Malam Natal tiba. Di antara semua hari libur, hari Natal selalu jadi hari libur favorit saya. Meskipun kadang-kadang ada kesedihan luar biasa pada hari Natal karena ayah saya meninggal tepat pada hari Natal lebih dari 20 tahun lalu. Entah kenapa Natal—meskipun saya tidak merayakannya—selalu membawa kesan keajaiban tersendiri bagi saya.
Natal membawa suasanya keceriaan, kedamaian, dan mukjizat. Tidak heran, karena film Natal favorit saya adalah It’s a Wonderful Life. Saya bisa menonton film hitam-putih yang dirilis tahun 1946 itu setiap Natal, seperti ketika zaman Orba dulu saya dipaksa nonton film Pengkhianatan G30S/PKI. Bedanya, saya bahagia menonton It’s a Wonderful Life. Ceritanya tentang seorang lelaki yang memutuskan untuk bunuh diri pada malam Natal karena merasa hidupnya terpuruk dan merasa dunia lebih baik tanpa kehadirannya. Namun usaha bunuh diri itu gagal karena lelaki itu diselamatkan oleh “calon malaikat”. Dan pada akhirnya lelaki itu sadar bahwa kehadiran seseorang, seberapa pun tak pentingnya, bisa menyentuh hidup orang lain sedemikian rupa dan menjadikan hidup jadi tak pernah sama lagi tanpa kehadirannya.
Tahun ini begitu banyak orang baru yang masuk dalam hidup saya dan partner. Ada yang kehadirannya mengejutkan bak terjangan badai, ada yang seperti hantaman gelombang laut, ada yang tenang bagai angin sepoi-sepoi sore hari. Dan kehadiran orang-orang itu menyentuh hidup kami sedemikian rupa hingga menjadikannya tak pernah sama lagi. Kemarahan, kesedihan, kekacauan, kegembiraan, keceriaan, kini sudah berpadu dan menjadikan kami orang-orang yang hidupnya saling bersentuhan dan berbelitan dengan cara yang ajaib dan sulit dimengerti dengan logika.
Di malam Natal seperti ini, percayakah kau pada mukjizat? Jiwa dewasa saya tidak bisa percaya lagi pada Santa Claus yang datang membawa hadiah dengan kereta yang ditarik rombongan rusa kutub. Namun ada jiwa yang tak pernah mati dalam diri saya yang percaya pada segala keajaiban yang bisa timbul di hari yang kudus ini.
Hari ini 24 Desember 2007. Hari penuh keajaiban berlalu demikian tak terasa. Dimulai dengan pagi yang heboh karena harus menemani Lakhsmi ke dokter mata, siang yang bingung hingga akhirnya memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama Will Smith sang Legenda, dan malam yang berusaha kami jadikan malam romantis dengan candlelight dinner di restoran di puncak gedung tinggi. Namun keajaiban terbesar terjadi di rumah, ketika kami pulang dan anak-anak menunggu kami tidak sabar untuk menaruh rumput di sepatu mereka dan menyiapkan susu dan kue untuk Santa Claus yang akan datang pada tengah malam.
Saya bertanya dalam hati, jika anak-anak ini tak pernah ada dan menyentuh hidup saya, akan seperti apakah hidup saya? Apakah akan lebih baik? Karena tanpa anak-anak dan partner, saya bisa bebas menjalani hidup liar, merdeka, tanpa tanggung jawab. Kemudian Lakhsmi memandang saya dan tersenyum, sementara si kecil yang berada dalam gendongan mengecup bibir kami berdua lalu minta dibuatkan susu botolnya. Dan saya tahu, saya tidak bisa lagi membayangkan hidup tanpa mereka. Bersama anak-anak dan Lakhsmi, mengutip pernyataan Walt Whitman, “To me every hour of the light and dark is a miracle.”
Natal memang penuh keajaiban. Keajaiban yang datang seperti mukjizat, mengantar makna hidup lebih daripada hidup itu sendiri. Dan, seperti malam-malam sebelumnya, saya menunduk, bersyukur bahwa saya mendapat kesempatan lagi untuk menyadari betapa hidup saya dipenuhi dengan keajaiban ini. Selama 365 hari, terus-menerus.
@Alex, RahasiaBulan, 2007
Club Camilan
12 years ago
0 comments:
Post a Comment