Peringatan: *nggak usah dibaca deh, ini cuma tulisan ngawur yg dibuat saat moody*
Akhir pekan kemarin saya makan siang dengan seorang sahabat SMA. Seperti biasa, bila sudah bertemu dengannya, kami selalu me-recharge diri kami dengan obrolan intelek dan cerdas ala perempuan. “Lo tau nggak sih betapa pentingnya surat nikah dan pernikahan?” Tiba-tiba Cindy bertanya. Belum sempat saya menjawab, dia sudah melanjutkan, “Gue udah bertahun-tahun pacaran sama sama suami orang. Belakangan ini gue sadar, secinta-cintanya dia sama gue, dia nggak akan meninggalkan istrinya. Legalitas pernikahan itu adalah tali komitmen yang tak kasatmata.” Terkadang ada hari-hari tertentu ketika Cindy amat bijaksana.
Saya teringat sahabat saya yang lain, yang sudah 7 tahun jadi “istri” pria beristri. Saya pernah menanyakan keseriusan si pria yang jadi pasangannya, dan si pria itu berkata dengan sok bijak, “Yah, kamu tau kan posisi saya gimana? Saya kan udah beristri. Dan saya Katolik, jadi saya tidak bisa bercerai dengan mudah. Sahabat kamu mestinya ngerti ini.” Pada saat itu saya ingin bangun dari sofa dan meludahi laki-laki bajingan itu. Bukan karena dia selingkuh, tapi karena caranya memanfaatkan agama sebagai tameng. Bersikaplah jantan, dan katakan, “Saya tidak akan meninggalkan istri saya. Kalau masih mau, mari kita jalani hubungan ini. Dan jangan tuntut macam-macam dari saya.” Nggak usah deh pakai janji-janji gombal. Nah kalau habis itu sahabat saya masih mau dengannya... silakan jalani hubungan itu dengan lapang dada.
“Sekarang nih ya, gue sih berusaha menghilangkan cinta itu dari hati gue. Buat apa?” Cindy melanjutkan. “Gue akan selalu jadi orang luar yang melihat ke dalam. Daripada sakit hati lebih baik gue menghapus rasa cinta itu. Apalagi doi udah punya anak. Gue tuh cuma urutan kesekian dalam hidupnya. Dia bilang dia udah nggak cinta lagi sama istrinya. Dia cuma mikirin anak-anaknya. Gue sih dulu bego ya, masih berharap muluk tentang ‘cinta akan mengalahkan segalanya’. But, my dear friend, itu cuma laris buat jadi bahan novel atau film. Kalau misalnya ada orang yang meninggalkan pasangannya demi orang lain, biasanya itu terjadi karena pasangan itu emang sudah bermasalah. Jangan mikir bahwa lo tuh begitu spesialnya bahwa dia akan meninggalkan kestabilannya demi elo. Dan jika dia meninggalkan keluarganya demi orang ketiga, elo akan dikutuk oleh 90% rakyat Indonesia. Liat aja Mayang-Bambang-Halimah. Berapa banyak sih orang yang bilang bahwa Bambang lelaki hebat karena mau bercerai dengan istrinya demi bisa sama Mayang? Paling sering yang muncul adalah, ‘dasar perempuan lonte, bisanya ngerebut laki orang.’”
Hm, gawat nih. Cindy sedang sinis. Saya berusaha jadi pendengar yang baik. Saya tidak pernah menganggap pentingnya legalitas pernikahan... sampai saat itu.
Mendadak saya sedih. Sedih, karena sebagai lesbian (di Indonesia) entah kapan saya mendapatkan tali komitmen yang tak kasatmata itu. Memang, saya tahu banyak orang yang meremehkan pentingnya lembaga pernikahan. Bagaimana kesucian pernikahan sudah dinodai banyak hal, terutama oleh perselingkuhan. Saya pernah menulis bahwa legalitas pernikahan itu tidak penting, yang penting adalah komitmen dalam hati. Saya tarik lagi kata-kata itu. Kertas tak penting yang bernama surat kawin itu ternyata begitu mengikat. Seperti cap darah yang tidak bisa dengan mudah dikesampingkan begitu saja.
Ada beberapa lesbian yang menyatakan pentingnya legalitas adalah untuk warisan bila salah satu pasangan meninggal. Buat saya, itu alasan yang tak masuk akal saya, karena kita bisa punya banyak cara untuk perlindungan semacam itu. Alasan utama yang terlupakan atau terkadang taken for granted adalah kemampuan surat nikah membuat ikatan yang bisa membuat lesbian memiliki tempat bernaung, tujuan pulang... dan terutama punya tujuan dari hubungan. Bukannya seperti sekarang, ketika banyak pasangan lesbian dengan mudah angkat koper meninggalkan pasangan kita walaupun “katanya” sudah ada komitmen.
Sewaktu saya berumur 20-an, saya merasa tidak peduli sama apa yang namanya surat kawin. Dengan sinis saya menganggapnya sebagai sesuatu yang remeh dan nggak ngerti kenapa sih orang membesar-besarkan masalah pernikahan. Apalagi karena saya lesbian, jadilah saya orang yang makin sinis. Daripada sakit hati, lebih baik sinis dulu, kan? Seperti kata Scott Turow, “in a body of a cynic, beats a broken heart of a romantic.”
Sekarang terserah deh kalau orang lain tidak menganggap pernikahan penting. Terserah deh kalau saya dibilang kuno. Terserah deh kalau saya dibilang nggak cool. Terserah deh kalau saya dibilang rese. Saya tidak peduli.... saya ingin diikat oleh tali tak kasatmata itu.
@Alex, RahasiaBulan, 2007
Club Camilan
12 years ago
2 comments:
setelah sekian lama berhubungan kami juga mendambakan peningkatan ke tahap selanjutnya layaknya hetero.perkawinan.ini namanya mission imposible.kami sadar itu.komitmen tetap ada.tapi kami belum menemukan arah selanjutnya.Kalo hetero kawin trus lesbian gimana?.Kami benar2 berhenti di satu titik saat ini, menunggu jarum kompas di tangan berhenti menunjukkan arah.Tulisan Alex merupakan masukan buat kami. Thanks.
Rasanya pernah ada deh pernikahan gay di Indonesia. Masuk koran waktu itu aku lupa tahun berapa. The funny thing is that I've never wanted a wedding when I was a child. It was when I've realized that I'm gay that I started to want a marriage. And I will have a wedding, legal or not. Kertas itu baru berguna untuk anak nanti, karena aku sendiri banyak pakai fotokopi akte pernikahan ortu untuk ini-itu. Penting ga sih? Huh.
Post a Comment