Pada suatu hari Minggu saya bersama seorang sahabat janjian ketemuan di Grand Indonesia. Setelah berakrobat dengan waktu akhirnya kami janjian ketemu jam 2 siang di sana. Namun ternyata sahabat saya itu, hm, sebut saja namanya Jean, mengajak dua orang biksu dari Tibet....
Di mal supergede itu, saya dan Jean berjalan bersama dua biksu yang mengenakan jubah lengkap mereka yang mencolok mata. Jadi bisa kebayang kan bagaimana saya seperti cacing kena abu, tidak merasa nyaman saat ribuan mata memandangi kami... (well, ini cuma hiperbola, karena puluhan mata itu rasanya seperti ribuan). Saya perhatikan Jean tampak biasa-biasa saja... maklum dia dan biksu-biksu ini sering keluar ke tempat umum bersama, tidak seperti saya. Akhirnya, tidak tahan saya berbisik pada Jean, “Emang biasa diliatin gini ya?”
“Iya,” jawab Jean mengangguk.
“Elo nggak risi?”
“Jangan dipikirin, cuek aja lagi,” tukasnya sambil mengajak kami masuk ke Food Hall.
Mendadak saya jadi teringat cerita seorang sahabat lain, kali ini sahabat lesbian. Dia bercerita betapa dia merasa semua mata memandanginya saat dia jalan bersama kekasihnya di tempat umum. Dulu pas denger cerita itu sih saya pikir si sahabat lesbian ini, hm, sebut saja namanya Mon, mungkin menunjukkan afeksi berlebihan di depan umum sehingga “dilihatin” orang-orang. Tapi mereka bilang, mereka cuma pegangan tangan kok. Waktu itu saya jawab padanya, “agh, gue sih nggak pernah merasa diliatin gitu... perasaan elo aja, kali.” Mungkin, ternyata selama ini dengan atau tanpa saya sadari saya merasa nyaman pada diri saya sendiri sehingga tidak merasa salting saat berjalan di depan umum dengan partner. "Teori" itulah yang baru saya sadari saat saya dihujani tatapan orang-orang siang itu.
Saat saya dipandangi orang satu mal segede gaban itu, bahkan setelahnya kami berjalan kaki ke Plasa Indonesia, saya mengerti apa yang dialami Mon. Saya merasa tidak nyaman, gelisah, risi, dll. Saya jadi merasa salah tingkah alias self-concious. Pertama-tama muncul perasaan defensif, “Kenapa sih pada ngeliatin? Nggak pernah liat biksu jalan-jalan di mal ya?” Namun setelah saya melihat Jean bisa dengan santai mengobrol dan berjalan dengan cuek, saya jadi mikir, “Well, mungkin cuek is the best ya?” Cuek di sini maksudnya bukan cuek tetap leha-leha di tempat tidur saat banjir melanda, atau cuek ketika api mulai melahap rumah sebelah. Lalu mulailah saya membuat diri saya cuek, dan terutama berhenti memikirkan pendapat orang lain tentang diri saya. Akhirnya saya pun bisa berjalan bersama dan mengobrol dengan Jean dan biksu-biksu itu tanpa merasa salah tingkah.
Saya jadi teringat cerita komik Buddha karya Ozamu Tezuka, dalam seri ke-4 ketika Siddharta bertapa di Hutan Uruvela, ada seorang bocah ingusan (bocah ini benar-benar ingusan) yang sudah ditakdirkan mati pada umur tertentu. Namun bocah ini tampak tenang menghadapi kematiannya, dan ketika Siddharta yang kala itu belum menjadi Buddha bertanya pada bocah itu apa resepnya tidak takut menghadapi kematian, si bocah menjawab, “Cuek aja, lagi.” Yeah, betul juga. Terlalu mengkuatirkan sesuatu membuat kita malah tidak fokus pada sesuatu yang penting, yaitu hidup itu sendiri.
Mungkin itulah yang harus kita rasakan sebagai lesbian. Coming out atau tidak, kita harus nyaman pada diri kita sendiri. Tahu apa yang kita mau dan berkonsentrasi pada hal itu, bukannya berkonsentrasi pada, "Orang-orang bilang apa ya tentang gue?" Sekali lagi, maksudnya nyaman bukan nyaman saat jalan rame-rame bergerombol bersama lesbi lain dan caper (cari perhatian) di mal atau tempat umum ya. Tapi lebih ke nyaman pada diri sendiri, nyaman menjadi diri sendiri... apa pun bentuk, wujud, dan rupa kita. Bukan kepada diri lesbian kita saja, tapi juga kepada diri manusia kita seutuhnya. Percayalah, dengan ini penampilan Anda akan lebih berbinar dan menarik perhatian sesama jenis. (baca dengan suara ala iklan pemutih wajah :p)
Well, keesokan paginya saya tiba di kantor, dengan penampilan ala saya. Rambut awut-awutan, belum dandan, mata masih ngantuk---maklum, karena belum bangun kalau belum keseduh kopi, teman kerja saya langsung bilang, “Stop! Jangan bergerak!” Tangannya mengeluarkan ponsel berkamera.
Waks, saya pun kaget, buru-buru menghindar, “Ngapain sih mau motret gue?” Masih dengan rasa tidak nyaman, dalam hati berkomentar, Maksud lo?
“Udah, lu diem jangan bergerak deh. Gue mesti mengabadikan elo seperti ini, nanti gue post di blog gue dengan judul, 'Orang Paling Cuek Sedunia.'" Hhhh... :(
@Alex, Rahasia Bulan, 2007
Club Camilan
12 years ago
2 comments:
It's amazing...
You're an indifferent person. Great... I don't like to pretend like I'm a perfect. I love being a mess. That's just the way I am, and I am proud of being me.
huahaha, thanks for the comment, Joel. I thought I was the last "cuek" person on earth. :))
Post a Comment