan pun tidak cukup bagimu untuk mendampinginya? Atau semua itu hanyalah dalam film? Entahlah.

Menonton Saawariya dan Om Shanti Om benar-benar terapi menyegarkan yang luar biasa di akhir pekan saya. Sudah lama saya tidak menikmati kesendirian. Kadang-kadang hanya butuh satu-dua hal yang tepat untuk terapi patah hati semacam ini. Saya ingat terakhir kalinya saya butuh mengeluarkan air mata, entah berapa tahun lalu. Saya mengambil buku A Walk to Remember-nya Nicholas Sparks dan menangis hingga mata saya bengkak ketika habis membacanya. Hingga yang tersisa cuma rasa lega di dada.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

7:28 PM

Perjuangan yang Membutakan

Posted by Anonymous |

Tulisan ini sudah lama terkatung-katung karena saya patah hati minggu lalu. Berkat dukungan teman-teman semua, kini saya merasa dunia tidaklah sesuram gua gelap seperti di film The Descent. :p

Beberapa minggu lalu saya menonton film berjudul Titanic Town di layar televisi. Ceritanya tentang seorang ibu yang jadi aktivis di kota kecil di Irlandia Utara. Si itu berjuang untuk menghentikan pertikaian antara Inggris dan Irlandia. Walaupun sudah diwanti-wanti agar tidak terlalu vokal, akhirnya si ibu ini malah jadi aktivis yang melakukan kampanye besar-besaran menentang perang antara IRA dan Inggris hingga masuk TV dan koran lalu si ibu itu jadi terkenal. Kemudian anak-anak dan suaminya mendapat ancaman dan teror, rumahnya jadi sasaran pengrusakan, dan keluarganya hidup dalam ketakutan.

Ketika saya menontonnya, saya kasihan dan kesan pada si ibu. Layak nggak sih berjuang sampai sejauh itu? Memang sih nasib ibu itu tidak semalang perempuan yang anaknya diculik, lalu diperkosa dan dibunuh di depan matanya dalam film Imagining Argentina. Ibu itu yang diperankan oleh Emma Thompson adalah pejuang tangguh menghadapi represi pemerintah. Tapi bagi saya, kedua ibu ini adalah ibu egois yang hanya mementingkan diri sendiri.

Apa sih sebenarnya yang mendorong mereka berjuang? Alasan yang mereka pakai adalah mereka berjuang demi masa depan anak-anak mereka agar bisa hidup lebih baik. Yeah, right. Whatever deh.

Di mata saya mereka berjuang karena perjuangan membawa kemahsyuran. Kemasyuran yang berubah jadi candu. Dan membuat buta. Kadang-kadang orang jadi tidak melihat sisi lain karena terlalu fokus pada perjuangan. Mereka marah saat orang-orang tidak ikut berjuang. Merasa dunia seharusnya berputar di sekitar mereka. Mempertanyakan kenapa orang tidak ikut berjuang bersama mereka. Dan yang paling miris, mereka membuat orang-orang yang dekat dengan mereka sebagai korban.

Yeah, kadang-kadang perjuangan itu menghasilkan kemenangan sesaat, tapi dengan harga yang mahal. Anak perempuan dalam Imagining Argentina mati mengenaskan. Anak lelaki dalam Titanic Town kepalanya bocor hingga nyaris mati. Yang lebih miris, perjuangan mereka dimanfaatkan, dijadikan kendaraan politik oleh oknum-oknum politisi atau mereka yang ingin mencari nama dan uang. Pejuang-pejuang itu cuma dijadikan pion tidak penting yang bisa dikorbankan.

Jadi kita tidak harus berjuang? Tidak juga. Berjuanglah secara cerdas. Jangan pernah jadi martir. Jangan pernah berpikir bahwa berjuang sama artinya dengan mengorbankan diri. Saat kau mati, kau mati. Saat keluargamu hidup dalam ketakutan karena teror, kau jadi orang yang bertanggung jawab sebagai penyebabnya. Tidak ada perjuangan yang terlalu penting hingga harus membuat orang-orang di dekatmu menderita.

Yang lebih ironis lagi, setelah kau mati-matian berjuang kau harus pergi dari tempat yang kauperjuangkan karena kau ternyata menciptakan lebih banyak musuh. Lupakan perjuangan, kecuali kau tahu kau akan menang. Segala sesuatu akan terjadi jika waktunya pas. Matahari akan terbit saat fajar. Bintang bersinar di malam hari.

Saya lupa siapa, tapi ada yang pernah bilang bahwa coming out sebagai lesbian adalah suatu bentuk perjuangan kita sebagai lesbian. Rahang saya sampai nyaris copot mendengar komentar itu. Yang lebih bodoh lagi adalah ajakan/hasutan untuk coming out. Saya yakin, tanpa diajak pun, setiap lesbian merasakan kegelisahan untuk out.

Been there, done that.

Saya melewati masa muda yang penuh kegelisahan. Rasanya saya ingin menjerit di puncak gunung tertingi dan menyatakan diri sebagai lesbian. Mengaku kepada ibu saya tinggal seujung kuku lagi ketika saya masih duduk di bangku kuliah. Tapi saya tidak melakukannya ketika saya masih muda dulu, walaupun hati saya sakit karena harus memendam perasaan. Ya, akhirnya memang saya out ketika saya merasa waktunya tepat dan orang-orang pasti bisa menerima kelesbianan saya. Saya tidak mau jadi pecundang yang cuma bisa mengaku lesbian dan menjadikan lesbian sebagai identitas. Meminjam istilah Nagabonar, Apa kata dunia?

Ada orang yang sepenuhnya in the closet. Ada yang memilih out di kalangan sesama lesbian. Ada yang memilih out di lingkungan kerja saja. ada orang yang memilih out di lingkungan keluarga saja. Ada orang yang sebegitu out-nya sehingga identitasnya cuma si anu yang lesbian. Itu semua hak masing-masing. Terserah di mana letak kenyamanan orang tersebut. Apa yang bagus buatmu belum tentu bagus buat orang lain. Kau tidak pernah bisa menempatkan hidupmu dan penerimaan terhadap dirimu terhadap diri orang lain.

Sebagaimana cerita di atas, jika kau tidak tahan lagi dan ingin out, lakukan secara cerdas. Janganlah melakukannya dengan membabibuta apalagi karena menuruti emosi/amarah. Atau kau melihat si A melakukannya dan tampaknya cool atau ditekan oleh pasangan untuk melakukannya. Lakukan dengan penuh pertimbangan, paling tidak yang bisa kauprediksi bahwa kira-kira orang yang mendengar ceritamu akan bisa mendukungmu. Saya memilih out kepada orang-orang yang sudah saya kenal baik dan tidak kepada keluarga.

Beberapa hari yang lalu ibu saya bilang, “Kamu tuh anak yang baik.” DUK. Secara ibu saya bukan tipe memuji, saya langsung cemas. Dan dengan tatapan gundah, saya balik bertanya, “Mama nggak kenapa-napa, kan?”
Ibu saya malah ketawa terbahak-bahak. “Masa nggak boleh memuji anak sendiri?”

Saya tidak pernah out pada ibu atau keluarga besar saya, karena saya tahu karakter ibu saya yang memilih untuk “Don’t ask don’t tell.” Dia memilih diam dan menerima keadaan saya yang sejak kuliah sering membawa “teman perempuan” ke kamar (kamar saya letaknya persis di sebelah kamar ibu saya yang cuma dibatasi tripleks, jadi bayangkan sendiri deh :p), plus mengajak teman perempuan menginap di rumah, plus pernah tinggal di kos bareng bersama “teman perempuan” dengan ranjang yang kata ibu saya, “Terlalu sempit untuk berdua”. Saya rasa membahas orientasi seksual saya adalah penghinaan buat kecerdasan ibu saya. Kemudian ibu saya memotong lamunan saya dan berkata, “Mami lagi banyak duit nih. Gimana kalau hari Minggu kita makan siang di luar? Oya, jangan lupa ajak Lakhsmi sekalian.”

Ah, mendadak saya teringat tulisan entah di mana, "We’re happy, we’re gay." Tolong jangan buat saya merasa bersalah karena merasa bahagia.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

9:08 AM

Pulang II

Posted by Anonymous |

"There's beggary in the love that can be reckon'd."
Antony and Cleopatra


Minggu lalu seorang sahabat lama mengirim SMS, “Menurut lo, cinta sejati tuh apa?”
Heh? Mendadak kepala saya seakan kosong melompong. Saya berusaha menggali tapi tak menemukan jawabannya di sana. Dan saya cuma bisa bilang, “Nggak tau.”

Pertanyaan itu menghantui saya selama berhari-hari, menyelinap dalam benak saya ketika saya sedang duduk di motor, menonton TV, menyesap kopi. Saya berusaha keras memikirkan jawabannya. Otak saya yang movie freak ini menyetel kembali film-film yang pernah saya tonton. Apakah cinta sejati seperti film Serendipity, When Harry Met Sally, While You Were Sleeping, dst, dll? Entah kenapa saya tidak menemukan jawabannya di sana.

Tadi malam saya merendam diri dalam seperempat botol Limoncello berkadar alkohol 31% yang langsung saya habiskan dalam waktu tiga menit. Setelah itu, bukan kejutan jika saya langsung terkapar pingsan dalam tidur.

Saya terbangun dengan jawaban atas pertanyaan yang selama ini mengusik saya. Cinta sejati adalah rumah. Orang yang jadi tujuanmu pulang. Dan kesadaran ini membuat saya begitu terpukul. Karena belakangan ini saya tidak menyukuri rumah yang saya miliki.

Selama kurang lebih tiga tahun lima bulan saya menjalin hubungan luar biasa bersama perempuan yang tak kalah luar biasa bernama Lakhsmi. Kalau saya percaya pada yang namanya soulmate, dialah orangnya. Entah bagaimana kami berhasil menciptakan rumah kami sendiri dalam dunia yang tidak sempurna ini. Di rumah itu, kami bisa pulang kepada satu sama lain. Pulang dalam kenyamanan daster robek dan kaus kumal yang enak banget dipakai tidur. Pulang ke depan sofa sambil duduk berdempetan seraya menonton TV dan memberi komentar nggak penting. Pulang ke dalam pelukan yang rasanya pas dan memang diciptakan untuk tubuh saya. Pulang ke sisi ranjang kami masing-masing ketika malam menutup hari....

Ah, tapi seharusnya saya belajar dari tragedi Shakespeare.

Dia adalah master dalam menciptakan tokoh-tokoh yang kacau dalam dunia yang tragis. Dalam panggung sandiwara kali ini saya mendapat peran sebagai bajingan, bangsat terkutuk yang tak layak memperoleh ampunan. Dan betapa saya berharap dunia ini hanyalah panggung sandiwara, ketika tepuk tangan membahana kita bisa turun dari panggung lalu menjadi orang lain.

Tapi kita tidak bisa melakukannya. Saya tidak bisa mengetik Ctrl + Z untuk meng-undo semua yang saya lakukan. Kematian paling menyakitkan sekalipun masih kalah sakitnya ketika kau melihat pasanganmu menangis, sakit hati akibat perbuatanmu. Melihat kepedihan di matanya. Melihat kebencian terhadap dirimu terpantul di sana. Saya berharap saya disambar petir, dikutuk jadi batu, atau mati saat itu juga. Tapi petir tidak menyambar dan saya tidak mati. Saya harus hidup dengan konsekuensi perbuatan saya yang gegabah.

Jika butuh waktu seumur hidup saya untuk memperbaikinya, saya akan melakukannya.

@Alex, RahasiaBulan, 2007


9:13 AM

Kematian Paling Menyakitkan

Posted by Anonymous |

Kau tahu kematian apa yang paling menyakitkan?
Kematian karena sakit hati.
Perlahan-lahan jantungmu diganduli beban yang makin lama makin berat, sementara jantungmu diremas oleh tangan raksasa.
Lama-kelamaan jantungmu terlalu lelah, terlalu berat.
Hingga jantungmu berhenti berdetak.
Begitu saja.

@Alex, Rahasiabulan, 2007

6:00 PM

Pulang

Posted by Anonymous |

Ketika Aku lebih berkuasa daripada Kita.
Ketika kata-kata terucap penuh amarah.
Ketika api membakar segalanya dalam malam yang basah.
Ketika kata maaf tak bisa lagi membayar semua kesalahan.

Aku ingin pulang tapi tak tahu harus ke mana.
Aku ingin pulang menunggu mendung mengantar hujan.
Agar dalam neraka jalanan itu air dari langit bisa mengguyurku.
Agar aku bisa menangis tanpa ketahuan


18.05 Rabu. 7 November 2007

@Alex, RahasiaBulan, 2007

12:24 PM

That's What Friends are For

Posted by Anonymous |

Pernahkah kau baru bertemu dengan seseorang tapi kau tahu dia akan jadi sahabatmu? Seakan ada bunyi “klik” dalam otakmu ketika kalian menghabiskan waktu bersama. Kami bertemu dalam probabilitas waktu dan tempat yang tak terpikirkan. Lewat jutaan huruf dalam ketikan keyboard, dalam dunia maya yang awalnya dimulai dengan nama palsu. Dari dunia di balik monitor, kami bertemu dan mendapatkan “klik” itu ketika kemayaan tersebut runtuh dan berganti dengan realitas.

Saya tidak punya banyak sahabat dekat dalam dunia lesbian. Bukan, bukan karena saya tidak bergaul atau apa. Tapi jujur saja, kalau saya mengedarkan diri di komunitas, biasanya saya cuma cari pacar. Jadi sahabat-sahabat saya (dulu) kebanyakan orang-orang yang pernah dekat dengan saya. Kini izinkan saya bercerita tentang dua sahabat baru saya.

Meminjam pernyataan dalam blog JejakArtemis. Sahabat menyusup masuk. Begitu lembut, bagai kuntum bunga yang luruh. Mengalir, bagai angin. Senyap, bagai udara. Tahu-tahu dia akan hadir begitu saja. Sebut saja namanya J. Pada dirinya saya seakan menemukan cermin diri. Orang yang memiliki vibrasi otak yang sama dengan saya. Seseorang yang sebenarnya tidak perlu mengaku cool dan keren karena pada kenyataannya dia memang begitu. :p

Kami menjadi dekat dalam dunia realitas di mana ID yang ada hanyalah KTP, SIM, atau Paspor. Statusnya yang selibat dan status saya yang terlibat membuat kami---dua anak nakal---ini kadang-kadang merasa terlalu aman dan nyaman. Hingga jadilah kami dua anak nakal yang kena batunya. Ada godaan teramat besar dalam diri saya untuk menaklukkan keselibatannya. Dan jika kautanya apakah saya menyerah pada godaan?

Ya, saya nyaris terpeleset, tapi untuk pertama kalinya saya tidak menyerah. J pun tidak. Anehnya, kedekatan kami malah saling menguatkan keselibatannya dan keterlibatan saya. Yeah, yeah, yang kenal saya pasti ketawa secara saya bajingan dan ratu bokis. Terserah mau percaya atau tidak. Seperti yang saya nyatakan pada sahabat saya yang lain, D, “Kalau gue sampai tidur dengan J, gue akan merasa sangat berdosa. Gue membayangkan sehabis melakukannya tanah terbelah dan gue langsung ditarik masuk neraka.” Selain daripada itu, saya tidak ingin menyakiti partner karena tidak ada seorang pun yang layak menggantikannya. Partner dan anak-anak. Empat tahun kami bersama. Terlalu mahal harga yang harus dibayar demi kenikmatan sesaat. Terlalu sayang untuk menodai persahabatan yang tulus dengan urusan seks.

Bersama J dan D (yang ternyata tidak semenyeramkan yang saya kira) kami menjalin hubungan persahabatan yang langka. Langka karena dalam dunia persahabatan lesbian, saling rebut pacar adalah makanan paginya, saling menjelekkan adalah makan siang, dan menikam dari belakang adalah makan malamnya. Sementara, sejauh ini kami, eh, saya, merasa kami tulus terhadap satu sama lain. Kami menjadi tong sampah satu sama lain. Kami mendukung sahabat lain yang ditinggal kawin kekasih perempuannya. Kami saling menjadi wanita penghibur terhadap satu sama lain dalam jam-jam ngantuk di kantor ketika gelas kopi ketiga tidak sanggup mengalahkannya.

Tadi malam adalah malam terpanjang selama empat tahun belakangan ini. Shit happens! Dan saya mencari perlindungan dan dukungan dalam diri sahabat-sahabat baru saya ketika semua tahi berterbangan tertiup kipas angin. Orang pertama yang saya hubungi adalah J, menghabiskan dua jam lebih lewat telepon dalam curhat yang penuh emosi yang kemudian berubah menjadi tawa ketika kenarsisannya malah menghabiskan setengah dari waktu curhat.

Menjelang curhat dengan J berakhir, D mengirim SMS yang menyatakan kekuatirannya pada diri saya. Dan jadilah saya berpindah ke D untuk curhat sesi 2. Dengan sabar dia mendengarkan cerocosan saya yang laksana petasan banting. Ah, curhatnya terlalu panjang untuk saya ceritakan di sini dan saya terlalu lelah untuk mengulangnya.

Buat saya kekayaan terbesar adalah ketika kau memiliki sahabat-sahabat yang baik. Sahabat-sahabat yang tidak mendorongmu ke lembah nista, tapi mengangkatmu ketika kau jatuh. Mendampingimu dalam tawa bahagia atau tangis sedih. Dalam realisasinya, sahabat adalah orang menemanimu ke karaoke ketika kau ingin bernyanyi melupakan kesedihanmu karena ditinggal kawin kekasihmu. Membelikanmu handsfree saat kau butuh. Mendengarkan curhat yang sama berkali-kali yang hingga kau pun bosan mengulangnya lagi.

Dalam perjalanan hidup hingga rambut saya mulai beruban dan rasanya tahun depan saya mulai butuh kacamata plus, saya menemukan banyak sahabat. Namun tidak banyak yang menjadi Soulmates saya dalam persahabatan. Orang-orang yang punya vibrasi otak yang sama, orang-orang yang membunyikan “klik” dalam otak saya. Orang-orang berharga yang membuat saya ingin bertanya, “Pernahkah kau baru bertemu dengan seseorang, tapi kau tahu dia akan jadi sahabatmu?”

@Alex, RahasiaBulan, 2007

9:49 PM

Kecintaan Michelangelo terhadap Tuhan

Posted by Anonymous |

Roma bukanlah tempat impian saya untuk berlibur. Namun satu dan lain hal menyebabkan saya akhirnya pergi berlibur ke Roma. Mendarat di Roma pada tengah hari setelah sebelumnya menghabiskan hari di Paris dan Jerman membuat saya langsung membuka jaket karena cuaca di sana ternyata lumayan bikin gerah. Kami (berlima) langsung berkunjung ke Vatican City ketika hari menjelang sore. Bukannya kami taat beragama atau apa... secara di antara kami berlima yang Katolik cuma satu orang. Tapi entah kenapa saya selalu terdorong untuk berkunjung ke Sistine Chapel dan melihat lukisan fresco Michelangelo.



Sayangnya kami kesorean sehingga tidak keburu ke Sistine, dan hanya bisa berharap masih punya waktu untuk mengantre untuk memasuki Basilika St. Pietro. Melihat antreannya saya sudah gentar... (gila, bisa berapa jam nih antre sepanjang ini?) tapi seorang sahabat saya bilang, “Tenang aja, sambil motret-motret, lalu ngobrol nggak lama kok. Palingan 45 menit.”

Kami pun berjalan memasuki ruangan Basilika tidak sampai satu jam kemudian. Tanda panah pertama yang kami ikuti adalah jalan menuju Tombs of Popes atau Makam Paus. Kami berjalan menuju ke bawah menyusuri tempat yang hening dengan lorong yang berisi makam Paus-Paus di masa lalu di kanan-kiri kami.

Tentu saja, makam yang jadi pusat perhatian utama adalah makam Paus Yohannes Paulus II yang wafat tahun 2005. Di depan makam, sejumlah pengunjung tampak berdoa dengan khusyuk. Di mata saya dia seperti kakek yang tidak saya kenal karena dia keburu meninggal sebelum saya lahir. Saya merinding dan nyaris berkaca-kaca ketika melihat makam beliau.

Setelah itu kami keluar dan melangkah memasuki ruang utama. Gema langkah di lantai marmer, dengungan orang yang mengobrol terpukau dengan kebesaran dan keagungan ruangan ini memantul dalam benak saya.



Sasaran kunjungan selanjutnya adalah patung Pieta. Sahabat saya sudah menjelaskan panjang lebar soal Pieta ini. “Ini patung Bunda Maria sedang memangku Yesus setelah disalib.” Pieta ini adalah hasil karya Michelangelo yang dibuatnya pada tahun 1498-1499. Sahabat saya melanjutkan, "Patung ini pernah rusak berat karena ada orang gila yang berusaha menghancurkannya dengan martil, patung yang kita lihat di ruang depan Basilika St.Pietro adalah patung hasil restorasi."

Selanjutnya kami melewati kapel yang dijaga oleh petugas. Tulisan yang tertera di sana adalah, “Dilarang Masuk Kecuali yang Ingin Berdoa. Dilarang Bicara. Dilarang Memotret.” Sahabat saya berbisik, “Mau masuk, kita berdoa sebentar.” Oke, tanpa babibu, saya ikutan masuk ke kapel itu. Berdoa di sana. Sepenuh hati untuk orang-orang yang saya sayangi. Saat itu saya merasa Tuhan adalah Sesuatu yang universal, masa Dia tidak akan mendengar doa saya di kapel itu karena saya bukan Katolik?

Dua hari kemudian saya kembali ke lapangan Basilika St. Pietro. Anehnya saya merasa nyaman di tempat itu setelah mengunjungi seantero tempat wisata di Roma. Saya merasa “pulang”, mungkin dalam kelahiran yang lampau saya pernah jadi pastor di sana. Entahlah.

Kali ini target kunjungan kami adalah Museum Vatican dengan tujuan utama Sistine Chapel. Dengan menerapkan The Law of Attraction kami berpikir positif bahwa hari itu antrean Sistine Chapel tidak panjang. Ternyata benar! Kami hanya perlu mengantre tidak sampai setengah jam untuk masuk ke museum Vatican yang terkenal itu. Yah, plus tiket masuk 13 Euro. :)

Di dalam kami berada kurang-lebih dua jam mengagumi pemujaan seniman-seniman Renaissance terhadap Tuhan, Katolik, dan Paus sebagai pemimpinnya. Dengan panduan jalur yang ditunjukkan anak panah, kami berjalan melewati berbagai galeri, patung, lukisan yang luar biasa indah karya-karya seniman Rennaisance Itali seperti Raphael dengan tapestrinya serta karya Botticelli, dengan lukisan-lukisan megah seperti The Temptation of Christ. Dan akhirnya tibalah kami ke Kapel Sistine. Tempat diadakannya conclave untuk memilih Paus baru.

Wow! Itulah perasaan saya ketika berjalan memasuki Kapel Sistine. Mulai dari dinding sampai atap kapel ini dipenuhi lukisan fresco buatan Michelangelo. Konon lukisan-lukisan tersebut dibuat antara tahun 1508 sampai 1512. Entah berapa besar biaya yang dihabiskan untuk membuat mahakarya seperti ini. Tidak ada kata-kata yang bisa menjelaskan kemegahan dan “kegilaan” orang yang membuat lukisan-lukisan ini.

Lukisan besar The Last Judgement berukuran 1370 x 1200 cm berada di atas altar. Dibuat oleh Michelangelo tahun 1535-1541. It’s like “Triple Wow!” Saat mendongak, kita bisa melihat lukisan legendaris itu. Lukisan The Creation of Adam berada di tengah di antara adegan-adegan dalam Nine scenes from the Book of Genesis.
Mengutip dari wikipedia, urutannya adalah:

1. The Separation of Light and Darkness
2. The Creation of the Sun, Moon and Earth
3. The Separation of Land and Water
4. The Creation of Adam
5. The Creation of Eve
6. The Temptation and Expulsion
7. The Sacrifice of Noah
8. The Great Flood
9. The Drunkenness of Noah

Di bagian sisi-sisinya masih terdapat lukisan-lukisan yang tak kalah menakjubkan. Daripada saya salah memberi keterangan, secara saya juga nggak terlalu ngerti soal kisah-kisah dalam Alkitab, silakan lanjut baca di http://en.wikipedia.org/wiki/Sistine_chapel_ceiling

Melihat lukisan-lukisan di dinding dan langit-langit Kapel Sistine, saya serasa diberi kesempatan oleh Michelangelo untuk mengintip surga. Selain Leonardo Da Vinci, nama Michelangelo sering disebut dalam sejarah seni Itali. Keduanya adalah rival. Bersaing untuk menjadi yang terbaik. Bernama lengkap Michelangelo di Lodovico Buonarroti Simoni (1475-1564), pada masa mudanya memang dikenal sebagai pematung. Dua karya legendarisnya adalah Pieta dan David. Patung David telanjang ini amat terkenal dan siapa sebenarnya inspirasi Michelangelo dalam membuat David masih jadi misteri sampai sekarang. Ada yang bilang David dibuat berdasarkan kekasih Michelangelo. Yap, he’s gay.

Selama hampir 90 tahun usianya, Michelangelo tidak pernah menikah. Bahkan dalam sejumlah karya seninya, dia dianggap memuja maskulinitas lelaki, sebagaimana yang bisa kita lihat dalam patung David serta lukisan-lukisannya di Sistine. Bisa dibilang Michelangelo sedikit lebih beruntung dibanding Leonardo Da Vinci yang pernah dipenjara pada masa mudanya karena tuduhan sodomi. Sepanjang hidupnya konon Michelangelo mengingkari tuduhan homoseksualitas yang sering dituduhkan pada dirinya. Walaupun kegemarannya terhadap lelaki-lelaki muda sudah menjadi rahasia umum pada masa itu.

Ketika berusia 57 tahun, Michelangelo menjalin hubungan dengan Tommaso de Cavalieri yang saat itu berusia 20 tahunan. Tommaso disebut-sebut sebagai sumber inspirasi dari sejumlah karya Michelangelo, dan mereka terus bersama sampai akhir hayat Michelangelo. Tinggal di Roma membuat hidup Michelangelo mudah jadi sorotan Paus dan gereja Katolik. Akan tetapi Michelangelo juga dikenal sebagai penganut Katolik yang taat, meskipun dia mempertahankan hidup sebagai homoseksual.

Proyek-proyek besar di St. Pietro yang juga diarsiteki Michelangelo serta proyek Kapel Sistine membuat petinggi-petinggi Vatican berusaha "menulis ulang" hidup Michelangelo dalam catatan sejarah gereja dengan menampilkannya menjadi pria taat beragama yang hetero. Pria hetero yang kebetulan tidak pernah menikah dan menjalin hubungan dengan seorang janda ketika usia Michelangelo sudah lewat setengah abad, dan hanya tercatat menjalin hubungan surat-menyurat.

Sejumlah sumber menyatakan Michelangelo tidak menyukai Paus dan gereja Katolik. Mungkin dia tidak menyukai orang yang kebetulan menjadi Paus. Tapi setelah melihat hasil karyanya di Vatican City, rasanya sulit bagi saya untuk percaya bahwa orang ini tidak mencintai Tuhan dan gereja. Semata-mata dorongan keinginan untuk menghasilkan mahakarya tidaklah cukup bagi siapa pun untuk bisa menciptakan keindahan yang luar biasa semacam itu. Butuh cinta dan bakti yang tak terbatas untuk bisa membuat pahatan marmer Pieta, kubah di St. Pietro, pahatan-pahatan makam di bawah basilika, dan lukisan-lukisan di langit-langit Sistine. Di mata saya semua itu adalah hasil dari kecintaan seorang seniman gay bernama Michelangelo terhadap Tuhan dan agamanya.



@Alex, RahasiaBulan, 2007

Nick has a three-legged dog named Lucky, some pet fish, and two moms who think he's the greatest kid ever. And he happens to think he has the greatest Moms ever, but everything changes when his birth mom and her wife Jo start to have marital problems. Suddenly, Nick is in the middle, and instead of having two Moms to turn to for advice, he has no one.

Demikian sinopsis buku Between Mom and Jo ini. Nick remaja lelaki 14 tahun yang bernama lengkap Nicholas Nathaniel Thomas Tyler memiliki dua ibu. Satu ibu kandungnya, Erin, dan partner ibunya, Jo. Mom dan Jo memiliki sifat yang bertentangan. Mom orang yang hati-hati dan bertanggung jawab, sementara Jo serampangan dan tidak pedulian. Namun di mata Nick, keduanya adalah ibu yang terbaik. Yang satu mengisi kekurangan yang lain.

Dibesarkan dalam keluarga yang “berbeda” jelas membuat Nick sering jadi anak yang “unik”. Dia tidak punya banyak teman, atau saudara, bahkan ada gurunya yang tidak menyukainya lantaran dia anak dari pasangan lesbian. Namun Nick tidak peduli, karena cukup mendapat kasih sayang kedua ibunya. Terutama Jo, karena Mom lebih sering di luar rumah untuk bekerja. Sementara Jo adalah ibu yang asyik, yang bisa menemaninya bermain dan menghiburnya di kala sedih.

Namun dunia Nick runtuh ketika Mom dan Jo memutuskan untuk berpisah setelah belasan tahun bersama. Meskipun keluarga mereka telah melalui banyak hal bersama.... Kanker yang dialami Erin, ibunya, dan masalah kecanduan alkohol yang dihadapi Jo.

Karena Jo tidak pernah mengadopsinya, Nick harus tinggal bersama ibu kandungnya, Erin. Meskipun tidak mau kedua ibunya berpisah, namun Nick tidak berdaya. Keadaan makin runyam ketika ibunya memiliki kekasih baru bernama Kerri. Nick makin merasa kehilangan Jo. Meskipun Erin adalah ibu kandungnya, bagi Nick, Jo adalah ibu sejatinya.

“You’re my birth mom. I know that. I get that... But Jo...” I hesitate because I don’t know how Mom’s going to react to this. She has to know, though. Deep in her heart I think she does, and that’s the problem. That’s what makes it so hard to say. “Jo’s my real mom.” (hlm. 204)

Jika dalam buku-buku sebelumnya, seperti Luna dan Keeping You a Secret, Julie Anne Peters berkutat dalam permasalahan remaja transeksual dan lesbian, dalam Between Mom and Jo, sang pengarang selangkah lebih maju. Ia menuliskan suatu kisah tentang anak remaja yang memiliki sepasang ibu lesbian. Kisah yang membuat saya berkaca-kaca membacanya. Suatu kisah yang mengingatkan saya pada kebijaksanaan Salomo menghadapi dua perempuan yang memperebutkan bayi.


Kutipan dari: Between Mom and Jo - Julie Anne Peters, Hardcover edition, 232 pages, May 2006, Little, Brown and Company.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

4:37 PM

Film: Mulan - Ketika Anak Perempuan jadi Pahlawan

Posted by Anonymous |

Mulan adalah film animasi Disney favorit saya. Selain Finding Nemo, tentu. Mungkin bisa dibilang Mulan adalah film animasi pertama Disney yang menyentuh isu gender/androgini serta menjadikan perempuan sebagai sosok jagoan.

Saya ingat, dulu saya suka sekali pada Superman hingga pernah nekat “terbang” dari meja dengan taplak terikat di leher hingga kepala saya benjol. Hal itu mengingatkan betapa apa yang kita tonton semasa kecil bisa berpengaruh pada hidup kita, dan mungkin saja melekat hingga kita dewasa.

Saat menonton Mulan, saya membayangkan diri saya masih kanak-kanak. Dan melihat Mulan berkuda, berlatih bersama pasukan serdadu yang isinya laki-laki semua. Melihat Mulan sama tangguhnya dengan lelaki-lelaki itu, menjadi pahlawan dalam film. Wow. Ternyata anak perempuan bisa jadi pahlawan.

Film Mulan yang dirilis tahun 1998 ini diangkat dari dongeng klasik Cina berusia 2000 tahun. Berkisah tentang gadis muda bernama Fa Mulan yang nekat menggantikan ayahnya yang sakit untuk maju ke medan perang untuk melawan pasukan Hun yang menyerang Cina. Oya, sebelum lanjut, Mulan bukan lesbian kok. Dan nggak ada subteks lesbi pula dalam film ini. :p


Mulan adalah gadis tomboi yang oleh makcomblang dicap tidak punya harapan mendapat jodoh lelaki yang baik karena sikapnya yang ugal-ugalan. Melihat ayahnya yang sudah tua dan sakit-sakitan dipanggil tugas perang, Mulan tidak tega. Karena keluarga Fa tidak punya anak lelaki, maka sudah tugas ayahnya untuk membawa nama keluarga ke medan perang.

Setelah mencuri surat tugas ayahnya, Mulan pun memotong pendek rambutnya, menyamar sebagai lelaki untuk bergabung bersama pasukan yang dilatih menuju medan perang. Bersama sidekick-nya si Naga kecil yang bawel, Mu-Shu, Mulan berlatih dan bertempur melawan invasi bangsa Hun. Hingga akhirnya ketauan bahwa Mulan sebenarnya perempuan yang menyamar sebagai lelaki. Namun itu setelah Mulan berhasil menghambat langkah pemimpin musuh dengan taktik cerdasnya. Sang kapten marah ketika tahu, dan mengusir Mulan dari pasukan.

Walaupun karakter perempuan tangguh ini bukan seperti film Disney biasanya, namun pola standarnya tetap sama, akhirnya semua berakhir bahagia. Mulan kembali membuktikan diri sebagai pahlawan dan dia pun menikah dengan pak kapten yang tampan.

Sebenarnya dalam film-film silat Cina era tahun 1970-80an, perempuan yang menyamar sebagai lelaki untuk bertualang adalah hal yang biasa. Namun sebagai film buatan Disney untuk penonton anak-anak, Mulan memberikan semacam “pengajaran” terutama bagi anak-anak perempuan... bahwa kau juga selevel dengan laki-laki. Bahwa kau juga bisa jadi pahlawan.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

gambar dari: www.movies.yahoo.com

12:59 AM

Dalam Belanga Persahabatan

Posted by Anonymous |

Beberapa hari terakhir ini saya bertugas di suatu tempat di luar Indonesia. Bersama beberapa rekan sekantor, saya harus menghadiri event besar tahunan tempat saya bekerja. Walaupun kadang-kadang saya tidak merasa di luar negeri karena sepanjang hari terperangkap dalam ruangan di antara satu meeting dan meeting lain dan sarapannya tetap nasi. :)

Eniwei, di antara jeda meeting, bos saya mendadak berkomentar, "Abis ini kita meeting sama orang-orang X. Kayanya orang-orang X lesbi semua deh." Saya langsung ketawa kecil mendengarnya. Kemudian saya melongokkan kepala melihat orang-orang X yang dimaksudnya. Ada dua perempuan bule di sana. Yang satu berambut pendek cepak, satu lagi berambut sebahu.

Seakan membaca pikiran saya, mbak bos berkomentar, "Yang pirang cepak itu kayanya lesbi deh. Yang satu lagi aku nggak tau, nggak pernah ketemu. Tapi yang dulu juga modelnya sama seperti itu." Kembali saya memanjang-manjangkan leher melihat perempuan itu. Dan gara-gara komentar bos saya itu, pas meeting bukannya konsentrasi, saya malah ngeliatin perempuan itu. Halah, bener-bener ngawur deh.

Untungnya sengawur apa pun saya, meeting berlangsung lancar. Kemudian bos saya berkomentar, "Di sini kebanyakan perempuan ya?" Saya kembali menoleh ke kiri-kanan melihat sekeliling dan mendapati memang mayoritas peserta dan orang-orang yang kami temui adalah perempuan. Termasuk kami.

Sudah lama saya menyadari bahwa perempuan memang memegang peran mayoritas dalam bidang pekerjaan yang saya geluti. Bukan bermaksud sexist, tapi saya paham laki-laki akan sulit mengerjakan bidang pekerjaan ini karena selain target market kami memang mayoritas perempuan, pekerjaan ini membutuhkan naluri dan kepekaan yang besar dalam urusan perasaan. Dan dalam hal ini saya setuju sekali bahwa
Men are From Mars and Women are from Venus.

Balik lagi ke isu lesbian.
Setelah menghabiskan malam-malam di hotel bersama rekan kerja, saya mendapati kami menjalani keakraban lebih daripada keakraban yang kami peroleh jika hanya bertemu di kantor. Plus ditambah penerbangan belasan jam yang membuat kami jadi makin akrab. Dari sana saya memperoleh banyak pelajaran berharga. Saya belajar bagaimana rekan-rekan kerja saya yang hetero memandang saya sebagai lesbian. Bagaimana tanggapan mereka terhadap diri saya, bagaimana penerimaan mereka terhadap saya.

Bukan masalah besar, sebenarnya. Hanya hal-hal kecil yang membuat nyaman. Hal-hal kecil seperti peristiwa di atas, pertanyaan-pertanyaan seperti, “Gimana kabar Lakhsmi?” atau “Sudah berapa lama sama dia?” Atau ketika SMS masuk, rekan kerja bertanya, “Lakhsmi ya?” Atau seorang rekan kerja bercerita tentang hubungannya dan kami berakhir dengan saling cerita tentang kehidupan cinta kami masing-masing. Mereka tidak memandang saya “beda” atau “lebih” atau “kurang”.

Beberapa hari bersama kolega dan rekan kerja itu membuat kami berada dalam satu melting pot. Saya merasa terjalinnya keakraban lepas batas dan lumernya perbedaan dalam belanga persahabatan adalah kelebihan istimewa yang tak dapat digantikan oleh aneka hubungan persahabatan yang lain.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

Dua film ini adalah film jenis biopic yang mengisahkan kehidupan dua seniman biseksual. Henry and June berkisah tentang penulis Anais Nin, dan Frida berkisah tentang pelukis Frida Kahlo. Kedua perempuan ini adalah perempuan-perempuan hebat yang hidup melebihi zamannya. Jika Anais Nin lahir pada tahun 1903, Frida Kahlo lahir pada tahun 1907. Dan kedua film ini bersetting pada sekitar tahun 1930-an.

Kisah Henry and June dimulai di Paris tahun 1931, berkisah tentang cinta segi tiga antara Anais Nin (Maria de Medeiros) dengan Henry Miller (Fred Ward) dan June Miller (Uma Thurman), yang juga istri Henry. Film buatan tahun 1990 ini dibuat berdasarkan buku karya Anais Nin, Henry and June: From A Journal of Love: the Unexpurgated Diary of Anais Nin (1931-1932) yang terbit tahun 1986. Buku ini sendiri menuliskan berbagai peristiwa yang terjadi dalam hidup Anais Nin pada bulan Oktober 1931 sampai Oktober 1932, ketika Anais terlibat hubungan asmara gila-gilaan bersama Henry dan June Miller.

Saat affair berlangsung Anais Nin sendiri masih istri Ian Hugo, yang saat itu baru pindah ke Paris. Pertama kali bertemu Henry, Anais mendambakan petualangan seksual dari Henry Miller yang pada saat itu sedang menyelesaikan novelnya, Tropic of Cancer. Anais sendiri digambarkan memiliki ketertarikan seksual terhadap Henry dan June. Petualangan Anais bersama pasangan Miller ini membangkitkan sisi dalam dirinya yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Film berdurasi lebih dari 2 jam ini menampilkan sejumlah adegan seks yang bisa dibilang semi-erotic, dan setting Paris tahun 1930-an yang menawan. Namun secara pribadi saya kecewa menonton Henry and June karena penampilan Maria de Medeiros yang tidak bisa menghidupkan sosok Anais Nin.

Frida Kahlo adalah seorang seniman besar dengan perjalanan hidup yang luar biasa. Film ini dibuka ketika Frida (Salma Hayek) berusia 18 tahun ketika ia mengalami kecelakaan bus yang membuat tubuhnya lumpuh. Satu-satunya semangat bagi Frida adalah melukis. Ia melukis di mana saja mulai dari gipsnya hingga saat tubuhnya disangga dengan besi pun ia terus melukis.

Ketika sudah bisa berjalan, Frida mendatangi seniman Meksiko terkenal bernama Diego Rivera (Alfred Molina) yang umurnya nyaris dua kali lipat umur Frida, dan menyatakan bahwa Frida punya bakat besar. Diego yang juga terkenal dengan sifat buaya daratnya, kemudian menikah dengan Frida. Bersama-sama mereka menjalani kehidupan sebagai seniman yang saling memengaruhi satu sama lain.

Namun keduanya saling menghancurkan dalam kehidupan personal. Diego tidak berhenti tidur dengan perempuan mana pun yang diinginkannya, bahkan dia juga kedapatan tidur dengan adik perempuan Frida. Akan tetapi, Frida juga menjalani kehidupan yang bisa dibilang sama bebasnya. Selama menikah dengan Diego, Frida juga tidur dengan beberapa lelaki dan perempuan. Dan beberapa orang tersebut adalah lelaki dan perempuan ternama.

Puncaknya adalah ketika Frida menjalin hubungan dengan Leon Trotsky, seorang tokoh penting komunis, yang tinggal di Meksiko karena mendapat suaka politik. Ketika Trotsky ditemukan tewas, Diego bahkan sempat dicurigai sebagai pembunuhnya. Kala itu Frida sempat bercerai dengan Diego, tapi kemudian menikah lagi. Hubungan mereka tetap memburuk bahkan sampai akhirnya Frida meninggal pada tahun 1954.

Salma Hayek mendapat nominasi Oscar sebagai aktris terbaik 2002 dalam perannya sebagai Frida Kahlo. Film Frida ini merupakan film yang saya tunda-tunda terus menontonnya hingga suatu ketika saya mendapat kesempatan menyaksikannya di suatu pusat kebudayaan. Walaupun buat saya bukan termasuk film yang masuk kategori "Bagus Banget", namun Frida adalah film yang luar biasa menarik, dan memberi banyak pengetahuan bagi saya tentang hidup seorang seniman besar bernama Frida Kahlo.

§Alex, Rahasia Bulan, 2007

Masa remaja selalu membingungkan... tanpa jadi lesbian pun segalanya tampak kacau dan membingungkan seiring terjadi perubahan hormon dalam tubuh remaja. Bahkan tidak hanya remaja, terkadang orang dewasa pun masih banyak yang bingung, kacau, dan galau kala berdamai dengan lesbian dalam dirinya.

Empress of the World, adalah kisah tentang persahabatan dan cinta yang datang dari arah yang tak terduga. Nicola Lancaster berusia 16 tahun dan mengambil kelas liburan musim panas untuk anak berbakat di Siegel Summer Institute. Di sana ia mengambil kelas arkeologi karena bercita-cita menjadi arkeolog karena hobinya dalam melakukan analisis dan klasifikasi. Di asrama itu dia bertemu dengan beberapa teman yang membawa hidupnya ke arah yang tak terduga. Katrina si jenius komputer. Isaac cowok baik yang bingung. Kevin si pemusik menyebalkan... dan Battle penari cantik berambut pirang bermata hijau dari North Carolina. Nic alias Nicola tak pernah menyangka di antara sahabat-sahabat barunya, dia akan mengalami cinta pertama di musim panas yang indah dengan Battle Hall Davies.

Karena asrama perempuan terpisah dengan asrama laki-laki, maka Nic, Battle, dan Katrina menjalin persahabatan akrab dengan kenakalan-kenakalan wajar anak remaja. Katrina merokok seperti cerobong asap, sering ngomong tanpa pikir panjang, adalah tempat curhat Nic saat dia merasa gelisah ketika menyadari perasaannya terhadap Battle ternyata makin lama makin intens.

Musim panas. Gejolak cinta remaja. Semuanya mempercepat proses hubungan antara Nic dan Battle yang bab-babnya disusun berdasarkan tanggal. Nic menolak menyatakan diri lesbian karena sebelum dengan Battle di sekolah dia pernah naksir cowok keren bernama Andre. Apakah itu menjadikannya biseksual? Lesbian? Lesbian bingung? Apa? Penting nggak sih untuk tahu siapa diri kita? Lesbian,biseksual, straight? Bisa nggak kita jalanin aja hubungan ini, dan nggak perlu dibahas? Itulah yang mungkin ada dalam benak Battle ketika Nic berusaha membahas hubungan mereka, apalagi Battle bukan tipe yang piawai berkata-kata.


"Why are you so obsessed with the whole lesbian thing? I've liked boys before, I probably will again, so I believe that the appropriate word is bisexual, since you so desperate to give me label."
"Why are you obsessed with not being one? I believe that the appropriate word is denial." (h.139)

Demikian debat antara Nic dan sahabatnya, Katrina, ketika Nic berusaha mengklasifikasikan dirinya dalam label. Nic lupa bahwa terkadang cinta hanya perlu dirasakan, karena cinta bukanlah semacam ilmu pasti yang bisa dibahas, dipilah, dan dijelaskan.

Buku ini ditulis dari sudut pandang orang pertama. Dari sudut pandang Nic seorang, jadi segalanya hanya bisa kita lihat dari mata Nic. Itulah yang membuat buku ini jadi tampak gagap karena kita hanya melihat satu sudut pandang. Ditambah lagi begitu banyak tokoh dalam buku ini sehingga tampak sejumlah tokoh yang tak tergali sepenuhnya dan membuatnya jadi terkesan tempelan semata. Namun untungnya Sara Ryan, sang pengarang, mampu mengangkat realitas remaja dalam novel pertamanya yang terbit tahun 2001 ini. Buku Empress of the World ini juga mendapat penghargaan ALA Best Book for Young Adults, Lambda Book Award Finalist, A Booklist Top Teen Romance, dan pemenang Oregon Book Award.

Empress of the World tidak repot-repot membahas masalah coming out, atau bagaimana-kalau-ortu-dan-teman-tahu-kita-pacaran. Isu besarnya bukan di sana, tapi tentang kisah asmara remaja, ketika kau jatuh cinta pertama kali, dan ternyata objek cintamu memiliki jenis kelamin yang sama denganmu. Tidak seperti Keeping You a Secret atau Annie on My Mind, yang menyentuh masalah penerimaan lingkungan terhadap lesbian. Dan Empress of the World adalah salah satu dari sedikit buku remaja yang menyentuh topik biseksual, tanpa menghakiminya. Seakan sang pengarang ingin berkata, "It's okay. Wajar kalau kamu bingung dengan orientasi seksualmu. Itu manusiawi."

@Alex, RahasiaBulan, 2007
PS: Buku ini saya peroleh di toko buku Kinokuniya Singapura $14.75

*spoiler banget*



Salam buat penggemar South of Nowhere, terima kasih atas e-mail dan komentar-komentarnya. Maaf banget saya nggak bisa meng-update blog ini dengan update per episode setiap kali tayang, maklum deh kadang-kadang saya harus bergantung pada kebaikan koneksi internet kantor, ups, hehehe.

Season 3 South of Nowhere mulai tayang tgl 10 Agustus 2007 dengan episode The Valley of the Shadows yang ditayangkan dua kali lebih panjang. Dimulai dengan adegan setelah penembakan di sekolah pada malam prom. Beberapa orang kena tembak, termasuk Clay dan Aiden. Clay tewas namun Aiden berhasil bertahan hidup.

Sekolah dimulai tiga bulan setelah malam prom mengenaskan. Clay tewas meninggalkan Chelsea dalam keadaan hamil. Hubungan Spencer dan Ashley off sesaat karena berbagai tragedi yang terjadi. Apalagi selama liburan musim panas Ashley pergi ke Eropa meninggalkan Spencer tanpa kabar berita. Dalam episode pertama season 3 ini, Spencer memutuskan untuk berteman saja dengan Ashley.

Kedatangan cewek baru di sekolah, Carmen, dijadikan tempat rebound oleh Spencer. Saya yang sejak pertama kali melihat Carmen pun sebenarnya sudah ilfil, dan mulai kesal dengan pihak produser yang entah kerasukan apa dengan gagasan menampilkan cewek baru yang nggak banget buat Spencer.

Sementara itu Spencer berhenti sekolah setelah mendapat warisan besar dari kematian bokapnya. Dia dan Kyla memutuskan untuk membeli apartemen dan tinggal berdua di sana. Yeah, buat apa sekolah kalo udah punya uang puluhan juta dolar? Secara mereka sudah bisa hidup ala Hilton bersaudara. Kakak-beradik Davies ini juga digambarkan menjalani hidup ala Paris dan Nicky.

Aiden belum bisa menghapus trauma pengalaman nyaris tewasnya. Hubungan asmaranya dengan Ashley pun,---sebagaimana yang bisa kita duga---putus. Setelah sempat menjalin TTM dengan Madison, Aiden tampaknya perlu terapi psikologi untuk mengatasi traumanya.

Oke, balik lagi ke Spencer. See, gue bilang juga apa, kan? Nonton sendiri deh gimana dia nggak cucok banget sama Carmen. Akhinya hubungan Spencer dan Carmen pun putus, yeah, kalo hubungan sesingkat itu bisa disebut hubungan. Secara Carmen itu kasar dan kampungan banget deh, wajar aja kalo Spencer mutusin hubungan dengan dia. Lagian, sebagai role model lesbian remaja yang baik, tentu Spencer nggak mau dong nunjukin hubungan yang nggak sehat dengan Carmen di acara TV yang ratingnya konon tinggi ini.

Ashley dapat tawaran menarik untuk jadi penyanyi, ya iyalah, secara bokapnya dulu penyanyi rock tenar gitu. Nah, pada saat bertemu dengan produser itulah, Ashley mengajak Spencer untuk menemaninya. Yippiiii… mereka kelihatan mulai saling PDKT gimana gitu. Namun sang produser inginnya Ashley tampil bersama saudara tirinya Kyla, yang lagi jadi cewek “beredar” banget dan tengil setengah mati. Oke, itu masalah gampang. Secara Kyla kepingin banget ngetop, jadi dia pasti mau jadi penyanyi, masalahnya Ashley nggak rela banget kalo Kyla ikut tenar.

Sementara itu hubungan Spencer dan Paula, nyokapnya, jadi rada renggang karena nyokapnya masih tampak nggak terima dengan kelesbianan anak perempuannya. Malah Paula sempat membuat blind date sama cowok yang bener-bener nggak banget buat Spencer. Yang akhirnya bikin Spencer marah beneran sama nyokapnya.



Puncak semua cerita ini adalah pada episode 308. Gay Pride. Spencer kepingin banget ngajak nyokapnya ke acara gay pride, tapi nyokapnya nggak bisa karena harus kerja. Ashley juga lagi sibuk banget karena mesti mengadakan konferensi press buat album barunya dan pesta buat melepaskan Madison jadi penari latar Justin Timberlake. Tapi dengan manisnya Ashley menyempatkan waktu buat datang menjemput Spencer, so sweeet… tapi Spencer udah keburu pergi ke acara pride bareng Aaron, bokapnya.

Di rumah Spencer, Ashley ketemu Paula yang lagi sedih. Akhirnya Ashley berhasil merayu Paula untuk datang ke gay pride. Again, so sweeet… dan di sana mereka ketemu dengan Spencer dan Aaron di acara pride. Ending episode ini ditutup dengan ending yang Wow! Viva Spashley! Pada menit-menit terakhir, Ashley membuka pintu apartemennya dan mendapati Spencer berdiri sana. Spencer masuk melepaskan coat-nya dan memperlihatkan tubuhnya yang tidak mengenakan apa-apa di balik coat. Mereka pun berciuman, selanjutnya terserah Anda. Adegan klasik, tapi tidak basi.

Sayangnya kita masih harus menunggu sampai Februari 2008 untuk mengetahui kelanjutan episode South of Nowhere ini. Jadi tunggu tahun depan, sementara ini silakan berjuang menontonnya di internet. Saya menontonnya di Veoh. Kalau saya bisa menemukan serial ini dan menontonnya di internet, kalian pasti bisa. :)

Buat yang nggak punya akses internet secepat cheetah, coba baca recaps-nya di:
http://www.afterellen.com/archive/ellen/TV/southofnowhere.html

Urutan episode season 3 dan skor:
Ep. 301 "The Valley of the Shadows" (Skor: 9)
Ep. 302"Can't Buy Me Love" (Skor:8)
Ep. 303 "The It Girls" (Skor: 8)
Ep. 304 "Spencer's New Girlfriend" (Skor: 7)
Ep. 305. "The Truth Hurts" (Skor: 7)
Ep. 306 Fighting Crime" (Skor: 7)
Ep. 307. "Saturday Night is for Fighting" (Skor: 7,5)
Ep. 308 Gay Pride" (Skor: 9)

Pemeran South of Nowhere:
• Gabrielle Christian: Spencer Carlin
• Chris Hunter: Glen Carlin
• Danso Gordon: Clay Carlin
• Mandy Musgrave: Ashley Davies
• Matthew Cohen: Aiden Dennison
• Eileen Boylan: Kyla Woods (Davies)
• Valery Ortiz: Madison Duarte
• Aasha Davis: Chelsea Lewis
• Austen Parros: Sean Miller
• Rob Moran: Arthur Carlin
• Maeve Quinlan: Paula Carlin

@Alex, Rahasia Bulan, 2007

10:05 PM

Film: Intimates - Film Lesbian yang Nyaris "Lewat"

Posted by Anonymous |

Ini adalah salah satu film yang nyaris saya lewatkan keberadaannya, karena Intimates adalah film yang pamornya tertutup film lain yang lebih bunyi. Mungkin kalau saya tidak iseng-iseng browsing dan menemukan film ini di youtube, saya takkan pernah menontonnya.

Film ini adalah produksi tahun 1997, yang diperankan oleh dua aktris kenamaan Hong Kong, Charlie Yeung dan Carina Lau. Pada tahun itu saya sibuk mencari film produksi Hong Kong yang lain, yaitu Comrades, Almost A Love Story (film Hong Kong Terbaik 1997), dan Happy Together, film gay dengan peran utama Leslie Cheung dan Tony Leung.

Carina Lau mendapat nominasi Hong Kong Film Awards atas perannya di Intimates, tapi harus kalah dari Maggie Cheung yang bermain dalam Soong Sisters. Padahal menurut saya, dalam film ini Carina Lau menampilkan akting terbaiknya dalam karier filmnya.

Film ini dibuka pada setting tahun 1997 ketika seorang perempuan muda bernama Wai (Theresa Lee) ditugasi ayahnya untuk menemani seorang perempuan tua bekas pengasuh ayahnya ke Cina untuk mencari jejak masa lalu perempuan tua tersebut. Kisah pun selanjutnya dibuat flashback antara masa kini dan masa lalu.

Kisah masa lalu dibuka tahun 1930-an ketika Foon (Charlie Yeung) kabur dari rumah karena menolak dinikahkan. Wan (Carina Lau), istri ketujuh pemilik pabrik sutra, menyelamatkan Foon dan menjadikan gadis itu pembantu di pabriknya.

Perlahan-lahan hubungan Wan dan Foon makin akrab, dan sang majikan memendam perasaan lebih dari persahabatan terhadap pembantunya. Namun Foon menolak cinta Wan karena mereka berdua sama-sama perempuan. Foon kemudian jatuh cinta pada lelaki miskin di desa itu dan hamil di luar nikah. Ketika Foon sakit keras akibat aborsi, Wan menyelamatkan dan merawat Foon. Dan ketika Wan dikhianati suaminya, kepada Foon-lah Wan berpaling. Cinta mereka begitu besar dan sudah ditakdirkan satu sama lain hingga perpisahan dan perang akibat kedatangan tentara Jepang pun tak sanggup memudarkannya.

Tampilan flashback dalam Intimates membantu penonton memahami kisah pararel cinta moderen Wai dan calon suaminya yang tak kunjung melamar versus cinta Wan dan Foon pada zaman “susah” di Cina. Alur semacam itu pun saling mendukung dalam film yang panjangnya lebih dari dua jam ini.

Intimates adalah drama tingkat tinggi dengan penampilan luar biasa aktris-aktrisnya, sekali lagi penampilan apik Carina Lau patut diacungi jempol. Adegan percintaan antara Wan dan Foon digarap dengan lembut dan halus, menyisakan rasa manis bagi penonton. Dan pada akhirnya film ini ditutup dengan mempertemukan masa lalu dan masa kini pada akhir sebuah perjalanan.


@Alex, Rahasia Bulan, 2007

10:41 PM

Tanggal Kedaluwarsa

Posted by Anonymous |

Seorang sahabat baik di kantor mengutip cerita yang baru dibacanya. Begini kisahnya,
Seorang gadis remaja berusia 16 tahun berlari masuk ke kamarnya dan menangis meraung-raung. Ada apakah gerangan? Oh, ternyata ayah si gadis ingin menikahkannya dengan lelaki yang usianya 2 kali lipat usianya. Dan jelas gadis itu menolak. Hari gini dipaksa kawin sama lelaki tua? Emangnya Sitti Nurbaya?

Sahabat saya menutup bukunya lalu berkata, “Habis baca bagian ini gue kepingin lempar tuh buku.”
“Kenapa?” tanya saya bingung.
“Tersinggung gue!”
Saya makin bingung. “Heh?”
“Dua kali lipat umurnya kan 32 tahun. Lebih muda daripada gue, lagi. Tiba-tiba gue jadi berasa tua...”
Kami pun ngakak bersama-sama.

Sebagai seorang lesbian, pada saat usia tiga puluhan ini, saya tidak merasakan bahwa saya sudah “tua”. Saya malah merasa hidup saya justru baru memulai suatu era baru. Suatu usia matang, yang menjadikan saya lesbian bijaksana dan jadi idola lesbian-lesbian muda, huahahaha.... *bercanda.*

Seorang sahabat lesbian yang usianya sudah nyaris mendekati 40 beberapa hari lalu meng-SMS saya, menyatakan bahwa dia mau memperkenalkan saya dengan pacar barunya yang berumur 26 tahun. Buset deh. Kebayang nggak sih kalo dia cewek straight usia 40-an? Kalo cewek straight seusia sahabat saya pacaran sama cowok seumuran gitu udah dibilang tante girang doyan berondong.

Buat perempuan heteroseksual usia 30-an sudah memasuki usia sulit untuk mencari pacar. Banyak yang akhirnya mencari cowok bule atau duda karena lelaki lajang berusia di atas 35 tahun kalau tidak gay konon biasanya cowok bermasalah---Ini katanya, lho-red) Buat perempuan lesbian, banyak yang dalam usia 30-an masih beredar alias masih mencari-cari pacar dengan aktif.

Lampu kuning sudah menyala buat perempuan hetero pada usia 30-an, terutama yang belum menikah. Salah satu hal adalah karena pandangan bahwa perempuan seharusnya menikah dan punya anak. Lampu kuning bakal lebih terang lagi jika usia perempuan sudah di atas 35 tahun, karena perempuan sudah memasuki usia rawan melahirkan. Dan pada usia 40 tahun, bisa dibilang perempuan (straight) memasuki masa kedaluwarsanya.

"Lex, Lex, kok bengong?" Hampir saya lupa pada sahabat saya yang wajahnya menampilkan curhat mode on.
"Sori, tadi ngelamun, ngitungin umur, hehehe..."
"Cariin gue pacar dong..."
"Lo pikir gue germo?"
"Nggak lah, germo kan dibayar, elo kan nggak."
Saya nyengir sambil menggerutu, "Kampret!"
Akhirnya sahabat saya bilang gini, “Eh, gimana kalo gini, gue sama elo aja. Gue rela deh pacaran sama elo, diduain sama Lakhsmi gue juga mau. Daripada nggak punya sapa-sapa.... Mau ya, mau, kan?”
Saya menampilkan wajah jijik. "Idih? Ama lo? Lo pikir udah nggak ada lesbian lagi di muka bumi ini, sampe mesti pacaran sama elo? Secara gue punya yayang yang lebih seksi dan bahenol daripada elo?"
Sahabat saya ngakak setengah mati. "Dasar kuya!" katanya, sambil melempar buku yang dipegangnya ke arah kepala saya.
Wakakakak.... beginilah yang terjadi di kantor jika karyawannya belum ngopi pagi.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

5:12 PM

5 Alasan untuk Menonton TV

Posted by Anonymous |

Emmy Award, penghargaan untuk serial dan tayangan televisi baru saja lewat. Dan bulan September biasanya serial-serial TV di Amerika masuk tayangan musim gugur. Hm, sebagai maniak TV, saya ingin berbagi kecintaan dan alasan saya nangkring di depan TV. Walaupun serial-serial ini tidak mengandung unsur lesbian, tapi perempuan-perempuan cantik di sini bisa jadi alasan bagus untuk menontonnya.

1. Brainy Chicks with Guns
Hm, saya teringat masa tahun 1990-an ketika SCTV menayangkan The X-Files, dengan duo Mulder dan Scully. Dulu saya tergila-gila pada keseriusan Scully... dan bete ketika Scully dan Mulder dibuat jadian. Kini pada era tahun 2000an, muncul agen-agen FBI atau polisi perempuan yang cerdas dan tangguh. Sebut saja serial seperti Law & Order: SVU, CSI, dan yang terbaru adalah Bones.


Law & Order (Special Victim Unit) adalah spin-off dari Law & Order: Criminal Intent yang ceritanya terpusat pada kejahatan seksual. Serial ini sudah masuk season 9 sejak ditayangkan pertama kali tahun 1999. Season-season awalnya pernah diputar di RCTI dan kini penggemarnya masih bisa nonton di TV berlangganan, Star World. Alasan saya menonton: Mariska Hargitay yang berperan sebagai Det. Olivia Benson. Pada Emmy Award 2007 dia memperoleh nominasi untuk Aktris Drama Terbaik.



CSI – Las Vegas. Ini adalah CSI favorit saya, walaupun saya juga tidak ketinggalan menyaksikan CSI – Miami dan CSI – New York. CSI berkisah tentang petugas forensik unit TKP yang berusaha menyingkap kasus-kasus pembunuhan rumit. Saat ini CSI – Las Vegas sudah memasuki season 8 pada bulan September 2007. Dua karakter jagoan perempuan yang paling saya suka adalah Catherine Willows (Marg Helgenberger): Orang kedua dalam tim CSI yang pernah jadi penari eksotis di kelab malam di Las Vegas.

Dan Sara Sidle (Jorja Fox): Sara adalah CSI Level III di LVPD yang terobsesi pada pekerjaannya. Pada musim tayang ketujuh, Sara menjalin asmara dengan Grissom, atasannya, dan pada akhir musim tayang terakhir berada dalam kondisi antara hidup/mati terimpit mobil. Keadaannya masih belum diketahui karena Jorja Fox yang berperan sebagai Sara mengalami masalah kontrak dengan CBS yang menayangkan serial ini. Sebelum berperan sebagai Sara, Jorja pernah berperan sebagai Dr. Maggie Doyle yang biseksual di serial ER.

Bones: Ini sebenarnya masih tayangan baru karena baru akan tayang season ke-3 pada September 2007. Alasan saya menontonnya? Yah, saya penggemar David Boreanaz, secara saya penggemar serial Buffy gitu lhooo... Tapi setelah saya nonton, saya jadi jatuh hati pada Dr. Temperance Brennan yang diperankan oleh Emily Deschanel. Dr. Brennan adalah ahli forensik antropolog yang berpasangan dengan Agen Booth (David Boreanaz). Saya baru beberapa kali nonton film ini, dan saya telat tidak nonton dari awal, tapi saya akan mencari DVD-nya karena dokter, eh, doktor Ph.D yang cantik nan pintar ini.


2. Need Heroes?
Heroes: Oke deh, saya ngaku, saya nonton ini karena Claire Bennet (Hayden Patinierre). Dia cheerleader yang paling HOT dengan kemampuannya untuk menyembuhkan diri sendiri! Rasanya saya berdosa melihat gadis abege 18 tahun ini di TV dengan segala pikiran saya yang ehem, hehehe. Sori, :p

Selain Hayden, ada Ali Carter yang berperan sebagai Niki Sanders yang juga punya kekuatan super dan kepribadian ganda. Pepaduan yang pas buat saya. Selain cewek-ceweknya yang cantik, pemeran-pemeran cowoknya juga cakep. Heroes merupakan serial TV yang lagi “in” dengan promosi besar-besaran, berkisah tentang manusia-manusia dengan kekuatan super yang diburu pembunuh berantai dan berusaha menyelamatkan bumi dari ledakan nuklir.

Kata teman-teman kantor, kalo nggak nonton Heroes, elo nggak gaul, hehehe.... TransTV menanyangkan serial ini pada pukul 18.00, saya nggak tahu gimana ratingnya, karena serial ini mesti bersaing dengan sinetron stripping, tapi saya berharap, serial ini tetap ditayangkan untuk season-season selanjutnya.

3. Sexy Doctors



Grey's Anatomy:
Sebagai penonton setia ER dan Chicago Hope, saya menantikan serial yang satu ini. Ceritanya berpusat pada kehidupan Meredith Grey (Ellen Pompeo), putri ahli bedah terkenal, yang menjadi dokter magang di Seattle Grace Hospital. Di sana dia bersahabat dengan dokter-dokter magang lainnya Cristina Yang (Sandra Oh), Isobel "Izzie" Stevens (Katherine Heigl), dan George O'Malley (T.R Knight). Meredith, Cristina, dan Izzie adalah dokter-dokter muda yang seksi dan cantik dengan segala problematika hidup.



Serial Grey’s Anatomy yang juga serial favorit Bill Clinton, sempat menarik perhatian media karena salah satu pemeran dalam serial ini Isaiah Washington mengatai T.R Knight sebagai “faggot”. T.R. Knight sendiri yang memang gay yang sudah coming out. Walaupun sudah meminta maaf akibat pernyataan yang kasar tersebut, produser memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak Isaiah Washington untuk musim tayang keempat yang mulai tahun 2007 ini.

4. Suburban Wives

Desperate Housewives bisa dibilang masuk kategori opera sabun. Ceritanya yang ngalor-ngidul dengan hubungan cinta antara tokoh-tokohnya tetap menarik untuk dilihat. Bersetting di tempat fiktif Wisteria Lane, hidup perempuan-perempuan cantik bertetangga yang terhubung melalui kematian mengejutkan salah satu dari ibu rumah tangga yang juga tetangga mereka. Pada ibu rumah tangga cantik ini adalah: Susan (Teri Hatcher) (Lynette) Felicity Huffman, Bree (Marcia Cross), Gabrielle (Eva Longoria), dan Edie (Nicollette Sheridan).

Sejak pertama kali tayang tahun 2004, serial ini sering mendapat berbagai nominasi dan penghargaan Emmy dan Golden Globe. Ratusan juta penonton di seluruh dunia diperkirakan telah menonton tayangan yang sekarang masuk musim tayang keempat.

5. Funny Lady

30 Rock: Alasan saya menonton serial ini adalah Tina Fey. Saya sudah jatuh cinta pada Tina Fey sejak dia di SNL, eh, Saturday Night Live. Tina adalah wanita terlucu kedua di muka bumi ini, setelah Ellen Degeneres. Selain sebagai produser, Tina berperan sebagai Liz Lemon, pemeran utama serial ini. 30 Rock berkisah tentang kehidupan di jaringan TV NBC, dengan Liz Lemon sebagai penulis kepala serial sitkom. Karakter-karakter manusia yang unik, gila, dan kocak ada di serial ini. Alex Baldwin juga muncul sebagai Jack Donaghy, bos Liz yang licin. Ada satu episode yang kocak banget waktu Liz disangka lesbian oleh Jack dan diatur kencan buta dengan seorang perempuan lesbian sahabat bosnya itu. Pokoknya kacau banget deh.

Meskipun baru ditayangkan satu season, serial ini memenangkan Emmy Award 2007 sebagai serial komedi terbaik.

Oke deh, itulah beberapa serial di antara tontonan yang membuat saya betah berlama-lama mengolahragakan jemari dan mata saya di depan TV. Selamat menonton!

@Alex, Rahasia Bulan, 2007

Subscribe