Sarah Waters adalah salah satu dari sedikit penulis yang berkonsentrasi pada genre buku-buku lesbian. Jika Julie Anne Peters mengambil topik remaja dalam novel-novelnya dan Alison Bechdell menuangkan karyanya ke bentuk novel grafis, Sarah Waters memusatkan dirinya dalam bidang fiksi novel, terutama fiksi sejarah.
The Night Watch adalah novel keempat penulis asal Inggris ini. Tiga novel sebelumnya Tipping the Velvet, Affinity, dan Fingersmith berkisah tentang kehidupan lesbian pada era Victoria abad 19. Sarah Waters yang mantan dosen ini memiliki gelar PhD dalam bidang sastra Inggris, dan novel pertamanya, Tipping the Velvet terinspirasi dari tesisnya dalam bidang lesbian historical fiction.
Dalam novel barunya, The Night Watch, Sarah Waters meninggalkan Inggris abad 19 dan mengambil setting di London pada masa Perang Dunia II. Cerita dibuka pada tahun 1947, dengan memperkenalkan empat tokoh utama; tiga perempuan dan satu lelaki yang hidupnya saling bersentuhan. Kay, yang bekerja sebagai sopir ambulans pada sif malam. Helen, yang hidup bersama dengan kekasihnya yang penulis, Julia. Vivian, yang menjalin hubungan gelap dengan tentara yang sudah beristri. Dan Duncan, saudara lelaki Viv yang menjalani hukuman di penjara.
Butuh waktu empat tahun bagi Sarah Waters untuk menulis novel ini. Dia melakukan riset mendalam tentang London pada tahun 1940-an dan masa Perang Dunia II. The Night Watch dimulai dari kesedihan dan kesepian yang dirasakan tokoh-tokohnya pada bab-bab awall, namun diakhiri dengan ending yang optimis. Bab berganti dan sedikit demi sedikit hubungan antara tokoh-tokoh itu terungkap melalui kehidupan masa lalu mereka. Kay ternyata pernah mengenal dan membantu Vivian. Dan Helen bertemu dengan Julia melalui Kay.
Cerita dimulai tahun 1947, makin ke belakang cerita mundur ke tahun-tahun sebelumnya, tahun 1944 di bagian tengah, dan ditutup pada tahun 1941. Hanya penulis dengan jam terbang tinggi yang mampu menulis seperti ini. Teknik menulis dengan alur mundur membutuhkan kepiawaian dan pengalaman agar tidak membuat isi novel jadi berantakan tidak keruan. Tidak heran jika The Night Watch masuk nominasi Booker Prize dan Orange Prize seperti halnya novel Waters sebelum ini, Fingersmith.
Secara pribadi, saya lebih menyukai Fingersmith, mungkin karena The Night Watch ini lebih melankolis dan lambat dibanding Fingersmith. Tapi jika Anda menyukai novel sejarah, atau lebih tepatnya novel sastra, sejarah, dan lesbian, The Night Watch adalah buku yang harus Anda baca.
@Alex, RahasiaBulan, 2007
Tulisan yang amat sangat
personal
Masa kegelapan, demikian saya menyebut masa-masa pencarian diri saya sebagai lesbian. Masa-masa ketika saya merasa jadi freak, masih bingung, dan ketika saya belum bisa berdamai dengan diri saya sebagai lesbian. Saya tidak tahu seberapa banyak teman yang mengalami hal semacam ini, tapi dari obrolan dengan beberapa teman lesbian, mereka kurang-lebih mengalami fase serupa. Bertahun-tahun saya berkubang dalam kegelapan saya, kadang sendiri, kadang berdua (kalau punya pacar), yang terkadang sama-sama kebingungan dalam kegelapan.
Dalam hal ini, salah satu upaya yang saya lakukan untuk mencari cara berdamai adalah mencari ilmu pengetahuan tentang dunia ini melalui media buku dan film, di antaranya. Dengan rakus saya melahap semua informasi yang ada tentang dunia homoseksual, terutama lesbian, mencari dan bertemu dengan teman-teman sehati, berusaha lebih memahami diri sendiri melalui berbagai sumber informasi yang ada, seperti buku, film, internet, dll.
Saya orang yang amat sangat ekstrovert, namun dalam hal ini saya menemukan perdamaian dalam diri saya sendirian. Dan saya yakin, banyak orang yang menemukan kedamaiannya dalam kesendirian. Lucunya, proses penerimaan diri sebagai lesbian serupa halnya ketika saya menemukan iman saya dalam agama. Melalui kontemplasi dan perenungan batin yang panjang hingga akhirnya saya menemukan pencerahan. Semua informasi yang yang saya peroleh tadi saya lahap dengan rakus dan saya cerna dalam hati, hingga akhirnya menjadi nutrisi untuk tubuh saya. Namun tetap saja semuanya kembali ke diri saya sendiri. Dan ternyata ketika proses perdamaian itu selesai, saya mendapati bahwa saya berutang pada banyak orang.
Dalam kesempatan ini saya ingin mengucapkan jutaan terima kasih pada sahabat-sahabat lesbian dan terutama sahabat-sahabat hetero saya, yang selalu ada untuk saya setiap kali saya jatuh dan butuh papahan mereka. Menghabiskan malam-malam curhat lewat telepon atau menghabiskan bergelas-gelas kopi di kafe atau kedai warung indomi di dekat rel kereta favorit kami untuk mengisi perut dulu sebelum nongkrong ke kafe. Dan yang terutama, menjadi sahabat yang selalu menerima saya apa adanya. Bahkan saya pun perlu berterima kasih pada mantan-mantan saya, baik mantan cewek atau cowok saya, dalam hal ini.
Kini setelah saya melewati “masa-masa kegelapan” itu, saya terkadang lupa bahwa banyak orang lain yang masih berada di masa itu. Ada kalanya saya merasa pongah, merasa lebih baik daripada lesbian lain yang berada dalam masa kegelapan atau masih bingung. Termasuk partner saya. Setelah menjalin hubungan bertahun-tahun dengannya saya lupa bahwa dia juga masih butuh waktu untuk berdamai pada dirinya sendiri.
Seperti kacang yang lupa kulitnya, saya menepuk dada bangga dengan prestasi saya. Seperti orang gila yang berorasi sendirian, saya lupa. Lupa bahwa untuk mencapai titik damai saya sekarang saya membutuhkan bantuan banyak orang. Lupa pada uluran tangan sahabat, lupa pada telinga yang mendengarkan keluh-kesah saya, lupa pada tepukan di punggung saya yang membuat saya tenang.
Bahkan kepada partner pun, kadang-kadang kami tidak sepaham soal memandang dunia lesbian. Satu-dua kali pertengkaran terjadi karena saya sibuk dengan orasi saya yang secara tidak langsung menyatakan bahwa saya lebih baik daripada dia karena setidaknya saya sudah berhasil melewati masa kegelapan itu. Saya mengkritiknya habis-habisan karena tidak mengerti seperti apa bentuk cahaya di ujung terowongan sana, seperti apa keramaian di ujung terowongan yang terang benderang itu, sementara dia masih berjuang untuk keluar dari terowongannya sendiri, yang sepi, sunyi, gelap. Sendirian.
Mestinya saya mengulurkan tangan padanya, membuka telinga dan hati saya sebenar-benarnya untuknya.Tidak hanya untuk partner saya saja, tapi juga untuk semua lesbian di luar sana yang masih berkubang dalam kegelapannya sendiri. Dan menulis blog ini sekarang merupakan cara saya untuk mengingatkan diri agar tidak pongah dan sombong, dan masih punya banyak utang yang belum saya bayar.
Kadang-kadang pada malam hari, ketika melihat partner tertidur, saya ingin menciumnya, seperti saya sering mencium si baby kala tidur. Tapi saya takut dia terbangun. Maka melalui tulisan ini, saya ingin menciumnya dan membisikkan, “Say, mungkin aku lebih sering lupa, seperti halnya aku harus diingatkan terus untuk beli pepaya. Tapi ingatlah, aku selalu ada untukmu, menyalakan senter di ujung terowongan sana, berharap kau melihat cahayanya. Menunggumu keluar dari kegelapan.”
@Alex, RahasiaBulan, 2007
Berikut ini adalah 5 (+1) film yang BUKAN film lesbian tapi mengangkat isu lesbian dengan amat sangat baik dan rugi kalau tidak ditonton. Tokoh-tokoh lesbian di sini meskipun ada yang tampil sekilas, namun memberi arti penting dalam film.
(Disusun berdasarkan abjad)
Being John Malkovich (1999)
Inilah film surealis yang udah saya tunda-tunda nontonnya selama bertahun-tahun karena belum mood. Agak nyesel juga sih, mestinya saya nonton lebih cepat. Cameron Diaz (Lotte) berperan sebagai istri John Cussack (Craig) yang kemudian jatuh cinta pada Maxine (Catherine Keener) gara-gara dia masuk ke tubuh John Malkovich. Filmnya rada aneh sih, maklum penulis skripnya Charlie Kaufman.
The Color Purple (1985)
Sebenarnya adegan lesbiannya hanya setitik, tapi titik penting yang tak terlupakan dalam film feminis tentang represi terhadap perempuan kulit hitam ini. Titik yang mengubah hidup Celie (Whoopi Goldberg) ketika dia bertemu dengan Shug Avery dan menjalin kedekatan yang tak biasa. Film karya Steven Spielberg ini memperoleh nominasi film terbaik di Academy Award dan Golden Globe dan Whoopi Goldberg memperoleh gelar aktris terbaik dalam Golden Globe.
PS: Film ini diangkat dari buku berjudul sama karya Alice Walker yang memenangkan Pulitzer tahun 1982.
The Hours (2002)
Nicole Kidman, Meryl Streep. Julianne Moore. Apa lagi yang kurang? Mereka bertiga melakukan adegan ciuman dengan sesama perempuan. Berkisah tentang tiga perempuan dari generasi berbeda yang hidupnya terhubung melalui novel Mrs. Dalloway karya Virginia Woolf. The Hours masuk nominasi Film Terbaik Academy Award 2002 dan membuahkan Oscar untuk Nicole Kidman sebagai aktris terbaik.
PS: Film ini juga diangkat dari novel pemenang Pulitzer berjudul sama karya Michael Cunningham.
Love and Other Catastrophes (1996)
Film indie Australia dengan tokoh utama mahasiswi lesbian bernama Mia (Francess O’Connor) yang baru putus dengan kekasihnya, Danni (Radha Mitchell). Kisah yang cuma berlangsung satu hari ketika Mia berusaha mengganti jadwal kelasnya ini menyenangkan, segar, dan membuat kita terkenang masa kuliah.
PS: Radha Mitchell juga pernah bermain sebagai lesbian dalam film High Art.
Red Doors (2005)
Keluarga Cina-Amerika di New York yang memiliki 3 putri. Putri-putri keluarga Wong ini memiliki masalah mereka masing-masing. Putri keduanya, Julie adalah dokter lesbian yang pemalu dan menjalin hubungan dengan aktris terkenal yang sedang riset di rumah sakit tempat Julie bekerja. Fun, menyegarkan untuk ditonton. Cocok untuk mereka yang suka Kissing Jessica Stein dan Saving Face.
V for Vendetta (2005)
Film serius dengan gagasan radikal. Gagasan anarkis yang mengajak kita berpikir tentang isu-isu politik dan masyarakat. Dalam film ini homoseksual dianggap sampah masyarakat dan musuh negara, dan layak dimasukkan ke kamar gas. Kisah cinta Valerie dan Ruth bisa dibilang tulang sumsum cerita dalam film yang diangkat dari novel grafis karya Alan Moore ini.
Sebenarnya ada beberapa film lain dengan karakter lesbian yang kentara, seperti Henry & June (plis deh, mereka merusak imajinasi saya tentang Anais Nin dalam film ini) atau Showgirls, atau Wild Side, misalnya, tidak saya rekomendasikan di sini, karena tokoh dan adegan lesbiannya menyebalkan dan males banget deh ngeliatnya. Yang membuat saya bertanya, duh, penting nggak sih?
@Alex, RahasiaBulan, 2007
Saving Face adalah film tentang "menjadi lesbian" dalam keluarga keturunan Asia di Amerika. Tahun 1993, Ang Lee telah memulainya dengan kisah gay dalam Wedding Banquet, sekitar sepuluh tahun kemudian Alice Wu (sutradara/penulis skenario) membuat Saving Face yang dirilis pada tahun 2004.
Berkisah tentang Wilhemina Pang (Michelle Krusiec) yang biasa dipanggil Wil, dokter muda berusia 28 tahun yang bekerja di rumah sakit di Manhattan, New York. Usianya yang dianggap lebih dari cukup untuk menikah membuat Wil sering ditanya-tanya "kapan menikah" oleh keluarganya. Bukannya Wil mau jadi perawan tua, tapi masalahnya adalah dia lesbian dan tidak mungkin memberitahu keluarga besarnya tentang itu.
Kemudian Wil bertemu dengan Vivian (Lynn Chen) dalam satu acara kumpul-kumpul keluarga keturunan Cina. Cinta Wil disambut dengan manis oleh Vivian, yang juga putri atasan Wil di rumah sakit. Hidup Wil yang bahagia dan tenang jadi ruwet ketika ibunya, Ma (Joan Chen) datang dan tinggal bersama Wil karena sang ibu yang sudah janda kedapatan hamil di luar nikah. Karena tidak mau membuat aib, Ma memutuskan mengungsi sementara ke rumah Wil.
Tinggal bersama ibunya membuat Wil makin tertekan, dan membuat hubungannya dengan Vivian jadi kacau. Vivian merasa Wil tidak serius menjalin hubungan dengannya, dan memutuskan untuk pergi ke Prancis untuk mengejar karier sebagai balerina.
Saving Face tidak sekadar bercerita tentang anak yang lesbian dan bagaimana coming out terhadap keluarga. Lebih dari itu, Saving Face bercerita tentang hubungan ibu dan anak. Bagaimana bagi keluarga etnis Cina, menghindari aib dengan menjaga muka keluarga adalah hal yang harus dijunjung tinggi. Dalam hal ini, ibu dan anak memiliki “aib” mereka masing-masing yang bakal bisa mencoreng nama keluarga.
Dalam masyarakat etnis Cina, keluarga adalah segalanya. Dan kepada keluargalah engkau berpaling. Keluarga juga tidak akan meninggalkanmu saat kau membutuhkan mereka. Itulah yang terjadi dalam Saving Face. Dan juga dalam Red Doors, film tentang keluarga Asia-Amerika yang tinggal di New York. Film tahun 2005 ini juga mengisahkan anak perempuan dalam keluarga keturunan Cina di Amerika. Kebetulan lain film Red Doors dengan Saving Face adalah sang putri lesbian berprofesi sebagai dokter yang menjalin hubungan dengan aktris. Jika Anda suka Saving Face, mungkin bisa menjadikan Red Doors sebagai pilihan film untuk ditonton.
Oke, balik lagi ke Saving Face. Ketiga aktris dalam film ini bermain sangat apik. Michelle Krusiec tidak keteteran berhadapan dengan aktris senior, Joan Chen. Bahkan Lynn Chen pun bisa mencuri layar untuk dirinya. Saving Face adalah film drama komedi tentang hubungan ibu dan anak yang berusaha saling memahami. Serta tentang pencarian cinta dalam masyarakat yang punya banyak tabu dan perjalanan ibu dan anak untuk mencapai kejujuran diri.
@Alex, RahasiaBulan, 2007
Gia. Kependekan dari Gia Marie Carangi. Supermodel terkenal pada era akhir 1970-an dan awal 80-an. Hidupnya singkat, kariernya pun tak kalah singkat, namun namanya selalu dikenang sebagai supermodel kondang dunia. Bahkan Cindy Crawford pada awal kariernya mendapat julukan “Baby Gia”.
Gia lahir di Philadelphia 29 January 1960 dan meninggal tahun 1986. Kisah hidupnya diangkat ke layar televisi oleh HBO pada tahun 1998 dengan judul Gia. Film yang skenarionya ditulis Jay McInerney dan Michael Cristofer ini juga mengangkat nama Angelina Jolie yang berperan sebagai Gia Marie Carangi.
Gia “ditemukan” oleh pencari bakat ketika sedang menjaga restoran ayahnya, dan pindah ke New York City pada tahun 1978. Dengan cepat ia menjadi favorit para fotografer fashion yang menyukai keunikan wajahnya, yang keturunan Itali, Welsh, dan Irlandia. Dan pada usia 18 tahun, Gia sudah menjadi idola dunia fashion, namun jauh di dasar lubuk hatinya dia kesepian dan tidak bahagia.
Kepada agennya, Wilhelmina Cooper (Faye Dunaway), Gia mencari dan menemukan kasih sayang seorang ibu. Kebahagiaan hatinya juga terisi ketika menjalin hubungan dengan asisten fotografer, bernama Linda. Meskipun dalam kehidupan nyata, konon Linda adalah Sandy Linter yang tidak mau namanya disebutkan dalam film.
Tahun 1979-1981 adalah puncak karier Gia. Dia tampil di berbagai majalah fashion terkemuka seperti Glamour, Vogue, dan Cosmopolitan. Juga menjadi model bagi Armani dan Dior. Hubungan asmaranya juga penuh dengan gejolak, karena Linda ternyata memiliki tunangan laki-laki.
Meskipun di film tidak diceritakan, dalam buku terbitan 1994, Thing of Beauty The Tragedy of Supermodel Gia yang ditulis Stephen Fried, ditulis bahwa Gia tidur dengan banyak perempuan dan beberapa laki-laki walaupun pada dasarnya dia adalah lesbian. Buku ini menceritakan dengan lebih detail kisah hidup Gia yang tidak bahagia dan haus kasih sayang, serta hubungannya yang buruk dengan ibunya. Dalam buku juga secara tersirat disebutkan bahwa Gia pada dasarnya adalah lesbian "butch".
Film ini menampilkan kisah tragis kehidupan supermodel yang tampak glamor. Dalam banyak hal, Gia memiliki segala yang diidamkan perempuan. Kecantikan, uang, dan ketenaran ternyata tidak bisa menghilangkan rasa tidak aman yang selalu merundungnya atau membeli kasih sayang yang dicarinya. Angelina Jolie bermain sangat bagus dalam film ini sehingga membuahkannya gelar aktris terbaik untuk Film TV pada Golden Globe tahun 1999, dan membuatnya jadi ikon pujaan lesbian sejagad.
@Alex, RahasiaBulan, 2007
PS: Nonton filmnya di VCD th.2002, bukunya pinjam punya bos, :)
Ini adalah dua film remaja yang non-Hollywood namun amat layak ditonton. Kedua film ABG ini sudah lama saya tonton, dan nyaris tergeser oleh film-film lain dari benak saya. Beautiful Thing adalah film Inggris tahun 1996 yang bersetting di kota kecil London Tenggara, di kota yang kebanyakan dihuni warga kelas pekerja. Sebelum diangkat ke layar lebar, Beautiful Thing merupakan karya pertunjukan teater sebenarnya dibuat untuk televisi Channel Four Inggris.
Berkisah tentang Jamie (Glenn Berry), remaja introvert yang tidak suka olahraga dan sering di-bully teman-temannya. Diam-diam naksir teman sekelas yang juga tetangganya, Ste (Scott Neal). Ste sering dihajar oleh kakak lelakinya dan ayahnya yang pemabuk hingga suatu hari Ste kabur dari rumah dan mengungsi di rumah Jamie yang tinggal bersama ibunya. Karena ranjang yang sempit dan hasrat remaja, kemesraan pun timbul antara mereka. Ste panik dan meninggalkan Jamie lalu menghindarinya selama berhari-hari. Jamie pun tak kalah paniknya. Akhirnya kemudian mereka sama-sama menyadari ikatan yang tumbuh di antara mereka dan lebih baik bersatu dalam ikatan itu daripada melawannya.
Show Me Love juga bersetting di kota kecil, tepatnya di Åmål, Swedia (meskipun shooting dilakukan di Trollhättan). Film tahun 1999 dengan judul asli Fucking Åmål ini merupakan debut film karya sutradara Swedia, Lukas Moodysson. Berkisah tentang Agnes (Rebecka Liljeberg) yang penyendiri (digosipkan lesbian) dan tidak punya teman diam-diam naksir adik kelasnya, Elin (Alexandra Dahlström) yang populer. Meskipun memiliki banyak teman, populer, dan terkenal sering ganti-ganti cowok, Elin merasa hidupnya membosankan dan tidak sabar untuk bisa keluar dari kota kecil Åmål.
Entah bagaimana, Elin bisa jadi satu-satunya tamu yang hadir di ulang tahun Agnes. Dan di pesta ultah yang sepi itu mereka ditantang berciuman oleh kakak Elin. Dan ciuman itu membuka berbagai perasaan yang selama ini terpendam. Elin segera menjauh dari Agnes, panik saat menyadari bahwa dia juga punya perasaan yang sama terhadap Agnes. Agnes yang memang sudah menyukai Elin ikutan panik dan sedih. Kedua aktris remaja di sini, Liljeberg dan Dahlström menampilkan akting yang prima. Chemistry mereka juga pas dan tidak dibuat-buat.
Kedua film di atas bercerita tentang penerimaan diri remaja terhadap kenyataan diri bahwa mereka gay/lesbian. Ketakutan menghadapi kenyataan diri itu ditambah cinta remaja yang bersemi terhadap sahabat sesama jenis dituang dengan jernih dalam kedua film ini. Mungkin yang terbiasa menonton film Hollywood, akan sedikit gagap dengan gaya kedua film Eropa ini. Masalah bahasa juga bisa jadi kendala, jika mencari DVD-nya tolong cek teks subtitelnya. Show Me Love menggunakan bahasa Swedia. Beautiful Thing meskipun menggunakan bahasa Inggris, jika ditonton tanpa teks membutuhkan kecermatan penangkapan daya telinga yang kuat, karena aksennya yang amat sangat kental.
Realitas hubungan remaja gay/lesbian yang ditampilkan dalam kedua film di atas tampak mengesankan. Hubungan mereka terjadi begitu saja, tanpa rencana, tidak seperti film-film remaja Hollywood yang kadang-kadang penuh polesan. Ending kedua film ini bagi banyak pihak mungkin terlalu mengawang-awang. Terlalu tidak realisitis. Terlalu tidak Hollywood. Ending yang tidak benar secara politis. Ending yang membuat kita ikut tersenyum bahagia melihat kebahagiaan anak-anak remaja belasan tahun itu ketika menemukan cinta pertama mereka.
@Alex, RahasiaBulan, 2007
PS: Nonton Fucking Amal di Jiffest lupa tahun berapa, Beautiful Thing di British Council th. 1998.
Beberapa malam lalu saya tidak bisa tidur dan iseng menonton TV dengan mengganti-ganti saluran sesuka hati. Dan saya nyaris muntah melihat tayangan demi tayangan televisi lokal kita. Sumpah, saya benar-benar mual! Dalam salah satu saluran TV, tampil banci alias waria yang sedang dimaki-maki karena ngamen di depan rumah seorang bapak, bahkan nyaris ditimpuk sandal, sementara si banci ketawa-ketawa nggak jelas sambil menyahuti omelan si bapak. Di saluran TV lain, ada tayangan “malam hari” yang membahas kehidupan kaum homoseksual, yang dianggap nista, berdosa, dll. Hhhh... saya nyaris katarak (plus muntah) melihat dua tayangan itu. Akhirnya saya mengganti-ganti saluran lagi hingga berhenti di saluran entah apa yang menayangkan film aksi Barat kelas B. Whatever deh.
Setiap kali saya menonton tayangan televisi yang melecehkan seperti itu, rasanya saya ingin melempar TV saya ke depan rumah yang tergenang air banjir, cuma saya sayang aja karena TV itu hasil kemenangan saya di Kuis Siapa Berani, hehehe, kenang-kenangan gitu lho... Eniwei, tayangan dengan tokoh LGBT di TV Indonesia masih sebatas pada hiburan lucu-lucuan kalau menampilkan waria alias banci alias transeksual. Liat saja bagaimana karakter Aming(wati) dalam Extravaganza dieksploitasi habis-habisan yang kemudian hampir semua tayangan humor memiliki karakter banci, yang sekali lagi cuma sebatas lucu-lucuan dan untuk dilecehkan.
Itu untuk karakter waria. Bagaimana untuk karakter lesbian/gay? Wah, ini lebih seru. Karakter gay biasanya kena AIDS atau semacam penyakit aneh yang membuatnya susah mati sebelum insaf, atau kena segala macam musibah seperti dibunuh pasangan gay-nya, atau dirampok, atau dipenjara atau entah musibah apa lagi yang bisa dipikirkan oleh penulis skenario. Oooh, atau... melanjutkan kuliah ke luar negeri seperti karakter yang diperankan Tora Sudiro dalam Arisan! The series, biar mereka nggak usah menampilkan pasangan gay gitu lho di serial yang amat sangat mengecewakan itu, yang level gagalnya mungkin sekelas dengan Dunia Tanpa Koma.
Untuk karakter lesbian, biasanya mereka menampilkan karakter lesbian yang beringas, dengan dandanan yang mengerikan ala preman. Atau pecandu narkoba. Atau jadi lesbian karena bekera di bar sebagai pramuria, hihihi... Biasanya lesbian-lesbian itu nasibnya akan berakhir dengan kematian, atau jadi kriminal, dipenjara atau sekali lagi jadi lesbian insaf. Buset deh. Pada titik ini biasanya saya butuh Panadol.
Mungkin saya kurang banyak menonton tayangan televisi Indonesia sehingga cuma itu yang saya tangkap dari televisi kita.Tidak adil kiranya kalau saya hanya bisa komplain, tanpa memuji. Tayangan dengan karakter LGBT tidak semuanya mengecewakan kok. Karakter Jo dalam FTV Dicintai Jo, misalnya. Jo ditampilkan sebagai lesbian yang sehat dan tidak berubah sinting saat cintanya ditolak.
Atau mungkin kita bisa mundur sejenak pada tahun 2001-2002. Sebelum Indosiar hancur lebur ditinggal Hilman Hariwijaya, mereka pernah menayangkan serial Cerita Cinta. Dalam musim tayang ke-3 (kalau tidak salah), mereka menampilkan tokoh lesbian dengan pemeran Dea Ananda dan Sausan. Okelah, saya tidak sreg-sreg amat dengan karakter yang diperankan mereka karena Dea terlalu banyak mendengus sekan ada upil yang nyangkut di hidungnya, tapi lumayanlah karena si lesbiannya nggak jadi cewek sinting plus kriminal di sini, sayang belakangan tokohnya jadi "straight" lalu dihilangkan. Saat musim tayang berikutnya, mereka menampilkan gay yang diperankan Ida Bagus Made Oka Sugawa (yang pernah jadi Lupus), wuih, adegannya cute banget pas dua cowok itu boncengan di Vespa. So sweet gitu deh. Kalau tidak salah skenario Cerita Cinta itu ditulis oleh Adra P. Daniel, dan karakter gay yang tampil di sana amat sangat manusiawi bahkan memperoleh akhir yang bahagia. Wow! Waktu itu saya pikir, ini kemajuan luar biasa untuk televisi kita.
Entah bagaimana beberapa tahun kemudian, kita seakan berjalan mundur dengan tayangan-tayangan sinetron jiplakan Taiwan/Korea/Jepang dengan kisah bercucuran air mata. Atau sinetron ala Hidayah yang membodohi penonton, atau tayangan komedi yang melecehkan banci. Dalam tayangan-tayangan itu tidak ada ruang untuk karakter gay/lesbian yang sehat. Munculnya FTV tadinya saya kira bisa memberi ruang untuk itu, namun rasanya FTV pun harus menyerah pada apa yang namanya rating.
Rating bagai tuhan di dalam kotak kaca bernama televisi. Jika penonton suka melihat banci dilecehkan, dimaki-maki, dibentak-bentak, ditoyor, ditimpuki, yah mereka akan terus menayangkannya. Jika rating bilang semua lesbian atau gay harus insaf atau mereka akan mendapat azab, ya itulah yang terjadi. Jangan salahkan produser atau sutradara atau penulis skenario jika hasilnya seperti itu, karena jika yang mulia tuan rating sudah bersabda, tak ada cara lain selain mematuhinya. Ironisnya, kita sebagai penontonlah yang seharusnya jadi tuhan penentu rating ini.
@Alex, RahasiaBulan, 2007
Bayangkan situasinya seperti ini: Perang. Jerman. Nazi. Yahudi. Lesbian. Apa yang akan terjadi jika seorang perempuan Jerman jatuh cinta pada perempuan Jerman-Yahudi di masa PD II? Seakan belum cukup rumit, si perempuan Jerman itu adalah istri tentara Nazi. Di sisi lain perempuan Yahudi itu adalah anggota gerakan mata-mata bawah tanah.
Aimee & Jaguar mengisahkan kisah cinta antara Lilly Wust (Juliane Köhler) dan Felice Schragenheim (Maria Schrader) yang berlokasi di Berlin pada tahun 1944. Dua perempuan ini berasal dari dunia yang berbeda. Sebagai keturunan Yahudi, Felice ikut gerakan bawah tanah sambil menjadi mata-mata dengan bekerja di koran milik Nazi. Lilly adalah istri tentara Jerman yang patuh, bahkan memperoleh medali karena telah melahirkan 4 putra keturunan Arya.
Mereka saling bertukar surat dan puisi dengan nama samaran Aimee (Lilly) dan Jaguar (Felice). Mereka bercinta di bawah hujan bom sekutu dan tembakan Gestapo. Dua perempuan yang berusaha mengais setitik kebahagiaan di tengah perang, tanpa tahu apakah esok mereka bisa melihat matahari terbit lagi.
Felice menjalani hidup dengan bebas, semangat tak berbatas bersama sahabat-sahabat lesbiannya yang membentuk komunitas kecil lesbian Yahudi. Lilly yang merasa hidupnya hampa dengan suami yang tak pernah dicintainya terpesona pada kehidupan Felice. Dan ketika hubungannya dengan Felice tertangkap basah sang suami, Lilly pun memilih. Tanpa memikirkan risikonya dia memilih Lilly. Dan karena cinta pula Felice tidak peduli pada risiko memutuskan tinggal di Berlin bersama Lilly, sementara tentara Gestapo mengobrak-abrik kota menangkapi orang-orang Yahudi.
Aimee & Jaguar diangkat ke layar lebar oleh sutradara Max Färberböck dari buku yang ditulis oleh Erica Fischer dengan judul yang sama, berdasarkan kumpulan surat cinta Lilly dan Felice serta cerita yang dituturkan Lilly Wust padanya. Kisah cinta yang mengalahkan maut ini terbit pada tahun 1994 dan menjadi bestseller di Jerman dan telah diterjemahkan ke dalam 11 bahasa.
Film berbahasa Jerman yang berdurasi 125 menit ini dinominasikan sebagai film asing terbaik dalam Golden Globe Award 1999. Kedua aktris dalam film Aimee & Jaguar, Juliane Köhler dan Maria Schrader mendapat penghargaan Silver Bear sebagai aktris terbaik di 1999 Berlin Film Festival.
@Alex, RahasiaBulan 2007
NB: Untuk info lebih lanjut tentang Lilly Wust, silakan klik:
Wawancara dengan Lilly Wust: www.planetout.com
Sumber lain: http://www.zeitgeistfilms.com/
"I was born twice: first, as a baby girl, on a remarkably smogless Detroit day in January of 1960; and then again, as a teenage boy, in an emergency room near Petoskey, Michigan, in August of 1974."
Itulah kalimat pembuka dari novel setebal lebih dari 500 halaman yang pertama kali diterbitkan tahun 2002. Berkisah tentang Calliope Stephanides yang terlahir sebagai perempuan dalam keluarga keturunan Yunani di Amerika yang kemudian menyadari bahwa dirinya berbeda saat usianya 14 tahun. Pada saat itu Calliope yang tidak pernah mengalami menstruasi jatuh cinta pada seorang gadis di sekolahnya.
Tadinya Calliope mengira dirinya lesbian, namun terjadinya kecelakaan membuat Calliope masuk rumah sakit dan di sana terungkap kenyataan bahwa dia terlahir dengan kelamin ganda. Akibat semacam mutasi genetik, sewaktu dilahirkan Calliope tidak memiliki penis, namun memiliki klitoris yang ukurannya lebih besar daripada ukuran wajar. Secara kromosom Calliope adalah laki-laki karena memiliki kromosom X dan Y. Namun karena ketiadaan penis itulah, Calliope dibesarkan sebagai anak perempuan.
Namun Middlesex tidak semata-mata bercerita tentang seorang gadis yang berganti kelamin menjadi laki-laki. Kisahnya jauh lebih kompleks daripada itu. Untuk mengetahui sejarah mutasi genetika Calliope, pembaca dibawa mundur hingga ke tahun 1920-an di Yunani ke desa tempat tinggal kakek-nenek Calliope tinggal dan terpaksa mengungsi ke Amerika saat terjadi perang Yunani – Turki. Kita dibawa mengenal keluarga Stephanides sebagai keluarga imigran keturunan Yunani di Amerika. Kita juga diajak menyaksikan kehidupan sosial-budaya masyarakat Amerika pada tahun 1960-an. Singkat cerita, Middlesex adalah epik tiga generasi keluarga Stephanides asal Yunani dalam kerangka kehidupan di Amerika Serikat yang pada tahun 1960-an dipenuhi isu perang, kerusuhan rasial, dan tampilan kota Detroit yang jadi cikal-bakal industri mobil Amerika.
Ada satu-dua kali saya merasa seperti sedang membaca buku teks pelajaran sejarah ketika membaca novel ini, tapi bukan dalam artian yang buruk dan membosankan. Oya, saya juga ingin mengingatkan bahwa ini BUKAN novel lesbian atau novel tentang transeksual ganti kelamin jadi laki-laki. Kalau cuma topik itu yang ingin dicari, lebih baik lupakan keinginan untuk membaca ini karena Anda hanya akan kecewa. Dari segi cerita, kalau saya mau menjelaskan dengan gampang novel ini mungkin bisa dianggap "gabungan" antara novel Captain Corelli's Mandolin karya Louis de Bernieres dan Time Traveller's Wife karya Audrey Niffenegger. Tapi itu juga tidak sepenuhnya benar. Middlesex adalah novel yang unik dan kaya cerita, hhh, membuat saya jadi teringat Life of Pi-nya Yann Martel.
Middlesex termasuk novel yang ditunggu-tunggu, karena butuh sepuluh tahun bagi Jeffrey Eugenides untuk menerbitkan novel kedua setelah menerbitkan novel pertamanya Virgin Suicides yang mendapat banyak pujian. Virgin Suicides juga diangkat ke layar lebar dengan peran utama Kirsten Dunst dan sutradara Sofia Coppola. Keunikan dan kekayaan cerita yang terentang selama kurang lebih delapan dekade dalam Middlesex membuat novel ini mendapat berbagai penghargaan. Salah satunya bahkan perhargaan tertinggi dalam jagad buku, yaitu Hadiah Pulitzer tahun 2003 untuk karya fiksi.
@Alex, RahasiaBulan, 2007
Beberapa hari yang lalu saya bertemu seorang sahabat lesbian yang curhat bahwa cintanya ditolak oleh cewek straight di kantornya. Dia bilang dia tidak menyangka cintanya bisa ditolak karena selama ini sang cewek yang ditaksirnya biasanya "menanggapi" sinyal-sinyal yang dikirimkannya. Dalam konteks bercanda saya bilang, kalo cuma kirim sinyal sih jelas ada ditolak, coba dong bawa martabak ke rumah mertua kayak orang pacaran tempo doeloe. Saya tahu saya tampak tidak peka terhadap kebutuhannya untuk curhat, tapi mau gimana lagi? Dia bilang, dia kapok naksir cewek straight. Buat saya wajar saja kalau kita jatuh cinta pada cewek hetero, secara dunia ini 90% isinya cewek hetero kok.
Hm, saya jadi teringat pada seorang sahabat saya yang “bangga” hingga menepuk dada saat bisa “membelokkan” cewek hetero. Dia bahkan punya catatan, yah semacam a little black book, cewek-cewek mana saja yang dulunya hetero sebelum dibelokkan olehnya. Duh, saya bener-bener nggak habis pikir apanya yang mesti dibanggakan. Plis deh, kalau dia bisa jadi juara catur dunia atau juara olimpiade, atau menemukan obat anti flu boleh deh bangga. Kalau cuma nidurin cewek yang “katanya” hetero, apa yang bisa dibanggakan dari hal itu? Lagi pula, kalau tuh cewek emang benar-benar hetero mana mau dia pacaran dengan sesama cewek. Atau kalau cewek hetero itu mau tidur dengan sesama perempuan karena pacaran dengan si lesbi dia akan bergelimang uang atau kemewahan, bukannya itu sama saja dengan merangkap menjadi pelacur?
Hihihi, atau jangan-jangan teman saya itu yang dijadiin eksperimen sama cewek-cewek straight itu, yang cuma pengin coba-coba ingin tahu gimana-sih-rasanya-sama-cewek. Secara dia biasanya dicampakin sama cewek straight itu pas tuh cewek dapat cowok baru... Oya, soal ini juga bikin sejumlah teman yang pacaran sama cewek hetero jadi resah-gelisah-basah karena jadi kepikir macam2 pas ngeliat ceweknya ngobrol ama cowok lain. Eh, pas ngeliat ceweknya ngobrol sama cewek lain, dia cemas juga.... Cuapek deh!
Oya, balik lagi ke cerita curhat sahabat saya itu. Dia yang kebakaran jenggot, meskipun tidak punya jenggot, kalap meng-sms cewek yang ditaksirnya itu, ditambah meneleponinya, ehm, mungkin bukan menelepon, lebih tepatnya dia menelepon, tapi teleponnya tidak diangkat. Sampai nongkrong di tempat fitnes sang cewek idaman. Dengan harapan sang cewek idaman mau menerima cintanya. Mungkin bentar lagi sahabat saya itu bakal memohon-mohon sambil memegangi kaki si cewek straight yang jadi pujaan hatinya itu, sementara si cewek straight itu berusaha mengenyahkan pegangannya. (Kayak adegan sinetron gitu lhooo...)
Buset deh, saya pikir, nggak punya harga diri banget. Kalau memang cintanya ditolak, ya nggak usah gitu-gitu amat dong. Plis, jadilah lesbian yang punya martabat dan harga diri.
Tapi nggak salah kok naksir cewek hetero, seperti yang saya bilang tadi, naksir cewek hetero itu wajar. Been there, done that myself. Mungkin si cewek "hetero" itu bisa jadi jodoh kita kalau kita bisa memainkan peranan kita dengan benar. Pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang harus kita lakukan?
Kalau dengan sesama L kan kita bisa gampang “nembak”, lha kalau sama cewek straight bisa-bisa kita yang ditembak beneran. Kalau kita mengejarnya terlalu nafsu, salah-salah imej lesbian tuh bisa makin tercoreng. Kebayang kan headline di koran lampu merah. “Cinta Ditolak, Lesbian Membunuh Cewek Idamannya.” Atau “Ditolak Cintanya, Lesbian Bunuh Diri Terjun ke Sungai.” Whatever ending-nya, semua makin mencoreng imej kita. Dan setelah itu nanti kisahnya diangkat ke sinetron Hidayah. Hahaha.
Hm, mungkin dalam konteks ini kita bisa belajar dari film-film remaja. Gini lho, pernah nonton serial TV Dawson’s Creek? Ingat cinta segitiga Dawson-Joey-Pacey? Ingat bagaimana di season 3, Pacey “menunggu” Joey menyadari cintanya pada cewek itu? Meskipun fokus Joey hanya pada Dawson, Pacey tetap jadi orang yang selalu ada untuk Joey. Atau dalam Buffy the Vampire Slayer kita melihat bagaimana Spike mencintai Buffy dalam hati saja. Karena Spike tahu mereka “berbeda” dan tidak mungkin bisa bersatu, secara legal maupun moral. Namun ia tetap sabar menanti Buffy membalas cintanya hingga dunia berakhir.
Pacey dan Spike hanyalah dua contoh yang mungkin bisa jadi subteks kita sebagai lesbian ketika mendekati cewek idaman kita yang hetero. Harap maklumi referensi saya dengan film-film ABG yang tampak tidak cerdas ini, dan mungkin hanya bisa dimengerti segelintir orang. Tapi sungguh, kadang-kadang saya merasa kisah cinta lesbian itu bisa dianalogikan dengan kisah cinta remaja. Tidak hanya dalam dua serial TV ini, puluhan atau bahkan ratusan film remaja memuat cerita yang bisa kita analogikan dengan kehidupan cinta sesama jenis.
And you know what, dalam kedua serial tersebut Pacey dan Spike akhirnya mendapat balasan cinta dari gadis idaman mereka. Dan penonton pun bertepuk tangan.
@Alex, RahasiaBulan, 2007
Pay It Forward
Kecapi koleksi sederhana tentang retrospeksi hidup, kronik harian, atau apresiasi hiburan direkat dalam mozaik sketsa lesbian.
Selamat datang. Aku si bulan itu. Dan ini rahasiaku.
Alex Lagi Ngapain Ya?
Jejaring SepociKopi
-
Club Camilan12 years ago
-
Topik: Sisterhood Unlimited!13 years ago
-
Surga Kepulauan Raja Ampat13 years ago
-
Kian Damai15 years ago
-
-
Jejaring Sahabat
Komen Terbaru
Kategori
- lesbian (79)
- film (63)
- Personal Life (51)
- Opini (40)
- Intermezzo (38)
- buku (29)
- TV (14)
- persona (12)
- gay (11)
- remaja (10)
- Asia (9)
- love (7)
- biseksual (5)
- coming out (4)
- poem (4)
- subteks (4)
- L Word (3)
- transeksual (3)
- South of Nowhere (2)
- Lakhsmi (1)
- cinta (1)
- lagu (1)
Blog Archive
-
▼
2007
(97)
-
▼
February
(10)
- Buku: The Night Watch - Sarah Waters
- Kunyalakan Senter di Ujung Terowongan
- ...Not a Lesbian Movie...
- Film: Saving Face - Cinta dalam Dunia yang Tabu
- Gia - Tragedi Hidup Supermodel
- Film: Cinta Pertama Gay/Lesbian dalam film ABG
- Opini: Ketika Yang Mulia Rating Bersabda, Homo pun...
- Film: Aimee & Jaguar ---Cinta yang Tak Kenal Kata ...
- Buku: Middlesex - Jeffrey Eugenides
- Opini: Chasing the Dragon
-
▼
February
(10)