5:19 PM

Opini: Happy Ending = Utopia?

Posted by Anonymous |

Seperti apa sih dunia dengan akhir bahagia buat kaum homo/lesbi? Apakah akhir yang bahagia cuma utopia bagi kita? Saya tidak bermaksud sinis lho. Ini cuma pertanyaan wajar yang timbul setelah ber-SMS-an dengan seorang sahabat. Dia (perempuan) bercerita bahwa kekasihnya (perempuan) hendak menikah dengan lelaki karena memang itulah yang seharusnya terjadi, kan? Perempuan menikah dengan lelaki lalu memiliki anak dan keluarga. Tidak peduli betapapun cintanya sahabat saya terhadap perempuan kekasihnya itu, mereka tidak bisa bersatu. Lalu sahabat saya bilang, kekasihnya mengajak mereka tetap menjalin hubungan setelah dia menikah nanti. Halah! (Saya sih menyarankan agar dia putus aja sama pacarnya sekarang, daripada sakit hati nanti, --red)

Duh, kenapa ya kasus-kasus semacam ini sering terjadi dalam banyak hubungan sesama jenis?

Dalam dunia utopia versi saya, dengan atau tanpa legalitas pernikahan sesama jenis, seharusnya kita bisa punya hak untuk bersama orang yang kita cintai. Namun jelas itu cuma utopia. Kita hidup berpagarkan norma-norma yang seharusnya jadi penjaga diri kita. Atau agama, misalnya, yang jadi pondasi hidup kita. Atau keluarga yang jadi atap dalam kehidupan kita. Dan semuanya tentu saja tidak bisa tinggalkan begitu saja. Untuk bisa hidup bersama orang yang kita cintai, sebagai homo/lesbi, banyak dari kita yang harus meninggalkan rumah yang nyaman tersebut, yang selama ini jadi tempat kita bernaung. Jelas tidak banyak yang memilih untuk itu. Dan hanya segelintir orang yang beruntunglah yang bisa mendapat pengakuan dari orang-orang terdekat dalam hidupnya.

Eniwei, balik lagi ke sahabat saya itu, dia bilang dia sudah terbiasa hidup “bersembunyi” karena itu satu-satunya cara bagi dia untuk bisa bersama kekasihnya. Saya bilang, saya tidak bisa hidup seperti itu. Dan sahabat saya bilang saya terlalu idealis karena saya sudah coming out. Partner hidup saya juga bilang saya menuntut terlalu banyak darinya soal pengakuan ini dan ingin menyeretnya menjadi orang yg dikenal sebagai lesbian. Halaaaah, bukannya dengan bersama saya pun dia sudah jadi lesbian? Bingung juga dengan logika berpikirnya.

Yah, mungkin akhir yang bahagia seperti hidup bersama pasangan kita hingga akhir hayat sampai maut memisahkan hanyalah utopia. Saya pribadi merasa saya tidak butuh selembar surat nikah yang resmi. Ayah dan ibu saya tidak pernah melegalkan pernikahan mereka hingga ayah saya meninggal, tapi orang-orang tetap menganggap saya anak dari ayah dan ibu saya. Ibu saya mendapat pengakuan di mata publik bahwa dia “menikah” dengan ayah saya, walaupun dalam banyak hal dia tidak mendapat hak istimewa yang seharusnya didapat oleh istri bila mereka menikah secara “legal”. Tapi paling tidak di mata saya mereka mendapat akhir yang bahagia. Paling tidak ibu saya bisa mendampingi ayah saya hingga akhir hayatnya.




 

5 comments:

Anonymous said...

Bicara soal utopia, dalam hubungan lesbian apalagi bagi orang yang sudah berkeluarga pastilah merupakan hal yang sudah biasa. Seberapapun cinta antara sepasang kekasih, betapapun manisnya impian yang dirajut bersama akan kandas di satu titik dimana keduanya mencapai kesadaran bahwa the dreamland itu memang adanya dalam mimpi.Ini saya bicara atas nama lesbian yang memilih untuk bersama keluarga demi berbagai alasan.
Seorang ibu lesbian yang saya kenal berkali-kali mengalami hal yg serupa.Sampai akhirnya dia sadar bahwa dia akan selamanya berada pada dilema seperti itu sehingga dia mulai bisa menerima kondisi itu apa adanya. Partner dia tempatkan pada posisi mau-mau, nggak-nggak. Ironisnya pada saat dia mulai menerima bahwa keluarga dan anak merupakan hal utama yang tidak akan dia abaikan selamanya, dia jatuh cinta pada partner barunya. Jatuh cinta dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Jatuh cinta sampai dia menempatkan partnernya pada posisi yang setara dengan keluarga terutama anaknya. Nah, kita sampai pada hal ironis lainnya. Cinta yang romantis bertabur bunga dan bumbu-bumbu lain itu hanya akan berakhir dalam waktu 19 bulan sejak mereka bertemu karena selama itulah sisa kontrak kerja sang partner. So, happy ending = utopia? Setuju sekalee!
C_K

Anonymous said...

hi C_K
Wah, kalo soal patah hati krn cinta, saya udah pernah mengalaminya (dangdut banget sih :p), tapi saya berusaha untuk tidak jadi orang yang getir. Emang susah sih kalo menjalin hubungan dengan lesbian yang punya keluarga. Ada skala prioritas yang tidak bisa diganggu gugat. Terutama soal anak. Mungkin saat menjalin hubungan dengan lesbian yang punya anak dan suami, bukan cinta romantis bertabur bunga lagi yang harus kita cari, tapi cinta yang realistis, yang bisa mengerti bahwa sang partner itu tidak bisa (selalu) jadi prioritas no.1.
Eniwei, thanks udah mampir dan menyempatkan diri memberi komen yang mencerahkan.

Alex

AJ's Lover said...

eh, gw pernah nulis soal ini. mungkin tipis hubungannya ama posting lu, tapi bisa jd ilustrasi kali ye. utopia atao realita, tergantung lu pilih yg mana aja:

http://finding-alaya.blogspot.com/2006/09/friend-1-her-boyfriend-is-in-town-her.html

AJ's Lover said...

eh, link yg gw kasih di atas itu salah bo :D ini yg benar:

http://finding-alaya.blogspot.com/2006/08/this-posting-is-dedicated-to-slesta.html

mumu said...

pacar saya malah sering nyuruh-nyuruh saya, "kamu nikah kek". maksudnya biar orang sekitar gak curiga dengan kami hehehe

Subscribe