Gara-gara tulisan saya To Out or Not to Out, saya ditanya beberapa orang; apakah Anda menganjurkan para gay/lesbian untuk coming out? Sama sekali TIDAK. Saya tidak menganjurkan coming out secara membabibuta pada semua orang, hingga membuatmu tidak punya identitas lain selain si Polan yang lesbian. Keputusan untuk coming out harus dilakukan dengan pemikiran matang dan masak. Kenapa? Sekali kau coming out, kau memasuki jalan yang tak ada titik balik. Kau tidak bisa meng-undo-nya. Bahkan sampai sekarang pun saya harus menghadapi konsekuensi coming out saya setiap hari di kantor, tempat saya menghabiskan setengah dari 24 jam saya setiap hari.
Kebanyakan sahabat saya tahu bahwa saya lesbian. Namun saya tidak pernah coming out pada orangtua atau keluarga besar saya. Dan tidak ada niat sedikit pun untuk melakukannya. Ibu saya sudah berumur 74 tahun, pernah menderita kanker dan katarak, dan saya tidak akan membuatnya tewas akibat sakit jantung dengan coming out pada beliau. Jangan salah, kami punya hubungan yang sangat dekat dan bisa saling bercerita, tapi saya merasa beliau tidak perlu mengetahui siapa diri saya sebenarnya. Saya yakin ibu saya akan menerima saya apa adanya jika saya coming out. Orang-orang yang kenal dengan ibu saya pasti akan bilang begitu. Tapi saya tahu pengakuan saya pasti akan membuatnya sedih dan gagal sebagai ibu. Dan saya tidak mau menjadi anak durhaka dengan membuatnya merasa jadi orang gagal. Bullshit dengan segala cerita bahwa kita tidak ingin orangtua kita meninggal tanpa tahu tentang diri kita yang sebenarnya, seperti yang sering kita lihat di film.
Saya juga tidak terpikir untuk coming out kepada keponakan-keponakan saya yang hampir semuanya sudah dewasa, meskipun saya dan mereka bersahabat layaknya orang yang seumur karena perbedaan umur kami yang tidak jauh. Buat apa? Supaya tante mereka kelihatan cool, karena lesbian jadi tren masa kini? Atau biar rasanya gimana gitu punya tante lesbi? Atau malah membuat mereka shock dan sedih? Nggak perlulah semua pengumuman itu.
Coming out saya hanya sebatas pergaulan dengan sahabat-sahabat hetero saya baik teman SMA, kuliah, bahkan sampai di tempat kerja. Kenapa saya melakukannya, bisa dibaca pada tulisan sebelum ini. Di tempat kerja, saya termasuk beruntung bisa bekerja di lingkungan yang amat terbuka dan menerima “perbedaan” serta keunikan masing-masing pribadi.
Butuh waktu belasan tahun bagi saya untuk coming out pada sahabat-sahabat karib saya yang sudah mengenal saya sejak di sekolah. Butuh 4-5 tahun bagi saya untuk akhirnya coming out di kantor, meskipun tidak semua orang tahu, dan sebagian besar hanya gosip dan desas-desus dan saya juga tidak punya waktu untuk menanggapi dan bilang pada semua orang, "Yes, I am a lesbian." Butuh waktu bertahun-tahun bagi saya untuk menancapkan karier dan posisi saya dengan baik lebih dulu sebelum coming out karena saya tidak mau dikenal sebagai Alex yang lesbian. Saya tidak mau menjadikan lesbian sebagai status saya apalagi menempelkannya sebagai status pekerjaan.
Saya coming out di kantor setelah menimbang baik-buruknya. Bagaimana orientasi seksual saya akan memengaruhi identitas profesi saya. Bagaimana hal itu kadang-kadang jadi batu sandungan atau lebih seringnya jadi batu lompatan. Bagaimana kadang-kadang saya terbantukan karena punya jejaring persahabatan lesbian/gay yang bisa saya ajak kerja sama dalam bentuk simbiosis mutualisma dengan profesi dan perusahaan saya bekerja. Jika tidak, buat apa saya melakukannya? Memangnya saya sudah gila? Jika saya lihat kondisi perusahaan tempat saya bekerja tidak kondusif untuk pengakuan saya, tentu saya tidak akan melakukannya. Tapi tentu saya tidak akan petentengan ke sana kemari dengan mengaku lesbian di mana-mana atau bahkan masuk televisi, misalnya. Saya juga harus menjaga nama baik perusahaan tempat saya bekerja. Tidak mungkin dong jika habis coming out di media massa, besoknya saya menerima teror atau semacamnya hingga membuat satpam kantor ikut kelabakan atas aksi konyol saya seperti itu.
Coming out punya dua sisi. Kau bisa mendapat kelegaan luar biasa, atau kau bisa kehilangan banyak. Saya tidak keberatan mendapat banyak cemooh atau sindiran dari kolega bisnis atau rekan kerja atau sahabat-sahabat dekat akibat orientasi seksual saya. Saya tidak keberatan kehilangan beberapa teman yang menjauhi saya saat mereka tahu saya lesbian. Tapi saya tidak bisa jika saya harus kehilangan keluarga atau mendapat cemooh dari keluarga. Buat saya teman baru bisa dicari lagi, tapi keluarga adalah sesuatu yang tak tergantikan.
@Alex, RahasiaBulan, 2007
You can't undo something that's happened; you can't take back a word that's already been said out loud. ---Nineteen Minutes by Jodi Picoult
2 comments:
saya jadi keingetan sama sahabat saya, yang pernah berantem sama saya karena pria saat smp dulu, sekarang sudah nggak bakal berantem lagi karena dia lesbi.
ingin sekali rasanya, saya memahami logika tindakan, serta logika perasaan dari rekan-rekan penyuka sesama jenis. bagaimana perasaan itu bisa tumbuh hingga akhirnya menjadi seperti sesuatu yang bukan merupakan 'kejanggalan'.
hei, apakah saat kamu membelai kekasihmu, perasaan itukah yang hadir, sama saat saya merasa hangat dibelai oleh kekasih saya?
Hai Hanya Perempuan,
kalo mau paham secara gampangnya ya seperti katamu itu.
coba baca tulisan ini deh:
http://rahasiabulan.blogspot.com/2006/12/opini-kapan-seseorang-sadar-dirinya.html
moga2 bisa membantu pemahaman
Post a Comment