Saya lagi membayangkan bagaimana kiranya kalau saya tidak hidup bersama dengan Lakhsmi. Maksudnya kalau saya pacaran nggak "living together" seperti ini. Saya berusaha membayangkan waktu-waktu ketika kami harus terpisah lama beberapa waktu lalu. Saya memikirkan apa saja sih (selain bobo bareng, tentunya) yang membuat saya menderita setengah mati kalau saya tidak “living together” bersama Lakhsmi.
1. Makan
Hal pertama yang paling saya benci adalah tidak adanya teman makan. Walaupun saya doyan makan, tapi saya paling malas makan sendirian, apalagi makan malam. Dan tanpa ada pasangan, saya akan malas masak. Selain itu saya bisa tahan sendirian di kamar tanpa keluar selama berjam-jam selama ada roti dan susu. Bisa-bisa saya jadi zombie membusuk di rumah karena malas nyari makan.
2.Bertengkar
Ya, ya, kami kadang-kadang bertengkar kok. Kadang-kadang kami belum sampai di rumah saat kami sudah ribut. Bertengkar lewat telepon atau SMS, grrhhh banget rasanya, dan konyol. Nah, yang bikin bete adalah kalau saya nggak bisa pulang dan berhadapan langsung dengannya lalu berbaikan. Arrrrrrghhhhhhhhhh... rasanya ada rasa nggak enak yang nyangkut di lidah sebelum kami ketemuan lalu membereskan segalanya face to face. Tidak perlu permintaan maaf berlebih, saya tahu kapan kami sudah baikan hanya dengan melihat wajahnya dan saat kami sudah saling menyentuh lagi.
3. Sakit
Saya tuh termasuk yang sering masuk angin. Kerokan menjadi acara wajib beberapa bulan sekali. Apalagi saat cuaca berubah-ubah nggak jelas seperti belakangan ini, sakit pun menjadi acara wajib. Kalau bukan saya, Lakhsmi yang sakit, atau anak-anak. Nah, di saat Lakhsmi sakit atau anak-anak sakit, saya bisa ada untuknya, bukan cuma mengiriminya SMS, “Bayangkan aku ada di sana bersamamu.” Yeah, yeah, kalau baru sebulan pacaran sih, SMS seperti itu romantis, tapi kalau udah lewat setahun, plis deh basinya. Di saat saya sakit pun begitu. Lakhsmi dengan sigap mengurusi saya sampai sembuh. Walaupun biasanya dia sering ngomel-ngomel kalau mengeroki saya yang menggeliat terus seperti belut, tapi sentuhannya tokcer lebih manjur daripada obat dokter.
4. Teman Ngobrol
Dulu, sebelum barengan, saya menghabiskan berjam-jam teleponan dengan Lakhsmi. Kuping panas, waktu habis hanya untuk teleponan. Lama-lama saya bosan, sumpe deh... saya udah nggak tau lagi mau ngobrol apa. Kadang-kadang kami kehabisan topik obrolan, kadang-kadang kami udah nggak tau lagi mau cerita apa. Keheningan terlalu lama di telepon juga mengerikan karena membuat kami tersadar bahwa kami mulai nggak konek. Kebanyakan ngobrol ternyata hanya mengulang-ulang cerita yang sama dan saya bisa mendengar dia mulau bosan, sementara saya juga udah mulai kehabisan cerita menarik. Tapi living together ini ajaib, kami nggak pernah kehabisan resources, seakan ada aja topik menarik yang muncul hanya dengan melihat isi kulkas, atau tukang listrik yang belum datang memperbaiki bohlam putus. That's the magic of living together.
5. Anak-Anak
Last but not least. Tiap hari saya selalu kepingin pulang cepat dan bertemu dengan anak-anak, menyiapkan makan malam atau kalau mereka mau, saya dengan senang hati menyiapkan camilan. Selain ketemu maminya, tentu saja. Tapi melihat anak-anak berlarian di pagar menyambut saya datang dengan pelukan dan ciumannya... seringnya sambil menenteng keping DVD, minta izin saya untuk menyetelnya, wah rasanya saya melayang bahagia. Seperti kata my precious, I love you so big and more, not because you let me to watch DVD, but because I love you only.
@Alex, RahasiaBulan, 2009
Saya lagi naksir berat sama Rhona Mitra. Sebenarnya dia bukan bintang baru dalam kancah Hollywood, tapi melihat tiga film terakhirnya, saya langsung kelepek-kelepek naksir. Akhir bulan lalu saya nonton Doomsday, saking sukanya sama Rhona Mitra yang main sebagai Eden Sinclair dalam film ini, saya ngubek-ngubek film dia sebelumnya, nyari DVD Skinwalkers, dan terakhir saya nonton Underworld: The Rise of the Lycans. Yeah, semuanya film nggak penting dan nggak akan jadi nominasi Oscar atau award apa gitu. Tapi yang penting dari semua film itu adalah cewek yang jadi jagoannya.
Di antara tiga film ini, menurut saya dia paling keren di Doomsday. Di film ini Rhona jadi Mayor Kathleen “Eden” Sinclair yang mengingatkan saya sama Snake Pliskin tokoh yang diperankan Kurt Russel dalam Escape From New York dengan sebelah mata ditutup ala bajak laut. Doomsday bercerita tentang bumi yang kena virus apa gitu dan mengingatkan saya juga sama film Resident Evil. Hm, jadi inget sama Mbak Alice alias Mila Jovovitch. Eniwei, film ini penuh aksi dan tembak-tembakan seru yang cucok ditonton sama mereka yang suka Resident Evil, 28 Days Later, Escape from New York, dan Mad Max. (Film gue banget deh pokoknya...)
Di sini Eden Sinclair, sang jagoan, yang harus menemukan antivirus yang konon bisa menyembuhkan virus pemusnah manusia itu. Dia cuma punya waktu 36 jam untuk melakukannya... Tapi secara dia jadi jagoan, tenang aja deh tentu saja dia berhasil. Pake acara berantem, tembak-tembakan, kebut-kebutan yang keren abis.
Film kedua yang saya tonton adalah Skinwalkers, sumpe deh nih film katro banget, hehehe, untung cuma nonton di DVD pinjaman jadi nggak berasa dirampok. Ceritanya tentang werewolf nggak jelas gitu. Dalam film ini anak lelaki “tertentu” pada usia 13 tahun bisa berubah jadi werewolf, kalo nggak salah sih karena anak itu “half blood”. Nah, sang ibu anak itu diperankan oleh Rhona Mitra. Di Skinwalkers, Rhona berhadapan dengan geng werewolf jahat yang ingin menghabisi putranya. Walaupun rada katro, film ini punya special effect yang lumayan, dan untungnya masih ada pemandangan indah mbak Rhona yang sering banget pake kaus ketat, hehehe. Layak tonton kok buat mereka yang menyukai film-film horor kelas B yang penuh darah, makhluk jejadian, dan jeritan-jeritan.
Dalam Underworld: The Rise of The Lycans, Rhona Mitra yang memang mirip Kate Beckinsale jelas masih kalah pamor dan berada di bawah bayang-bayang Kate, tapi penampilan Rhona juga menciptakan penggemarnya sendiri. Di film ini Rhona yang berperan sebagai vampir Sonja berhubungan cinta terlarang dengan lycan. Dan sekali lagi Rhona membuktikan diri sebagai ikon baru jagoan aksi. Adegan tarung pedang di bawah hujan, plus baju kulit hitam ketat membuatnya jadi makin sexy. Layak tonton juga buat penggemar vampir, makhluk jejadian, dan penggemar seri Underworld.
Sebenarnya pertama kali saya melihat Rhona Mitra ini adalah dalam mini seri TV Spartacus (yang pernah diputar di stasiun TV Indosiar, kalau nggak salah), jadi istrinya Spartacus. Mungkin lebih tepatnya saat itu saya berpikir, “Eh, nih cewek cakep juga ya.” Baru kemudian saya ingat lagi awal tahun ini. Aduh, mbak Rhona ini nggak cocok deh main film drama jadi cewek lembek, hayo, sana, main film action lagi, dengan kaus ketat dan senjata di tangan. Dijamin saya jadi penonton pertama yang antre di bioskop. :) Hayooo, buat yang belum nonton film-film yang saya sebut di atas, sana cari DVD-nya atau nunggu aja diputar di bioskop TransTV tahun depan :)
Rhona Mitra jadi terdengar makin seksi apalagi dengan aksen British-nya. Dia memang kelahiran London 32 tahun lalu, yang awalnya dikenal sebagai model. Beberapa serial TV juga dilakoninya, antara lain Party of Five, Boston Legal, The Practice, dan Nip/Tuck. Rumor yang beredar belakangan adalah dia dicalonkan sebagai pemeran Catwoman atau Wonder Woman. Uh, udah ngebayangin dia pakai baju ketat lagi, sluruf, semoga rumor ini tidak jadi sekadar rumor. Kini nama Rhona Mitra makin berkibar, dan dia menjadi idaman lesbian geek serta cowok-cowok penggemar film sci-fi. Termasuk saya.
@Alex, RahasiaBulan, 2009
Ingin kukecup bibirmu di bawah hujan,
tapi rasanya tak mungkin
karena kau begitu mencintai payungmu.
Jadi kunikmati saja setiap kecupan yang bisa kuperoleh.
Di balik pintu, di dapur, di kursi makan, di sofa, di ranjang, di mobil, di kamar mandi,
di mana pun selain di bawah hujan.
@Alex, RahasiaBulan, 2009
Kalau Kaulupakan Aku
(Pablo Neruda)
Aku mau kau tahu
satu hal.
Kau tahu bagaimana rasanya:
kalau aku memandang
bulan kristal, di ranting merah
musim gugur yang bergerak lambat di jendelaku,
kalau aku sentuh
di dekat perapian
abu lembut
atau tubuh keriput kayu,
semuanya membawaku padamu,
seolah semua yang ada,
aroma, cahaya, logam,
adalah kapal kapal kecil
yang berlayar
menuju pulau-pulaumu yang menungguku itu.
Jadi, sekarang,
kalau sedikit demi sedikit kau berhenti mencintaiku
aku akan berhenti mencintaimu sedikit demi sedikit.
Kalau tiba-tiba
kau melupakanku
jangan cari aku,
karena aku pasti sudah akan melupakanmu.
Kalau kau pikir panjang dan gila
angin panji panji
yang berlalu dalam hidupku,
dan kauputuskan
untuk meninggalkanku di pantai
hati di mana akarku berada,
ingatlah
hari itu juga,
jam itu juga,
aku akan melepaskan tanganku
dan akarku akan berlayar
mencari negeri baru.
Tapi
kalau setiap hari,
setiap jam,
kau rasa kau memang ditakdirkan untukku
dengan kelembutan yang tak terkira,
kalau setiap hari sebuah bunga
naik ke bibirmu mencariku,
ah sayangku, kekasihku,
dalam diriku semua api itu akan terbalas,
dalam diriku tak ada yang akan padam atau terlupakan,
cintaku hidup dari cintamu, kekasihku,
dan selama kau hidup cintaku akan terus dalam
rangkulanmu
tanpa meninggalkanku.
-terjemahan Saut Situmorang
Beberapa minggu sebelum Valentine, saya mencari-cari puisi yang saya rasa pas untuk kesempatan ini. Tadinya saya tidak melirik puisi Pablo Neruda, karena saya pernah mengirimi Lakhsmi puisi Pablo Neruda yang diterjemahkan dengan istimewa oleh sahabat saya. Saya juga tidak berniat mengiriminya puisi Sapardi karena alasan personal yang tidak bisa saya sebutkan di sini, hehehe.
Saya beralih ke Rilke atas rekomendasi sahabat, tapi saya pernah memberinya Rainier Marie Rilke untuk ulang tahun. Ah, masa Rilke lagi? Nggak pernah saya bayangkan bahwa urusan mencari puisi untuk partner bisa jadi ribet dan rumit. Nyaris saya menulis puisi sendiri, yang sudah saya coret-coret sampe nggak keruan. Biarlah puisi itu disimpan dulu untuk nanti di acara khusus lain.
Beberapa nama penulis saya cari-cari puisinya. Jokpin, Lan Fang, Andrei Aksana. Ah, nggak ada yang cocok. Hampir juga saya memilih salah satu puisi Federico Garcia Lorca dan Walt Whitman, hingga akhirnya saya berpulang ke favorit saya, Pablo Neruda. Saya pernah membaca versi bahasa Inggris puisi di atas, tapi terjemahan Saut Situmorang "mengganggu" saya terus-terusan. Saya nggak mau puisi yang terlalu mendayu-dayu atau terlalu manis sampai bikin muntah. Puisi Neruda ini saya anggap puisinya yang paling realistis dan cocok untuk kami.
Eniwei, aku cuma mau bilang Happy Valentine, Darlin'. Sori aku harus kerja pas Valentine... :D
@Alex, RahasiaBulan, 2009
Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekkah
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza
Tapi, aku ingin habiskan waktuku di sisimu, sayangku
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
Atau tentang bunga-bunga yang
manis di lembah Mendalawangi
Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
Tapi aku ingin mati di sisimu, manisku
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu
Mari sini, sayangku
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung
Kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa
*Soe Hok Gie*
[Selasa, 11 November 1969]
Belakangan ini saya sedang keranjingan Facebook. Selain saya senang jadi pusat perhatian, saya senang memerhatikan orang-orang di sana saling berjejaring. Di antara ratusan sahabat saya, ada beberapa yang merupakan pasangan suami istri di sana. Semua pasangan ini sudah saya kenal melalui dunia real.
Ada beberapa pasangan suami-istri yang menjadi pasangan favorit saya. Ada pasangan yang melamar pasangannya lewat milis. Ada pasangan yang memiliki profesi sama. Ada pasangan yang memiliki profesi yang nggak nyambung. Ada pasangan yang istrinya jadi ibu rumah tangga. Saya menikmati interaksi mereka. Beberapa di antaranya ada yang memiliki blog/website sendiri-sendiri di luar Facebook.
Setiap kali melihat pasangan-pasangan suami-istri itu, saya sering kali tersenyum. Dua-tiga pasangan itu menjadi panutan saya. Mereka itu memiliki “it” factor. Gimana ya menerangkannya? Ada sesuatu dalam diri mereka berdua yang saling melengkapi, tidak perlu menyatakan cinta terus-menerus, tapi kita tahu ada cinta dalam hubungan mereka. Tidak perlu saling menanggapi komen secara berlebihan tapi kita tahu pasangannya selalu ada untuknya.
Bukan, bukan karena mereka pasangan heteroseksual lalu karena kita anggap mereka sudah mendapat pengakuan jadi mereka tidak perlu lagi bersusah payah menunjukkan cinta mereka. Tidak, bahkan mereka tidak saling lebay menunjukkan cinta secara berlebih. Bahkan di Facebook mereka punya kehidupan masing-masing, tidak saling bersusah payah menunjukkan diri jadi pasangan yang sakinah.
Gini deh, saya kasih contoh. Ada pasangan A dan B. Si A ini, sang suami, memiliki pandangan-pandangan gila dan nyeleneh dalam banyak hal. Musuhnya banyak, pemujanya juga. Si B, sang istri, lebih tenang, tapi dalam beberapa hal dia punya gigitan lebih tajam dibanding sang suami. Pemikiran-pemikirannya bervisi, mantap, walau tidak segila suaminya. Terkadang mereka berbeda pendapat. Setiap kali kami melihat pasangan A dan B ini, saya selalu mengerti kenapa mereka bisa sehidup-semati bersama walaupun tinggal di rumah sederhana dalam gang gelap. Kalau bicara soal cinta yang bisa saling menghidupi, saya selalu menganggap mereka berdua sebagai panutan.
Ada pula pasangan C dan D. Keduanya memiliki profesi yang serupa tapi tidak sama persis. Saya pernah bertanya pada sang istri, apakah karena mereka berprofesi sama maka mereka bisa tampak serasi. Si istri tertawa, dan bilang justru mereka sering berbeda pendapat bila berdiskusi soal profesi mereka. Dan lebih baik tidak berdiskusi tentang pekerjaan mereka jika tidak mau ngambekan sebelum tidur. Tapi di luar itu, mereka saling mengisi sedemikian rupa. Tapi pasangan ini memiliki “it”. Setiap kali mereka tampil berdua, hati saya selalu menghangat.
Pasangan E dan F memiliki profesi yang bisa dibilang tidak nyambung. Saya bahkan tidak tahu itu istrinya ketika saya melihat Facebooknya, tapi cara mereka berinteraksi, cara mereka menunjukkan perhatian sekali lagi memberi saya kehangatan yang membuat saya percaya masih ada cinta sejati di dunia ini.
Melalu Facebook, masing-masing individu dari pasangan suami-istri ini memiliki ruang ekspresi sendiri, menjadi diri mereka sendiri, dan entah bagaimana terkoneksi dengan pasangannya melalui ruang maya yang memberikan mereka jarak tapi juga kedekatan.
Kadang-kadang saya merasa pasangan lesbian sering kali mencoba terlalu keras dalam mengusahakan hubungan. Mengapa? Apakah karena tidak ada tali ikatan pernikahan, sebab itu usaha yang harus sekuat tenaga dapat menjadi pengganti tali ikatan itu? Sebab, tanpa lembaga pernikahan, apa lagi yang pasangan lesbian miliki untuk mengikrarkan cintanya? Ribuan kata-kata semanis madu dan sumpah untuk saling mencintai dapat dipamerkan, tapi kualitasnya tetap tidak dapat menggantikan ikatan pernikahan. Pernikahan menyatukan dua keluarga; pernikahan menjadi bukti komitmen cinta sepasang manusia; pernikahan menunjukkan kepemilikan.
Di dunia iPod dan Facebook ini, pasangan suami istri tidak perlu berusaha sekuat tenaga menunjukkan kepada dunia bahwa mereka memiki sekeranjang cinta yang perlu dipamerkan. Kalau sang suami hanya perlu menulis tentang statusnya menikah, demikian juga dengan istrinya, menunjukkan bahwa mereka manusia yang sudah tidak available; menunjukkan bahwa mereka manusia yang mempunyai komitmen. Sementara, bagaimana dengan pasangan lesbian? Ketiadaan pernikahan membuat mereka harus berusaha menciptakan "ilusi" status pernikahan. Ilusi sebagai deklarasi yang jelas bahwa mereka adalah pasangan yang beware-don't-try-to-woo-us-because-we-are-so-much-in-love. Ilusi sebagai deklarasi yang jelas bahwa mereka adalah pasangan yang serasi dan pantas sepantas-pantasnya.
Pasangan sesama jenis, terutama lesbian, terkadang berlebihan mengagungkan cinta. Kalau cinta sudah bicara, yang salah pun jadi benar. Demi cinta, kupersembahkan segalanya. Apa pun yang kau mau kuberikan untukmu, Sayang, selama kau mendampingku. Ah, bullshit banget itu.
Saya berusaha melihat pasangan-pasangan hetero ini di luar konteks pernikahan mereka. Dalam pasangan-pasangan favorit saya itu, saya menemukan persahabatan yang erat dan komitmen tak tertulis antara mereka. Kesakralan dan kesucian hubungan mereka bukan lagi diikat oleh selembar kertas tapi lebih pada companionship. Berbeda pendapat pun oke dan sah-sah saja.Tapi satu hal yang sering saya temukan dari pasangan-pasangan ini adalah bagaimana kebersamaan mereka menimbulkan positive output. Tidak melulu soal cinta dan ke"kita"an tapi kebersamaan itu juga menghasilkan keluaran positif bagi masing-masing individu.
@Alex, RahasiaBulan, 2009
Pay It Forward
Kecapi koleksi sederhana tentang retrospeksi hidup, kronik harian, atau apresiasi hiburan direkat dalam mozaik sketsa lesbian.
Selamat datang. Aku si bulan itu. Dan ini rahasiaku.
Alex Lagi Ngapain Ya?
Jejaring SepociKopi
-
Club Camilan12 years ago
-
Topik: Sisterhood Unlimited!13 years ago
-
Surga Kepulauan Raja Ampat13 years ago
-
Kian Damai15 years ago
-
-
Jejaring Sahabat
Komen Terbaru
Kategori
- lesbian (79)
- film (63)
- Personal Life (51)
- Opini (40)
- Intermezzo (38)
- buku (29)
- TV (14)
- persona (12)
- gay (11)
- remaja (10)
- Asia (9)
- love (7)
- biseksual (5)
- coming out (4)
- poem (4)
- subteks (4)
- L Word (3)
- transeksual (3)
- South of Nowhere (2)
- Lakhsmi (1)
- cinta (1)
- lagu (1)