12:20 AM

The Lightning Tree

Posted by Anonymous |

Kemari, kemarilah. Mendekatlah, dan dengarkan kata-kataku. Aku punya dongeng tentang pohon terang. Dongeng indah yang ingin kubagikan pada malam ini. Kemari, kemarilah. Letakkan telingamu di atas aku, Sang Bantal. Bantal adalah pendongeng yang paling pandai. Keturunan kami menyimpan jutaan dongeng dari ratusan negeri dan kerajaan. Kemari, kemarilah. Riapkan rambutmu, luruskan tungkaimu, dan sentuhkan pipimu yang lembut itu. Bergelunglah dengan nyaman. Sudah siapkah kau mendengar ceritaku?

Syahdan, bintang yang telah menjalani perjalanan mata dan hati berbaring di pasir dengan sedih. Bintang tak tahu bahwa putrinya, perempuan pemintal kata, telah kembali ke menara tinggi. Yang dia tunggu adalah pertanda dari langit, bahwa kelak dia dapat kembali menjadi sebentuk sinar yang berkelip-kelip di singgasananya. Sinarnya akan meraja, lebih besar dari wilayah kesultanan mana pun di dunia.

Dan malam pun turun, merengkuh bumi dan memeluknya diam-diam. Pendar bintang perlahan-lahan semakin lemah; pucat dan pudar. Dia berbaring miring di pasir, nyaris tenggelam di ribuan butirnya, kesepian, sambil memandang lengkung langit yang berwarna seperti rona samudra. Takdir bintang tercatat di sana, konon bintang yang telah jatuh di bumi takkan mampu kembali ke langit. Tapi tidak, bintang tidak rindu dengan langit, ia hanya rindu kepada kekasihnya. Saat air mata pertamanya meluncur turun, bintang pun mulai bernyanyi.

Lagu itu didendang sepenuh jiwa, sehingga suaranya terpantul dan bergema. Senandung bergita menjulang tinggi, membuat perempuan pemintal kata tercekat. Dia ingat tembang itu; selarik kidung yang berasal dari masa lalu – belum pudar oleh usia, dan tentu saja belum menua. Perempuan pemintal kata bergegas ke jendela, melempar tatap ke segala arah, mencari dan menilik. Dia tak melihat apa pun sejauh yang dapat dilihatnya. Putus asa dia menjulurkan tubuhnya jauh-jauh dari jendela. Sia-sia usahanya. Keberadaan sang biduan tetap tak terlihat.

Apa yang perempuan pemintal kata lakukan?

Dia menari!

Cahaya bulan menerobos jendela, menyinari rambutnya sehingga tampak berkilau. Dalam tariannya, dia meliuk dan bergemulai. Kakinya berdetak mengikuti irama lekukan tubuhnya. Detakan itu seritmis dengan napas semesta, sehingga semesta pun tergoda, menari bersamanya.

Belukar bergoyang, terpilah-pilah. Angin membubung tinggi, bergasing-gasing. Rumpun dan bunga berayun, berjeda-jeda. Ribuan pasir terbuai, berserak-serak.

Dan perempuan pemintal kata dapat melihat di mana letak bintang yang kini berbaring sendirian, tak di pasir, tak pula tertutup belukar maupun rumpun. Seluruh alam raya sedang menari, memberikan jendela lapang bagi perempuan pemintal kata untuk dapat memindai di mana letak kekasihnya.

Tatapan mereka berbenturan di udara. Hancur, lumat. Menimbulkan miliaran zat halus yang berubah menjadi embun di ujung kelopak daun yang setia mengikuti perjalanan musim agar terciptalah warna-warna memesona seperti warna sekotak krayon. Maka pohon pun terpesona dengan keindahan embun-embun itu. Dia mengucapkan mantra pohon, menyenandungkan bait dan syair, menggubah dendang terindah.

Perlahan-lahan bintang bergerak, tubuhnya menjadi ringan. Dia melayang di permukaan tanah, mendaki tujuh tangga pelangi, dan terus bergerak makin tinggi. Pohon berkata padanya, mahkotailah aku, bertakhtalah di ujung pucukku. Jikalau kau tak dapat berkilau di singgasana langit, duduklah di peraduanku. Bersinarlah terang, ceritakan kepada dunia tentang sekelumit kisah cinta yang kau punya bersama kekasihmu. Bintang pun naik, meletakkan dirinya dengan sempurna di ujung pucuk pohon. Berkedip-kedip, berkelip-kelip.

Perempuan pemintal kata melihat pemandangan itu. Seluruh jiwanya bergetar, senyumnya mengembang elok. Sepotong pohon, menjulang di tengah kegelapan hutan, ditandai oleh cahaya indah kekasihnya; Sang Bintang. Sinarnya sungguh meraja, membunuh kekelaman malam. Perempuan pemintal kata melafalkan syair terindah dari tempatnya berada, sehingga sinar bintang dan ribuan kata yang dipintalnya bergemerencing merdu bagai genta di udara. Cinta mereka bersatu di sana, seperti embun yang setia pada subuh.

Maka manusia yang melihatnya menandai peristiwa itu pada malam-malam tertentu. Mereka merayakan cinta dan kasih sayang dengan meletakkan pohon yang terhijau di ruangan tempat keluarga berkumpul, menghiasinya dengan aneka buah ceri dan gula-gula kapas, lalu meletakkan bintang bersepuh emas di atas pucuknya. Memang itu hanya sekadar bintang mainan, tapi saat setiap pasang kekasih melihat bintang itu, mereka diingatkan akan cinta yang tak lekang oleh waktu; cinta yang tak pernah menyerah oleh angin utara yang membekukan tulang; serta cinta yang tak sudi dipatahkan seperti ranting kering. Bintang adalah penanda, dan dongeng ini telah ditandai dengan sempurna oleh perempuan pemintal kata.

Beginilah akhir kisahku. Apakah kau tertidur, ataukah matamu terpejam karena kau menyimpan rapat-rapat rahasia ini? Kulihat air matamu menetes di pipi, usapkan padaku agar dapat kulihat pipimu kembali merona merah bagai apel terlezat. Kembalilah kapan-kapan, untuk seuntai dongeng lain yang ingin kuceritakan padamu. Kau pasti ingat sepanjang hela napasmu, ada sepenggal cerita yang dapat kau dengar di atas bantal.

@Alex, RahasiaBulan, 2007
*Tulisan ini adalah kado untuk hari ulang tahun saya.
Thank you, my dear Lakhsmi.

4 comments:

Anonymous said...

Kamu hanya perlu tau, kamu (dan sepaket dengan partner-mu) adalah salah satu paket terbaik yang Tuhan kirim dalam hidupku, dan untuk itu aku tidak akan pernah jemu meminta agar Tuhan melindungi setiap langkahmu dan mengiringinya dengan berkat yang berlipat.

Selamat Ulang Tahun

Anonymous said...

Terima kasih atas doanya, CB.
Kehadiran kamu dan partnermu juga memberi warna dalam hidup kami, dan beruntunglah kami bisa mengenal kalian.

Anonymous said...

Happy happy Birthday dear Alex..
Sagita.

Truth Hurts said...

Happy Birthday, Kak...
May your life is fill with joy and happiness, alway... :)

Subscribe