3:01 PM

Opini: Ketika Yang Mulia Rating Bersabda, Homo pun Mati

Posted by Anonymous |

Beberapa malam lalu saya tidak bisa tidur dan iseng menonton TV dengan mengganti-ganti saluran sesuka hati. Dan saya nyaris muntah melihat tayangan demi tayangan televisi lokal kita. Sumpah, saya benar-benar mual! Dalam salah satu saluran TV, tampil banci alias waria yang sedang dimaki-maki karena ngamen di depan rumah seorang bapak, bahkan nyaris ditimpuk sandal, sementara si banci ketawa-ketawa nggak jelas sambil menyahuti omelan si bapak. Di saluran TV lain, ada tayangan “malam hari” yang membahas kehidupan kaum homoseksual, yang dianggap nista, berdosa, dll. Hhhh... saya nyaris katarak (plus muntah) melihat dua tayangan itu. Akhirnya saya mengganti-ganti saluran lagi hingga berhenti di saluran entah apa yang menayangkan film aksi Barat kelas B. Whatever deh.

Setiap kali saya menonton tayangan televisi yang melecehkan seperti itu, rasanya saya ingin melempar TV saya ke depan rumah yang tergenang air banjir, cuma saya sayang aja karena TV itu hasil kemenangan saya di Kuis Siapa Berani, hehehe, kenang-kenangan gitu lho... Eniwei, tayangan dengan tokoh LGBT di TV Indonesia masih sebatas pada hiburan lucu-lucuan kalau menampilkan waria alias banci alias transeksual. Liat saja bagaimana karakter Aming(wati) dalam Extravaganza dieksploitasi habis-habisan yang kemudian hampir semua tayangan humor memiliki karakter banci, yang sekali lagi cuma sebatas lucu-lucuan dan untuk dilecehkan.

Itu untuk karakter waria. Bagaimana untuk karakter lesbian/gay? Wah, ini lebih seru. Karakter gay biasanya kena AIDS atau semacam penyakit aneh yang membuatnya susah mati sebelum insaf, atau kena segala macam musibah seperti dibunuh pasangan gay-nya, atau dirampok, atau dipenjara atau entah musibah apa lagi yang bisa dipikirkan oleh penulis skenario. Oooh, atau... melanjutkan kuliah ke luar negeri seperti karakter yang diperankan Tora Sudiro dalam Arisan! The series, biar mereka nggak usah menampilkan pasangan gay gitu lho di serial yang amat sangat mengecewakan itu, yang level gagalnya mungkin sekelas dengan Dunia Tanpa Koma.

Untuk karakter lesbian, biasanya mereka menampilkan karakter lesbian yang beringas, dengan dandanan yang mengerikan ala preman. Atau pecandu narkoba. Atau jadi lesbian karena bekera di bar sebagai pramuria, hihihi... Biasanya lesbian-lesbian itu nasibnya akan berakhir dengan kematian, atau jadi kriminal, dipenjara atau sekali lagi jadi lesbian insaf. Buset deh. Pada titik ini biasanya saya butuh Panadol.

Mungkin saya kurang banyak menonton tayangan televisi Indonesia sehingga cuma itu yang saya tangkap dari televisi kita.Tidak adil kiranya kalau saya hanya bisa komplain, tanpa memuji. Tayangan dengan karakter LGBT tidak semuanya mengecewakan kok. Karakter Jo dalam FTV Dicintai Jo, misalnya. Jo ditampilkan sebagai lesbian yang sehat dan tidak berubah sinting saat cintanya ditolak.

Atau mungkin kita bisa mundur sejenak pada tahun 2001-2002. Sebelum Indosiar hancur lebur ditinggal Hilman Hariwijaya, mereka pernah menayangkan serial Cerita Cinta. Dalam musim tayang ke-3 (kalau tidak salah), mereka menampilkan tokoh lesbian dengan pemeran Dea Ananda dan Sausan. Okelah, saya tidak sreg-sreg amat dengan karakter yang diperankan mereka karena Dea terlalu banyak mendengus sekan ada upil yang nyangkut di hidungnya, tapi lumayanlah karena si lesbiannya nggak jadi cewek sinting plus kriminal di sini, sayang belakangan tokohnya jadi "straight" lalu dihilangkan. Saat musim tayang berikutnya, mereka menampilkan gay yang diperankan Ida Bagus Made Oka Sugawa (yang pernah jadi Lupus), wuih, adegannya cute banget pas dua cowok itu boncengan di Vespa. So sweet gitu deh. Kalau tidak salah skenario Cerita Cinta itu ditulis oleh Adra P. Daniel, dan karakter gay yang tampil di sana amat sangat manusiawi bahkan memperoleh akhir yang bahagia. Wow! Waktu itu saya pikir, ini kemajuan luar biasa untuk televisi kita.

Entah bagaimana beberapa tahun kemudian, kita seakan berjalan mundur dengan tayangan-tayangan sinetron jiplakan Taiwan/Korea/Jepang dengan kisah bercucuran air mata. Atau sinetron ala Hidayah yang membodohi penonton, atau tayangan komedi yang melecehkan banci. Dalam tayangan-tayangan itu tidak ada ruang untuk karakter gay/lesbian yang sehat. Munculnya FTV tadinya saya kira bisa memberi ruang untuk itu, namun rasanya FTV pun harus menyerah pada apa yang namanya rating.

Rating bagai tuhan di dalam kotak kaca bernama televisi. Jika penonton suka melihat banci dilecehkan, dimaki-maki, dibentak-bentak, ditoyor, ditimpuki, yah mereka akan terus menayangkannya. Jika rating bilang semua lesbian atau gay harus insaf atau mereka akan mendapat azab, ya itulah yang terjadi. Jangan salahkan produser atau sutradara atau penulis skenario jika hasilnya seperti itu, karena jika yang mulia tuan rating sudah bersabda, tak ada cara lain selain mematuhinya. Ironisnya, kita sebagai penontonlah yang seharusnya jadi tuhan penentu rating ini.

@Alex, RahasiaBulan, 2007

1 comments:

Anonymous said...

ehem.....baru kemaren gw nemu ini blog. so gw bener bener beruntung, terhibur dengan ulasan ulasan film bertema tentang dunia gay, lesbi dll.....
blog ini jadi inspirasi gw buat nulis (meski baru dikit yang gw tulis hehehe).
gw sih setuju banget bang, kalo dunia gay sebenarnya nggak melulu tentang waria.

Subscribe