Tidak, saya tidak ingin menulis resensi buku terjemahan bahasa Indonesia berjudul The Secret karangan Rhonda Byrne yang bestseller di mana-mana. Tapi tulisan ini memang terinspirasi dari buku tersebut. Konon, pikiran positif akan menarik hal yang positif demikian pula pikiran negatif akan menarik hal negatif. Saya selalu percaya bahwa pikiranmu adalah yang menjadi surga atau nerakamu di bumi. Berpikir positif akan membuat kita sehat dan bahagia, sementara pikiran negatif aku memakanmu pelan-pelan seperti parasit. Merasa bahwa diri merupakan makhluk paling menderita di muka bumi ini dan mengeluh tanpa henti tentang betapa naas hidupnya bisa dipastikan itulah realitas yang terus-menerus terjadi padanya bak lingkaran setan.
Ah, izinkan saya bercerita tentang perjalanan hidup seorang perempuan. Alkisah, ada seorang perempuan, yang setamat sekolah menengah tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi karena pada zamannya perempuan tidak perlu sekolah tinggi karena pada akhirnya dia hanya perlu jadi istri dan ibu rumah tangga. Padahal dia punya kecerdasan dan potensi untuk meneruskan sekolah. Akhirnya perempuan itu pun menikah, yang untuk ukuran zamannya termasuk telat menikah. Bersama suaminya yang tampan namun mata keranjang, ia punya lima anak.
Hidupnya mengalir terus hingga mendekati setengah abad, dan suaminya meninggal, meninggalkan anak bungsu berusia 5 tahun dan anak kedua yang terpaksa tidak bisa kuliah karena keluarganya bisa dibilang bangkrut karena habis membiayai pengobatan almarhum suaminya yang menderita kanker. Untuk pertama kalinya saya melihat perempuan itu menangis ketika suaminya meninggal. Tapi ketika masa berkabung selesai, tangisannya berhenti dan hidupnya berlanjut. Dia tidak menganggap hidup tidak adil atau mengeluh pada semua orang tentang betapa menderita dirinya yang harus menjadi janda.
Untuk membiayai kebutuhan keluarga perempuan setengah baya ini harus kembali lagi masuk ke dunia kerja, apalagi karena salah seorang anaknya bersekolah di SLB yang biayanya cukup besar kala itu. Lalu perlahan-lahan hidupnya membaik, dan akhirnya dia memutuskan untuk membuka usaha sendiri di rumah. Tiap hari bangun pukul 4 pagi, menyiapkan makanan untuk dijual, tapi menurutnya itu masih lebih baik daripada harus pergi bekerja ke luar rumah. Tidak ada satu hari pun dia merasa hidupnya menderita, tiap hari di rumahnya selalu ada tawa dan keramaian walaupun tidur beralaskan tikar.
Tidak pernah sekali pun saya mendengar keluhan terdengar dari mulutnya. Mengeluh capek pun tidak pernah. Bahkan saat kanker menyerangnya ketika usianya mendekati 70 tahun pun, dia menghadapinya dengan tenang. Tidak ada rasa takut mati saat dia didiagnosis menderita kanker. Ketika satu payudaranya harus diangkat akibat masektomi pun dia tetap berpikir positif. Sudah tua tidak perlu dua payudara lagi, itu katanya berusaha santai. Di rumah sakit dia jadi pasien favorit suster-suster di sana karena selalu ceria dan diajak jadi "motivator" pasien-pasien kanker lain. Bahkan pengobatan pasca-operasi yang melelahkan pun dilewatinya bak angin lalu dan tawa. Lima tahun lebih sejak dia diagnosis kanker payudara, dan sudah hampir lima tahun pula dia dinyatakan bersih dari kanker.
Cobaan untuknya ternyata belum berakhir, karena beberapa tahun lalu anak pertamanya meninggal dunia secara mendadak. Dia menangis, tapi tidak mengeluh dan bertanya kenapa Tuhan memperlakukannya tidak adil. Dia tidak pernah bertanya kenapa hidupnya tidak bisa “seenak” orang lain. Rumahnya selalu jadi “rumah singgah” orang-orang yang di mata orang lain loser. Tapi buat perempuan itu dia belajar bahwa hidupnya masih lebih beruntung dibanding orang-orang lain. Bukannya marah dengan rumah kontrakan yang bocor dan retak-retak, putra kesayangannya diambil Tuhan, atau menganggap anaknya tidak berbakti padanya, dia bersyukur setiap hari karena masih punya tempat bernaung, kesehatan yang baik walaupun tidak sempuna, dan makanan setiap hari.
Setiap hari seumur hidup saya, saya melihat perempuan yang juga ibu saya tersebut menjalani hari demi hari dengan pikiran positif. Sebut saja pepatah "Banyak Jalan Menuju Roma", "Semua Terjadi Karena Ada Alasannya." "Masih Ada Cahaya di Ujung Terowongan." dsb, itulah karakter ibu saya. Yah, ibu saya bukan manusia yang tak pernah salah dan tanpa cela, tapi dia adalah manusia yang paling berpikiran positif yang saya kenal. Saya kagum dengan kemampuannya untuk berpikir positif dan terus belajar... duh, ada berapa nenek-nenek sih yang minta diajari chatting dan video call?
Saya melihat bagaimana pikiran positif ibu saya itu menghasilkan mukzijat-mukzijat yang tak pernah terbayangkan. Uang masuk kuliah saya didapat dengan cara yang begitu ajaibnya hingga sampai sekarang saya sering merasa itu benar-benar hasil dari dukungan alam semesta berkat keinginan positif dan kuat kami berdua (udah bener-bener seperti sinetron deh...). Pekerjaan yang sekarang saya geluti merupakan pekerjaan impian saya sejak SMA, meskipun saya menghabiskan dua tahun setelah lulus kuliah jadi “pengangguran” demi memuluskan jalan memperoleh pekerjaan itu. Saya sadar jika dua tahun itu saya hanya menempatkan diri saya dalam kubang derita, mengasihani diri sendiri, dan tanpa mau belajar, pekerjaan itu takkan pernah saya dapatkan sampai sekarang.
Menjadi lesbian pun tidak pernah membuat saya meratap dan mengais-ngais derita buat diri saya sendiri. Saya tidak pernah merasa terbuang, terpinggirkan, terhina sebagai lesbian. Seperti yang saya katakan pada seorang sahabat baru saya, "Saya menolak 'menciptakan' neraka dalam hidup saya saat ini dengan membiarkan diri saya tidak bahagia dan jadi manusia yang tidak sehat dengan memandang diri saya secara negatif."
@Alex, RahasiaBulan, 2007
Club Camilan
12 years ago
2 comments:
saluuutee :)
trin
Yup...hidup memang harus dilanjutkan. Keep positive thinking friends...:)
Post a Comment