11:20 PM

Opini: To Out or Not to Out

Posted by Anonymous |

Sebagaimana yang diketahui oleh banyak orang, walaupun tidak oleh seantero dunia, sebagian besar sahabat saya tahu bahwa saya lesbian. Kebanyakan teman di kantor pun tahu bahwa saya lesbian, walaupun saya tidak mengumumkannya di papan pengumuman atau coming out di TV atau koran atau ke keluarga. Partner saya bilang saya begitu “out”nya sehingga kadang-kadang membuatnya jengah. Dari segi penampilan saya bukan tipe “bapak-bapak”, demikian teman-teman straight saya sering menyebut mereka yang “butch”, jadi banyak teman saya yang mempertanyakan keputusan saya untuk out, karena menurut mereka saya tipe lesbian yang bisa “menyamar” di antara manusia hetero.

Well, buat saya coming out bukanlah masalah pilihan. Bagi saya coming out adalah suatu keharusan. Karena saya ingat betapa menderitanya ketika saya masih in-the-closet. Saya merasa lebih berdosa bila harus berpura-pura atau berbohong kepada sahabat-sahabat baik saya yang sudah mendampingi saya sejak masa pra-pubertas. Sebelum saya out, saya nyaris tidak bisa memandang mata lawan bicara saya ketika berbicara karena ketakutan yang menghantui saya karena saya takut orang yang saya ajak bicara bisa mengetahui rahasia terdalam yang saya simpan jauh-jauh di dasar otak dan hati saya.

Coming out bukanlah cara saya mencari sensasi. “Secara biar beda gitu looh,” demikan istilah ABG zaman sekarang. Saya tidak bermaksud beda. Coming out buat saya adalah cara untuk menyelamatkan diri saya sendiri dari kebutaan, dari kegelapan yang saya rasakan ketika saya bersembunyi di dalam lemari gelap sementara di luar lemari sana ada dunia yang benderang. Dunia yang memanggil-manggil saya dengan suaranya yang ramah namun saya abaikan, karena saya terlalu takut untuk membuka lemari dan keluar dari dunia sempit yang gelap dan menyesakkan.

Hingga sampai satu titik ketika saya memutuskan untuk tidak lagi hidup dalam kegelapan seperti itu karena saya tidak sanggup lagi menanggung keletihan yang saya rasakan karena mencemaskan pendapat orang tentang diri saya. Dan saya amat bersyukur memiliki banyak sahabat sejati yang begitu suportif ketika saya coming out terhadap mereka, walaupun saya juga sedih karena kehilangan beberapa sahabat saya karena ini.

Coming out tidak berarti tanpa risiko. Saya tidak perlu bercerita berapa kali saya diajak ke tempat keagamaan oleh seorang teman untuk “disembuhkan”, atau ditanyai pertanyaan-pertanyan melecehkan yang bikin kuping panas atau dipandang dengan tatapan hina saat saya bersama pasangan saya menghadiri acara publik, atau yang lebih bikin saya sakit hati ada teman perempuan yang enggan menginap sekamar dengan saya seolah2 saya akan memerkosa mereka pada saat mereka tidur. Atau ada teman lelaki yang mengajak saya tidur supaya saya “sembuh”. Dll, dst. Tapi buat saya, semua itu cuma efek samping seperti kita jadi mengantuk setelah minum obat batuk. Saya berusaha tidak memasukkan semuanya ke hati karena kalau semua sampah itu harus masuk, hati yang seluas samudra pun takkan muat menampungnya.

Jika saya bisa memilih, saya takkan mau jadi homoseksual di dunia heteroseksual. Tapi saya bisa memilih untuk out atau tidak out. Coming out buat saya adalah terapi. Terapi yang perlahan-lahan membuat hidup saya lebih bahagia, lebih jelas, lebih terfokus. Ibarat kupu-kupu, coming out membuat saya bermetamorfosis menjadi orang yang lebih sehat.


1 comments:

Anonymous said...

saya sedang mencari data skripsi mngenai coming out homoseksual tapi tak disengaja search google membawa saya masuk kedlm blog ini, saya membaca dg seksama stiap postblog dan sampailah diblog ini, im a lesbian dan baru coming out ke bbrp tmn itupun terpaksa krn patah hati... teman2 Saya tidak menjauh dri saya tp memaksa saya utk kembali sayapun ingin sekali namun ada rasa ketakutan krn saya tau saya kembali krn hanya patah hati yg amat sangat dg pacar perempuan saya ...
so now i dont know to describe for myself ...

anyway
nice to know you :)

Subscribe