Ada bahasa yang tidak bisa diucapkan dalam kata-kata. Bahasa tubuh, salah satunya. Atau bahasa yang terpendam di dalam hati, membuatnya bersesakan dan menjadi melodramatis. Dia mengubah hati menjadi wujud yang tidak bisa lagi kupahami. Tidak ada kata-kata yang dapat kuandalkan untuk mewakili bahasa itu.
Ini hari Minggu, harinya bersama anak-anak menuju mal. Aku sudah melihat senyum Alex ketika bermain bersama Bungsu pada pagi hari. “Tante Mami, aku mau minum” kata Bungsu merengek. “Kemarin aku berenang sampai ke ujung, Tante Mami!” kata Sulung bangga. Aku senang dengan senyum itu; senyum familiar yang ada dalam setiap hari-hariku. Senyum yang terasa nyata dan membuat jam-jam yang kumiliki terasa masuk akal. Senyum yang menopang kewarasanku.
Seperti biasa, anak-anak rebutan siapa yang duluan keluar dari pintu rumah dan jantung kami serasa berhenti berdenyut melihat dua anak berusaha memuatkan dua tubuh mereka di celah pintu yang terbuka baru setengah. Kami menjerit tidak sadar. Inilah parahnya memiliki dua mami, karena dua-duanya cenderung menjadi cerewet. Suara feminim yang khas memenuhi udara sampai-sampai aku terkadang tidak tahan. “Say, kayaknya harus ada yang bersikap seperti para ayah deh, bersikap seperti bapak-bapak kebanyakan.” Kami berdua tertawa karena sama-sama menyadari kami sulit bersikap seperti “bapak-bapak” dalam satu keluarga.
Isu dua mami ini seringkali mencemaskanku. Misalnya, Bungsu sudah sangat terbiasa mendengar suara perempuan dan disentuh oleh perempuan daripada lelaki, sehingga kalau berhadapan dengan lelaki dewasa, dia selalu menjerit protes dan tidak pernah mau berdekat-dekatan. Sepertinya ada yang salah dengan kehadiran lelaki di dunia Bungsu. Memang beruntunglah kanak-kanak yang memiliki dua mami karena mereka mendapatkan cinta double ibu, tapi bagaimana dengan kecemasan khas ibu yang berlebihan? Satu saja sudah parah, bagaimana dua? Hahaha. Itulah mengapa saya sering kali menyuruh Alex untuk lebih tenang, jangan ikut-ikutan histeris kalau aku sedang panik berat khas emak-emak. Kasihan juga anak-anak yang hanya bisa bengong melihat dua maminya freaking out.
Akhirnya aku menyetir dengan Sulung berada di sebelah kiriku dan Bungsu di belakang bersama Alex. Kami menuju Senayan City. Sulung yang sudah besar di-drop di Lollypop, tempat permainan “anak-anak gede” (istilah Bungsu). Kami bertiga pergi ke toko buku dan Time Zone. Bersama Bungsu, kami bermain basket, lempar bola, ketokin buaya, dan naik mobil-mobilan.
Saatnya makan siang, dan Bungsu mogok makan karena tidak mau makan tanpa kehadiran kakaknya yang masih asyik bermain di Lollypop. Butuh waktu sesaat untuk membujuknya, apalagi dia tidak mau bergeser dari gerai es krim. Setelah bolak-balik janji ini-itu kepadanya, akhirnya Bungsu memilih HANYA MAU makan bakmi. Bakmi selalu menjadi urusan yang menggelikan, sebab anak ini doyan sekali bakmi. Dia selalu mengingatkanku ketika aku hamil dan ngidam berat bakmi selama berbulan-bulan.
Alex dan Bungsu duduk berdua, makan bakmi dengan asyik. Saling menyuapkan bakmi dengan sumpit dan tertawa-tawa. Aku menatap mereka dengan takjub, rasa kebahagiaan berjingkat-jingkat memenuhi hatiku sampai-sampai aku tidak sanggup berkata apa-apa. Alex menoleh, menangkap mataku yang sedang memandangnya. Kami bertatapan membiarkan bara itu menyala dengan percikan keras.
Matamu menguntitku ke mana aku melangkah bahkan sampai ke jurang samudra terdalam. Tanganmu merentang memegang rahasiaku yang tercatat pada helai hati. Ingatlah malam berabad-abad yang kita miliki, sewaktu mimpi kita mengejar bintang atau kelaparan yang kita takutkan. Aku lebih suka bersamamu menyisiri gang-gang kosong penuh darah dan lumpur. Sayang, aku selalu membiarkanku tersesat untuk menemukanmu kembali. Sebab katamu, aku adalah yang beruntung menjadi sahabat terbaikmu yang kau jatuh cintai habis-habisan.
Di mobil, anak-anak kembali ribut nggak jelas. Dalam badai keriuhan itu, aku melirik ke kaca spion dan kembali menemukan mata Alex di sana sedang menatapku. Seperti kataku tadi, ada bahasa yang tidak dapat diucapkan dalam kata-kata. Ada kata-kata yang tak dapat dijadikan bahasa, karena kata-kata itu sebenarnya sebentuk ciuman yang kehilangan bibirnya. Aku mengangkat daguku agar bisa melihatnya dengan lebih jelas. Melalui cermin, kubalas tatapan Alex. Dalam keriuhan, kami berciuman.
@Lakhsmi, RahasiaBulan, 2009
Club Camilan
12 years ago
7 comments:
nice..
always adore the love that you ladies have ^^
-zoe-
Hari keluarga yang menyenangkan...
Dan bahasa mata yang manis...^_^)
Kok brasa baca jejakartemis ya...
eh pas nyadar "ya iyalah lha wong yg nulis bu lax"
aduh dudulnya diriku
but nice
great familia
Loph U Pulll
-Nico-
"Dalam keriuhan kami berciuman." So sweet, Lax! Seringkali bahasa tubuh itu lebih meyakinkan. Seperti misalnya meniupkan sekecup cium mesra untuk ke kasih di seberang sana.
Juno
Manis....
like this. hehehehe..
sweet but not real 4me
Post a Comment