Oke, deh, kesibukan saya memang membuat saya jadi susah menulis di blog ini. Beneran, saya nggak ngeles, kok. Kerjaan kantor buat perhatian saya tersedot ke sana. Hehehe, sok orang penting Alex ini. Sekarang saya cerita tentang jalan-jalan ke mal aja secara saya dan Lakhsmi selalu rekreasi ke mal setiap ada kesempatan. Enggak heran kalau anak-anak kami mendapat titel sebagai "Miss Mal" karena kebutuhan yang tinggi bepergian di mal.
Minggu kemarin kami pergi ke mal di daerah utara Jakarta. Sebelum tiba, selama perjalanan anak-anak sudah ribut membicarakan yogurt. Apa? Iya, iya, yogurt. Kedua-duanya lagi tergila-gila yogurt rasa stroberi dengan toping cokelat, wafer, dan yang manis-manis lainnya. Saya hanya mengangguk-angguk sambil nyengir menyetujui rencana anak-anak makan yogurt setelah makan siang. Sementara Lakhsmi sibuk menyetir dan rajin menasehati agar bungsu dan sulung menghabiskan makan siang mereka.
Setelah makan siang selesai, saatnya ke gerai yogurt. Perut masih gendut karena makanan belum turun sepenuhnya, tapi siapa yang bisa menolak semangat anak-anak terhadap yogurt? Maka setelah berdiskusi bolak-balik, kami memutuskan pergi ke gerai Tutti Frutti. “Murah dan toppingnya bisa banyak,” kata Lakhsmi simpel, mengunci mati argumentasi sulung yang pengin pergi ke Sour Sally.
Dengan sigap Bungsu menyambar mangkuk dan ngotot nggak mau membagi yogurtnya dengan siapa-siapa. Saya terpaksa membuang yogurt rasa lychee ke mangkuk Lakhsmi karena Bungsu pengin mangkuknya hanya ras stroberi. Saya lihat mangkuk Lakhsmi udah penuh dengan yogurt rasa macam-macam, stroberi (kesukaan Sulung), blackcurrant (kesukaan Lakhsmi), dan lychee (kesukaan saya). Sementara khusus Bungsu, mangkuknya hanya rasa yang dia suka aja (stroberi).
Setelah mengisi topping, saatnya mengantri untuk bayar. Timbang, timbang, kira-kira berapa ya berat yogurt ini? Sesaat setelah membayar, kecelakaan terjadi. Sulung dengan semangat mengambil mangkuk bungsu yang lagi ditimbang, sedikit terpeleset tangannya, miring ke kiri, dan... uh oh! Untung Lakhsmi sigap menyambar sebelum mangkuk yogurt itu terjatuh ke lantai. Beberapa topping jatuh berhamburan ke lantai.
Bungsu memandang kejadian itu dengan tatapan kesal. Uh oh lagi. Dia mulai menjerit sama kakaknya. Uh oh. Dia mulai memaksa minta nambah topping karena topping-nya jatuh ke lantai. Mana mungkin dong, karena yang sudah dibayar itulah yang ditimbang. Segala pengertian tidak dapat membuatnya mengerti karena dia mulai ngambek tak alang kepalang. Lakhsmi mencoba segala cara, tapi gagal. Ya, kedengarannya sepele kalau diceritakan sekarang, tapi percayalah waktu kejadian itu terjadi, ketegangan itu nggak ada bedanya dengan ketegangan pembalap FI dalam putaran akhir menuju garis finis. Dengan menahan emosi, Lakhsmi menarik Bungsu keluar dari gerai Tutti Fruiti agar kami tidak menjadi pemandangan gratis orang-orang yang hilir-mudik di sana dengan lampu sorot yang menyinar terang ke kami.
Bungsu nggak suka diomelin Lakhsmi, dia mulai mencari-cari saya. Biasa deh, saya selalu tempat tong sampah kalau anak-anak lagi korslet dengan ibunya. Bungsu mulai mengais-ngais kaki saya, minta digendong. Tangannya tinggi terulur minta dikasihani. Matanya berkaca-kaca penuh air mata dan mulutnya berteriak frustrasi, “Tante Mami gendong! Gendong! Pokoknya gendong! Tante Mamiiiii!”
“Iya, iyaaa, Sayang. Iyaaa!” Tak tegalah saya, maka saya menggendong dia. Waktu saya menoleh ke arah Lakhsmi, dia lagi ketawa gila-gilaan. Ada apa gerangan? Oh, kata Lakhsmi, saya udah mirip ibu-ibu dalam tokoh Desperate Housewives. Tangan kanan menggendong balita, dengan tiga tentengan belanjaan, sementara tangan kiri memegang mangkuk yogurt. Saya sudah menjadi aktrobat sirkus waktu Bungsu meminta dengan manis, “Suapin yogurt nya dong, Tante Mami. Gendongnya yang enak, aku merosot nih!” Sambil ngakak terus-menerus, Lakhsmi mengambil beberapa barang belanjaan di tangan saya sehingga saya bisa lebih bebas menggendong Bungsu sambil berjalan menuju mobil dan menyuapkan yogurt pada saat bersamaan.
Hebat kan? Punya anak memang luar biasa!
@Alex, Rahasiabulan, 2009
“Tante mami, aku dong punya pe-er,” kata si bungsu sambil memamerkan lembaran pe-ernya.
“Sini, Tante bantuin,” kata saya.
Si bungsu mengeluarkan pensil dan krayon, serta penghapus. Ia bersiap-siap dengan manisnya.
Lembar pertama dikeluarkan dan ternyata pe-ernya adalah “menggambar” angka lima. Ya, dia bilang dia menggambar angka, bukan menulis. Yang dia lakukan sebenarnya cuma mengikuti garis titik-titik yang membentuk angka lima.
Dia girang bukan kepalang bisa menulis, eh, menggambar angka lima itu sampai tidak mau saya bantu bahkan untuk menghapus coretan yang salah. Jadi tugas saya dalam membantunya membuat pe-er adalah hanya melihatnya. Ketika akhirnya pe-er angka lima itu selesai, kami pun melakukan kegiatan favorit kami berdua. Nonton TV! Yay, Disney Channel here we come!
Keesokan harinya, si bungsu sudah mengibar-ngibarkan lembaran pe-ernya ketika saya pulang. “Dia nungguin kamu tuh buat bikin pe-er,” kata Lakhsmi.
Pe-ernya kali ini adalah “menggambar” huruf “T”. “T for Tiger,” kata si bungsu.
“Ya, T for Tiger,” jawab saya.
Dan sama seperti kemarin, si bungsu juga hanya menjadikan saya sebagai pelengkap. Dia tidak mengizinkan saya membantunya sama sekali. Seakan-akan dia cuma pamer ke saya bahwa dia punya pe-er, seperti kakaknya, dan menunjukkan bahwa dia sudah besar. Karena hanya anak-anak besar saja yang punya pe-er. Lalu bedanya dengan kemarin, malam itu kami nonton Nickelodeon.
Tiba-tiba ketika sedang menonton SpongeBob, si bungsu turun dari sofa dan mengambil lembaran kertas lain dari antara mapnya. “Tante Mami, lihat!”
“Waaaaw,” saya berseru. “Gambar siapa nih?”
Si bungsu memperlihatkan gambar Princess yang sudah diwarnai.
“Ini Cinderella, masa Tante nggak tau?”
Saya hanya nyengir lebar. “Bagusnyaaaa...,” kata saya.
Si bungsu ngacir lagi ke tempat duduknya bersama si sulung. Duduk di sofa bersama menonton acara TV.
“Itu buat Tante Mami,” kata si bungsu. “Ambil aja, biar tau Cinderella.”
Lakhsmi yang kebetulan berada di meja makan hanya mengulum senyum ketika saya memandanginya sambil tak bisa menahan cengiran. Kata siapa anak balita nggak lebih pintar daripada orang dewasa? Buktinya dia bisa menulis eh menggambar angka lima dan huruf "T" sendiri, sementara saya saja tidak tahu yang mana Cinderella.
@Alex, RahasiaBulan, 2009
Ada bahasa yang tidak bisa diucapkan dalam kata-kata. Bahasa tubuh, salah satunya. Atau bahasa yang terpendam di dalam hati, membuatnya bersesakan dan menjadi melodramatis. Dia mengubah hati menjadi wujud yang tidak bisa lagi kupahami. Tidak ada kata-kata yang dapat kuandalkan untuk mewakili bahasa itu.
Ini hari Minggu, harinya bersama anak-anak menuju mal. Aku sudah melihat senyum Alex ketika bermain bersama Bungsu pada pagi hari. “Tante Mami, aku mau minum” kata Bungsu merengek. “Kemarin aku berenang sampai ke ujung, Tante Mami!” kata Sulung bangga. Aku senang dengan senyum itu; senyum familiar yang ada dalam setiap hari-hariku. Senyum yang terasa nyata dan membuat jam-jam yang kumiliki terasa masuk akal. Senyum yang menopang kewarasanku.
Seperti biasa, anak-anak rebutan siapa yang duluan keluar dari pintu rumah dan jantung kami serasa berhenti berdenyut melihat dua anak berusaha memuatkan dua tubuh mereka di celah pintu yang terbuka baru setengah. Kami menjerit tidak sadar. Inilah parahnya memiliki dua mami, karena dua-duanya cenderung menjadi cerewet. Suara feminim yang khas memenuhi udara sampai-sampai aku terkadang tidak tahan. “Say, kayaknya harus ada yang bersikap seperti para ayah deh, bersikap seperti bapak-bapak kebanyakan.” Kami berdua tertawa karena sama-sama menyadari kami sulit bersikap seperti “bapak-bapak” dalam satu keluarga.
Isu dua mami ini seringkali mencemaskanku. Misalnya, Bungsu sudah sangat terbiasa mendengar suara perempuan dan disentuh oleh perempuan daripada lelaki, sehingga kalau berhadapan dengan lelaki dewasa, dia selalu menjerit protes dan tidak pernah mau berdekat-dekatan. Sepertinya ada yang salah dengan kehadiran lelaki di dunia Bungsu. Memang beruntunglah kanak-kanak yang memiliki dua mami karena mereka mendapatkan cinta double ibu, tapi bagaimana dengan kecemasan khas ibu yang berlebihan? Satu saja sudah parah, bagaimana dua? Hahaha. Itulah mengapa saya sering kali menyuruh Alex untuk lebih tenang, jangan ikut-ikutan histeris kalau aku sedang panik berat khas emak-emak. Kasihan juga anak-anak yang hanya bisa bengong melihat dua maminya freaking out.
Akhirnya aku menyetir dengan Sulung berada di sebelah kiriku dan Bungsu di belakang bersama Alex. Kami menuju Senayan City. Sulung yang sudah besar di-drop di Lollypop, tempat permainan “anak-anak gede” (istilah Bungsu). Kami bertiga pergi ke toko buku dan Time Zone. Bersama Bungsu, kami bermain basket, lempar bola, ketokin buaya, dan naik mobil-mobilan.
Saatnya makan siang, dan Bungsu mogok makan karena tidak mau makan tanpa kehadiran kakaknya yang masih asyik bermain di Lollypop. Butuh waktu sesaat untuk membujuknya, apalagi dia tidak mau bergeser dari gerai es krim. Setelah bolak-balik janji ini-itu kepadanya, akhirnya Bungsu memilih HANYA MAU makan bakmi. Bakmi selalu menjadi urusan yang menggelikan, sebab anak ini doyan sekali bakmi. Dia selalu mengingatkanku ketika aku hamil dan ngidam berat bakmi selama berbulan-bulan.
Alex dan Bungsu duduk berdua, makan bakmi dengan asyik. Saling menyuapkan bakmi dengan sumpit dan tertawa-tawa. Aku menatap mereka dengan takjub, rasa kebahagiaan berjingkat-jingkat memenuhi hatiku sampai-sampai aku tidak sanggup berkata apa-apa. Alex menoleh, menangkap mataku yang sedang memandangnya. Kami bertatapan membiarkan bara itu menyala dengan percikan keras.
Matamu menguntitku ke mana aku melangkah bahkan sampai ke jurang samudra terdalam. Tanganmu merentang memegang rahasiaku yang tercatat pada helai hati. Ingatlah malam berabad-abad yang kita miliki, sewaktu mimpi kita mengejar bintang atau kelaparan yang kita takutkan. Aku lebih suka bersamamu menyisiri gang-gang kosong penuh darah dan lumpur. Sayang, aku selalu membiarkanku tersesat untuk menemukanmu kembali. Sebab katamu, aku adalah yang beruntung menjadi sahabat terbaikmu yang kau jatuh cintai habis-habisan.
Di mobil, anak-anak kembali ribut nggak jelas. Dalam badai keriuhan itu, aku melirik ke kaca spion dan kembali menemukan mata Alex di sana sedang menatapku. Seperti kataku tadi, ada bahasa yang tidak dapat diucapkan dalam kata-kata. Ada kata-kata yang tak dapat dijadikan bahasa, karena kata-kata itu sebenarnya sebentuk ciuman yang kehilangan bibirnya. Aku mengangkat daguku agar bisa melihatnya dengan lebih jelas. Melalui cermin, kubalas tatapan Alex. Dalam keriuhan, kami berciuman.
@Lakhsmi, RahasiaBulan, 2009
“Mommy, aku lapar.”
“Ya, tunggu sebentar ya, bentar lagi kita makan.”
Bersama si bungsu, kami sedang dalam perjalanan singkat dari luar kota yang jaraknya cuma 1-1,5 jam. Rencananya kami memang akan mencari restoran baru, tempat kami akan melakukan sedikit wisata kuliner.
Well, ternyata wrong idea membawa anak balita wisata kuliner.
Sebenarnya bukan salah si bungsu karena dia lapar, dan dua orang dewasa yang mengaku sebagai mommy-nya tidak cukup cerdas untuk membawakannya camilan. Sudah tahu perjalanannya jauh, mestinya kami menyiapkan apalah untuk dimakan.
Ditambah lagi jalanan yang malam itu ternyata macet, makinlah kami jadi gelisah. Makan malam yang seharusnya dimulai pukul enam sore tampaknya bakal bergeser setengah jam ke kanan, malah mungkin lebih.
“Akuuuu lapaaaaar.” Kali ini pernyataan lapar itu disenandungkan si bungsu.
“Ya, ya, sabar ya, Nak.”
"Lapar, Mommy."
Jeda.
"Mom, aku lapar."
Pak sopir kami juga jadi keliatan gelisah setiap kali si bungsu menyebut kata, “lapar” dalam berbagai versinya setiap lima menit sekali.
Tapi kata keramat itu tidak terucap dan kami diselamatkan sejenak oleh Kuburan. Iya, kuburan. Bukan kuburan beneran, tapi grup musik itu. TV di dalam mobil menampilkan video klip Kuburan, Lupa-Lupa Ingat. Mendengar intronya, si bungsu langsung bilang, “Aku suka lagu ini, Mommy.”
Dan jadilah dia ikut bernyanyi, “Lupa... Lupa, lupa, lupa. Lupa lagi syairnya.”
“Ingat... ingat, ingat, ingat... Ingat lagi kuncinya.”
Selama sekian menit lagu itu tampil, kami bernapas lega karena si bungu teralih perhatiannya. Malah kami sempat tertawa-tawa riang.
Ah, tapi kami salah. Kelegaan itu cuma semu.
Tidak sampai tiga menit setelah lagu itu habis, si bungsu mulai lagi dengan pernyataannya. “Mommmyyyyy, akuuuuu lapaaaaar...”
Saya dan Lakhsmi hanya bisa saling menghela napas mendengarnya. Belum sempat kami menjawabnya, kami tertawa ngakak ketika si bungsu bernyanyi, “Lapar... lapar, lapar, lapar...” dalam nada lagu Lupa-Lupa Ingat.
@Alex, RahasiaBulan, 2009
Si bungsu sakit. Dia demam. Tubuhnya begitu lemah dan hanya mau nempel dengan Lakhsmi. Buru-buru saya mengambil termometer. Panasnya 39,5 derajat Celsius. Kami berdua dilanda kepanikan.
“Say, ambil kompres.” Lakhsmi memberi perintah.
Saya menyiapkan kompres sementara si bungsu berada dalam pelukannya. Mungkin karena sakit dan nggak nyaman, si bungsu menolak dikompres. Dia mendorong kain kompres menjauh lalu mulai menangis.
“Duh, gimana nih, Say?” Saya panik, biasa emak-emak mode on.
Lakhsmi masih berusaha mengompres si bungsu yang mengelak kain basah ditempelkan di tubuhnya.
“Gimana nih, Say?” emak-emak mode on makin menjadi-jadi.
Mendadak Lakhsmi menemukan ide brilian abad ini, “Kita bubble bath yuk,” katanya pada si bungsu. Anak yang panas tinggi bisa diturunkan suhunya dengan direndam ke dalam air hangat.
“Nggak mau!” katanya sambil menggeleng keras.
“Yuk, bubble bath di bathtub,” kata saya menambahkan. “Kita berenang.”
Anak itu, masih dengan tatapan sayu, menggeleng penuh semangat.
Lakhsmi menggendong paksa anak itu dan membawanya ke bathtub walaupun dia meronta-ronta. Saya menelanjanginya sementara Lakhsmi mengisi air hangat di bathtub lalu menuangkan sabun ke dalamnya.
Awalnya si bungsu masih protes, tapi melihat busa sabun yang meriah dia malah mulai tertawa-tawa. Justru makin lama dia malah nggak mau keluar dari bathtub. Dasar anak-anak. Besoknya dia bilang begini, "Tante mami, aku mau sakit aja. Biar bisa bubble bath lagi."
@Alex, RahasiaBulan, 2009
PS: Si bungsu sudah sembuh sekarang, thanks atas perhatiannya.
Ketika membongkar-bongkar foto lama, saya menemukan foto saya masih balita. Yah, kira-kira foto saya seumuran si bungsu sekarang. Ketika melihatnya, saya terkejut... kok saya mirip si bungsu ya? Ah, saya menepis pemikiran itu. Maklum deh, mami-mami memang sering berpikir seperti itu. Sok bangga dengan kemiripan dengan anaknya.
Lalu saya memperlihatkan foto itu ke Lakhsmi. “Say, lihat deh fotoku...”
Lakhsmi membelalak, “Hah, kok mirip banget sama si bungsu?”
“Beneran?”
“Iya...”
Ah, saya juga nggak percaya sama Lakhsmi, pasti ini salah satu asbunnya... :p
Saat itu pembantu kami lewat, dan saya memperlihatkan foto kecil saya padanya. “Aduh, dari tadi saya kirain ini fotonya si bungsu lho, Non. Mirip banget.”
Mendengar itu, Lakhsmi memandang saya dengan tatapan, gue-bilang-juga-apa-nggak-percaya-sih.
“Heran deh, si bungsu kok bisa mirip kita ya, beib?”
Lakhsmi mengangkat bahu, lalu tersenyum dan berkata, “Mungkin karena kamu maminya juga.”
Saya tersenyum manis sekali mendengar jawabannya.
Saya jadi teringat adegan tidak lama sebelum ini, ketika kami sibuk memilih goody bag untuk ultah si bungsu. Barbie atau princess? Hello Kitty atau Winnie the Pooh? Ribet dan rusuh. Sementara si bungsu sibuk main dengan telepon-teleponan Hello Kitty. “Hawoo? Hawoooo?” katanya.
Dua maminya nggak sempat memperhatikan karena habis itu kami sibuk memilih kue. Strawberry Shortcakes atau Cars? Hah? Cars? Nggak salah anak perempuan kuenya Cars?
“Beib, dia suka Cars,” kata saya.
“Yang bener?” tanya Lakhsmi.
“Iya.” Saya mengangguk membenarkan.
Si mbak yang melayani kami memandang kami bergantian lalu bertanya lugu, “Mamanya yang mana sih?”
Gantian saya dan Lakhsmi jadi saling memandang lalu tertawa terbahak-bahak. Hampir kami menjawab, “Dua-duanya maminya!”
Tapi daripada si mbak pingsan di tempat, saya menunjuk Lakhsmi. “Ini maminya. Saya tantenya.”
Si mbak tersenyum, “Saya kita Ibu yang maminya... soalnya tau banyak sih.”
Kembali saya dan Lakhsmi tertawa ngakak, yang hanya bisa kami mengerti artinya.
Akhirnya setelah memilih-milih kue dan goody bag, kami menemukan si bungsu masih main telepon Hello Kitty dan tidak mau melepasnya. Tanda minta dibelikan... hehehe. Akhirnya kami memutuskan untuk menjadikan telepon Hello Kitty itu sebagai hadiah ultahnya. “Buat telepon Tante dan Mami kalo di kantor,” katanya.
Bagaimana kami bisa menolak membelikannya kalau si bungsu bilang begitu, coba?
@Alex, RahasiaBulan, 2009
Si Nakal. Kadang-kadang kami menyebut dia seperti itu. Badungnya nggak ketulungan si bungsu ini. Nakal, badung, keras kepala, persis maminya :)). Pokoknya saya (kadang-kadang) harus jadi penengah antara maminya dan si bungsu yang adu keras. Udah biasa gitu menghadapi maminya... jadi versi mininya (seharusnya) udah bisa di-handle deh, walaupun kenyataannya sering kali saya yang teraniaya atas-bawah, hahaha.
Jadi ingat satu cerita lucu soal kaus kaki. Sekali waktu si bungsu nggak mau pakai kaus kaki sebelum tidur. Dia menarik lepas kaus kakinya. Lalu maminya memakaikannya lagi. Begitu terus sebanyak 3x, hingga akhirnya si bungsu menyerah. Dalam hati saya yakin si bungsu tidak menyerah sungguhan. Ternyata... Tuh betul, kan? Beberapa jam kemudian, ketika si bungsu sudah tidur, Lakhsmi bertanya, “Say, mana kaus kakinya si bungsu?” Tangannya meraba-raba dalam gelap.
“Nggak tau... terakhir liat sih masih di kakinya,” saja menjawab cuek.
“Nggak ada...!”
“Ada!”
Lakhsmi meraba-raba lagi, kemudian dia tertawa terbahak-bahak. Dia menemukan kaus kaki itu. Di mana? Hayo tebak...! Ternyata kaus kaki itu memang masih dipakainya... di kedua tangan. Huahaha... Ada-ada aja, kan?
Well, sebenarnya nggak mau cerita soal nakalnya kali ini. Tapi lebih tentang kekaguman dua maminya terhadap anak ini (lebih ke kekaguman tante maminya sih :p).
Beberapa hari lalu, Lakhsmi ber-chat dengan saya ketika saya sedang di kantor, sementara dia mengambil cuti sakit.
Lax: Tadi si bungsu pinter deh...
Lex: Knp?
Lax: Dia gambar doggie bagus banget.
Lex: Oya? Ntar pulang kuliat ya. Simpen gambarnya nggak?
Lax: Simpen dong.
...(5 menit kemudian)...
Lex: Beb...
Lax: Ya?
Lex: Fotoin dong gbrnya... Nggak sabar nih mau liat... nanti bebein ke aku.
...(5 menit berlalu)
Lex: Wuaaaaaaaaaah gbrnya bagus amat? (Hm... buat saya masterpiece deh :))
Lax: iya, bagus ya... aku mau simpen gk boleh sama dia...
Lex: Jadi?
Lax: Udah dicoret-coret krayon (Versi yang saya lihat masih goresan pensil dgn wujud anjing yang jelas)
Lex: Gk kamu larang?
Lax: Bisa dilarang dia?
Lex: Hahahaha :))
Malam harinya ketika saya menemui si bungsu, dengan wajah manis dia menjawab, “Gambar apa? Dogi apa? Ga ada dogi,” ketika saya bertanya, mana gambar doginya. “No dogi. I want to watch TV.” Untungnya Lakhsmi sudah menyelamatkan gambar yang udah tidak jelas wujudnya. Coretan-coretan pensil yang “dulunya” bergambar anjing yang wajah dan tubuhnya diwarnai krayon merah dan hijau. Mesti pake tatapan laser untuk bisa melihat dengan jelas.
Mungkin ini yang namanya kebanggaan orangtua ya. Pokoknya apa pun yang dilakukan oleh anak yang kelihatannya “lebih” sedikit udah membuat hati membuncah bangga. Coba lihat isi henpon, isinya foto-foto anak dalam berbagai pose dan karya-karyanya.... :)
@Alex, RahasiaBulan, 2009
I
Lama meninggalkan blog ini membuat saya sulit bangkit lagi untuk mulai menulis. Rasanya otot-otot ini kaku dan malas. Saya sedang melamunkan masa hibernasi saya di blog sambil memandang ke luar jendela di mobil sambil memangku si bungsu.
Mendadak si bungsu bergerak. “Tante, nggak enak.” Saya pikir posisi duduknya yang nggak enak, jadi saya berdirikan dia, kemudian tiba-tiba, “Hoeeek... Hoeeek...” Oh man! Saya tidak bisa melesat kabur karena ruangan di mobil yang ngepas gini dan si bungsu juga melakukan serangan mendadak, jadi Lakhsmi tidak sempat meminggirkan mobil dan muntah di pinggir jalan, misalnya. Jadilah saya kelabakan membersihkan muntahan si bungsu yang mengotori wajah dan pakaiannya... juga pakaian saya.
“Huaaaaah, Tante...!” Si bungsu mulai menangis.
“Ada apa sih, Say?” tanya Lakhsmi yang sedang menyetir. Haloooooo? Nggak liat apa nih anak muntahin aku? Tapi maklum deh dia lagi nyetir jadi nggak bisa melihat kejadian historis di jok belakang.
Dibantu dengan si sulung yang mengeluarkan baju ganti dari tas untuk si bungsu dan berbagai perangkat lainnya, dengan sigap saya membersihkan muntahan si bungsu, mengganti bajunya, dan memberinya minum. Semua dalam waktu kurang dari lima menit. Hahahaha....
Belum sempat bernapas lega, bau semerbak bekas muntahan mengingatkan saya pada celana jins saya yang setengah basah kena muntahan, yang digosok-gosok pakai tisu satu pak pun tidak bisa hilang baunya.
“Buka jendela, Say,” saya memberi perintah pada Lakhsmi, agar bau semerbak muntahan itu bisa segera pergi. Dan hari itu berakhir hingga kami sampai di rumah dengan parfum muntah dari si bungsu.
II
Mobil sudah divakum, bersih cling dari muntahan keesokan harinya. Harinya makan di restoran. Si bungsu dengan penuh nafsu nyaris menelan telur puyuh bulat-bulat. Gawat! STOP! Jangan makan telur itu! Berdua kami nyaris berteriak bersamaan. Tentu kita tidak mau si bungsu tersedak telur puyuh, kan?
“Potong-potong dulu ya, sayang.” Si bungsu dengan asyik mengunyah nasi, sop, dan telur puyuhnya. Dengan santai saya, Lakhsmi, dan si sulung makan dengan tenang. Yuk, suapin lagi. Suasana tenang selama sekitar dua menit sebelum... “Tante...,” kata si bungsu. Saya melihat gelagat tidak baik. Mulutnya yang penuh makanan membuka, buru-buru saya refleks menadahkan tangan ke depannya, dan...
Keluarlah makanan yang dikunyahnya ke... tangan saya.
Huahahaha, kena lagi deh... tapi saya sudah tidak sempat berpikir selain langsung melakukan gerak refleks membersihkan-anak-yang-muntah.
Saya lap mulutnya, sementara Lakhsmi hanya nyengir memandang saya dimuntahkan lagi selama dua hari berturut-turut.
“Sayang, kayaknya bakal dapat rezeki gede nih kalo dua hari dimuntahin gini. Hahaha... Untung kali ini muntahannya tidak sampai kena baju, cuma kena tangan." Hehehe, ginilah emak-emak, dimuntahin tetap masih bisa bilang "untung cuma..." :))
@Alex, RahasiaBulan, 2009
Sayang, kamu tahu nggak sih seperti apa si bungsu saat berduaan bersamaku? Kalau saatnya menonton TV bersama, dia pasti akan menjerit-jerit memanggilku untuk duduk di sampingnya. Apalagi kalau dia sudah tahu bakal ada adegan seram seperti di Brother Bear atau Land Before Time. Yeah kalau sudah dekat di bagian yang ada mati-matinya itu, dia pasti akan menarikku lebih dekat dan menyelipkan kepalanya di lenganku, sambil sesekali mengintip ke layar televisi. Kadang-kadang kalau aku ketiduran saat menemaninya nonton, dia akan menepuk-nepuk pipiku (atau kadang sampai menampar) untuk membangunkanku. “Tante, tante, liat... liat Petrie!” Sambil tangannya mendorong-dorong wajahku supaya melihat TV.
Saat makan malam juga salah satu momen aku dan dia. Kamu tahu nggak dia nggak suka bagian tengah wortel, kecuali kita tipu dia dengan menghancurkannya? Hihihi. Lalu kalau makanannya sudah hampir habis, dia sering menipuku dengan bilang sudah kenyang lalu lari ke sofa. Kemudian aku harus menyuapinya di sana sambil dia lanjut nonton TV. Ah, anak ini maniak TV seperti tante maminya...
Hm, kamu tahu? Kalau di parkiran mobil, dia langsung memanjat ke tubuhku minta digendong. “The car's coming, Tante Mami.” Lalu sembari berjalan, biasanya aku dan dia akan ngobrol kecil, “Do you love, Tante?” Kadang kalau di hari baik jawabannya “Yes.” Lalu dia akan menciumku. Di hari nakal, dia akan bilang, “No.” Lalu dia akan geleng-geleng menggodaku. Tapi biasanya dia tidak pernah menolak kalau kubilang, “Kiss, Tante.” Dengan mulutnya yang basah dia akan mendaratkan ciuman di pipiku. Mwwuaaaahhh... Aku pernah bilang padamu, kan? Disayang oleh anak seperti ini rasanya seperti sungguh-sungguh disayang dengan tulus, dan membuat kita seperti habis menelan pil bahagia.
Sayang, kamu tahu nggak sih? Kalau di kantor tuh aku udah join “the mami-mami” club. Kami bicara soal preschool, makanan balita, di mana membeli goodie bag untuk ultah anak, susu anak, imunisasi, dan entah apa lagi. Oya, mendadak ingat, si bungsu pernah beberapa kali meneleponku saat kamu tidak di rumah? Cuma untuk bertanya, “Tante Mami kapan pulang? Aku mau nonton DVD Strawberry Shortcakes nanti sore... Cepetan pulang ya nanti. Nggak boleh lama-lama di kantor.” Begini mungkin rasanya punya dua mami. Ada satu mami lagi yang selalu siap diberi perintah oleh our little princess.
@Alex, RahasiaBulan, 2009
Awal tulisan ini bisa dibaca di blog kekasihku, www.treeofheart.blogspot.com
...
Si bungsu membuat timbangan ketenangan dalam hidup kami menjadi miring. Teriakan "Tanteeeeeeeeee...!" atau "Mamiiiiiiiii...!" di saat kedua maminya sedang ingin bermesraan di kamar menghilangkan rasa syahdu yang tercipta. Teriakan yang kalau didiamkan akan diulangnya terus-menerus sampai salah satu dari kami keluar dan menemaninya nonton TV atau bermain. Beda dengan si sulung yang bisa duduk tenang berjam-jam di depan TV atau membaca buku.
Bila pergi keluar berempat saya seakan harus punya empat pasang tangan tambahan dan delapan pasang mata lagi. Bisa jadi saat sedang asyik berjalan di mal tahu-tahu dia ingin merebut balon yang dipegang anak lain hanya karena warnanya pink, dan pink adalah warna favoritnya. Kegemarannya untuk cuci tangan SENDIRI juga sering membuatnya memanjat wastafel restoran, oya plus mengeringkan tangan dengan dryer yang membuat dryer itu meniupkan angin hingga ke rambutnya yang berkibar-kibar seperti model iklan sampo. Memiliki dua mami ketika dia kepingin pup di tempat umum membuatnya bisa memilih mami mana yang mau dikerjainya, "I want to pup with mommy!" Fiuh, lega... Besoknya, "Pokoknya aku mau pup hanya dengan Tante!" Hhh, tolong...
Seandainya tidak ada si bungsu, pasti saya dan maminya akan bisa punya lebih banyak waktu berduaan, bermesraan, bersayang-sayangan. Dua anak berarti double trouble, otak selalu siaga untuk melerai pertengkaran dua anak manis ini yang seringnya diiringi derai air mata dan bujukan-bujukan buat dua anak itu. Saya harus bersikap menjadi wasit, plus pelatih, plus cheerleader pada saat bersamaan.
Bersama bungsu, hidup memang menjadi berbeda. Tidak ada lagi ketenangan yang diimpi-impikan. Namun, sumpah mati, merenungkan kembali apa yang terjadi setiap kali malam telah tiba, kenakalan-kenakalannya itu menjadi buah kebahagiaan tersendiri. Segala hal kecil dari dirinya, kekeraskepalaannya, kelucuannya, keisengannya jelas tidak menjadikan kami manusia sempurna, tapi menjadikan kami manusia yang lebih baik untuk dirinya.
Mamimu yang satu lagi pernah bertanya, "Menyesal nggak punya hidup seperti ini?" Huh, mamimu itu pasti lagi ngaco kalau nanya seperti itu, karena setiap kali membayangkan seperti apa rasanya tanpamu, Sayang? Dunia pasti kering, hampa, sepi, nggak lucu, dan kami akan tuli oleh keheningan yang memekakkan telinga.
@Alex, RahasiaBulan, 2009
Saya baru saja menerima informasi mengejutkan. Keponakan saya yang masih remaja ternyata gay. Saya terbengong-bengong selama beberapa saat ketika mendapat informasi tersebut. Saya bengong. Garuk-garuk kepala. Mulut ternganga. Now what?
Tidak, tidak, dia tidak coming out langsung pada saya. Ribet memang urusannya. Sedetik saya panik, deg-degan setengah mati. Apakah Mami Papinya tahu dia gay? Apakah dia baik-baik saja?
Oke, ini mungkin cuma kepanikan seorang tante pada keponakannya. Umur saya memang dua kali lipat persis umurnya tapi tidak berarti kedewasaan saya dua kali lipat umurnya juga. Bisa jadi dia malah lebih dewasa dan tenang daripada saya ketika saya seusianya dan menyadari bahwa saya juga gay.
Saya memang tidak akrab dengan keponakan saya ini. Tapi sejak dia berumur sepuluh tahun, saya punya firasat bahwa dia gay. Tapi ketika kenyataan menghantam, saya tak kurang terkejutnya.
Untuk pertama kalinya saya kebingungan. Masalahnya juga dia tidak coming out pada saya. Saya bingung antara harus bereaksi “tidak tahu”, “tahu” atau “tidak peduli”. Sungguh saya bingung. Hhh... Kalau tiba waktunya dia akan bicara pada saya, dengan senang hati saya akan mendengarkannya.
Tapi untuk sementara ini, saya hanya bisa berharap dia baik-baik saja. Tidak ada orang yang menyakitinya. Tidak ada orang yang mengatai-ngatainya. Tidak ada orang yang memukulinya. Hanya karena dia gay.
Jika sekarang dia sedang jatuh cinta, saya harap cinta pertamanya tidak membuat dia hancur sampai remuk saat patah hati pertama bakal dirasakannya. Saya berharap dia bisa menemukan teman bicara jika dia membutuhkannya. Saya berharap orang-orang yang menyayanginya tetap menyayangi dia apa adanya. Saya berharap bila saatnya tiba dia bisa menemukan pasangan yang baik dan mencintainya sepenuh hati.
Dan terutama, saya berharap dia bisa punya hidup yang indah dan bahagia.
@Alex, RahasiaBulan, 2009
Saya lagi membayangkan bagaimana kiranya kalau saya tidak hidup bersama dengan Lakhsmi. Maksudnya kalau saya pacaran nggak "living together" seperti ini. Saya berusaha membayangkan waktu-waktu ketika kami harus terpisah lama beberapa waktu lalu. Saya memikirkan apa saja sih (selain bobo bareng, tentunya) yang membuat saya menderita setengah mati kalau saya tidak “living together” bersama Lakhsmi.
1. Makan
Hal pertama yang paling saya benci adalah tidak adanya teman makan. Walaupun saya doyan makan, tapi saya paling malas makan sendirian, apalagi makan malam. Dan tanpa ada pasangan, saya akan malas masak. Selain itu saya bisa tahan sendirian di kamar tanpa keluar selama berjam-jam selama ada roti dan susu. Bisa-bisa saya jadi zombie membusuk di rumah karena malas nyari makan.
2.Bertengkar
Ya, ya, kami kadang-kadang bertengkar kok. Kadang-kadang kami belum sampai di rumah saat kami sudah ribut. Bertengkar lewat telepon atau SMS, grrhhh banget rasanya, dan konyol. Nah, yang bikin bete adalah kalau saya nggak bisa pulang dan berhadapan langsung dengannya lalu berbaikan. Arrrrrrghhhhhhhhhh... rasanya ada rasa nggak enak yang nyangkut di lidah sebelum kami ketemuan lalu membereskan segalanya face to face. Tidak perlu permintaan maaf berlebih, saya tahu kapan kami sudah baikan hanya dengan melihat wajahnya dan saat kami sudah saling menyentuh lagi.
3. Sakit
Saya tuh termasuk yang sering masuk angin. Kerokan menjadi acara wajib beberapa bulan sekali. Apalagi saat cuaca berubah-ubah nggak jelas seperti belakangan ini, sakit pun menjadi acara wajib. Kalau bukan saya, Lakhsmi yang sakit, atau anak-anak. Nah, di saat Lakhsmi sakit atau anak-anak sakit, saya bisa ada untuknya, bukan cuma mengiriminya SMS, “Bayangkan aku ada di sana bersamamu.” Yeah, yeah, kalau baru sebulan pacaran sih, SMS seperti itu romantis, tapi kalau udah lewat setahun, plis deh basinya. Di saat saya sakit pun begitu. Lakhsmi dengan sigap mengurusi saya sampai sembuh. Walaupun biasanya dia sering ngomel-ngomel kalau mengeroki saya yang menggeliat terus seperti belut, tapi sentuhannya tokcer lebih manjur daripada obat dokter.
4. Teman Ngobrol
Dulu, sebelum barengan, saya menghabiskan berjam-jam teleponan dengan Lakhsmi. Kuping panas, waktu habis hanya untuk teleponan. Lama-lama saya bosan, sumpe deh... saya udah nggak tau lagi mau ngobrol apa. Kadang-kadang kami kehabisan topik obrolan, kadang-kadang kami udah nggak tau lagi mau cerita apa. Keheningan terlalu lama di telepon juga mengerikan karena membuat kami tersadar bahwa kami mulai nggak konek. Kebanyakan ngobrol ternyata hanya mengulang-ulang cerita yang sama dan saya bisa mendengar dia mulau bosan, sementara saya juga udah mulai kehabisan cerita menarik. Tapi living together ini ajaib, kami nggak pernah kehabisan resources, seakan ada aja topik menarik yang muncul hanya dengan melihat isi kulkas, atau tukang listrik yang belum datang memperbaiki bohlam putus. That's the magic of living together.
5. Anak-Anak
Last but not least. Tiap hari saya selalu kepingin pulang cepat dan bertemu dengan anak-anak, menyiapkan makan malam atau kalau mereka mau, saya dengan senang hati menyiapkan camilan. Selain ketemu maminya, tentu saja. Tapi melihat anak-anak berlarian di pagar menyambut saya datang dengan pelukan dan ciumannya... seringnya sambil menenteng keping DVD, minta izin saya untuk menyetelnya, wah rasanya saya melayang bahagia. Seperti kata my precious, I love you so big and more, not because you let me to watch DVD, but because I love you only.
@Alex, RahasiaBulan, 2009
Selama seminggu saya ditinggal Lakhsmi yang harus pergi ke luar negeri. Selama seminggu tanpa keberadaannya, saya berusaha menikmati diri saya sendiri. Dengan cara saya sendiri. Ya, saya berhasil kok. Saya tidak meratap kangen tiap hari padanya. Saya menjalani hidup saya dengan baik. Apalagi Lakhsmi yang memang sibuk berat membuat saya tidak bisa terus-terusan berhubungan dengannya sepanjang waktu semau kami seperti jika kami tinggal berdekatan. Belum lagi mahalnya, duh, siap-siap tagihan sejuta lagi deh, beib.
Kami tidak kehilangan kontak, setiap hari selalu diisi dengan SMS, telepon, chatting, atau e-mail. Tapi entah bagaimana saya merasa bumi tidak berputar pada porosnya. Saya merasa menggapai-gapai Lakhsmi dari jauh. Faraway, so close, itu yang saya rasakan. Jauh, tapi dekat, namun tak tersentuh. Selama seminggu kami punya hidup kami sendiri. Hidup kami berjalan secara pararel, lurus tapi tak bersinggungan. Kami memang bisa bercerita satu sama lain, tapi tetap saja cerita hanyalah sebatas cerita. Kami tidak saling berbagi hidup bersama, kami hanya sebatas berbagi cerita. Titik. Kami seperti orang yang berdiri di luar jendela dan berusaha masuk rumah.
Rasa rindu saya terdiri atas banyak hal. Saya merindukan keberadaan dirinya. Merindukan rutinitas kami. Merindukan obrolan kami. Merindukan kegiatan meja makan dan sentuhan-sentuhan kecil yang membuat keberadaan kami nyata. Bahkan saya merindukan kemarahannya, ledakan emosinya yang menggairahkan, segala hal yang membuatnya tampak hidup. Semangatnya ketika menceritakan topik-topik yang dia gemari. Kesetiaannya mendengarkan saya bicara tanpa henti nggak jelas arahnya ke mana, dan (kadang) saya tahu kapan saya harus berhenti kalau melihat reaksinya sudah "cape deh, Say."
Saya tidak bisa melihat kedip di matanya ketika dia menyembunyikan sesuatu atau binar matanya ketika dia bersemangat. Sama seperti dia tidak bisa melihat saya bersikap aneh atau gelisah atau berapi-api. Kami tidak bisa saling menegur kalau kami melakukan sesuatu yang tidak pada tempatnya. "Say, jangan gitu dong." atau "Say. plis deh, kamu geblek banget." dengan cara kami yang sangat cute. Itulah yang menjadikan hubungan jadi terasa nyata dan hidup. Atau yang lebih sering, saya tidak bisa melihat kerling nakalnya ketika dia keluar dari kamar dan tersenyum begitu manisnya ketika saya bermain bersama anak-anak di rumah.
Lewat alat komunikasi berjarak, kami bisa saling mengiyakan, saling menuruti mau satu sama lain, berusaha keras untuk menjaga hubungan tetap baik karena kami berjauhan. Karena selain cinta, tidak ada yang kami miliki selain “menjaga hubungan”. Rasanya melelahkan sekali. Saya tidak pernah tahan dengan apa yang namanya long distance relationship. Jarak dan waktu membunuh saya dan perasaan saya pelan-pelan.
Begitu banyak cerita yang tak terceritakan. Begitu banyak kisah yang tak bisa kami bagi bersama. Begitu banyak hidup yang tak kami jalani berdua. Saya gelisah setengah mati memendam cinta yang tidak bisa saya bagi bersamanya. Buat Lakhsmi, yang baginya jarak Cibubur- Kelapa Gading saja sudah masuk kategori LDR, gimana jarak Jakarta – Hong Kong? Untungnya kami terpisah cuma seminggu, dan saya terhibur dengan SMS-SMS dari orang iseng yang tidak saya jawab, tapi lucu juga buat hiburan. Itu jenis hal kecil yang tidak bisa saya ceritakan pada Lakhsmi lewat SMS atau telepon karena urusan itu nggak penting dan sepele deh untuk komunikasi jarak jauh.
Rasanya ada rongga besar berisi ruang hampa yang tak bisa diisi jutaan SMS, e-mail, telepon, tulisan di blog, atau bahkan muah-muah setiap hari. Saya bisa mengucapkan ratusan kata cinta dan ribuan kata kangen dalam satu hari, tapi itu tak bisa memuaskan dahaga saya padanya. Ada jarak yang tak mengenakkan. Jarak yang membuat haus dan tak terpuaskan oleh apa pun kecuali merasakan kehadiran Lakhsmi dalam bentuk tiga dimensi, nyata dan tersentuh.
Jarak dan waktu adalah pencuri. Pencuri yang diam-diam masuk ke ruang hati kita dan perlahan-lahan dia mencuri bayangan kita terhadap orang yang kita cintai. Mencuri sosok wajahnya hingga kita berusaha mengingatnya dengan melihat foto atau jejak yang ditinggalkannya di ruang maya karena kita perlahan-lahan lupa pada wajahnya. Dan pada akhirnya dia mencuri perasaan kita hingga kita suatu hari terbangun dan menyadari bahwa perasaan itu sudah hilang. Yang tersisa hanyalah sisa.
@Alex, RahasiaBulan, 2009
Belanja, cuci mata, jalan-jalan di sepanjang Orchard sehabis berleha-leha di Bali merupakan tujuan kami ke Singapore. Iseng banget gara-gara bebas fiskal buat mereka yang sudah punya NPWP, yah orang bijak kan taat pajak, blablabla. Oya, secara kami juga pemilik kartu Mandiri Prioritas, segala urusan tetek-bengek sebelum keberangkan sudah dibereskan oleh para petugas eksekutif Bank Mandiri di bandara. Jadi enak tinggal duduk saja disuguhi kopi dan teh serta makanan kecil, tahu-tahu udah beres dan kami tinggal naik pesawat. Bank Mandiri oke deh. Ayo nabung yang banyak di Bank Mandiri, biar bisa jadi member Prioritas. (iklan mode on)
Di pesawat saya dan Lakhsmi tidur setengah nyenyak, karena mendadak ngantuk banget. Tadinya mau pura-pura tidur karena ada bapak-bapak bule yang sok akrab ngajak ngobrol melulu, tau-tau kami ketiduran beneran. Kami tiba di Changi menjelang sore dan langsung menuju hotel Four Seasons dengan taksi. Sesampainya di sana, ternyata kamar kami sudah di-upgrade ke premier room tanpa biaya tambahan, itulah gunanya sahabat, hehehe.
Tiba di kamar, kami sudah nyengir mendapati king size bed dan LCD TV entah berapa inci saking gedenya. Seringnya tangan saya otomatis menyalakan TV kalau masuk ke kamar hotel. Kalau tugas ke luar kota sendirian, biasanya saya tidur dengan TV menyala di channel khusus tayangan anak-anak atau fashion TV, biar rasanya nggak sendirian. Tapi kalau acara honeymoon seperti ini sih, saya nggak bakal sempat bermain dengan channel TV.
Sisa-sisa kepenatan hasil liburan di Bali membuat kami ingin beristirahat saja menghabiskan sisa malam. Jadi nggak heran kalau acara pertama kali di hotel adalah mandi. Bareng, tentu saja. Lakhsmi yang habis beli sabun entah apa di Bali lagi keranjingan mandi dan jadilah kami saling menggosok-gosokkan sabun itu tubuh satu sama lain. Gosok punggung jangan lupa, biar kayaknya disayang gitu.... Hihihi, asyik deh pokoknya.
Heran deh, kami seperti tidak pernah bosan ngobrol. Kadang-kadang saya bingung dengan topik-topik yang mendadak muncul seperti buih soda pop tanpa perlu kami cari-cari. Pop pop pop. Saat menjelang tidur, kami berbaring di ranjang yang empuk dan bantal yang kepingin kami curi untuk bawa pulang. Ada aja bahan omongan bagi saya dan Lakhsmi, mulai dari ngomongin orang sampai acara TV yang nggak penting. Kadang ada saat-saat tertentu ketika kami tidak bicara, hanya berpelukan, saling memandang, saling menyentuh, berciuman, bercinta. Duh, nulis gini aja, saya mendadak bisa mencium aroma tubuh Lakhsmi dan membayangkan senyumnya yang nakal.
Kami berdua adalah penggemar bangun siang, tapi penyuka makan. Jadi acara breakfast di hotel termasuk favorit kami. Dan biasanya breakfast kami sering kali mepet dengan waktu batas akhir breakfast. Lha wong, kami biasanya baru turun dari ranjang jam 9 kok, walaupun biasanya kami sudah bangun sejak satu jam sebelumnya. Itulah definisi liburan menurut saya, bisa punya waktu malas-malasan di ranjang berduaan pada pagi hari.
Tidak hanya mandi dan ngobrol dan beradegan ranjang alias tidur, acara makan dan belanja juga jadi acara kami. Ke toko buku merupakan tempat yang wajib kami kunjungi. Tidak boleh tidak. Lumayan, ketemu novel lesbian yang bisa jadi bahan review di sini. Belanja baju dan dompet tidak ketinggalan. Hampir saya beli jam tangan kalau tidak ingat harganya, hehehe. Capek juga jalan kaki sambil cuci mata.
Karena malas keluar kami memutuskan makan malam di resto di hotel. Kami makan di Jiang Nan Chun. Restoran Cina bergaya art deco mewah seperti masuk ke tempat makan raja Cina dulu, yang membuat saya dan Lakhsmi nyengir. Biasanya di Jakarta kami sering makan di restoran Cina bukan berdasarkan tempat yang mewah, tapi dari makanan yang TOP BGT walaupun restonya terkadang "kumuh-kumuh nikmat". Malam itu Lakhsmi memesan Foie gras and apple salad with peking duck. Lakhsmi tergila-gila dengan bebek. Sementara saya memesan lamb chop. Hm, nikmatnya. Chilled mango puddingnya juga nyam-nyam untuk makanan penutup.
Kembali ke kamar berarti kembali lagi dengan kegiatan basah-basah alias mandi. Eh, walaupun sebelumnya kami masih menyempatkan diri untuk posting tulisan di blog sepocikopi, :). Lalu sehabis itu kami berendam berdua dalam busa air hangat yang nikmat. Sambil ngobrol dan menghabiskan wine. Sampai di ranjang buru-buru kami bergelung di bawah selimut, saling berbagi panas tubuh yang mendadak kedinginan. Pelukan, sayang-sayangan, saling membelai. Ih, romantis banget deh pokoknya. Hm, jadi kepingin honeymoon tiap bulan :)
@Alex, RahasiaBulan, 2009
Sejak punya anak, saya nggak pernah bisa bangun siang. Bahkan hari Minggu pun genderang perang sudah berbunyi sejak jam delapan pagi, kadang malah lebih pagi lagi. Saya yang hobi berat tidur ini terpaksa harus mencuri-curi waktu tidur di sofa pada sore atau malam hari ketika menemani anak nonton TV. Kadang-kadang saat sedang asyik tidur si bungsu menepuk-nepuk pipi saya dengan penuh semangat menyuruh saya melihat dinosaurus berkejaran. “Tante-tante banguuuunnnn... lihat, lihaaaaat!!!” Oke-oke, Tante udah bangun kok. Grrhhh...
Si sulung sudah ribut sejak hari Sabtu bahwa kami akan bersama-sama membuat donat. Ya, donat. Dari tepung dan segalanya. Nggak, nggak beli di J.Co atau Dunkin Donuts atau Krispy Kreme. Tapi bikin sendiri, saudara-saudara sekalian. Nggak, nggak pake mesin. Pake tenaga tangan. Tenaga siapa lagi? Ya tenaga tante Alex.
Hari Minggu jam sembilan si sulung sudah sibuk. “Tante, ayooooo, sekarang bikin donatnya.” Saya langsung melompat dari sofa. Pura-pura lupa bahwa hari Minggu ini kami sudah janjian bikin donat. “ Hah? Hari ini ya?”
Sulung menampilkan wajah kecewa. “Hihihih, Tante bercanda deh, Sayang. Yuk, siapin bahan-bahannya.”
Tepung terigu. Mentega. Gula. Susu. Telur. Yeast. Air. Apa lagi ya? Kayaknya ada yang lupa. Oh, well, nanti juga inget apa yang kelupaan.
Timbang dulu. Si sulung ribut mau melihat angka di timbangan. Bungsu mengekor mau ikut-ikutan, iseng dia mencelupkan tangannya ke tepung lalu mengibaskannya hingga kena baju dan mukanya juga. Hahaha. Seperti anak abege yang pakai obat jerawat... Aduh.
Campur semua bahan sehabis ditimbang. Mulai menguleni adonan sampai kalis. Anak-anak dengan penuh semangat membantu. Walaupun sebenarnya nggak jadi lebih cepat, malah memperlambat, tapi yang penting kan heboh dan lucu. Berisiknya.... ampun deh.
Setelah entah berapa puluh menit menguleni adonan, akhirnya kalis juga. Yah, udah keburu capek sih, anggap saja sudah kalis, huehehe, maksa banget. Dan dimulailah penantian selama setengah jam menunggu donat mengembang.
Lima menit sekali terdengar pertanyaan.
“Udah belum, Tante?”
“Belum.”
“Udah belum, Tante?”
“Belum.”
“Udah belum, Tante?”
“Ya, ya, ya... oke kita lihat ya.”
Kesibukan sesi dua pun dimulai. Saya suruh si sulung membolongi donat dengan tutup aqua (maklum deh, perlengkapan seadanya, cuma modal resep), si bungsu ikut-ikutan memelintir bola-bola sisa lubang buatan kakaknya. Terus seperti itu sampai semua adonan habis dibuat berbentuk donat dengan lubang di tengah. Sekali si bungsu nekat memasukkan adonan ke mulutnya.... "Ehhhhhhh, stop! Jangan!" Aduh, bikin jantungan aja, nanti kamu mencret, Nak!
Panaskan minyak. Kali ini anak-anak nggak boleh dekat-dekat. Huss... huss... sana. Nanti kalau donatnya udah matang, kalian boleh olesin mentega dan cokelat meises. Horeeee! Udah kebayang kan gimana adegannya? Oh, dan jangan lupa berantakannya. Dan yang terpenting bahagianya.... :)
Jam 11 lewat donat pun sudah bisa dimakan. Argghhh... sebentar lagi waktunya makan siang. Tapi, Tante, boleh kan cicipin satuuuu aja? Ya,ya,ya. Hati saya selalu lembek kalau anak-anak udah memohon begini. Mereka pun melahap donat dengan penuh nafsu sampai mulut dan tangan mereka belepotan.
"Donat buatan Tante emang yang paling enak," kata sulung.
"Iya, enak," timpal si bungsu.
Saya dan Lakhsmi cuma nyengir. Btw, ke mana aja si Lakhsmi sejak tadi ya? Hm, dia memang biasa jadi penonton kalau sudah adegan dapur. Seperti bapak-bapak di hari Minggu yang malas, dia baca koran dan bertolak pinggang memerhatikan kami sambil memberi perintah di sana-sini. Huehehe, kecuali giliran makan, biasanya langsung terlibat. Dan oya, anak-anak sekalian... memang donat buatan Tante is the best. :)
@Alex, RahasiaBulan, 2009
Ditinggal Lakhsmi yang lagi liburan duh asyik! Mau happy-happy sendiri, mau bikin pesta lajang, mau party-party sama ratusan teman. Ahhhhhhhhh, bebas!
Tapi pada hari H partner berangkat, kok rasanya nggak enak ya? Happy-happy sendiri kok jadi seperti orang bego? Pesta lajang? Ih, malas banget. Party-party? Gimana bisa party kalau bawaannya ingat partner melulu?
Seorang sahabat mengajak, “Ke Ohlala Thamrin yuk sekarang! Ada si ini nih. Dia kangen sama lo, katanya.” Haduh malas banget membayangkan diri ini harus nongkrong di sana malam-malam. Dan tiba-tiba saya teringat terakhir saya dan Lakhsmi nongkrong di Ohlala sana bersama sahabat-sahabat kami pada malam yang seru dan gila-gilaan penuh dengan diskusi yang memabukkan.
Sahabat lain mengirim SMS, menanyakan kenapa Lakhsmi tidak membalas ucapan selamat Natal yang dikirimnya melalui SMS. Saya menjelaskan bahwa partner sedang berada di kota antah berantah, baru pulang tahun depan, jadi harap maklum kalau dia belum membalas. Yeah, walaupun Lakhsmi selalu membalas SMS saya sih :).
Saat Lakhsmi menyempatkan diri online di YM, saya pun meringkuk rapi di depan komputer sampai lewat tengah malam karena jam online partner adalah jam orang hidup, sementara saya adalah jam zombie. Beneran deh di saat-saat seperti ini saya nggak bisa membayangkan hubungan LDR. Nggak ketemu sehari saja rasanya seperti layang-layang putus.
Saya dan Lakhsmi membutuhkan banyak sentuhan, walaupun cuma colek-colekan pantat pas dia lewat di depan saya pun rasanya memuaskan. Kami berdua tidak tahan berjauhan. Telepon dan YM sudah tidak bisa lagi memuaskan dahaga kami untuk mengobrol dan bercerita. Sayang, nggak enak melakukan apa-apa sendirian. Biasanya hampir setiap hari kami makan siang bersama. Malam juga ketemu. Weekend apalagi, sejak pagi kami sudah beredar berdua menikmati wisata kuliner.
Tahun lalu kami pun sempat ber-LDR selama dua minggu lebih karena saya yang harus memenuhi tugas dari kantor ke kota-kota romantis yang seharusnya bisa kami jelajahi bersama. Tahun ini kami terpisah jarak yang demikian jauh dan hanya bisa mendengarnya bercerita tentang kota-kota romantis yang kapan-kapan akan kami jelajahi bersama. Tahun depan, tahun depannya, tahun depannya lagi, pasti kami bisa menjelajahi kota-kota cantik dan indah berdua. Duduk di kafe tepi jalan, melihat museum-museum anggun, melewati jembatan-jembatan megah yang biasanya hanya kita lihat di film.
Sebelum ditinggal, saya sudah menyiapkan diri dengan membeli DVD Gossip Girls season 2. Berencana nonton maraton mulai dari Transporter sampai Madagascar. Menyelesaikan pekerjaan kantor yang saya bawa pulang untuk mengisi liburan. Menyiapkan buku-buku bacaan untuk menghilangkan bosan. Tapi saya malah blogging melulu, hehehe. Atau lebih seringnya tidur-tiduran sambil mengirim SMS untuk Lakhsmi, memikirkannya dan anak-anak. Rasanya ada rongga besar di dada ini tanpa berada di dekat mereka.
Hhhhh...
Tapi seperti kamu bilang, beib, waktu cepat berlalu kalau kita tidak fokus ke waktu itu sendiri. Aku fokus ke kamu, membayangkan kamu pulang. Yap, waktu cepat berlalu kok. Kiss buat kamu dan anak-anak ya. Kangen berat sama kamu dan mereka. Mwuahhhhh.
@Alex, RahasiaBulan, 2008
Sewaktu menghadiri resepsi pernikahan sahabat, dan melihat foto-foto pre-wedding mereka di pintu masuk, saya iseng bilang ke Lakhsmi, “Say, kita juga bikin foto pre-wed yuk.” Lakhsmi mendelik memandang saya, “Mahal tau!” Huehehe...
Minggu lalu keisengan itu muncul di benak Lakhsmi. “Sayang, kita bikin foto keluarga yuk, berempat sama anak-anak di foto studio. Nanti kita sekalian foto-foto berdua. Kebetulan aku dapat voucher nih.” Saya pun langsung bersemangat menyambut ide itu. Iseng plus iseng jadinya kan serius.
Supaya nggak kena ramai dan kebetulan anak-anak liburan sekolah, jadilah kami berdua cuti pada hari kerja. Maksudnya biar bisa dua maminya sekalian pacaran habis foto-foto gitu. Sehari sebelum foto, kami sudah memilih kostum untuk dipakai pada foto keluarga ini. Merah, jadi warna pilihan. Bunga-bunga jadi motifnya.
Kalau sudah pergi bareng anak-anak, sudah bisa bayangin kan ribetnya? Kami membawa tas besar seperti ingin kemping. Si sulung sudah kegirangan sejak di rumah. Si bungsu ikutan girang melihat kakaknya girang. Mami dan tantenya juga girang bukan kepalang. Hihihi... berima nih, Say.
Sebelum foto dimulai, kami sibuk didandani. Si sulung makin girang karena rambutnya bisa dibuat ikal-ikal gitu, hingga dia bilang tidak mau keramas karena takut ikal rambutnya hilang. Dan si bungsu yang jadi pengangguran mulai naik-turun kursi jalan ke sana kemari sementara kami “tersangkut” di kursi rias.
Singkat cerita, akhirnya saatnya berfoto tiba...
Foto berempat lebih dulu. Ya, ibu lihat ke kiri, angkat kepalanya sedikit, ya. Adek lihat kanan ya, lihat maminya. Iya. Coba itu tantenya duduk, ya, peluk si kecil, Ya. Ganti pose, ganti gaya. Jepret. Jepret. Jepret. Senyum yang awalnya tegang mulai mencair menjelang akhir sesi foto berempat.
Oke. Sekarang giliran mami dan tante foto berdua. Waks, pokoknya kacau banget deh, ala pre-wedding gitu, hahaha... (Say, kayaknya mas tukang fotonya tau deh kita pacaran, masa posenya “akrab” gitu sih?). Ganti gaya ganti posisi, dalam hati kami kepengin ngakak, tapi ditahan. Sementara anak-anak yang ditinggal sudah menjajah mainan-mainan yang tersedia sebagai prop di sana.
Lanjut ke giliran anak-anak difoto. Bayangkan repotnya, kami berteriak-teriak memanggil si bungsu agar mau memandang ke kamera sementara dia kepingin naik kuda-kudaan yang bisa membal yang mejeng di dekat kaki mas tukang foto. Si sulung sudah bergaya manis ala anak-anak di acara Idola Cilik, sementara si bungsu tidak mau kooperatif sebelum mainan yang diinginkannya dia peroleh.
Sungguh deh saya salut sama kesabaran mas tukang fotonya.
Ganti kostum, foto sendiri-sendiri dulu. Sementara si sulung difoto, si bungsu sibuk dengan boneka mobil, bola basket, dan senapan. Yup. Tiga mainan itu yang dia pilih sebagai mainan favoritnya. Bersama sang tante dia bermain tembak-tembakan dengan senapan warna-warni itu, dan tante harus pura-pura mati ketika ditembak. Dalam satu adegan, si bungsu naik kuda-kudaan membal itu sambil menenteng senapan bak koboi.
Huahahaha...
Gantian si bungsu foto sendiri. Mari kita akali kali ini. Si bungsu berpose di antara hamparan mainannya. Tapi dia berteriak, masih ada mainan yang dia mau. Apa? Apa? Oh, senapannya. Ampun deh. Si sulung ikutan sibuk, membawa-bawa boneka yang diinginkan si bungsu. Coba foto berdua. Keduanya berdiri bak penjaga pintu tentara Mataram, hahaha. Mereka pun peluk-pelukkan. Si bungsu ogah dipeluk berusaha melepaskan diri. Mas tukang foto masih sabar. Tante mulai tegang. Mami, mami di mana sih? Oh, dia sibuk membersihkan riasan wajahnya....
Akhirnya mas tukang foto bilang, "Oke, dapat nih semuanya." Fiuhhh... acara foto-fotoan pun selesai.
Ganti baju yuk. Berempat kami masuk ke ruang ganti yang sempit. Belum lagi si bungsu mau membawa kuda-kudaannya itu ke dalam ruang ganti. Makin sempit dan makin panas. Si bungsu masih mau memembalkan dirinya di dalam ruang ganti. Mami berteriak, saya menjerit, si sulung mendorong-dorong. Kami bertabrakan di dalam ruang ganti, pastilah orang di luar mendengar suara bak-buk-buk-bak tak beraturan. Belum selesai, si bungsu berlarian hanya dengan celana dalam karena udah nafsu mengikuti kakaknya keluar dari ruang ganti. Untung mami dan tante sudah kelar ganti pakaian.
Anak-anak berteriak, lapar, lapar, lapar. Tunggu dong, tante masih makeup-an begini. Mami mulai gelisah, “Sayang, cepetan, anak-anak lapar nih.”
“Aduh, Mami. Bulu mata palsuku masih nangkring nih. Lima menit lagi.”
Anak-anak berteriak, "Main lagi yuk. Mana kuda-kudaannya? Mami, kuda-kudaannya boleh bawa pulang nggak?"
Mami melotot, saya nyengir.
Saya ngebut membersihkan riasan, kayaknya muka masih celemotan, tapi apa daya anak-anak sudah beringas lapar. "Kita mamam di rumah," kata Mami.
Pssst, habis foto rencananya Mami dan Tante mau lunch asyik buat ultah Tante gitu lhoo... dan kalau sempat Mami dan Tante mau mesra-mesraan berdua. Hihihi.
@Alex, RahasiaBulan, 2008
Adalah film kartun tentang dinosaurus yang bertualang mencari dunia baru setelah meteor menghantam bumi. Yah ibaratnya ini suasana menjelang kiamatnya bagi dinosaurus. Sedih sih. Biasanya si sulung nangis jejeritan sehabis menonton ini, karena sama seperti Bambi, mamanya Long Feet (dinosaurus tokoh utama dalam film ini) tewas dalam film ini. Tewasnya bukan seperti tewasnya mamanya Nemo, yang nggak kelihatan gitu. Tapi maminya Long Feet ini tewas karena berjuang menyelamatkan Long Feet.
Dan entah sudah berapa puluh kali saya menonton film kartun yang satu ini. Sampai hafal bo! Terutama ketika si bungsu juga mengidap kecanduan terhadap dinosaurus seperti kakaknya. Hampir setiap hari kami sekeluarga mesti menonton kumpulan dinosaurus ini. Kalau si bungsu sukanya sama The Great Long Neck Migration, sambungannya The Land Before Time. Pokoknya si bungsu udah nggak bisa dilarang deh untuk urusan yang satu ini. Pokoknya mau DVD ini, dan berharaplah kami semoga DVD itu tidak rusak walaupun sudah penuh goresan. Ngeri membayangkan DVD itu tidak bisa diputar lagi. Dibujuk nonton DVD lain si bungsu udah ogah. Pokoknya mau yang ini, Tante!
Masalahnya, si tante dan mami ini yang terpusing-pusing nonton film yang sama setiap hari.
Tapi sudut pandang anak-anak memang berbeda dengan orang tua. Sebenarnya keinginan anak yang kepingin nonton film yang sama berulang-ulang merupakan hal yang wajar. Saya pernah baca di majalah parenting atau dengar dari radio gitu soal ini. Bahwa pengulangan ini membuat anak merasa nyaman dan aman karena dia tahu dan mengenal cerita yang dia tonton ini.
Kemarin malam ketika saya sedang menemani anak-anak nonton, saya mencolek Lakhsmi untuk melihat si bungsu yang dengan seru mengikuti lirik lagu dalam film tersebut. Si sulung pun ikutan bernyanyi dengan lebih fasih, si bungsu berusaha mengikuti walau hanya beberapa patah liriknya. Dan suara mereka makin lama makin keras. Mami dan Tante pun jadi melongo melihat mereka. Dan kami pun jadi ikutan... Nyanyi!
Suara kami saling menimpali. Saya yang paling fals, Mami yang paling bener. Anak-anak di antaranya. Selagi seru-serunya, tiba-tiba drtt... drtt.... Ah, gambar DVD-nya terputus-putus. Si bungsu melongo, tampak kecewa. Si sulung berusaha memperbaiki dengan memencet-mencet tombol remote. Ahhh... tuh kan DVD-nya rusak karena keseringan dipegang sampe banyak goresan... Hiks.
Hhhh... Hening.
“Oke, mamam time!” Lakhsmi menepuk tangan mengalihkan perhatian.
Sedang asyik-asyiknya menyuapi anak-anak makan, sulung berlari, seakan ingat sesuatu. Dengan gerakan secepat Flash, dia balik ke meja makan, membawa sesuatu di tangannya. Cover DVD “itu”!
“Tante, nanti beliin DVD ini ya. Ada Land Before Time nomor dua dan nomor tiga.” Jarinya menunjuk dua gambar DVD dengan tampilan dinosaurus. “Tanteeeeeeeee, liat dong, DVDnya yang ini...!”
“Iya, ini Tante liat!”
Sementara si bungsu nyeletuk, “You never know!”
Saya memandang Lakshmi, “Maksudnya apa you never know?”
“Ya ampun, beb, kamu nonton tuh film udah ribuan kali nggak inget? Itu lirik lagunya.”
Si sulung menarik lengan saya, “Inget ya, Tante! Yang ini!” Tangannya masih menujukkan cover DVD.
“Iya, Sayang, Tante nggak lupa deh!”
Bagaimana bisa lupa, coba?
@Alex, RahasiaBulan, 2008
Hari Sabtu ini merupakan hari yang kami tunggu-tunggu karena pada siang ini si bungsu akan tampil menari bersama kelas sekolahnya. Sehari sebelumnya kami sudah memompa semangatnya supaya pas hari H dia tidak kena serangan panik dan malah mogok menari di panggung.
Sehabis makan siang kami sudah mulai ribet bin sibuk menyiapkan segalanya. Sejak di rumah si bungsu mau pakai topi, tapi tetap ingin rambutnya dikuncir dua. Nah lo, bagaimana caranya? Masa topinya mau dibolongin biar kuncirnya bisa tetap nangkring keluar dari topi? Setelah dibujuk rayu dan sedikit ditipu-tipu, hehehe, akhirnya si bungsu rela melepaskan topinya.
Perjalanan ke mal tempat si bungsu akan tampil pun diiringi dengan keramaian, karena posisi tempat duduk yang salah. Hari ini baby sitter diajak serta secara banyak barang bawaan dan dua maminya pasti akan sibuk motret sana-sini, belum lagi si sulung yang sudah punya kaki sendiri dan bakal ngelayap entah ke mana kalau tidak dipegangin. Posisi duduk yang salah ini membuat saya harus berpegangan tangan dengan si bungsu yang duduk di kursi penumpang depan sementara saya di belakang berpelukan dengan si sulung, yang lagi bete-betean dengan baby sitter sehingga tidak mau dekat dengannya. Untungnya sih di mobil tidak terlalu ribut dan berisik sampai-sampai si bungsu bisa mengikuti potongan-potongan lirik lagu Merindukanmu-nya d'masiv, sementara saya dan si baby sitter jadi membahas sinetron Sekar yang kebetulan lagu ini jadi soundtrack-nya.
Sampai di tempat pertunjukkan keadaan makin runyam, karena si bungsu mendadak panik melihat ramainya orang dan beberapa teman sekolahnya menangis sampai bercucuran air mata. Jadilah dia menempel pada saya tidak mau lepas. “Pokoknya mau sama Tanteeeeeeeeeeeee...!” raungnya. Ya sudah deh, akhirnya saya biarkan dia menempel pada saya sambil menunggu sang mami datang dari parkiran mobil. Bersama si sulung, saya dan si bungsu duduk di lantai menunggu saat tampil tiba. Ketika si bungsu mulai agak tenang, si sulung nyeletuk, “Tante, kita tinggalin aja dia di sini sama tante baby sitter, lalu kita ke Gramedia...” Mendengar ucapan kakaknya, si bungsu langsung jadi spider-man ke tubuh saya. Nempel makin erat deh.... “Ssst! Jangan ngomong gitu... Nanti aja.” Saya mengedipkan sebelah mata pada si sulung.
Mami akhirnya tiba. Fiuhhh, hehehe... jadilah kami nempel beramai-ramai nggak jelas sambil mengobrol off-topic supaya si bungsu bisa nyaman dengan kondisi pre-performance-nya. Si sulung menarik-narik tangan saya, sambil berbisik-bisik minta dibelikan komik di Gramedia. Mami melarang. Sulung kecewa. Saya kasihan. Saya bisiki si sulung,”Tunjukkin ke Tante buku komik apa yang kamu mau... tapi kita nggak beli sekarang ya.”
“Mom, nyari kopi dulu ya... aku sakit kepala nih.” (Beginilah kalau sudah punya anak, di depan anak-anak manggilnya bukan Say atau Beb, tapi Mom). Saya menarik tangan si sulung dan berjalan cepat ke Gramedia. Mumpung masih ada 15 menit sebelum si bungsu tampil di panggung.
Nggak sampai lima menit kami di Gramedia, karena si sulung langsung menunjukkan komik yang dia mau dan kami pun langsung keluar. “Oke. Sip. Nanti Tante beliin. Yuk.” Saya lihat jam, ah, masih sempat, dan mengajak si sulung berbelok dulu untuk nyari kopi di warung kopi cap duyung itu.
Belum lagi memesan, hape bergetar. “Kamu di mana? Buruan kemari. Udah mau mulai nih.”
Kepala nyut-nyut karena lidah belum menyentuh kopi sampai siang harus dilupakan dulu. Gandeng si sulung lagi, buru-buru ke belakang panggung. Di sana si bungsu sudah tampak tenang dan riang. Sudah tidak menempel dengan maminya. Dan tampak tersipu-sipu senang saat kami berdiri di kejauhan dan melambai padanya.
“Yuk cari tempat nonton yang kelihatan!” kata si sulung, setelah saya menolak permintaan dia untuk mendudukkan dia di bahu saya. (Bisa patah tulang punggung ini kalau saya okein, :p) Lakhsmi sibuk dengan kameranya, memotret si bungsu, saya sibuk mencari tempat nonton strategis bersama si sulung. Saya dan sulung berteriak-teriak dari kejauhan, melambai-lambai supaya si bungsu melihat kami ketika dia menari dengan lucunya.
Tarian cuma lima menit itu menghabiskan energi kami selama berjam-jam. Tapi tak terlupakan.
Karena dia lucuuuuuuuuuuuuu sekali. Dan untuk pertama kalinya kami melihatnya menari di panggung. So cute deh pokoknya.
Saat berbondong-bondong pulang pun tak kalah heboh tapi kepala saya sudah makin nyut-nyut nggak tak tertahankan lagi. Sampai nggak ingat apa yang terjadi sepanjang perjalanan pulang... Dasar pecandu kopi! Melihat saya yang tampil setengah teler karena belum dapat asupan kafein, Lakhsmi mengajak saya ke warung kopi cap duyung sehabis menurunkan anak-anak di rumah.
Dan sore pun ditutup dengan dua perempuan memesan hot coffee latte dan entah minuman "banci" apa yang dipesan Lakhsmi. Dua perempuan yang menghabiskan sisa ketegangan dari urusan berbondongan mengurusi pentas si bungsu dengan duduk di sofa warung kopi sambil membaca majalah, browsing internet, ngobrol, gosip, dan diskusi yang tak kunjung putus....
@Alex, RahasiaBulan, 2008
Malam ini saya dan Lakhsmi pacaran gila-gilaan. Maksudnya, berdialog ala orang gila. Kami mengendarai mesin waktu, dan membahas apa saja, hingga sampai ke topik fans* saya dan Lakhsmi. Kemudian saya bertanya, “Say, kamu mau putus sama aku, terus milih dia?”
“Ogah! Aku lebih baik mati daripada putus sama kamu.”
“Huaaah, cayangku, tadi itu kalimat paling manis yang pernah kudengar. Sini aku kiss dulu, mwuahhhhhh...”
Lalu sehabis kami ketawa ngakak, Lakhsmi balik bertanya, “Kamu mau pilih aku atau dia?”
“Cayang, aku selalu milih kamu. Nggak ada pilihan lain selain kamu.”
Mesin waktu berputar, dan obrolan kami pun bergerak ke seantero jagad raya, hingga dua jam berlalu.
Sesungguhnya, ada masa ketika saya dan Lakhsmi sempat break selama beberapa saat. Dan pada masa itu rasanya segalanya tidak jatuh pada tempatnya. Ada bagian diri kami yang teramputasi. Kami tetap menjalani hidup sesuai dalam rutinitas dan pola irama keteraturan, namun semua nadanya salah dan sumbang. Kami tidak bahagia.
Padahal dia bisa bersama fans yang dia mau, saya juga bisa bersama fans yang saya mau. Tapi kenapa rasanya tidak benar? Hingga kemudian kami jatuh cinta lagi.
Kami jatuh cinta (lagi) terhadap satu sama lain. Cinta yang berbeda. Yang sudah lebih teruji, yang lulus ISO dan melewati QC. Pada siang yang hujan di kota yang panas ketika Lakhsmi menemani saya tugas ke luar kota kami bercinta gila-gilaan seakan dunia akan berakhir besok. Kami mengobrol tentang segala hal, apa saja, bekerja, lalu tidur hanya untuk mengembalikan energi dalam tugas luar kota yang berubah menjadi bulan madu dahsyat seakan kami baru jadian. Saat itulah saya menyadarinya, bahwa Lakhsmi-lah rumah saya. Dan saya tidak betah berada di luar rumah itu.
Habis mengobrol barusan, Lakhsmi tidur. Saya belum mengantuk karena sempat pingsan ketiduran sepulang kerja tadi karena malam kemarin saya tidur jam 2 pagi karena keasyikan baca buku, sementara Lakhsmi terbangun jam 2 pagi. Saya menulis ini sehabis menonton Steven Segal di televisi, lalu memutuskan untuk blogging dibanding harus memilih menonton Saw II, Halloween Resurection atau laporan pemilu di AS (do i look like i care?). Koneksi dengan telkomnet instan seakan masih hidup di zaman purba. Habis ini mau bekerja sebentar, dikejar deadline keparat, lalu tidur menunggu pagi menjelang, ngantor, dan kembali menjalani rutinitas nyata, kemudian sorenya pulang ke rumah. Ke Lakhsmi.
@Alex, RahasiaBulan, 2008
*fans = orang yang tahu hubungan saya dan Lakhsmi tapi ngeyel tetap mau menempelkan dirinya pada kami.
Pay It Forward
Kecapi koleksi sederhana tentang retrospeksi hidup, kronik harian, atau apresiasi hiburan direkat dalam mozaik sketsa lesbian.
Selamat datang. Aku si bulan itu. Dan ini rahasiaku.
Alex Lagi Ngapain Ya?
Jejaring SepociKopi
-
Club Camilan13 years ago
-
Topik: Sisterhood Unlimited!14 years ago
-
Surga Kepulauan Raja Ampat14 years ago
-
Kian Damai16 years ago
-
-