10:03 PM

Opini: Rumput Tetangga (Memang) Tampak Lebih Hijau

Posted by Anonymous |

Kejadian ini sebenarnya terjadi beberapa bulan lalu. Seorang sahabat perempuan saya, sebut saja namanya Fifi, mengirimi saya SMS, mengajak saya menemaninya ke acara pernikahan seorang kolega. Selama ini saya sudah terkenal paling malas datang ke acara pernikahan, bukan saya anti pernikahan atau apa, saya sering malas datang ke acara semacam itu karena bosan ditanyai pertanyaan standar seperti, "Kapan nyusul?" Buset deh, emangnya lagi balap karung pakai acara susul-susulan? Maklum umur saya yang sudah memasuki kepala tiga, meskipun masih berjiwa 20 tahun :-) ini membuat banyak orang bertanya-tanya kenapa sampai sekarang saya belum menikah.

Akhirnya dengan setengah niat, saya menemani sahabat saya itu. Dan datanglah kami ke acara pernikahan yang diadakan di wilayah Jakarta Utara itu. Setelah berjuang mencari parkir yang nun jauh dari lokasi pernikahan, saya dan Fifi memasuki tempat penerima tamu alias meja tempat kita memberikan hadiah (oya, zaman sekarang orang biasanya cuma menerima amplop aja biar lebih praktis). Well, baru sampai di sana, saya langsung ditegur oleh seorang gadis yang duduk di meja penerima hadiah. Kaget juga saya, kok bisa-bisanya ada yang kenal sama saya padahal saya cuma menemani sahabat saya ke acara ini. Setelah berbasa-basi sejenak, saya jawab pada cewek itu bahwa saya cuma menemani sahabat perempuan saya. Bahwa saya tidak kenal dengan kedua mempelai blablahblahhh... saya buru-buru cabut dari meja itu.

Fiuh, setelah memasuki ruangan tempat resepsi, belum sempat saya dan sahabat saya mengambil makanan, kembali saya ditegur oleh seseorang. Kali ini teman ibu saya... hhhh!!! Ini makin kacau, sahabat saya juga jadi bingung, kenapa saya bisa-bisanya yang kenal banyak orang di sini sementara Fifi belum menemukan orang yang dikenalnya. Dan teman ibu saya juga (tampaknya) heran melihat saya (menemani) sahabat perempuan saya ke acara semacam ini. Makin lama saya dan sahabat saya di tempat ini bisa-bisa kami dikira sepasang lesbian. Hm, sebenarnya bukan kali pertama saya dan sahabat saya ini ditatap dengan pandangan aneh. Beberapa bulan sebelumnya, sahabat saya itu yang menemani saya ke acara pernikahan saudara sepupu saya. Di sana keadaan lebih gawat lagi, karena ibu sang mempelai yang notabene masih tante saya bingung berat melihat saya datang bersama seorang perempuan, bukannya datang bersama lelaki atau ibu saya. (Note: Saya sebenarnya tidak mau datang ke acara pernikahan sepupu itu, tapi karena ibu saya sakit, jadi saya terpaksa mewakili keluarga, hiks). Aneh gitu lhoo... masa datang ke acara kawinan dengan teman sesama jenis. Sumpah, saya masih ingat tatapannya sampai sekarang, dan mungkin itu juga alasannya tidak mengundang keluarga saya ketika anak keduanya menikah beberapa bulan setelah acara itu.

Singkat cerita, saya dan sahabat saya terburu-buru "melarikan diri" dari acara ini. Karena saya udah nyaris bersembunyi di balik pohon, sementara sahabat saya memilih kabur daripada "dikenalkan" dengan kakak mempelai pria yang masih singel dan katanya jago nyanyi seperti Delon.

Kami tertawa terbahak-bahak ketika sampai di mobil, menertawai kelucuan yang terjadi. Sahabat saya bilang "elu tuh lebih beruntung karena elu lesbi, coba kayak gue nih, umur sama kayak elo belum punya cowok juga, kan kesannya gue tuh nggak laku."
Sejenak saya terdiam merenungkan kata-katanya. Rumput tetangga memang tampak lebih hijau. Sahabat saya melihat hidup saya lebih beruntung dibanding dirinya yang belum juga dilamar sampai sekarang, bahkan cowok pun selama ini cuma TTM. Padahal dari segi wajah dan body sahabat saya itu nggak beda jauh sama saya, halah, kalau saya mau jujur dia masih satu tingkat di atas saya dari segi penampilan :).

"Masa sih gue lebih beruntung? Emang menurut elo enak jadi lesbi?" tanya saya.
Fifi langsung tertawa, dan menjawab, "Ya, gue sih nggak pernah jadi lesbi untuk tau enak atau nggak. Tapi paling nggak, gue ngeliat hidup elu tuh sebenarnya enak. Elu enak masih bisa punya pacar, sementara gue? Orang-orang sibuk ngenalin gue sama temen atau saudara lelaki mereka, dan hampir ngecap gue perawan tua. Kalo elo kan orang-orang tau elo punya pacar (cewek), mungkin masalahnya elo cuma nggak bisa nikah resmi aja sama pacar elo. Tapi kan dari segi hubungan, elo tuh enak udah nggak sendirian lagi."

Beberapa bulan setelah ini, seorang sahabat perempuan, yang mengaku straight tapi sering dituduh lesbian karena keakrabannya dengan komunitas GLBT berkata, "Enak kali ya jadi lesbi." Dan saya kembali teringat pada pernyataan Fifi sebelumnya.

Saya berusaha melihat situasi ini dari mata seorang heteroseksual. Jangan-jangan memang benar ada anggapan semacam itu, bahwa memang enak jadi lesbi. Saya mikir setengah mati sambil menulis blog ini pun, saya tidak bisa menemukan di mana “lebih enaknya”, dan kita tidak sedang bicara soal hubungan seks lhoo, :p.

Beberapa sahabat perempuan saya, terutama sahabat-sahabat terbaik saya, yang sering jadi teman hang out bersama saya adalah perempuan-perempuan singel (heteroseksual) dengan problematika mereka masing-masing, yang kalau kisah hidup mereka dibuat novel mungkin bisa jadi 300 halaman. Buat sebagian perempuan singel yang sampai usia kepala tiga belum juga menemukan jodohnya, mereka mengalami kegelisahan yang luar biasa. Bukan karena mereka ngebet kawin atau apa, tapi lebih berupa kegelisahan dalam menghadapi hidup sendirian hingga usia tua. Belum lagi tekanan dari orangtua dan keluarga agar mereka cepat-cepat menikah, masih ditambah dengan jam biologis yang berdetak makin cepat, plus teror pertanyaan dari rekan-rekan sekantor atau yg lebih parah, pertanyaan dari teman-teman yang sudah menikah.

Masalahnya dengan perempuan-perempuan straight ini (terutama yang masih lajang), mereka tidak punya alasan sama sekali kenapa sampai sekarang mereka masih sendirian. Dan saat melihat sahabat mereka yang lesbi, mereka jadi berpikir, hhhh, kalau saja gue lesbian mungkin lebih enak ya karena gue jadi punya alasan kenapa gue masih “sendiri” sampai sekarang.

Well, itu cuma asumsi saya saja lho, dan saya juga tidak mau repot-repot bercerita kepada teman-teman perempuan saya yang straight tentang betapa menderitanya hidup sebagai lesbian... halaah! Akhirnya saya menjawab pada sahabat saya itu, "Fi, kalo dua puluh tahun lagi, elo masih sendirian, ya sudah kita tinggal bareng, elo tinggal sama gue dan partner gue aja, hahaha."

2 comments:

Anonymous said...

judulnya tepat banget. emang selalu gitu yah, rumput sebelah lebih ijo.

gay or straight, being single is challenging.

Anonymous said...

yup! betul banget!
being single is challenging.

Aku sering lihat tuh kadang2 demi nggak sendirian, orang tetap bertahan dalam hubungan yg buruk.

Subscribe