Suatu malam partner berfilosofi, “Siapa yang kaupilih jadi pasanganmu bisa menyeretmu ke jurang kehancuran atau mengangkatmu ke surga tertinggi.”
Pernyataan tersebut mengingatkan pada seorang sahabat lesbian yang sudah saya kenal lebih dari sepuluh tahun lalu. Ketika pertama kali berkenalan, sebut saja namanya Ellie, tinggal bersama partnernya di sebuah rumah petak berkamar satu di dalam gang kecil yang cuma muat dilewati sepeda motor. Waktu itu dia sedang cuti kuliah, padahal tinggal 2 semester lagi selesai dan berusaha mencari bisnis kecil-kecilan sebelum uang tabungannya telanjur ludes untuk biaya hidup. Saat itu masanya krismon menjelang akhir tahun 90-an, dan partnernya yang pengangguran mengaku sedang kesulitan mencari pekerjaan.
Deraan kesulitan ekonomi sering membuat mereka bertengkar, ditambah lagi partnernya ternyata gemar berjudi membuat hubungan mereka makin buruk. Yang satu menyalahkan yang lain. Hingga suatu hari Ellie tidak tahan dan menelepon ibunya yang tinggal di kota lain sambil menangis bercucuran air mata, tak tahan lagi. Betapa kagetnya saya ketika tahu siapa ayah Ellie, rumah petak tempat tinggalnya mungkin cuma seukuran kamar tidurnya yang megah di rumah ayahnya yang seluas lapangan bola. Ayahnya adalah seseorang yang punya nama besar di negara ini. Dan ketika mendapati putri kesayangannya lesbian, tidak ada jalan lain bagi sang ayah yang punya karakter sama-sama keras kepala seperti putrinya selain “melepaskan” sang putri untuk memilih jalan hidupnya sendiri.
Kabur dari rumah dan rela hidup susah demi cinta asal bisa bersama dengan orang yang kita cintai mungkin romantis ketika kita baca dalam novel atau tonton dalam film. Tapi kenyataan begitu keras menimpa Ellie, sampai-sampai dia jatuh bergedebuk keras hingga memar sekujur tubuh. Untungnya ibu Ellie adalah mediator andal, ia diam-diam membantu putrinya dengan mengirim uang tanpa sepengetahuan ayahnya agar Ellie paling tidak bisa terus kuliah, sambil terus mendinginkan hati ayahnya dan mengingatkan lelaki tua itu bahwa Ellie adalah anak perempuan satu-satunya dalam keluarga.
Ibunya adalah perempuan luar biasa. Ketika akhirnya saya berkesempatan bertemu dengan ibunya, dia bilang pada saya agar membantu menjaga Ellie. “Lex, tolong bantu jaga dia ya, Tante cuma berharap Ellie bisa ketemu pasangan yang baik, terserah deh laki atau perempuan. Tante nggak tahan liat Ellie hidup menderita kayak gini.”
Untungnya hati sang ayah pun perlahan-lahan ikut luluh, itu pun karena Ellie sudah putus dari pacar perempuannya karena si bajingan pengangguran itu kedapatan punya cewek lain. Agh, jangan bayangkan adegan ala sinetron di mana setelah bertengkar hebat sang ayah memeluk putri tercintanya kemudian berkata, “It’s okay, Nak. Papa nerima kamu apa adanya.” Tidak. Ayah dan anak perempuannya ini sudah melewati titik “point of no return” dan Ellie sudah tidak bisa lagi jadi gadis kecil kesayangan ayah saat memutuskan "keluar" dari rumah.
Berhentikah Ellie jadi lesbian ketika cintanya dikoyak dan dikhianati perempuan? Tidak. Dia menemukan perempuan lain yang mengisi hidupnya. Kali ini, ayah dan ibunya sudah “menutup mata”, terserah deh putrinya mau sama siapa, selama orang itu bisa menyayangi Ellie dengan baik. Kali ini Ellie menemukan perempuan karier yang sukses, yang dijamin takkan membuatnya tinggal di gang sempit. Ellie tinggal bersama sang kekasih barunya, mengikuti sang kekasih layaknya istri yang baik ketika sang kekasih ditugaskan ke luar negeri, tinggal berdua di rumah baru yang mereka beli berdua ketika kembali ke Jakarta. Ibu dan ayah Ellie pun tidak lagi menguarkan aroma kebencian saat berkumpul bersama putri kesayangan dan “menantu” mereka.
Life goes on, and sometimes shit happens. Suatu hari, selewat lima tahun hubungan mereka pupus karena konon sang kekasih berselingkuh dengan perempuan lain. Lalu mulailah episode baru patah hati yang menyakitkan ditambah perebutan harta gono-gini yang melelahkan dan seru ibarat nonton episode Insert secara langsung. Di antara kekesalan dan kekecewaannya ibu Ellie berkata, “jika Ellie bukan lesbian, sekarang dia pasti sudah punya anak dan suami yang sayang sama dia, bukannya seperti sekarang setiap beberapa tahun sekali harus sakit hati.” Penyesalan terbesar ibu Ellie ternyata bukan punya putri lesbian, tapi karena Ellie selalu menemukan pasangan yang menyeretnya ke jurang.
Saya percaya semua orang layak mendapat cinta, apa pun bentuknya. Demikian juga Ellie. Namun semestinya dia tidak perlu mencium 1000 kodok dulu agar bisa menemukan pangerannya (eh, mungkin dalam hal ini putri). Selama ini Ellie hanya menemukan kodok-kodok yang dikirannya jelmaan putri, namun nyatanya mereka cuma kodok yang hobi melompat hingga terjun bebas ke jurang dan menyeret Ellie ikut serta.
Menyesalkah Ellie terlahir sebagai lesbian? Jelas tidak.
Menyesalkah Ellie coming out pada orangtuanya? Maybe yes, maybe no.
Penyesalan terbesar Ellie adalah ia tidak mampu menunjukkan diri kepada orangtuanya bahwa dia bisa jadi lesbian yang punya hubungan solid dan pasangan yang bisa mengangkatnya ke surga tertinggi agar orangtuanya tidak selamanya menyesali dan bertanya, “Kenapa, Ellie? Kenapa?”
@Alex, RahasiaBulan, 2007
Club Camilan
12 years ago
0 comments:
Post a Comment