4:52 PM

Love is...

Posted by Anonymous |

Setiap kali mendengar kabar putusnya hubungan seorang sahabat lesbian yang sudah menjalin hubungan selama beberapa tahun dengan pasangannya, kesedihan selalu mengaliri pembuluh darah saya. Rasanya ada keseimbangan yang goyah, sesuatu yang saya percayai direnggut begitu saja. Yah, memang saya tidak bisa mengatur hubungan cinta seseorang. Sebagaimana kata seorang sahabat saya, “Sometimes we just fall out of love.” Kita tidak bisa menentukan seberapa lama seseorang harus mencintai dan dengan siapa dia seharusnya jatuh cinta.

Kadang-kadang dalam hubungan kita menemukan cinta yang baru, kadang-kadang cinta terlepas dari genggaman begitu saja. Cinta adalah makhluk paling kompleks yang sama kompleknya dengan manusia itu sendiri. Bahkan konon katanya cinta yang membuat dunia berputar. Seperti kata Martina McBride dalam lagu berjudul Anyway;

You can love someone with all your heart
For all the right reasons
In a moment they can choose to walk away
Love 'em anyway

Tapi ke mana arah cinta lesbian? Apa sih idealnya suatu hubungan lesbian? Legalisasi pernikahan sesama jenis supaya kita punya ikatan yang sah menurut hukum? Ah, kita tidak perlu berpikir semuluk itu. Secarik kertas tidak membuat orang bertahan untuk mencintai. Saya pesimis bukan karena pernikahan sesama jenis tidak mungkin terjadi di sini. Karena pernikahan BUKAN tentang agama. Pernikahan adalah tentang keluarga. Tentang cinta. Tentang komitmen.

Seorang teman hetero yang amat religius, yang jadi tempat curhat saya pertama kali saat coming out dengan bijak berkata, “Elo tuh ya jangan ganti-ganti pacar melulu dong. Itu yang bikin dosa. Mestinya elo cari satu pasangan, lalu berkomitmenlah sama orang itu. Halah, nggak usah mikirin surat kawin. Yang penting dalam hati elo. Orang zaman film silat itu aja nggak pake surat kawin kok. Tinggal tancepin hio, udah deh kawin.” Maafkan analogi sahabat saya yang kebanyakan nonton film silat, namun buat saya kata-katanya begitu mengena.

Menurut saya, masalah utama kehidupan lesbian adalah rasa bosan dan sindrom rumput tetangga tampak lebih hijau. Kita bosan dengan hidup yang begitu-begitu saja. Saat mencapai jangka waktu tertentu dalam hubungan, biasanya hubungan memasuki masa tenang dan kita menjalani rutinitas tertentu. Di sanalah muncul rasa bosan. Saat kita bosan, ada bisikan yang memunculkan ide di kepala kita, “Benarkah dia the one? Soulmate yang kita cari? Bagaimana jika ada seseorang di luar sana yang menungguku?” Atau tanpa sengaja muncul orang baru dalam hati kita yang rasanya lebih seru dan menantang untuk dikejar dibanding kita harus terus terbelenggu dalam pola hidup rutin.

Seperti kata seorang sahabat lesbian saya, “Duh, kok hubungan gue kayaknya gitu-gitu aja ya? Nggak ada tantangannya lagi. Udah lima tahun sih.” Padahal di mata banyak lesbian yang baru menjalin hubungan, hubungan sahabat saya dan partnernya bisa dibilang membuat iri. Bagaimana tidak? Dia dan pasangannya sudah tinggal bareng dan hidup bersama berdua tanpa diutak-atik oleh orangtua. Ya, itu tadi. Rumput tetangga selalu lebih hijau.

Saya tidak bisa memberi nasihat. Saya tidak layak. Saya hanya berusaha menjalani hari demi hari dengan partner saya. Berusaha menjadi partner yang baik, dan setiap kali melihat rumput tetangga yang hijau dan meriah, saya berkata, “Say, akhir minggu ini kita rapiin lagi rumput di depan rumah kita yuk.... Biar subur dan hijau seperti rumput tetangga.”

@Alex, RahasiaBulan, 2007

3 comments:

Anonymous said...

Hmm... Kebosanan itu datang dari hati.. :)
Rahasianya adalah puas dengan keadaan diri.. Although it's not that easy, but it is that simple... :) Is'nt it?

Anonymous said...

Hi Lo,

Betul banget! Tapi masalahnya manusia kan nggak pernah kenal kata puas :)

mumu said...

aih, lo, kamu kayak aa gym deh. saya kira klo soal bosan itu problem semua makluk, bahkan jin dan setan pun punya kebosanan. tapi, masak kita mo nurutin rasa bosen itu terusmenerus, sampe kapan dong? bagi saya, kebosanan adalah bagian dari tantangan kesetiaan...alamaaaak..sok tahu lu, Mu!

Subscribe