10:55 PM

Wajah Pembaca Novel Lesbian Indonesia

Posted by Anonymous |

“Aku nggak suka baca novel,” demikian kata seorang sahabat. “Aku cuma baca novel lesbian,” lanjutnya dengan bangga.

"Mana yang bagus?"

"Semuanya bagus. Semuanya gue banget."

Beberapa kali saya mendapat sambutan seperti itu saat chatting dengan sahabat-sahabat lesbian. Koleksi bukunya cuma novel-novel bertema lesbian dengan tokoh utama atau tokoh-tokoh minor yang lesbian. Saya prihatin dengan kondisi ini.

Sebagai orang yang hidup dan bernapas dalam buku, saya kecewa. Saya tidak melihatnya sebagai kebanggaan. Saya mengukur kecerdasan dan wawasan seseorang dari buku-buku yang dibacanya. Saya belajar banyak dari buku-buku yang saya baca. Di dalam buku saya bisa menyelam tanpa perlu tabung oksigen, saya bisa terbang walau tak punya sayap. Buku, baik fiksi dan non fiksi, selalu membuat saya tak habis kagum pada penulisnya. Untuk fiksi, ada kekaguman yang berbeda dari cara mereka menciptakan realitas melalui tulisan. Pada cara mereka menciptakan dunia yang membuat saya percaya. Pada cara mereka mengajak saya terbang ke sebuah alam di negeri yang punya nyawa dan hidup sendiri.

Seperti kata Tom Clancy "The difference between fiction and reality? Fiction has to make sense."

Pembaca lesbian yang cuma membaca buku fiksi yang “gue banget” itu bukanlah pembaca buku fiksi. Dan di mata mereka semua buku fiksi lesbian itu gue banget dan bagus. Tidak ada buku fiksi lesbian jelek. Pokoknya asal lesbian, bagus punya deh! Mengharukan dan menyentuh, apalagi kalau ceritanya happy ending. Ya! Happy ending, itu yang paling penting! Asal happy ending buku menjadi bagus “banget”.

Pembaca fiksi lesbian masih tersaruk-saruk dan “nyangkut” di kisah happy ending. Walaupun cerita nggak masuk akal serta hukum sebab akibat tidak digarap dengan baik. Atau ditulis dengan bahasa acak-acakan seolah nggak pernah tahu bahwa kita punya kamus bahasa Indonesia. Atau pula plot yang lemah dan berantakan. Itu dianggap sebagai buku yang bagus oleh banyak lesbian. Apalagi jika ditulis oleh sesama sista, maka kualitasnya semakin menjanjikan seolah-olah terlupakan bahwa fiksi berbeda dengan menulis pengalaman pribadi. Nilai sastra tidak menjadi penting lagi, yang penting adalah sistahood-nya.

Pembaca lesbian seharusnya tidak terjebak dalam dikotomi hanya membaca buku fiksi lesbian sementara buku fiksi non-homoseksual dianggap tidak penting dan tidak perlu dibaca. Ini mengakibatkan, nilai pengetahuan atas kualitas sastra pembanding menjadi minim, kalau tak mau dikatakan nol. Jika ada tulisan yang berbeda dari jalur kelaziman langsung dipuja-puja. Atau langsung dilaknati. Sebut saja novel fenomenal seperti Da Vinci Code, berapa besar kepanikan yang ditimbulkan oleh ketakutan bahwa novel ini akan menggoyahkan iman? Jika kita sering membaca buku fiksi, kita tahu bahwa novel ini hanyalah fiksi yang dibuat dengan sangat baik oleh Dan Brown sehingga membuat kita "percaya". Dan kita tahu bahwa apa yang diangkatnya bukan “barang baru” dalam dunia fiksi.

Kepanikan sejenis itu terjadi dalam dunia sastra lesbian kita.

Ada pembaca lesbian yang langsung panik dan ngeri setengah mati saat melihat novel lesbian yang dikaitkan dengan narkoba. Pembaca lesbian yang tidak awam dengan keragaman fiksi langsung seperti cacing kena abu hanya dengan melihat judulnya saja. Padahal novel tersebut memenangkan salah satu penghargaan bergengsi dalam dunia sastra Indonesia. Atau saat melihat novel dengan mencantumkan judul “Lesbian” besar-besar, pembaca seperti ini langsung kalap kegirangan melihat ada novel lesbian yang beredar.

Cerita-cerita lesbian yang menyedihkan, teraniaya, curhat tak bertepi tentang kehidupan sebagai lesbian adalah cerita yang paling dicari oleh pembaca lesbian. Tentang konflik internal dalam diri. Masih sebatas itulah yang dicari pembaca-pembaca lesbian. Kalau lesbiannya terlalu bahagia atau tidak ada konflik batinnya itu dianggap tidak real. Jadi pola yang dicari oleh pembaca lesbian adalah sepanjang novel si lesbian harus terus-menerus dirundung derita lalu menjelang akhir dia akan menemukan happy ending seperti cerita-cerita sinetron yang sering kita lihat di televisi.

Fanatisme buta semacam itu bukanlah penghargaan terhadap pengarang sebagai pengarang. Dia tidak dihargai karena hasil karya sastranya. Jika dia tidak menulis novel lesbian lagi, apakah si pengarang masih akan dipuja oleh pembacanya yang notabene lesbian?

Akhirnya, karya-karya fiksi lesbian yang berkualitas rendah dalam bobot sastra tidak mendapatkan kritik proporsional dari para pembaca sastra (baca: pembaca lesbian) sendiri. Semuanya menjadi bias dan akhirnya studi ilmiah tentang sastra lesbian semakin melemah karena ketiadaan wacana yang sehat dan intelektual. Ini sungguh-sungguh menyedihkan dan memprihatinkan. Entah mau dibawa ke manakah para pembaca fiksi lesbian Indonesia?

@Alex, RahasiaBulan, 2008

3 comments:

ANDA said...

buka hati nurani anda untuk benar2 menerima bhw kami memang "ADA"...hingga andapun mampu berkarya untuk membawa banyak orang "percaya" ...KAMIPUN INGIN HIDUP. Sukses buat anda....

ANDA said...

saya tunggu wacana "lesbian" dari karya anda ...ok. sukses !

Ligx said...

kenyataan bahwa sakit hati,curhat dan berbagai penderitaan yang dialami para lesbian.itu lumrah..hampir tidak ditemukan bahwa seorang lesbian tidak pernah menerima hujatan sebagai homoseksual.semua pasti pernah mengalami.oponi anda sangat bagus,namun tidak pernah melhat dari sosok seorang lesbian itu sendiri bagaimana menjadi kaum minoritas yang terikat berbagai peraturan2.

Subscribe