8:29 PM

Rumah Umi

Posted by Anonymous |

Di saat menjelang lebaran begini, saya sering terkenang pada Umi. Buat saya, Umi ibarat ibu kedua. Dia adalah perempuan tua tetangga sebelah rumah, janda yang usianya lebih tua sedikit daripada usia ibu saya. Sejak saya jadi anak yatim ketika berusia lima tahun, ibu saya harus bekerja dari pagi hingga sore untuk menghidupi lima anaknya. Di rumah ada masanya ketika kami tidak punya televisi, sehingga akhirnya saya lebih sering main ke rumah Umi pada siang hari sepulang sekolah.

Umi memiliki usaha katering makanan Arab-Timur Tengah. Saya menikmati menonton kesibukan memasak diiringi teriakan-teriakan ibu-ibu tukang masak di sana. Dan biasanya saya mendapat jatah jika ada makanan lebih. Hampir setiap bulan saya bisa menikmati sajian nasi kebuli, roti maryam, atau gule kambing, atau diberi satu-dua butir kurma oleh Umi di kala puasa. Jangan tanya makanan apa yang disajikannya saat lebaran, pokoknya saya pasti kenyang banget sepulang dari rumah Umi. Dan Umi tahu saya paling doyan nasi kebuli kambingnya. Pada saat Imlek, Umi pasti mengantar makanan Arab buat Ibu, dan nasi kebuli jadi makanan favorit saya setiap Imlek, meskipun Ibu bilang saya jadi bau kambing sehabis makan.

Kalau Umi tidak sedang sibuk dengan kateringnya, saya duduk-duduk di rumah Umi, kadang-kadang duduk menikmati embusan angin di depan pintu sambil mencari kutu. Umi kadang-kadang terlalu pelit menyalakan TV hanya buat saya, jadi lebih sering saya memandangi TV berlemari yang tertutup itu kemudian membaca harian Lembergar Pos Kota yang saya bawa dari rumah. Tidak jarang saya tidur siang di atas karpet di ruang tamu sementara Umi duduk-duduk di dekat sumur di belakang rumah bersama ibu-ibu lain. Setiap kali saya masuk ke rumah Umi, saya sudah siap-siap mencium wangi minyak samin dan parfum Arab. Jika saya memejamkan mata saya sekarang, kenangan tentang aroma itu pasti akan menyerbu masuk menjelajahi indra penciuman saya.

Suatu hari saya pernah masuk ke kamar Umi dan melihat lukisan kaligrafi indah tergantung di dinding. Tidak ada hiasan foto di sana. Sewaktu melihat Umi salat, saya melihatnya dengan rasa takjub. Pernah sekali saya mengenakan sarung sebagai mukena dan mencoba mengikuti gerakan salatnya. Umi tertawa melihat saya, kemudian dia berkata, “Kamu nggak boleh salat, karena kamu bukan Islam.” Saat itu saya berusia enam tahun dan tidak mengerti kenapa saya tidak boleh jadi Islam seperti Umi.

Di rumah, Ibu tidak pernah memberi pelajaran agama. Saya hanya tahu bahwa saya keturunan Cina, dan semua orang Cina yang saya kenal punya keharusan untuk beragama Buddha. Tapi saya sama sekali buta tentang agama Buddha. Apalagi ibu saya bukanlah orang yang tahan beragama, tambahlah saya jadi tuli. Nanti semasa dewasa saya baru punya pengetahuan banyak tentang agama Buddha, tapi saat saya SD, saya sama sekali tidak mengerti. Dan saat dewasa barulah saya tahu bahwa agama Buddha yang saya kenal semasa SD ternyata agama Buddha bohongan.

Pada saat itu pengetahuan agama yang saya tahu berasal dari kuliah subuh KH. Kosim Nurzeha yang terdengar setiap pagi dari radio Umi yang disetel begitu keras sehingga suaranya terdengar sampai ke kamar saya dan Ibu. Setiap kali musik melantun mengakhiri kuliah subuh dari radio Kayu Manis itu saya tahu sudah saatnya saya bangun dari ranjang dan bersiap-siap ke sekolah. Biasanya kalau saya bangun pada saat kuliah subuh itu masih belum tamat, saya bisa melihat Ibu tertidur di kursi rotan di luar dengan si belang berbaring melingkar di perut Ibu. Tapi itu pemandangan langka, dan lebih sering saya tidak bertemu Ibu pada pagi hari karena dia pasti sudah berangkat kerja ke tempat yang buat otak enam tahun saya terdengar sejauh Alaska.

Kemudian ketika saya berusia sepuluh tahun, Umi meninggal dunia. Saya berdiri lama sekali di depan rumah Umi memakai celana pendek dan kaus warna putih. Bingung, karena saya tidak bisa masuk berlari ke rumah Umi seperti biasa. Rumah Umi begitu ramai oleh pelayat. Saya baru tahu melihat anak lelaki Umi yang bertubuh tinggi besar dan berbulu, dan saya juga baru melihat cucu Umi yang seumuran saya, yang tinggal di daerah Kebon Nanas. Saya baru tahu bahwa penyakit kencing manis ternyata bisa membuat orang meninggal, bukan cuma kanker seperti yang diderita ayah saya.

Saya berdiri di luar. Tidak pernah melangkah masuk ke dalam rumah Umi dan melihat jasadnya. Untuk pertama kalinya saya merasa tidak diinginkan di rumah itu. Tidak ada lagi Umi yang dengan suara keras menggelegar memanggil saya untuk bangun tidur karena sudah sore. Atau tawanya yang membahana setiap kali dia mengajukan pertanyaan favoritnya, “Kamu anak Cina atau anak Arab?” Dan biasanya saya akan langsung menjawab sambil ikut tertawa, “Anak A-ab, Umi.”

Sejak saat itu tidak ada lagi kuliah subuh, tidak ada lagi nasi kebuli, tidak ada lagi tidur siang di karpet berwarna merah marun di lantai rumah Umi.

Dan lebaran kali ini saya begitu rindu pada Umi.

Pernah saya bertanya dalam hati, Kalau saya meninggal nanti, akankah saya bertemu Umi lagi? Katanya, surganya orang Islam tidak sama dengan surganya orang Buddha. Katanya lagi, surganya orang Buddha tidak sama dengan surganya orang Kristen. Dan surganya orang Kristen tentu beda dengan surganya orang Islam. Belum lagi surganya manusia lesbian yang pasti akan beda dengan surganya manusia hetero. Pemikiran yang aneh, menurut saya, padahal katanya Tuhan itu satu.

Jika saja setiap manusia menciptakan surganya sendiri. Dalam surga ciptaan saya, saya akan bertemu lagi dengan Umi di dalam rumahnya. Duduk-duduk di karpetnya, mencomot roti maryam yang masih hangat sambil diteriaki oleh Umi, lalu berlari pulang dan mendapati ibu saya sedang berbaring di kursi malas dengan si belang tidur melingkar di atas perutnya. Di rumah Ibu, saya juga melihat partner sedang duduk membaca di ruang tamu, dan tersenyum memandang saya ketika melihat saya masuk. "Yuk, Sayang, kita ke rumah anak-anak dan cucu kita."

@Alex, RahasiaBulan, 2008

13 comments:

Anonymous said...

:(( huuu uuu...

Baca tulisan k'lex habis telepon ibu, habis tarwih, dan merindukan rumah bikin tanggul air mata ini jebol. :(

Pintu surga tidak hanya terbuka karena kunci amal saja k'lex, tapi semata-mata karena kasih sayang Tuhan yang membukakannya buat kita.

ningnong

Anonymous said...

@ningnong, makasih ya komennya yg syahdu :) halah, kayak lagunya Rhoma Irama...

jebol juga ya? td aku nulisnya sambil bercucuran air mata. Hehehe...

Anonymous said...

Tulisan yg menyentuh...

Nangis itu baik kok. Seperti air yang dialirkan untuk melegakan jiwa yang sedang sedih dan terkenang pada seseorg.

Anonymous said...

@mata hati,
ah, km membuatku berkaca2 lagi :)

Anonymous said...

Waktu kecil aku juga punya tetangga arab. Umi Wardah namanya. Dia punya anak namanya Aluyaa. Aku sangat suka matanya yang besar dengan bulu mata lebat dan lentik.

Aku sih gak tau gimana lebaran di rumah mereka secara kalo lebaran aku selalu kerumah nenek yang muslim. Tapi setiap hari jumat Umi Wardah selalu masak besar dan tentu saja masakan timur tengah lengkap dengan gule kambing yang selalu membuatku pusing karena baunya :p

Anonymous said...

Heaven is not "no where", but "here and now". Just another ambiguity.

Anonymous said...

Aduh duh... kayanya tadi salah nulis deh. Maksudku, Heaven is nowhere, but here and now. Just another ambiguity.

Gini deh kalo Inggrisnya belepotan ;p

Anonymous said...

Dear Lex,
nih tulisan menyentuh banget. Semakin hari kian terasa ternyata kamu itu mellow banget..semellow-mellownya. Ow iya, ternyata aku gak sendiri di dunia ini yang mellow....huuuuuuu (KD)

Anonymous said...

@picank, kalo abis mamam mbek, aku jd bau kambik. Jadi kalo km dekat aku nanti kamu pucink :))

@kian damai, hehehe, ngerti kok maksudmu :)

@KD, iya nih lg mellow seperti lagunya obbie messakh atau pance hahahahaha

Anonymous said...

Makanya, aku deket2 ibu tuh kalo gak abis mamam mbek ya? :p

Anonymous said...

Baju Bulan

Bulan, aku mau Lebaran. Aku ingin baju baru,
tapi tak punya uang. Ibuku entah di mana sekarang,
sedangkan ayahku hanya bisa kubayangkan.
Bolehkah, bulan, kupinjam bajumu barang semalam?
Bulan terharu: kok masih ada yang membutuhkan
bajunya yang kuno di antara begitu banyak warna-warni
baju buatan. Bulan mencopot bajunya yang keperakan,
mengenakannya pada gadis kecil yang sering ia lihat
menangis di persimpangan jalan. Bulan sendiri
rela telanjang di langit, atap paling rindang
bagi yang tak berumah dan tak bisa pulang.

Sumber: Buku Puisi Kekasihku - Joko Pinurbo

Nina Razad said...

lebaran udah lewat, tapi baca ini terharu lagi.. Salam kenal, Alex. Tulisan2mu luar biasa..

Hmm.. Qosim Nurseha ya? Aku juga inget, jaman masih SD, dia terkenal banget. setiap puasa, pasti dia selalu ceramah di RKM, dengan jingle RKM yang khas ituuu. hehe..

Lex, Tuhan memang hanya satu, tapi soal surga dan neraka, cuma Tuhan yang punya kuasa memutuskannya. Kita, yang cuman manusia biasa, hanya bisa berusaha hidup sebaik mungkin di dunia ini, berharap semua usaha kita itu diridhoi sama Dia. Sosok Umi-mu sangat mengagumkan. Orang baik memang cepat dipanggil menghadap-Nya ya..

Anyway, aku mendoakan, mudah-mudahan Alex bisa ketemu lagi sama Umi kelak, di afterlife. Dan, saat itu, Umi akan tersenyum sama Alex, dan (mungkin) akan bertanya, "So, do you think you've done well?" :)

Anonymous said...

@N-ormous, thanks atas doanya ya :)

Subscribe