11:11 PM

Stereotipe Lesbian di Mata Lelaki (gay)

Posted by Anonymous |

Bagian I
Seorang sahabat gay bertanya pada saya, “kenapa sih kamu sering pakai baju warna hitam? Apakah itu warna identitas lesbian?” Selanjutnya dia menambahkan bahwa saudara sepupunya yang lesbian juga sering pakai warna hitam/gelap. Dan cewek-cewek lesbian yang dia kenal juga sering banget pakai warna hitam.

Saya bengong lima detik sebelum akhirnya ngakak mendengar pertanyaan itu. Saya bergegas membayangkan isi lemari dan mendapati kenapa baju saya kebanyakan warnanya merah, kuning, biru, ya? Ada sih hitam, cuma kayaknya tidak membuat warna tersebut sebagai warna identitas. Bahkan jumlah baju hitam saya sama dengan jumlah baju pink yang saya miliki.

Pertanyaan tentang pakaian ini bukanlah yang pertama kalinya ditujukan untuk saya. Seorang sahabat partner juga pernah berkomentar seperti itu. Saya jadi berpikir. Kenapa ya? Lalu saya dan sahabat gay saya yang bekerja di bidang fashion itu berdiskusi. Dia bilang, warna hitam itu membuat pemakainya tampak more powerful, confident, and manly. Saya jawab, "Heh? Masa sih?" Mungkin dia benar. Tapi sejujurnya, saya suka memakai warna hitam (terutama kalau saya ada janji meeting), karena memang warna itu membuat saya merasa aman dan percaya diri. Kenapa? Karena saya orang yang ceroboh dan jorok.

Saya selalu kagum pada orang yang bisa pakai baju warna putih. Saya angkat topi buat mereka. Buat saya, memakai baju warna putih, apalagi di musim hujan sama beraninya dengan mereka yang berjalan melewati ladang penuh ranjau di Irak. Karena kalau saya memakai putih, belum jam makan siang saja, kemeja/baju saya bakal kena berbagai noda. Entah itu noda kopi, teh, atau bekas remah makanan yang bisa dengan mudahnya nempel di baju.

Jikalau sahabat gay saya bertanya (lagi) kenapa lesbian menggemari warna hitam, mungkin jawabannya karena lesbian-lesbian itu pengecut seperti saya. Mereka tidak berani berjalan sambil memamerkan ranjau tetesan kuah soto atau gado-gado sisa makan siang.

Bagian II
Gara-gara obrolan dengan sahabat gay itu, saya jadi ingat obrolan saya via chat dengan seorang sahabat gay lain. Sahabat gay saya bercerita tentang gay night yang dia hadiri. Dia bercerita bagaimana di sana dia melihat cewek butch yang sok asyik. Sebagai lelaki berperasaan halus, dia gentar melihat lesbian butch nongkrong di tempat yang seharusnya GAY night.

Dia bertanya pada saya, “Kenapa sih lesbian itu tampangnya sangar-sangar?”
Saya pura-pura sensi dong. “Maksud lo?” tanya saya balik.
“Maksud gue bukan elo. Secara elo itu kan butch feminin.”
“Maksud lo?” tanya saya lagi, yang masih sok sensi gitu deh.
“Maksud gue, kalo cowok gay kan manis, terawat, harum. Sementara kenapa sih cewek-cewek lesbi itu nggak jaga penampilan? Badannya itu lho..., nggak keurus. Belum lagi penampilan secara keseluruhan, kebapakan gitu. Eh, tapi gue bukan refer ke elo lho."

Saya pun tertawa, tidak bisa berlama-lama sensi dengan sahabat saya ini. Bagaimanapun, dia kan cuma menanyakan pertanyaan yang jujur dari lubuk hatinya. Mulailah kami berdiskusi, beranalisis tentang penampilan para lesbian. Mungkin karena lesbian kan kebanyakan hormon cowoknya gitu ya, jadi penampilannya pun jadi berlagak cowok gitu, demikian ulasan teman saya.

“Eh, elo sendiri jarang dandan,” tiba-tiba dia nyeletuk.
“Gue nggak dandan karena gue udah cantik, tauk!” demikian jawaban saya. “Tapi soal perawatan mah, gini-gini eike meni-pedi lho. Belum lagi creambath rutin, pokoknya yang namanya ke salon mah kudu deh tiap 2 minggu sekali." Biar teteup disayang istri gitu lhoooo...

Bagian III
Dalam satu acara peluncuran buku, seorang sahabat pria (yang konon katanya gay) menarik saya ke pojok ketika saya baru mengambil makanan kecil. Dengan wajah penuh konspirasi dia bertanya pada saya, “Seberapa penting sih penetrasi pada hubungan seksual lesbian? Apakah berpengaruh besar pada kemampuan orgasme?”
Saya jawab, “Idih, penting nggak sih elo pengin tau hal kayak gini?”
“Ini bukan pertanyaan iseng, tahu! Ini dalam rangka riset pembuatan novel yang tokoh utamanya lesbian.”
“So?” tanya saya. “Ngapain juga elo masukin adegan gituan? Nyari sensasi ya? Udah nggak zaman lagi, tahu!” Entah kenapa saya jadi sensi dengan pertanyaannya tentang urusan seks ini.

Sahabat saya ini yang satu ini memang sudah terkenal gila. Kadang-kadang kegilaannya menjurus ke arah menyebalkan. Tapi setelah dipikir-pikir, pertanyaan ini mungkin sering muncul di benak banyak orang yang bukan lesbian. Mungkin untuk hubungan seks sesama lelaki, mereka tidak akan bertanya dengan penuh semangat, karena kita bisa lebih mudah membayangkan bagaimana caranya.

Saya tahu kalau saya tidak menjawabnya, dia akan mencecar saya tanpa henti hingga akhir acara. Akhirnya sebelum beranjak pergi meninggalkan dia di pojok itu, saya jawab pertanyaannya secara tak acuh. "Ah, cewek lesbian itu mah paling hebat deh, nggak perlu penetrasi, dicolek aja bisa orgasme kok." Dan sahabat saya kontan ternganga sementara tangannya mengambang di udara memegang kue yang belum sempat masuk mulutnya. Hahaha, mati kutu dia. :)


@Alex, RahasiaBulan, 2007

0 comments:

Subscribe