Sebelum Trilogi The Matrix, film yang membawa nama Wachowski Bersaudara ke jajaran sutradara berbakat adalah Bound yang dirilis tahun 1996. Film debutan mereka ini dianggap sebagai salah satu film noir-thriller terbaik tahun 1990-an.

Kisah Bound berkisar tentang dua perempuan, Violet (Jennifer Tilly) dan Corky (Gina Gershon) yang berupaya mencuri uang 2 juta dolar milik mafia. Setting film terpusat di sebuah apartemen yang dihuni oleh Violet bersama kekasihnya Caesar (Joe Pantoliano) yang merupakan anggota mafia, sementara Corky adalah mantan napi yang bekerja sebagai tukang di apartemen sebelah Violet.

Bersama Corky, Violet membuat rencana untuk mencuri uang 2 juta dolar itu sambil melarikan diri dari Caesar. Saat membuat rencana itulah, kedua perempuan ini juga terlibat dalam hubungan asmara. Namun rencana yang mereka buat, makin lama makin berantakan sehingga Corky dan Violet harus bisa saling memercayai satu sama lain dan berimprovisasi untuk meloloskan diri.

Bound memiliki unsur ketegangan yang tinggi, dengan akting pemeran-pemerannya yang patut diacungi jempol. Walaupun hanya bersetting di apartemen, film berbujet "hanya" 4 juta dolar ini mengingatkan penonton bahwa tidak melulu efek khusus yang membuat sebuah film jadi seru dan menegangkan. Plot cerita dan karakter yang kuat membuat film ini jadi punya magnet untuk membuat penonton diam di kursinya sampai akhir, menanti adegan demi adegan hingga akhir film.

Film ini jadi menarik karena sebagai "film lesbian", Wachowski Bersaudara yang juga jadi penulis skenario film ini, tidak menekankan Bound pada kisah lesbiannya melainkan lebih berfokus pada jalan cerita dan karakter tokoh-tokohnya. Ini adalah film yang patut ditonton oleh penggemar film thriller, yang saking serunya membuat kita "lupa" bahwa dua tokoh utamanya adalah pasangan lesbian.

gambar: www.amazon.com

12:01 PM

5 Yang Paling Keren

Posted by Anonymous |

*Iseng mode on*:)
Saya mengumpulkan lima perempuan jagoan dan lima penjahat perempuan yang sejauh ini menurut saya paling keren di layar TV atau film. Dan inilah hasil nggak ada bos di kantor ...(urutan no.1 artinya yang paling keyen :p).

5 Tokoh Jagoan Cewek Paling Keren di Layar Kaca

5. Sydney Bristow (ALIAS)
Mau dia lagi menyamar dengan wig merah, wig pirang, kacamata, atau apalah, Jennifer Garner bisa membuat Sydney Bristow jadi tokoh mata-mata yang mahal senyum jadi amat sangat cool.

4. Ellen Ripley (Alien: film series)
Sigourney Weaver mengangkat jagoan perempuan pada level bahwa perempuan bisa jadi pemimpin dan jagoan di antara lelaki pada Alien pertama tahun 1979. Favorit saya adalah Aliens (Alien 2), ketika Ripley harus menyelamatkan planet dari serbuan alien yang sudah beranak-pinak.

3. Sarah Connor (Terminator II: Judgement Day)
Di film Terminator II Sarah Connor (Linda Hamilton) bertransformasi jadi perempuan tangguh yang ingin menyelamatkan anaknya dari kejaran Terminator yang dikirim dari masa depan. Adegan Sarah berkaus singlet menggenggam senapan untuk menyelamatkan John Connor dan dunia dari kiamat tidak pernah lepas dalam ingatan saya.

2. Buffy Summers (Buffy the Vampire Slayer)
Saya hampir menangis ketika serial Buffy harus habis masa tayangnya pada musim ketujuh. Hiks. Pemburu vampir yang satu ini emang luar biasa keren. Buffy adalah jagoan yang mampu memadupadankan fashion dan action. Jaket kulit dan sepatu bot yang keren abis setiap kali dia patroli di kuburan bikin mata jadi segar.

1. Xena (Xena the Warrior Princess)
Kayaknya saya nggak perlu memberi penjelasan panjang lebar deh tentang Xena. Dia adalah perempuan paling tangguh yang ada di layar televisi sepanjang tahun 1990-an. Belum lagi subtext hubungan lesbiannya dengan Gabrielle :p.


Juga tidak kalah keren: Nikita (Peta Wilson) dalam La Femme Nikita. The Bride (Uma Thurman) dalam Kill Bill. Catherine Willows (Marg Helgenberger) dalam CSI.


5 Tokoh Penjahat Cewek Paling Keren di Layar Kaca

5. Catherine Tramell (Basic Instinct)

Film ini membuat nama Sharon Stone mendunia. Catherine Tramell adalah penjahat manipulatif yang belum ada bandingannya sampai sekarang.

4. Irina Derevko (ALIAS)
Hihihi, ini sih guilty pleasure saya. Sejak dulu saya selalu suka pada Lena Olin. Maklum... tipe tante-tante, hehehe. Ibu Sydney Bristow ini adalah mantan anggota KGB yang sadis dan manipulatif. Saya selalu menunggu-nunggu kehadirannya dalam serial ini.

3. Yù Jiaolóng (Crouching Tiger Hidden Dragon)
Zhang-Ziyi yang memerankan peran ini begitu menyebalkan dalam film Crouching Tiger Hidden Dragon, hingga saya ingin menggamparnya bolak-balik.

2. O-Ren Ishii (Kill Bill)
Gayanya yang dingin setiap kali membunuh membuat penonton merinding. Fiuh... adegan tewasnya O-Ren Ishii di atas salju oleh The Bride adalah salah satu adegan kematian paling bagus dalam film.

1. Mystique (X-Men)
Ugh! Rebecca Romijn, eh, Mystique, uh, is so sexy! Mystique yang bernama asli Raven Darkholme bisa berubah bentuk jadi siapa saja dan hatinya benar-benar dingin, sebiru tubuhnya. Konon di dalam komik X-Men, Raven Darkholme alias Mystique adalah biseksual.

Juga tidak kalah keren: Willow (Allyson Hannigan) ketika dia jadi penyihir jahat dalam Buffy the Vampire Slayer. T-X (Kristanna Loken) dalam Terminator 3.

Silakan bagi-bagi komen tentang jagoan/penjahat favoritmu.

gambar: www.wikipedia.com

11:07 PM

Opini: Watch Your Step, How Far Can You Go?

Posted by Anonymous |

Bagian I
Suatu hari partner saya berkomentar ketika saya berdiri di depannya. “Kenapa sih kamu kalau berdiri mengangkang begitu? Apa itu ciri khas lesbi? Jadi inget si xxx, yang kalau jalan keliatan lesbi banget ya? Dia keliatan lesbi dari cara jalannya... sama kaya si xyz.”
Kontan saya ngakak dan balik bertanya, “Masa sih?”
“Iya, bener. Coba deh inget-inget.”

Maka saya pun berusaha mengingat-ngingat dan mencontohkan cara jalan sahabat-sahabat lesbian kami. Partner saya bilang, cara jalan saya tidak bergaya “lesbi”. Tapi cara berdirinya, iya. Waks, pikir saya, lebih parah lagi dong. Belum jalan aja, udah ketauan ;p.

Lalu partner saya menjelaskan lagi tentang cara berjalan “mengayun” ala lesbian. Dan dia menambahkan gerakan-gerakan seperti menyilangkan tangan di depan dada atau memasukkan tangan ke saku celana yang sering dilakukan lesbian.

Mulailah saya memerhatikan cara berjalan dan cara berdiri teman-teman lesbian saya. Ayunan langkah, bahasa tubuh, serta gerakan-gerakan tanpa sadar yang mereka lakukan. Makin lama saya memerhatikan teman-teman lesbian saya, saya jadi makin pusing. Hiks. Akhirnya saya menyerah dan bilang ke partner saya bahwa saya jadi seperti ibu saya yang sering berkomentar tentang perawan atau tidaknya seorang perempuan dilihat dari bentuk pantatnya.
...

Bagian II
Pada malam Natal, saya dan partner memutuskan untuk makan malam romantis di sebuah restoran yang terletak di gedung perkantoran pencakar langit. Ketika kami dipersilakan duduk di meja yang sudah disediakan—kami sudah memesan meja di dekat jendela, di mana kami bisa memandang langit Jakarta melalui jendela yang berkabut bekas rinai hujan sore harinya—pelayan kontan menarik dua kursi bersebelahan, bukannya menarik kursi yang berhadapan. Langkah saya terhenti sedetik. Buset, emangnya saya dan partner saya ketauan banget pasangan sampai-sampai si mbak pelayan menarik kursi bersebelahan sebagaimana yang biasa dilakukan terhadap pasangan lelaki dan perempuan.

Setelah duduk, saya memandang partner saya lalu kami tertawa berbarengan, ternyata kami berdua memikirkan hal yang sama. “Emangnya dia tau dari cara jalan kita ya?” tanya saya masih terpengaruh teori “jalan lesbi”. Partner saya tertawa. Dia bilang, “Say, sekarang malam Natal, candlelight dinner, nuansa restorannya romantis dengan lampu remang. Kalau ada dua perempuan makan malam di sini, pakai reservasi segala, emangnya dia nggak bisa mikir kalau satu tambah satu sama dengan dua?”
“Kan mungkin aja kita cuma teman yang mau makan malam bareng,” jawab saya keukeuh.
“Say, nggak usah sok lugu gitu deh.” Partner saya mulai sok ketus lalu kembali tertawa. “Apa kamu nggak liat yang berduaan makan di sini cuma pasangan?”
Saya langsung mengedarkan pandangan kemudian tertawa kecil. Partner saya benar, kalau tidak pasangan lelaki dan perempuan, tamu-tamu lainnya adalah rombongan keluarga.

Kami melanjutkan makan sambil ngobrol tentang “bagaimana jika”. “Bagaimana jika suatu hari kami memesan honeymoon suite lengkap dengan paket romantic candlelight dinner di Bali, misalnya?” Bakalan bikin bingung nggak sih? Yang mungkin bakal kami lakukan untuk perayaan anniversary kami nanti... :) Kami kembali tertawa-tawa, kemungkinan besar kami akan makan lagi di restoran yang menurut kami lesbian-friendly ini, karena para pelayannya tampak “terbiasa” dengan kehadiran pasangan sesama perempuan yang makan malam romantis sambil saling memandang penuh cinta.

Bagian III
Gara-gara acara makan malam itu, saya jadi berpikir, “Seberapa jauh keakraban sesama perempuan masih dinilai wajar?” Saya selalu merasa tingkat toleransi keakraban terhadap sesama perempuan jauuuuh lebih tinggi terhadap pasangan lelaki. Di tempat-tempat umum seperti di mal, kita sering melihat sesama perempuan bergandengan tangan, atau bahkan berpelukan tanpa merasa aneh atau menganggap mereka lesbian. Coba bayangkan dua lelaki yang bergandengan tangan... ugh, pasti dibilang gay, homo, atau banci atau apalah. Perempuan yang mengenakan kemeja, jins, rambut cepak paling-paling hanya dibilang tomboi, tidak langsung dicap lesbian atau banci, kan?

Duo RATU, Maia dan Mulan, misalnya. Kita terbiasa melihat mereka bernyanyi atau diwawancara media dengan tingkat keakraban yang tinggi, seperti bergandengan atau berpelukan, tapi kita tidak menganggap mereka pasangan lesbian, kan? Namun seberapa jauh keakraban itu masih bisa dikatakan wajar? Apakah cewek yang sering “main di kamar” sahabat ceweknya sampai nginep segala masih dianggap wajar? Atau teman perempuan yang akrabbbbb sekali sampai ke mana-mana pun berdua masih dianggap wajar? Atau apakah dua perempuan yang mandi bareng masih dianggap wajar?

Saya jadi ingat dulu ketika saya dan mantan saya tinggal bersama dan suatu hari ibu saya sidak ke kamar kami. Dia terpana menyaksikan ranjang singel yang kami tiduri berdua. Pertanyaan yang terucap dari mulutnya hanya, “Memangnya cukup ranjang sekecil ini buat tidur berdua?” *Waks... Gubrak!

8:21 PM

Film: Kissing Jessica Stein

Posted by Anonymous |

*Warning: Spoiler Alert*

Apa yang bakal terjadi jika dua perempuan yang sedang “mencari” bertemu di saat yang tepat? Mungkinkah suatu hubungan bisa terjalin antara seorang perempuan “straight” dengan perempuan “biseksual”? Itulah dasar pertanyaan yang melandasi film ini. Suatu hari Jessica (Jennifer Westfeldt) membalas iklan jodoh yang dipasang oleh Helen (Heather Juergensen) yang memang biseksual karena dia kebetulan menyukai puisi Rilke yang dikutip Helen dalam iklan jodoh itu. Kedua perempuan yang “mencari” ini kemudian bertemu dan tanpa dinyana hubungan mereka pun berlanjut makin intim.

Jessica dan Helen memiliki pendekatan berbeda dalam memandang seks. Helen adalah tipe perempuan “asal tubruk” dalam urusan seks tidak peduli lelaki atau perempuan selama bisa memuaskan hasratnya. Sementara Jessica tipe yang “biar lambat asal selamat” dan memilih untuk serius dulu dalam hubungan sebelum terjun ke ranjang. Keduanya saling beradaptasi terhadap perbedaan satu sama lain dalam dialog-dialog yang menyegarkan.

Helen yang menarik, cerdas, dan menyenangkan membuat Jessica terpesona. Jessica yang pada dasarnya straight menemukan apa yang dia cari dalam diri laki-laki pada diri Helen. Orang yang bisa diajak berdialog, mengerti dirinya, dan bisa jadi sahabat bukan sekadar kekasih. Berapa banyak sih lelaki yang mengerti kalau diajak ngobrol soal campuran warna lipstik? :p

Dan hubungan mereka jadi makin rumit (dan juga kocak) ketika keluarga Jessica mengetahui hubungan mereka berdua. (Tenang saja, tidak ada lesbian yang meratap dalam film ini---red). Adegan-adegan kocak, menyentuh, dan segar mengalir dalam hubungan keluarga Jessica yang menganggap Helen sebagai bagian dari keluarga mereka.

Endingnya meskipun tidak “happy ending”, tapi bukanlah ending yang buruk buat film ini. Jika pada akhirnya Jessica memilih laki-laki, itu tidak terjadi karena Jessica mendadak terbangun suatu hari dan bilang, “ups, kayaknya kita nggak bisa melanjutkan hubungan ini karena aku bukan lesbian.” Hehehe. Tapi karena Jessica memang lebih memandang Helen sebagai sahabat, bukan sebagai kekasih. Dan sebelum persahabatan mereka rusak, hubungan asmara yang jalan di tempat memang sebaiknya diakhiri.

Kedua pemeran utama, Jennifer Westfeld dan Heather Juergensen, adalah penulis skenario film ini. Chemistry antara mereka pas, meskipun dua-duanya heteroseksual dalam kehidupan nyata. Kissing Jessica Stein adalah film unik, karena ini menjadi film “lesbian” yang dilihat dari sudut lesbian, biseksual, dan straight melalui dialog-dialog cerdas yang bergulir antara tokoh-tokohnya.

1:55 PM

Buku: Fingersmith - Sarah Waters

Posted by Anonymous |


Sarah Waters adalah penulis historical (lesbian) fiction terbaik saat ini. Dua bukunya, Fingersmith dan The Night Watch masuk dalam daftar shorlist Man Booker Prize dan Orange Prize untuk tahun 2002 dan 2006. Dua penghargaan bergengsi untuk sastra dunia. Sarah Waters memang spesialis menulis novel-novel lesbian yang bersetting sejarah. Tema disertasi PhD-nya adalah gay and lesbian historical fiction yang kemudian menjadi dasar novel pertamanya Tipping the Velvet yang terbit pada tahun 1998.

Fingersmith bersetting di Inggris pada tahun 1800an. Novel ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama dimulai ketika gadis yatim piatu bernama Sue yang dibesarkan kelompok pencuri di London diminta untuk membantu lelaki yang dijuluki Gentleman untuk menipu harta seorang gadis lugu bernama Maud. Jadilah Sue menyamar menjadi pembantu pribadi Maud di daerah pedesaan. Di situ tugasnya memuluskan jalan Gentleman agar bisa menikahi Maud lalu menguasai harta gadis itu. Sama seperti Sue, Maud juga yatim piatu. Dia dibesarkan oleh pamannya dan harta yang dimiliki Maud baru bisa jatuh ke tangannya jika dia menikah.

Perlahan-lahan di antara Sue dan Mau terbentuk persahabatan yang melebihi persahabatan antara pembantu dan majikan. Dan Sue yang mulai jatuh cinta pada Maud makin lama jadi tidak enak hati mengingat sejak awal dia memang bertujuan menipu Maud. Namun cerita novel ini tidaklah sederhana karena pada akhir bagian pertama, pembaca disuguhi kejutan dahsyat. Pada bagian kedua, narasi pindah ke sudut pandang Maud. Dan baru ditutup lagi pada bagian ketiga oleh Sue.

Novel ini penuh dengan twist, yang bakal membuat pembaca terpelintir terseret masuk ke dalam plot novel. Saya tidak mau bercerita terlalu banyak tentang isi ceritanya karena bakal mengurangi kenikmatan membaca jika saya sudah membocorkan terlalu banyak di sini. Tapi dijamin Anda akan terpukau dengan kehebatan Sarah Waters dalam memesona Anda lewat tulisannya.

Buat Anda yang "malas" baca buku, mungkin bisa menggunakan jalan pintas dengan menonton filmnya yang sudah difilmkan oleh BBC. Filmnya juga tidak kalah seru dan termasuk film yang bisa memindahkan isi buku ke layar dengan baik, tapi kenikmatan membaca buku masih lebih tinggi dibanding menonton film yang berdurasi sekitar 3 jam ini.


10:08 PM

Opini: Kapan Seseorang Sadar dirinya Homoseksual?

Posted by Anonymous |

Sesudah membaca blog ini, seorang rekan sekantor saya bertanya “Sejak kapan atau kejadian apa yang membuat seseorang menyadari dirinya homoseksual? Tadinya saya sudah membuat penjelasan panjang lebar untuk saya muat di blog ini, tapi kemudian saya batalkan karena penjelasan itu entah bagaimana melebar ke kiri dan ke kanan. Saya baru sadar bahwa jawabannya sederhana. “Saya sadar bahwa saya lesbian ketika saya patah hati habis-habisan dengan sesama perempuan namun tetap tidak kapok untuk menjalin hubungan dengan sesama perempuan.”

Dalam setiap hubungan, hetero atau homoseksual, risiko disakiti oleh pasangan dalam bentuk apa pun selalu ada. Saya pernah merasakan patah hati yang luar biasa dengan sesama perempuan hingga hati saya hancur berkeping-keping dan butuh waktu lumayan lama bagi saya untuk mengumpulkan serpihan hati saya lalu mengelemnya kembali satu per satu hingga utuh seperti sediakala.

Kalau di novel atau film kan ada beberapa kisah tentang perempuan yang jadi lesbian setelah disakiti laki-laki atau karena dendam kesumat pada ayahnya atau figur “bapak” lain dalam keluarga seperti paman atau kakak laki-laki, atau alasan-alasan lain yang menyebalkan. Seakan kita “jadi lesbian” itu akibat trauma tertentu. Please deh!

Saya orang yang percaya bahwa kita (manusia) tidak memilih menjadi homoseksual atau heteroseksual sama seperti kita tidak bisa memilih untuk lahir dengan hidung mancung, bulu mata yang lentik, atau bibir ala Angelina Jolie, atau terlahir dengan bakat seperti Mozart atau Leonardo Da Vinci. Bahkan kita juga tidak bisa memilih siapa orangtua kita, karena kalau bisa saya ingin jadi anaknya Papi Hilton.

Oya, tiba-tiba saya baru ingat satu alasan konyol lagi. “Hati-hati, jangan terlalu akrab sama dia lho, dia kan lesbi, nanti elo ketularan.” Hahaha, nasihat itu ditujukan untuk saya sewaktu saya kuliah agar saya tidak berteman dengan dengan seorang sahabat saya yang butch abis. Antara geli dan kesal, saya balas menasihatinya bahwa lesbian itu tidak menular, tidak seperti flu atau TBC.

Saya punya banyak teman hetero yang entah bagaimana kok nggak ada satu pun yang “tertular” oleh saya padahal mereka berinteraksi dengan saya setiap hari. Bahkan mereka sering saya pinjami DVD film lesbian, yang kata seorang sahabat saya asyik ditonton bareng suami. Seorang sahabat karib saya pernah ciuman dan raba-rabaan dengan sesama perempuan sewaktu dia SMA dulu, tapi karena memang tidak ada “bakat” lesbian dalam dirinya, ya dia tetap straight sampai sekarang. Dan “kebajaan” straight-nya tidak bisa dibengkokkan oleh saya sekalipun :p.

Meskipun pernah patah hati, putus cinta dengan sesama perempuan, tapi saya tidak kapok menjalin hubungan dengan perempuan. Tapi tidak sekali pun terbersit dalam pikiran saya untuk mencari laki-laki untuk mengobati luka hati itu. Ini bukan karena saya membenci kaum lelaki atau tidak pernah menemukan lelaki yang baik lho, tapi masalahnya, saya menemukan kenyamanan dan keamanan yang saya cari dalam diri perempuan. Dan dalam setiap fantasi tentang kehidupan “berumah tangga” pun saya membayangkannya dengan sesama perempuan. Ya, sama seperti sahabat saya yang kebajaannya tidak bisa dibengkokkan, baja saja justru sudah bengkok membentuk clurit dan tak bisa diluruskan lagi.


1:26 PM

Buku: Dicintai Jo - Alberthiene Endah

Posted by Anonymous |

Alberthiene Endah mungkin salah satu dari antara novelis terbaik di Indonesia sekarang ini. Selain sebagai novelis, dia juga piawai menulis biografi, sebut saja KD, Venna Melinda, dan Chrisye, di antara orang-orang yang biografinya dia tulis. Gaya khas Alberthiene Endah alias AE dalam novel-novelnya adalah berlama-lama foreplay, alias berlama-lama di bagian depan/perkenalan cerita. Buat sebagian orang ini mungkin bisa dianggap kekurangannya, namun buat sebagian lain ini memang kekuatan menulis AE. Itu juga yang terjadi dalam Dicintai Jo. AE berlama-lama memperkenalkan Santi, sang tokoh utama dalam novel ini, hingga Jo baru muncul pada halaman 72 sementara pembaca sudah tidak sabar untuk “berkenalan” dengan Jo.

Santi, sebagaimana ditulis AE di bagian awal novel, adalah karakter berusia 27 tahun yang tidak percaya diri dan kuper meskipun dia bekerja sebagai wartawan di majalah perempuan ternama. Dia naksir lelaki kaya dan tampan bernama Erlangga, namun hanya berani memendam cintanya dalam hati. Kemudian dia bertemu Jo yang mentransformasi hidupnya hingga dia jadi perempuan yang percaya diri dan tangguh. Meskipun kelihatannya transformasi lewat pakaian-pakaian bagus dan dandanan mahal tampak “cetek” tapi buat sebagian orang ini romantis. Lihat saja film-film seperti Pretty Woman atau Maid in Manhattan tentang perempuan-perempuan yang bertransformasi jadi angsa setelah didandani pakaian mewah oleh sang lelaki pemilik modal. Bedanya, "lelaki" pemilik modal di novel ini adalah butch simpatik yang keren bernama Jo.

Bagi Santi, Jo adalah pilar penunjang hidupnya. Dia membutuhkan Jo untuk bisa tetap membuatnya nyaman sebagai perempuan yang percaya diri. Bersama Jo, Santi terseret masuk dalam satu kehidupan baru yang asing baginya, namun ia tidak cukup mencintai Jo untuk bisa memilih Jo dalam hidupnya.

Isu lesbianisme di novel ini tidak jadi basi dan garing dengan sang tokoh meratapi hidupnya sebagai lesbian, atau menolak cinta sang lesbi dengan alasan cinta terlarang, atau apalah alasan-alasan garink lain. Bagian yang paling saya suka adalah obrolan Santi dan Shinta, teman sekosnya, yang bercerita tentang kehidupannya sebagai lesbian (hal. 240-252). “...Lesbian bukan penyakit. Nggak ada kata sembuh. Lesbian hanya cara alamiah individu yang berbeda dari garis lazim, tapi itu bukan kesalahan. Nggak ada kata kembali sembuh...”

Dalam Dicintai Jo, AE juga menampilkan sosok lesbian yang bersahabat, sehat, dan tidak sinting, tidak seperti streotipe masih sering terjadi terutama di sinetron-sinetron tidak bermutu di TV. Secara garis besar, AE menulis Dicintai Jo dengan apik. Dicintai Jo adalah novel yang menyenangkan dan mengangkat isu lesbian (dan) gay dari kacamata realitas kehidupan yang terjadi di masyarakat perkotaan zaman sekarang.


5:45 PM

Kenapa Perempuan (Lesbian) Menikah?

Posted by Anonymous |

Apa saja sih alasan bagi perempuan untuk menikah? Banyak kemungkinan jawaban yang muncul. Karena cinta. Karena sudah sewajarnya perempuan dan lelaki menikah. Karena tujuan pacaran kan menikah. Karena sudah dijodohkan. Karena tidak mau tua sendirian. Karena tidak mau jadi perawan tua. Karena sudah kepalang hamil. Karena kepingin punya anak sebelum terlalu tua untuk hamil. Karena sudah malas mencari lelaki lain. Banyak lagi karena-karena lain yang bakal terlalu banyak untuk ditulis di sini.

Tapi berdasarkan apa yang terjadi di teman-teman saya, kebanyakan perempuan (lesbian) memutuskan menikah karena tidak tahan atas desakan orangtua. Mungkin 9 dari 10 lesbian yang menikah dengan laki2 melakukannya karena merasa terdesak. Terdesak cengkeraman kasih sayang dan/atau dorongan orangtua yang ingin putri tersayangnya cepat-cepat menikah.

Buat banyak lesbian, menikah adalah kesempatan untuk melepaskan diri dari orangtua. Melepaskan diri dari tekanan/ocehan/desakan dari orangtua yang bertanya-tanya kenapa dia tidak menikah/kapan akan menikah dst,dsb. Tapi apakah menikah dengan laki2 adalah solusinya? Mungkin jawabannya ya, untuk sebagian perempuan. Atau ini justru lolos dari mulut singa masuk ke mulut buaya?

Ada sahabat dan mantan saya yang kemudian memutuskan untuk menikah karena tidak tahan lagi didesak ocehan ibunya, dan “memungut” lelaki paling baik yang dekat dengannya untuk dinikahi. Apakah dia bahagia dengan keputusannya? Saya tidak tahu. Ada pula yang setelah menikah kemudian mempertanyakan kembali keputusannya sehingga mulai mempertimbangkan untuk bercerai. Ada pula yang kebetulan mendapat suami yang amat baik sehingga memutuskan belajar untuk mencintai suaminya itu. Ada pula yang punya pacar perempuan setelah menikah, dan menjalani kehidupan ganda. Banyak kemungkinan yang bisa terjadi di sini.

Ada beberapa yang mencari berbagai cara untuk bisa “meloloskan diri” dari desakan menikah ini. Salah satunya mungkin dengan mencari pekerjaan atau menuntut ilmu sejauh mungkin ke luar pulau agar bisa tinggal terpisah dari orangtua. Atau memutuskan untuk tinggal terpisah dari orangtua. Akan tetapi sebagian orangtua di Indonesia kebanyakan belum memercayakan anak perempuannya tinggal terpisah sebelum menikah. Namun cara-cara itu semua tidak menjamin kita bisa lolos dari desakan pernikahan ini, secara teknologi makin canggih gitu lho... Mami-papi zaman sekarang kan ngerti internet dan tahu bahwa komunikasi sekarang murah. Biarpun raga jauh, tapi suara atau e-mail tetap sampai juga dalam hitungan sepersekian detik :p.

Jujur, saya tidak punya solusi atas "persoalan" ini. Apa pun pilihan yang diambil, menikah karena menuruti keinginan orangtua atau mencari jalan untuk meloloskan diri dari pernikahan, semua itu kembali ke diri kita sendiri sebagai anak. Kadang-kadang bukan hanya orangtua yang otoriter kepada anak yang membuat anak perempuannya yang lesbian terpaksa menikah, tapi kadang-kadang ikatan kasih sayang orangtua juga membuat kita terbelenggu oleh kasih sayang itu sehingga mau tidak mau kita tidak akan melakukan tindakan yang bakalan “menyakiti atau mempermalukan” orangtua.

Bagaimana dengan saya? Saya bukannya tidak mau menikah. Saya mau menikah, tapi dengan perempuan. Kalau perlu, saya rela menunggu hal itu sampai bulan kehilangan pijakannya di langit Kenapa saya ingin menikah? Karena pernikahan membuat seseorang punya rumah untuk pulang.

9:50 AM

Persona: Jalan Berliku Melissa Etheridge

Posted by Anonymous |

Melissa Etheridge bernama lengkap Melissa Lou Etheridge lahir di Leavenworth, Kansas tanggal 29 Mei 1961. Karier musiknya sebagai penyanyi rock dimulai pada tahun 1988 setelah meluncurkan album pertamanya Melissa Etheridge yang memperoleh penghargaan Double Platinum.

Sepanjang kariernya Melissa Etheridge sudah memenangkan dua Grammy Award dan menghasilkan sembilan album, yang terakhir dirilis tahun 2005, The Greatest Hits: The Road Less Traveled, kumpulan lagu-lagu terbaiknya sejak 1988.

Melissa coming out pada tahun 1993 saat inagurasi Presiden Bill Clinton. Tadinya banyak yang mengkhawatirkan kariernya akan habis setelah itu, namun yang terjadi malah sebaliknya. Karena setelah itu album Yes I Am yang dirilis tahun 1993 bisa dibilang menjadi album tersukses Melissa Etheridge dan terjual 6 juta keping hanya di AS saja. Beberapa lagu dalam album ini menjadi hits, antara lain: I am the Only One, Yes, I am, dan Come to My Window.

Pada saat itu Melissa menjalin hubungan dengan Julie Cypher, mantan istri Lou Diamond Phillips. Pasangan Melissa dan Julie ini kemudian memiliki dua anak, Bailey Jean, 1997, dan Beckett, 1998, dengan donor sperma, David Crosby, yang merupakan sahabat baik Melissa. Namun pada tahun 2001, pasangan ini berpisah.

Pada tahun 2003, Melissa “mengikat janji” dengan Tammy Lynn Michaels, aktris yang bermain dalam serial TV remaja Popular, dalam commitment ceremony yang diadakan di California. Negara bagian ini memang belum mengakui pernikahan sesama jenis, tapi mengakui sejumlah hak pasangan sesama jenis yang sudah mendaftarkan “ikatan” mereka.

Namun kabar buruk menimpanya pada tahun 2004, karena Melissa didiagnosis kanker payudara sehingga harus menjalani kemoterapi dan lumpektomi. Dan masa-masa itu merupakan masa paling berat dalam hidupnya. Penampilannya dalam Grammy Awards tahun 2005, membawakan lagu lama Janis Joplin, Piece of My Heart, mengundang tepuk tangan riuh karena saat itu Melissa Etheridge dengan kepala botak plontos akibat kemoterapi tetap tidak kehilangan semangat dan kelincahan rockernya di atas panggung.

Dalam satu wawancara, Melissa mengatakan dukungan Tammy Lynn yang sangat besarlah yang membuatnya bisa bertahan melewati kanker dan kemoterapi yang bak neraka. Kini Melissa Etheridge sudah sembuh dari kanker dan pada tahun 2006 kebahagiaannya makin lengkap dengan kelahiran putra kembar dari Tammy Lynn Michaels dari donor sperma yang dirahasiakan pada bulan Oktober 2006. Saat ini, selain bernyanyi Melissa Etheridge menjadi aktivis untuk kanker payudara serta pendukung hak-hak asasi gay/lesbian.

sumber:
www.wikipedia.com, www.melissaetheridge.com, www.ivillage.com





Ayo, buat lesbian yang baca blog ini, angkat tangan kalau di antara kalian masih berteman baik dengan mantan kalian. Yap, yap, yap... Saya melihat banyak tangan teracung. (Termasuk saya :p)

Saya punya beberapa mantan (d’uh) dan saya masih menjalin hubungan akrab dengan beberapa dari beberapa mantan itu, yang kadang-kadang menimbulkan kecemburuan dari pasangan saya. Bukannya saya sengaja mau bikin partner saya cemburu atau apa dengan bersahabat dengan mantan, tapi keakraban saya dan mantan-mantan saya itu dilandasi rasa persahabatan yang tulus bukan karena masih belum melupakan cinta lama.

Kenapa ya fenomena ini terjadi di kalangan lesbian? Berbagai kemungkinan jawaban melintas dalam benak saya. Mungkin kita tetap menjalin hubungan baik dengan mantan karena susah cari sahabat sesama perempuan/lesbian yang sudah memahami diri kita apa adanya. Lagi pula, seperti kata seorang sahabat saya, "Pantang dong nyari musuh di zaman yang serba susah gini." Dan masih menjalin hubungan dengan mantan kan berarti kita bisa memperluas jejaring persahabatan antar sesama lesbian... halah, MLM banget sih?

Atau mungkin buat sebagian mantan masih ada yang berharap bisa balik lagi dengan pasangannya dulu, dan ciri-ciri mantan seperti ini biasanya rese, menyebalkan, dan mengganggu seperti nasi yang nempel di kaki... (Hayo, ada yg ngangguk-ngangguk setuju, kan? :p)

Atau MUNGKIN karena pola hubungan lesbian itu sendiri. Saat kita berkenalan atau copy darat pertama kali dengan sesama lesbian, yang pertama kali kita pikirkan adalah, “ini cewek kira-kira bisa gue pacarin nggak?” Jika sekiranya bisa, selanjutnya adalah pacaran, dan sebagaimana ciri khas suatu hubungan (straight atau homoseksual), kalau sekiranya perempuan itu tidak cocok atau apalah, hubungan tersebut putus. Dan hal positifnya... Kalau punya banyak pacar, ya mantannya juga banyak, dan artinya teman kita juga bakal banyak, kan? (d’uh)

Perempuan, sebagaimana yang sudah jadi rahasia umum, merupakan makhluk yang lebih peka perasaannya dan gemar curhat bahkan mereka yang lesbian sekalipun. Please, jangan bilang saya merendahkan kaum saya sendiri. Perusahaan tempat saya bekerja sudah melakukan survei pasar dan percayalah bahwa saya tidak salah dalam hal ini. Jadi dalam jalinan hubungan lesbian, selain ada ikatan fisik, terdapat ikatan emosional yang kuat antara dua perempuan yang peka perasaannya dan gemar curhat tadi. Saat hubungan buyar, kita tidak mau kehilangan tempat curhat dari seseorang yang pernah jadi tempat gantungan emosi kita. Jadi setelah putus hubungan asmara, kita tetap menjalin hubungan dengan mantan karena kita sudah merasakan satu kenyamanan yang tercipta dengan mantan tersebut dan kita tidak mau kehilangan kenyamanan itu.

Apakah hal ini berarti pasangan kita yang sekarang seharusnya waswas dan jadi waspada jika kita dekat dengan mantan kita? Saya rasa tidak. Seperti seorang sahabat saya yang memiliki partner yang masih menjalin hubungan baik dengan mantannya, dia bilang, “Kenapa mesti takut? Saya yakin saya yang terbaik untuk dia (partnernya, red), kalau tidak dia pasti masih bersama mantannya sekarang, bukan dengan saya.”

10:48 PM

5 buku +(1 cerpen) Favorit tahun 2006

Posted by Anonymous |

Sekali lagi ingin iseng membagi cerita, membagi kebahagiaan dari buku-buku bagus yang saya baca. Sekali lagi pula, tidak apa-apa kalo tidak setuju dengan saya, karena daftar ini benar-benar murni berdasarkan selera pribadi. Dan ya, saya memang penggemar buku fiksi, jadi maaf kalo tidak ada buku nonfiksinya.

Brokeback Mountain - E. Annie Proulx
“Hah? Annie Proulx kan bukunya susah?”, demikian kata atasan saya di kantor. Yang kemudian dijawab, “Nggak kok, Mbak. Ini buku Annie Proulx yang paling gampang.” Bener deh, ini bukunya yang paling gampang, coba aja baca The Shipping News atau kumpulan cerpen Close Range: Wyoming Stories, yang mana di dalamnya terdapat novela Brokeback Mountain ini. Awalnya saya tidak percaya buku setebal 79 halaman ini bisa dibuat menjadi film berdurasi 2 jam oleh Ang Lee, tapi ternyata saya mengerti perasaan dan visi seorang Ang Lee setelah membacanya. Sudah lebih dari 10 kali saya membaca buku ini, mulai dari bahasa Inggris, lalu terjemahannya, bolak-balik sampai hafal. Sampai menangis. Sampai tersayat hati. Namun di situlah kenikmatan membaca Brokeback Mountain (Gunung Brokeback), karena ini adalah jenis buku yang bisa dibaca berulang-ulang kapan pun suasana hati memanggil dan setiap kali pula kita akan menemukan nuansa baru saat membacanya.


Dimsum Terakhir - Clara Ng
Buku ini bercerita tentang 4 perempuan yang harus pulang ke rumah orangtuanya karena ayah mereka sakit keras. Ditulis dengan gaya bahasa “ala Clara Ng” yang diselipi humor di sana-sini, namun tidak kurang menyentuh perasaan kita. Buku ini jadi istimewa karena Clara Ng bisa menyentuh berbagai isu sensitif seperti isu keturunan Cina di Indonesia, agama, perempuan, orientasi seksual dalam satu buku apik ini. Mengutip blurb dari Putu Fajar Arcana, “Dimsum Terakhir melakukan gugatan tidak dengan maksud menjadi hero, tetapi menyalakan “lampu kuning” bahwa ada hal yang harus diperbaiki dalam perikehidupan kita.”


The Kite Runner – Khaled Hosseini
Pertama-tama izinkan saya memuji sampul buku ini, yang membuat saya langsung jatuh cinta pada buku ini. Kalau saya boleh main-main memberi nilai ala Amazon, buku ini akan saya beri nilai 4,5 bintang. Berkisah tentang. Amir, putra pengusaha kaya di Kabul, Afghanistan, dan persahabatannya dengan Hassan, putra pembantu Amir. Persahabatan antara dua anak beda derajat ini menjadi mengharukan dan tragis ketika Amir yang pengecut harus mengambil keputusan yang disesalinya seumur hidup. Buat saya, buku ini hanya “terpeleset” sedikit di bagian klimaksnya, sehingga jadi agak Hollywood, tapi buat saya ini masih jadi salah satu novel terbaik yang saya baca tahun ini.


Between Mom and Jo – Julie Anne Peters
Seperti Sarah Waters yang mengangkat topik lesbian dalam novel-novelnya, Julie Anne Peters juga sering mengangkat topik GLBT dalam novel-novelnya, terutama isu-isu GLBT dalam dunia remaja. Salah satu bukunya yang berjudul Luna, tentang remaja lelaki yang merasa dirinya perempuan sudah diterbitkan di Indonesia. Kini dalam Between Mom and Jo, Julie Anne Peters memberanikan diri untuk menyentuh isu orangtua. Sepasang orangtua lesbian yang memiliki putra remaja berusia 15 tahun sedang berada di ambang perpisahan, dan si anak yang tadinya bangga dengan dua ibunya, kini harus menghadapi “perceraian” dua ibunya. Buku ini mengingatkan kita tentang arti keluarga dan bagaimana cinta dan kasih sayang bertahan dalam diri kita.


Godfather – Mario Puzo
Wah, saya benar-benar telat membaca mahakarya Mario Puzo ini dan mari kita salahkan Gramedia yang baru menerbitkan terjemahannya tahun ini :p. Saya bukan penggemar fanatik filmnya dan tadinya saya menganggap bukunya “biasa-biasa saja”. Ketika saya mulai membaca, makin lama saya sadar mengapa banyak orang yang jadi penggemar fanatik Godfather. Tokoh-tokoh dalam buku ini, seperti Don Vito Corleone, Michael Corleone, dll, begitu hidup, begitu bernyawa sehingga saya terenggut masuk dalam kisah hidup sang Godfather. Dan buku fiksi ini dianggap sebagai buku panduan kejahatan terorganisir di Amerika Serikat meskipun Mario Puzo berkeras menyatakan bahwa kisah yang ditulisnya fiksi semata.


Cerpen Lelaki yang Menetas di Tubuhku (Kumpulan Cerpen Dunia di Kepala Alice) – Ucu Agustin

Entah kenapa satu cerpen ini terngiang dalam otak saya. Khusus satu cerpen berjudul Lelaki yang Menetas di Tubuhku dalam kumcernya Ucu Agustin ini yang tidak bisa saya usir jauh-jauh dari kepala saya. Cerpen yang berkisah tentang perempuan yang merasa dalam dirinya "menetas" laki-laki ini pernah dimuat di harian Jawa Pos, 13 Agustus 2005, dan baru saya baca pertama kali ketika sudah dimuat dalam kumpulan cerpen Dunia di Kepala Alice. Dalam kumcernya sendiri ada 11 cerpen yang berisi berbagai tema antara lain child abuse dan homoseksualitas. Metafora puitis dan sajian eksplorasi bentuk yang dilakukan Ucu Agustin dalam cerpen-cerpennya membuat saya terpukau. Dan sama seperti kata Ayu Utami, “Di antara para penulis muda, Ucu Agustin adalah salah satu favorit saya.”


Buku-buku lain yang juga layak dibaca: Night Watch – Sarah Waters, American Gods - Neil Gaiman, Fun Home - Alison Bechdel, Dicintai Jo - Alberthiene Endah

10:23 PM

Ketika Menjadi Ibu Menjadi Pilihan

Posted by Anonymous |

Ada peraturan baru yang tidak tertulis di perusahaan tempat saya bekerja. Dalam peraturan terdahulu, perusahaan menanggung “biaya” anak yang dimiliki oleh karyawan, baik itu karyawan pria atau perempuan. Biaya di sini maksudnya biaya pengobatan dan bantuan pendidikan sekadarnya. Dalam peraturan yang baru, secara tidak tertulis dinyatakan bahwa anak yang lahir dari ibu tunggal alias ibu yang memiliki anak tanpa suami yang sah kini ditanggung oleh perusahaan. *plok, plok, plok*

Sewaktu saya diangkat jadi karyawan tetap oleh perusahaan tempat saya bekerja beberapa tahun lalu, saya menanyakan kepada bagian SDM, “Mas, kalau saya ingin punya anak tapi saya tidak mau punya suami, apakah anak saya akan ditanggung perusahaan?” Waktu itu Si Mas bagian SDM terenyak, terdiam selama beberapa detik, berpikir keras, lalu menunduk membuka-buka buku peraturan perusahaan. Kemudian dia bilang, “Ini masih jadi wacana.... Tapi biasanya yang dianggap anak adalah anak yang hasil dari perkawinan yang sah antara suami dan istri.... blablabla.” Saya masih berkeras menyatakan bahwa anak yang lahir dari rahim saya dengan atau tanpa ayah yang sah adalah anak saya yang sah menurut hukum dan harus ditanggung oleh perusahaan, tapi saya mulai kasihan sama si Mas SDM karena dia mulai tampak bingung dan “menyesal” telah mengangkat saya menjadi karyawan, hahaha. Akhirnya saya biarkan topik itu tetap jadi wacana.

Bukannya saya niat jadi ibu tunggal dan ingin punya anak sendirian. Tidak juga. Namun, menurut saya ini adalah langkah perusahaan yang amat bijak mengingat semakin banyaknya perempuan yang memilih untuk tidak menikah meskipun mengetahui dirinya hamil. Buat saya pribadi, perempuan semacam itu adalah perempuan yang luar biasa, karena membesarkan anak adalah tugas tersulit bagi perempuan, mungkin lebih sulit dibanding melahirkan itu sendiri apalagi dilakukan tanpa bantuan sang ayah. Beberapa perempuan yang saya kenal dalam lingkup pekerjaan dan pertemanan adalah ibu tunggal, baik yang bercerai atau memilih untuk tidak menikah. Apa pun alasannya, tetap saya merasa salut pada mereka. Karena kalau saya ditanya apakah saya ingin hamil, melahirkan, dan punya anak, saya akan menjawab, “Tidak, terima kasih. Kucing saya saja sering lupa saya kasih makan.” :)

Kini menjadi ibu sudah menjadi pilihan bagi sejumlah perempuan. Polanya kini tidak lagi menikah (dengan laki-laki), hamil, lalu punya anak. Buat sebagian perempuan pernikahan kini tidak diperlukan lagi untuk menghasilkan anak. Perempuan-perempuan yang memutuskan untuk menjadi ibu tunggal jelas punya alasan sendiri untuk melakukannya. Sudah cukup sulit membesarkan anak di zaman sekarang apalagi sebagai ibu tunggal, tanpa perlu dipersulit dengan berbagai anggapan negatif tentang perempuan yang menjadi ibu tunggal.

Saya memiliki sahabat lesbian yang juga kebetulan ibu tunggal. Saya amat salut pada keberaniannya. Saya pribadi takkan punya gigi untuk melakukannya. Buat saya, menjadi ibu adalah tugas yang paling berat. Membahagiakan, ya. Tapi menjadi ibu adalah tugas yang berlangsung 24/7. Tidak ada pengurangan masa kerja, pensiun dini, kenaikan jabatan atau kenaian gaji. Saya lalu bertanya pada diri saya sendiri, seiring dengan jam biologis dalam diri saya yang berdetak makin cepat, apakah saya ingin meninggalkan jejak diri saya di dunia ini melalui anak yang saya lahirkan? Jujur, pernah ada satu-dua kali saya berpikir seperti itu, tapi mengingat kembali beban dan tanggung jawab mahabesar yang mengiringi “jabatan” sebagai Ibu, pikiran itu menghilang sebelum saya sempat mengedipkan mata.

Untungnya saya diberkahi dengan memiliki partner yang memiliki anak. Jadi saya bisa menjadi ibu secara instan tanpa perlu melalui proses melahirkan yang konon katanya menyakitkan seperti ketiban beton. Dan saya bisa terlibat langsung dalam hidup anak-anak “kami” itu bersama partner saya, sesuatu yang tadinya hanya bisa saya bayangkan. Saya tidak pernah tahu seperti apa sulitnya jadi ibu, dan well, kini saya terjun langsung ke dalam medan perang mendidik anak. Semua kesulitan dan kerepotan sebagai ibu yang sebelumnya cuma saya bayangkan benar-benar terjadi, ditambah 100 kali lipat. Kita seakan harus punya tangan seperti gurita, energi sekuat badak, kesigapan ala cheetah, dan kesabaran mahadewi. Namun, kesulitan 100 x lipat itu juga terbayar oleh kebahagiaan yang sama besarnya, hanya dengan senyum seorang anak yang berkata, “I love you, Tante Mami.”

12:05 AM

5+1 Film Favorit tahun 2006

Posted by Anonymous |

Akhir tahun sebentar lagi tiba. Iseng-iseng ingin posting film2 yang saya anggap okeh banget sepanjang tahun 2006. Memang sih tahun ini belum berakhir, tapi nggak apa-apa kan kalau saya sudah kasih bocoran mulai 1 Desember? :p
Oya, film-film ini disusun berdasarkan selera pribadi banget, jadi kalau ada yang nggak sependapat, ya tidak masalah.... Yuuuk!


James Bond – Casino Royale.

Jujur waktu tahu Pierce Brosnan diganti oleh Daniel Craig saya termasuk yang protes keras, tapi melihat penampilannya dalam Bond kali ini saya terpaksa menjilat ludah saya sendiri. Buat saya ini "The Best Bond of 21th century". Walaupun adegan mesra-mesranya dengan Eva Green rasanya agak terlalu manis, tapi nggak apa-apa deh, lumayan kita bisa lebih banyak melihat penampilan Eva Green yang seksi dan yahud.
Alasan lain untuk menontonnya: Eva Green (gak sabar deh mau nonton HDM: The Golden Compass dan Therese Raquin th 2007 nanti)

John Tucker Must Die
Oke, ini jiwa remaja saya lagi yang menjerit minta perhatian. John Tucker Must Die berkisah tentang pembalasan dendam 3 anak SMA yang dikadalin oleh John Tucker si cowok playboy di sekolah dan mereka bertekad membuat John Tucker kapok. Buat yang suka Mean Girls-nya Lindsay Lohan, ini a Must See Movie deh.
Alasan lain untuk menontonnya: Sophia Bush


Pirates of Caribbean 2 – Dead Man’s Chest
Well, ini termasuk film yang saya tunggu-tunggu sejak saya melihat Keira Knightley dengan gaun yang membuat buah dadanya tampak menyembul sedemikian rupa di Pirates of Caribbean 1. Oke, ini alasan yang amat tidak cerdas untuk menontonnya. :p Alasan lainnya adalah ini memang film yang seru dan kocak. Johnny Depp tampil luar biasa di sini dan jelas saya tidak sabar menunggu Pirrates of Carribean 3.
Alasan lain untuk menontonnya: Di mana lagi kita bisa melihat kapten bajak laut bergaya banci?

Brokeback Mountain
Kayaknya saya nggak perlu memberi penjelasan panjang-lebar tentang film kontroversial yang mengisahkan dua koboi jatuh cinta ini. Chemistry antara Jake dan Heath amat sempurna, nyaris membakar layar. Film yang menang Golden Globe 2006 ini dijagokan untuk menang Oscar namun terpaksa harus puas HANYA dengan kemenangan sang sutradara Ang Lee sebagai sutradara terbaik dalam Oscar tahun ini.
Alasan lain untuk menontonnya: Tidak perlu alasan lain! Harus nonton!


Kabhi Alvida Naa Kehna
Film India ini adalah film besutan salah satu sutradara favorit saya Karan Johar yang sukses berat membuat saya jatuh cinta (lagi) pada film India setelah Mas Karan ini membuat Kuch Kuch Hota Hai. Film ini berkisah tentang sepasang lelaki dan perempuan yang cintanya terhalang karena masing-masing sudah memiliki suami dan istri. Jadi maksudnya tentang selingkuh? Iya. Betul.
Alasan lain untuk menontonnya: SRK, Rani Mukerjhee, Preity Zinta


V For Vendetta
Saya sudah jatuh cinta pada Natalie Portman sejak dia jadi Queen Amidala di Star Wars. Dan saya jatuh cinta lagi padanya di film ini. IMHO, V for Vendetta merupakan film straight yang mengangkat isu homoseksualitas dengan amat bagus.
Alasan lain untuk menontonnya: Tadi saya sudah sebut Natalie Portman belum?




Film2 lain yang juga layak ditonton:
Berbagi Suami, X-Men 3: The Last Stand, The Devil Wears Prada

Makasih ya buat temen2 yang menyempatkan diri baca tulisan ngawur ini, hehehe.

Subscribe