Saya merasakan dorongan teramat kuat untuk coming out ketika saya berusia awal 20-an, ketika saya merasa teramat sendirian dan kesepian. Kehampaan yang bahkan tidak bisa diisi oleh sahabat-sahabat lesbian yang saya miliki saat itu. Saya merasa membawa beban berton-ton setiap kali bertemu dengan sahabat saya. Saya harus mengarang cerita yang bukan diri saya pada mereka. Pikiran untuk mengakhiri hidup beberapa kali mampir ke benak saya, namun saya terlalu pengecut untuk mati di tangan saya sendiri. Hingga suatu hari saya tidak tahan lagi...
Saya tahu saya harus menerima diri saya adalah lesbian. Menerimanya dengan lapang dada. Saya berdamai dengan diri saya sendiri dan memeluk kelesbianan saya seutuhnya. Tahu bahwa saya lesbian, dan tidak bertanya lagi. “Why me?”
Ya, saya lesbian, dan itu tidak membuat saya jadi lebih rendah atau lebih tinggi dibanding orang lain. Saya tidak mau berlama-lama berkubang dalam derita, kenapa-saya-lesbian. Yang harus saya pikirkan adalah bagaimana menjadi lesbian yang sehat. Saya bangga akan diri saya, bukan karena saya lesbian. Saya bangga karena saya adalah saya. Dan menurut saya ini adalah proses coming out pada diri sendiri adalah yang terpenting bagi kita.
Ada bagian dari diri saya yang butuh dikeluarkan dari ruang gelap, yang selama ini saya sembunyikan, rahasia-rahasia yang tidak ingin saya perlihatkan pada orang lain. Rahasia yang menggerogoti saya dari dalam, yang lama-kelamaan membuat saya sakit. Dan rasa sakit itulah yang membuat saya mengambil keputusan untuk coming out.
“Katakan bahwa kau lesbian pada sahabat (straight) yang kaupercaya,” demikian selalu saran saya kepada sahabat-sahabat lesbian yang merasa gelisah ingin bercerita tentang orientasi seksualnya. “Jika mereka bisa menerimamu, kau mendapat berkah. Jika mereka tidak bisa menerimamu, bersiaplah akan kehilangan seorang sahabat. Tidak perlulah coming out besar-besaran kepada orangtua atau semua orang yang kaukenal sekaligus dengan sekali gebrak.”
Coming out selain tidak bisa di-undo, ternyata seperti candu. Sekali kamu berhasil melakukannya dengan mulus, kau merasa sudah menaklukkan dunia. Muncul perasaan euforia untuk menyatakan diri terus-menerus bahwa kau lesbian. Saya nyaris kebablasan semasa kuliah. Saya tidak bisa berhenti. Coming out membuat rasa melayang. Kau ingin seluruh dunia tahu siapa dirimu. Kalau si A bisa menerima, si B seharusnya bisa. Ketika berhadapan dengan orang yang tidak bisa menerima, saya marah. Saya menganggap mereka berpikiran picik karena tidak bisa menerima status saya yang lesbian. Namun kemudian saya berpikir, itu bukan salah mereka. Itu bukan salah saya juga. Itu adalah haknya. Karena pengakuan semacam ini sesungguhnya bersifat subjektif. Kalau kita sendiri awalnya sulit menerima keadaan diri kita, kenapa pula kita harus memaksa orang lain secara instan menerima diri kita.
Kemudian saya mundur sejenak dan melihat jejak coming out yang saya tinggalkan. Gosip menyebar bak downline-downline MLM. Sahabat-sahabat yang tidak terlalu akrab dengan saya pun, mulai memandang saya sebagai si lesbi. Sekali lagi, itulah risiko yang harus saya terima. Saya tidak bisa marah karena gosip tentang saya yang lesbian tersebar luar. Lha wong, saya sendiri yang ngaku kok. Dan saya memutuskan untuk lebih menahan diri, menjaga keadaan agar tidak makin kebablasan seperti kebakaran hutan, karena saya tidak mau dikenal sebagai Alex si lesbi. Saya ingin dikenal karena prestasi dan kesuksesan saya, bukan sebagai si lesbi yang berisik.
Saya berpikir beberapa langkah ke depan ketika selanjutnya saya memutuskan untuk coming out. Saya mempertimbangkan baik-buruknya keputusan saya itu. Apakah kira-kira lingkungan tempat saya coming out akan bisa menerimanya? Apakah saya sanggup menerima reaksi terburuk sekalipun? Setelah pengakuan, biasanya akan muncul pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan yang terkadang bikin dahi mengernyit, pertanyaan yang terkadang membuat meringis. Dan bersiaplah menghadap segala hal yang tak terduga.
Jika kamu ingin coming out, lakukan dengan cerdas. Kenali dulu lingkunganmu, apakah kira-kira mereka akan menerimanya? Lakukan selangkah demi selangkah. Pikirkan setiap langkah yang kauambil. Jangan membabibuta. Jangan terbawa arus euforia oleh orang-orang sekelilingmu yang sudah out. Ambil napas dalam-dalam lalu pikirkanlah segala konsekuensinya dari berbagai sudut, baru kemudian ambil keputusan.
Coming out merupakan hal yang paling sulit bagi saya. Kadang-kadang coming out juga tidak berjalan sesuai dengan apa yang saya harapkan. Dan jangan lupa sekali keluar dari closet, kau tidak bisa masuk lagi. Tetapi, coming out adalah sesuatu yang sangat berharga dan menyehatkan bagi saya sebagai lesbian.
@Alex, RahasiaBulan, 2008
Gara-gara tulisan saya To Out or Not to Out, saya ditanya beberapa orang; apakah Anda menganjurkan para gay/lesbian untuk coming out? Sama sekali TIDAK. Saya tidak menganjurkan coming out secara membabibuta pada semua orang, hingga membuatmu tidak punya identitas lain selain si Polan yang lesbian. Keputusan untuk coming out harus dilakukan dengan pemikiran matang dan masak. Kenapa? Sekali kau coming out, kau memasuki jalan yang tak ada titik balik. Kau tidak bisa meng-undo-nya. Bahkan sampai sekarang pun saya harus menghadapi konsekuensi coming out saya setiap hari di kantor, tempat saya menghabiskan setengah dari 24 jam saya setiap hari.
Kebanyakan sahabat saya tahu bahwa saya lesbian. Namun saya tidak pernah coming out pada orangtua atau keluarga besar saya. Dan tidak ada niat sedikit pun untuk melakukannya. Ibu saya sudah berumur 74 tahun, pernah menderita kanker dan katarak, dan saya tidak akan membuatnya tewas akibat sakit jantung dengan coming out pada beliau. Jangan salah, kami punya hubungan yang sangat dekat dan bisa saling bercerita, tapi saya merasa beliau tidak perlu mengetahui siapa diri saya sebenarnya. Saya yakin ibu saya akan menerima saya apa adanya jika saya coming out. Orang-orang yang kenal dengan ibu saya pasti akan bilang begitu. Tapi saya tahu pengakuan saya pasti akan membuatnya sedih dan gagal sebagai ibu. Dan saya tidak mau menjadi anak durhaka dengan membuatnya merasa jadi orang gagal. Bullshit dengan segala cerita bahwa kita tidak ingin orangtua kita meninggal tanpa tahu tentang diri kita yang sebenarnya, seperti yang sering kita lihat di film.
Saya juga tidak terpikir untuk coming out kepada keponakan-keponakan saya yang hampir semuanya sudah dewasa, meskipun saya dan mereka bersahabat layaknya orang yang seumur karena perbedaan umur kami yang tidak jauh. Buat apa? Supaya tante mereka kelihatan cool, karena lesbian jadi tren masa kini? Atau biar rasanya gimana gitu punya tante lesbi? Atau malah membuat mereka shock dan sedih? Nggak perlulah semua pengumuman itu.
Coming out saya hanya sebatas pergaulan dengan sahabat-sahabat hetero saya baik teman SMA, kuliah, bahkan sampai di tempat kerja. Kenapa saya melakukannya, bisa dibaca pada tulisan sebelum ini. Di tempat kerja, saya termasuk beruntung bisa bekerja di lingkungan yang amat terbuka dan menerima “perbedaan” serta keunikan masing-masing pribadi.
Butuh waktu belasan tahun bagi saya untuk coming out pada sahabat-sahabat karib saya yang sudah mengenal saya sejak di sekolah. Butuh 4-5 tahun bagi saya untuk akhirnya coming out di kantor, meskipun tidak semua orang tahu, dan sebagian besar hanya gosip dan desas-desus dan saya juga tidak punya waktu untuk menanggapi dan bilang pada semua orang, "Yes, I am a lesbian." Butuh waktu bertahun-tahun bagi saya untuk menancapkan karier dan posisi saya dengan baik lebih dulu sebelum coming out karena saya tidak mau dikenal sebagai Alex yang lesbian. Saya tidak mau menjadikan lesbian sebagai status saya apalagi menempelkannya sebagai status pekerjaan.
Saya coming out di kantor setelah menimbang baik-buruknya. Bagaimana orientasi seksual saya akan memengaruhi identitas profesi saya. Bagaimana hal itu kadang-kadang jadi batu sandungan atau lebih seringnya jadi batu lompatan. Bagaimana kadang-kadang saya terbantukan karena punya jejaring persahabatan lesbian/gay yang bisa saya ajak kerja sama dalam bentuk simbiosis mutualisma dengan profesi dan perusahaan saya bekerja. Jika tidak, buat apa saya melakukannya? Memangnya saya sudah gila? Jika saya lihat kondisi perusahaan tempat saya bekerja tidak kondusif untuk pengakuan saya, tentu saya tidak akan melakukannya. Tapi tentu saya tidak akan petentengan ke sana kemari dengan mengaku lesbian di mana-mana atau bahkan masuk televisi, misalnya. Saya juga harus menjaga nama baik perusahaan tempat saya bekerja. Tidak mungkin dong jika habis coming out di media massa, besoknya saya menerima teror atau semacamnya hingga membuat satpam kantor ikut kelabakan atas aksi konyol saya seperti itu.
Coming out punya dua sisi. Kau bisa mendapat kelegaan luar biasa, atau kau bisa kehilangan banyak. Saya tidak keberatan mendapat banyak cemooh atau sindiran dari kolega bisnis atau rekan kerja atau sahabat-sahabat dekat akibat orientasi seksual saya. Saya tidak keberatan kehilangan beberapa teman yang menjauhi saya saat mereka tahu saya lesbian. Tapi saya tidak bisa jika saya harus kehilangan keluarga atau mendapat cemooh dari keluarga. Buat saya teman baru bisa dicari lagi, tapi keluarga adalah sesuatu yang tak tergantikan.
@Alex, RahasiaBulan, 2007
You can't undo something that's happened; you can't take back a word that's already been said out loud. ---Nineteen Minutes by Jodi Picoult
Salah seorang famili partner saya, sebut saja paman dari partner saya akhirnya ketauan gay oleh keluarganya. Saya belum pernah bertemu dengan sang paman, tapi partner saya bilang, sekali lihat pun dia tahu bahwa pamannya gay. Sang paman yang berusia lebih dari 40 tahun dan berpenampilan “sopan, manis, dan lemah lembut” baru ketahuan gay sekarang. Herannya tidak satu pun anggota keluarganya yang memerhatikan hal itu. Karena bukan ketahuan akibat coming out frontal yang dilakukan sang paman, keluarganya sendiri belum (mungkin takkan pernah) melakukan konfrontasi langsung dengan sang paman.
Kini setelah sang paman ketahuan gay, reaksi keluarga pun beragam. Ada yang masih berada dalam tahap pengingkaran, ada yang nggak tega untuk mempertanyakan lebih lanjut, ada yang tidak peduli, ada yang masa bodoh, ada yang menganggap ini sesuatu yang harus dirahasiakan, ada yang menganggap ini tabu. Dan entah reaksi apa lagi yang masih tersimpan dalam hati.
Mungkinkah sesungguhnya anggota keluarga yang lain sebenarnya sudah menyadari bahwa sang paman “beda”? Namun mereka memilih untuk merabunkan mata dari melihat perbedaan-perbedaan sang paman. Lebih baik hidup dalam tempurung “pura-pura tidak tahu” daripada dihajar kebenaran yang menyakitkan. Karena bagi banyak orang hetero, menuding anggota keluarga sendiri sebagai gay sama beratnya seperti si gay mengaku pada keluarganya bahwa dia gay.
Berbagai rasa, seperti keterkejutan, kebingungan, kesedihan, kesadaran menghantam mereka yang mendengar kabar bahwa orang terdekat mereka adalah gay/lesbian. Sahabat, saudara, anak, orangtua, atau kekasih mereka yang mendengar informasi tersebut butuh waktu untuk mencerna kabar yang mereka terima. Tidak mudah memang. Semoga bila saatnya tiba, mereka akan memandang orang terkasih mereka dari sudut pandang yang baru namun dengan kasih sayang yang sama.
Saya jadi ingat kata-kata Anne Rice--salah satu pengarang favorit saya--ketika mendapati putra tunggalnya, Christopher, ternyata gay. Anne Rice yang dekat dengan kaum gay serta sejumlah novelnya sesak dengan nuansa homoerotik, tetap saja sedih dan kaget ketika mengetahui putranya gay. Meskipun cintanya untuk sang putra tak kurang setetes pun setelah tahu, dia bilang “Saya menghabiskan sebagian besar hidup saya sebagai ibu untuk melindungi anak saya dari derita. Dan kini anak saya yang sudah dewasa memberitahu saya bahwa dia akan memilih jalan hidup yang jauh lebih menderita daripada jika dia menjalaninya sebagai orang heteroseksual.”
Sebagaimana yang diketahui oleh banyak orang, walaupun tidak oleh seantero dunia, sebagian besar sahabat saya tahu bahwa saya lesbian. Kebanyakan teman di kantor pun tahu bahwa saya lesbian, walaupun saya tidak mengumumkannya di papan pengumuman atau coming out di TV atau koran atau ke keluarga. Partner saya bilang saya begitu “out”nya sehingga kadang-kadang membuatnya jengah. Dari segi penampilan saya bukan tipe “bapak-bapak”, demikian teman-teman straight saya sering menyebut mereka yang “butch”, jadi banyak teman saya yang mempertanyakan keputusan saya untuk out, karena menurut mereka saya tipe lesbian yang bisa “menyamar” di antara manusia hetero.
Well, buat saya coming out bukanlah masalah pilihan. Bagi saya coming out adalah suatu keharusan. Karena saya ingat betapa menderitanya ketika saya masih in-the-closet. Saya merasa lebih berdosa bila harus berpura-pura atau berbohong kepada sahabat-sahabat baik saya yang sudah mendampingi saya sejak masa pra-pubertas. Sebelum saya out, saya nyaris tidak bisa memandang mata lawan bicara saya ketika berbicara karena ketakutan yang menghantui saya karena saya takut orang yang saya ajak bicara bisa mengetahui rahasia terdalam yang saya simpan jauh-jauh di dasar otak dan hati saya.
Coming out bukanlah cara saya mencari sensasi. “Secara biar beda gitu looh,” demikan istilah ABG zaman sekarang. Saya tidak bermaksud beda. Coming out buat saya adalah cara untuk menyelamatkan diri saya sendiri dari kebutaan, dari kegelapan yang saya rasakan ketika saya bersembunyi di dalam lemari gelap sementara di luar lemari sana ada dunia yang benderang. Dunia yang memanggil-manggil saya dengan suaranya yang ramah namun saya abaikan, karena saya terlalu takut untuk membuka lemari dan keluar dari dunia sempit yang gelap dan menyesakkan.
Hingga sampai satu titik ketika saya memutuskan untuk tidak lagi hidup dalam kegelapan seperti itu karena saya tidak sanggup lagi menanggung keletihan yang saya rasakan karena mencemaskan pendapat orang tentang diri saya. Dan saya amat bersyukur memiliki banyak sahabat sejati yang begitu suportif ketika saya coming out terhadap mereka, walaupun saya juga sedih karena kehilangan beberapa sahabat saya karena ini.
Coming out tidak berarti tanpa risiko. Saya tidak perlu bercerita berapa kali saya diajak ke tempat keagamaan oleh seorang teman untuk “disembuhkan”, atau ditanyai pertanyaan-pertanyan melecehkan yang bikin kuping panas atau dipandang dengan tatapan hina saat saya bersama pasangan saya menghadiri acara publik, atau yang lebih bikin saya sakit hati ada teman perempuan yang enggan menginap sekamar dengan saya seolah2 saya akan memerkosa mereka pada saat mereka tidur. Atau ada teman lelaki yang mengajak saya tidur supaya saya “sembuh”. Dll, dst. Tapi buat saya, semua itu cuma efek samping seperti kita jadi mengantuk setelah minum obat batuk. Saya berusaha tidak memasukkan semuanya ke hati karena kalau semua sampah itu harus masuk, hati yang seluas samudra pun takkan muat menampungnya.
Jika saya bisa memilih, saya takkan mau jadi homoseksual di dunia heteroseksual. Tapi saya bisa memilih untuk out atau tidak out. Coming out buat saya adalah terapi. Terapi yang perlahan-lahan membuat hidup saya lebih bahagia, lebih jelas, lebih terfokus. Ibarat kupu-kupu, coming out membuat saya bermetamorfosis menjadi orang yang lebih sehat.
Pay It Forward
Kecapi koleksi sederhana tentang retrospeksi hidup, kronik harian, atau apresiasi hiburan direkat dalam mozaik sketsa lesbian.
Selamat datang. Aku si bulan itu. Dan ini rahasiaku.
Alex Lagi Ngapain Ya?
Jejaring SepociKopi
-
Club Camilan13 years ago
-
Topik: Sisterhood Unlimited!14 years ago
-
Surga Kepulauan Raja Ampat14 years ago
-
Kian Damai16 years ago
-
-