10:49 PM

Cinta dalam Dunia Facebook

Posted by Anonymous |

Belakangan ini saya sedang keranjingan Facebook. Selain saya senang jadi pusat perhatian, saya senang memerhatikan orang-orang di sana saling berjejaring. Di antara ratusan sahabat saya, ada beberapa yang merupakan pasangan suami istri di sana. Semua pasangan ini sudah saya kenal melalui dunia real.

Ada beberapa pasangan suami-istri yang menjadi pasangan favorit saya. Ada pasangan yang melamar pasangannya lewat milis. Ada pasangan yang memiliki profesi sama. Ada pasangan yang memiliki profesi yang nggak nyambung. Ada pasangan yang istrinya jadi ibu rumah tangga. Saya menikmati interaksi mereka. Beberapa di antaranya ada yang memiliki blog/website sendiri-sendiri di luar Facebook.

Setiap kali melihat pasangan-pasangan suami-istri itu, saya sering kali tersenyum. Dua-tiga pasangan itu menjadi panutan saya. Mereka itu memiliki “it” factor. Gimana ya menerangkannya? Ada sesuatu dalam diri mereka berdua yang saling melengkapi, tidak perlu menyatakan cinta terus-menerus, tapi kita tahu ada cinta dalam hubungan mereka. Tidak perlu saling menanggapi komen secara berlebihan tapi kita tahu pasangannya selalu ada untuknya.

Bukan, bukan karena mereka pasangan heteroseksual lalu karena kita anggap mereka sudah mendapat pengakuan jadi mereka tidak perlu lagi bersusah payah menunjukkan cinta mereka. Tidak, bahkan mereka tidak saling lebay menunjukkan cinta secara berlebih. Bahkan di Facebook mereka punya kehidupan masing-masing, tidak saling bersusah payah menunjukkan diri jadi pasangan yang sakinah.

Gini deh, saya kasih contoh. Ada pasangan A dan B. Si A ini, sang suami, memiliki pandangan-pandangan gila dan nyeleneh dalam banyak hal. Musuhnya banyak, pemujanya juga. Si B, sang istri, lebih tenang, tapi dalam beberapa hal dia punya gigitan lebih tajam dibanding sang suami. Pemikiran-pemikirannya bervisi, mantap, walau tidak segila suaminya. Terkadang mereka berbeda pendapat. Setiap kali kami melihat pasangan A dan B ini, saya selalu mengerti kenapa mereka bisa sehidup-semati bersama walaupun tinggal di rumah sederhana dalam gang gelap. Kalau bicara soal cinta yang bisa saling menghidupi, saya selalu menganggap mereka berdua sebagai panutan.

Ada pula pasangan C dan D. Keduanya memiliki profesi yang serupa tapi tidak sama persis. Saya pernah bertanya pada sang istri, apakah karena mereka berprofesi sama maka mereka bisa tampak serasi. Si istri tertawa, dan bilang justru mereka sering berbeda pendapat bila berdiskusi soal profesi mereka. Dan lebih baik tidak berdiskusi tentang pekerjaan mereka jika tidak mau ngambekan sebelum tidur. Tapi di luar itu, mereka saling mengisi sedemikian rupa. Tapi pasangan ini memiliki “it”. Setiap kali mereka tampil berdua, hati saya selalu menghangat.

Pasangan E dan F memiliki profesi yang bisa dibilang tidak nyambung. Saya bahkan tidak tahu itu istrinya ketika saya melihat Facebooknya, tapi cara mereka berinteraksi, cara mereka menunjukkan perhatian sekali lagi memberi saya kehangatan yang membuat saya percaya masih ada cinta sejati di dunia ini.

Melalu Facebook, masing-masing individu dari pasangan suami-istri ini memiliki ruang ekspresi sendiri, menjadi diri mereka sendiri, dan entah bagaimana terkoneksi dengan pasangannya melalui ruang maya yang memberikan mereka jarak tapi juga kedekatan.

Kadang-kadang saya merasa pasangan lesbian sering kali mencoba terlalu keras dalam mengusahakan hubungan. Mengapa? Apakah karena tidak ada tali ikatan pernikahan, sebab itu usaha yang harus sekuat tenaga dapat menjadi pengganti tali ikatan itu? Sebab, tanpa lembaga pernikahan, apa lagi yang pasangan lesbian miliki untuk mengikrarkan cintanya? Ribuan kata-kata semanis madu dan sumpah untuk saling mencintai dapat dipamerkan, tapi kualitasnya tetap tidak dapat menggantikan ikatan pernikahan. Pernikahan menyatukan dua keluarga; pernikahan menjadi bukti komitmen cinta sepasang manusia; pernikahan menunjukkan kepemilikan.

Di dunia iPod dan Facebook ini, pasangan suami istri tidak perlu berusaha sekuat tenaga menunjukkan kepada dunia bahwa mereka memiki sekeranjang cinta yang perlu dipamerkan. Kalau sang suami hanya perlu menulis tentang statusnya menikah, demikian juga dengan istrinya, menunjukkan bahwa mereka manusia yang sudah tidak available; menunjukkan bahwa mereka manusia yang mempunyai komitmen. Sementara, bagaimana dengan pasangan lesbian? Ketiadaan pernikahan membuat mereka harus berusaha menciptakan "ilusi" status pernikahan. Ilusi sebagai deklarasi yang jelas bahwa mereka adalah pasangan yang beware-don't-try-to-woo-us-because-we-are-so-much-in-love. Ilusi sebagai deklarasi yang jelas bahwa mereka adalah pasangan yang serasi dan pantas sepantas-pantasnya.

Pasangan sesama jenis, terutama lesbian, terkadang berlebihan mengagungkan cinta. Kalau cinta sudah bicara, yang salah pun jadi benar. Demi cinta, kupersembahkan segalanya. Apa pun yang kau mau kuberikan untukmu, Sayang, selama kau mendampingku. Ah, bullshit banget itu.

Saya berusaha melihat pasangan-pasangan hetero ini di luar konteks pernikahan mereka. Dalam pasangan-pasangan favorit saya itu, saya menemukan persahabatan yang erat dan komitmen tak tertulis antara mereka. Kesakralan dan kesucian hubungan mereka bukan lagi diikat oleh selembar kertas tapi lebih pada companionship. Berbeda pendapat pun oke dan sah-sah saja.Tapi satu hal yang sering saya temukan dari pasangan-pasangan ini adalah bagaimana kebersamaan mereka menimbulkan positive output. Tidak melulu soal cinta dan ke"kita"an tapi kebersamaan itu juga menghasilkan keluaran positif bagi masing-masing individu.

@Alex, RahasiaBulan, 2009

1 comments:

Anonymous said...

kau suka banget ini lex... jeli sekali kamu melihat semua itu.

kagum.

aderain

Subscribe