Ada berhelai-helai uban yang terlihat di rambut saya ketika saya bercermin barusan. Uban itu tampak tanpa saya perlu repot-repot menyibakkan rambut. O.M.G!
Sesampainya di ruang kerja, saya bertanya pada sekretaris, "Keliatan nggak?"
"Apa, Mbak?" tanyanya bingung.
"Uban saya."
"Hm..." Sang sekretaris tampak mengamati rambut saya dengan serius. "Perlu jawaban jujur ya, mbak?"
Gubrak!
"Udah, semir aja, repot amat sih," tukas sahabat saya di kantor ketika makan siang.
Sambil mengunyah, saya menjawab, "Percuma, nanti balik lagi."
"Iya, bener juga. Bukannya rambut lo baru disemir?"
"Bo, jangan pake kata semir, napa sih?"
"Emang kenapa?"
"Lo kata sepatu disemir? Diwarnain gitu lho, biar lebih bermartabat. Kalau disemir tuh kayak rambut nenek-nenek. Lagian rambut gue kemarin kan diwarnain merah gitu lhoooo... Bukan diwarnain hitam seperti nenek-nenek nutupin uban."
Sahabat saya hanya nyengir lebar mendengar, "Bukannya itu alasan lo nyemir, eh warnain?"
Uh, cape deh.
"Apaan sih ribut?" tanya seorang bos saya.
"Itu lho, mbak, Alex lagi krisis paruh baya karena uban."
Mbak bos memandangi rambut saya sejenak. "Oh, uban."
"Haloooo....??? Nggak ada yang peduli gitu ya sama perasaan gue, hiks."
Sambil berlalu menjauh, bos saya berkata, "Tenang aja, tren untuk tahun depan, yang dicari adalah perempuan matang dan mandiri."
Grrrr...... segera tawa pecah di antara kami. Berbagai komentar muncul, "Mengkal... matang... emang mangga?"
"Nggak apa-apa, Lex. Biar lo bisa jadi tokoh panutan lesbian-lesbian muda."
"Biar punya alasan cari berondong lesbi, hueheheh....," tukas sahabat saya yang lain.
Ugh, saya mencibir. "Biar deh ubanan, yang penting berjiwa muda, punya yayang yang okeh, dan jadi tren tahun depan, hahaha...."
@Alex, RahasiaBulan, 2007
Club Camilan
12 years ago
0 comments:
Post a Comment