Sejak dulu saya terobsesi dengan makhluk abadi yang bernama vampir. Entah kenapa. Mungkin karena pada dasarnya manusia memiliki pertanyaan-pertanyaan tak terjawab tentang kehidupan, kematian, dan keabadian.
Konsep makhluk jejadian yang bersosok manusia mati namun “bernyawa” di muka bumi dengan berbagai kutukan yang dibawanya membuat otak saya yang kerdil ini memikirkan banyak hal tentang apa, bagaimana, kenapa mereka hidup.
Saya memikirkan kehidupan imortal para vampir ini dalam konsep religiusitas, bagaimana mereka terkoneksi dengan penciptanya dan menjadi pencipta dalam kekuatan darah yang mengalirkan kehidupan.
Ada gagasan romantis, psikoseksual, dan religiusitas yang dekat dengan kehidupan homoseksual dalam kehidupan imortal vampir ini.
Kisah vampir nyaris tak lepas dari kisah cinta. Tentang cinta abadi yang tak kenal waktu. Tentang cinta yang menerabas kematian. Tapi saya tidak mau bicara soal gagasan romantisme di sini. Seisi dunia sedang tergila-gila pada Edward, bahkan saya juga, dan cukuplah dulu saya menuliskannya sekali.
Kisah vampir juga tidak lepas dari kutukan keabadian. Yang membawa saya dalam pertanyaan tentang kenapa vampir diciptakan. Siapa penciptanya. Apakah ada Tuhan di sini? Walaupun tujuan itu kembali lagi ke niatan si pengarang, tapi dilihat dari sudut mana pun vampir adalah produk agama Kristen. Atau lebih tepatnya pengingkaran terhadap ke-Kristen-an. Bisa dilihat bagaimana vampir hasil generasi awal digambarkan takut terhadap salib dan air suci.
Bram Stoker menulis novel Dracula pada tahun 1897, menggunakan kemarahan Count Dracula terhadap Tuhan karena tega merenggut istri yang dicintainya padahal dia sedang membela Tuhannya dalam Perang Salib. Dia marah karena para pemuka agama menyatakan istrinya tidak bisa masuk surga karena meninggal akibat bunuh diri. Jadilah sang count mengingkari Tuhannya dan menjadi makhluk terkutuk yang hidup dari darah.
Bercerita tentang vampir tidak bisa lepas dari nama Anne Rice. Sejak tahun 1976 dia menulis Vampire Chronicles-nya dalam konsep atheis. Sosok-sosok vampir yang diciptakan Anne Rice dalam karya-karya fiksinya memuat teori bahwa ada makhluk yang tercipta jauh sebelum Kristus muncul. Ketika manusia masih memuja matahari dan bumi ini sendiri. Ada kekuatan besar, makhluk abadi yang tak tersentuh oleh kematian yang menitiskan kekuatannya melalui darah.
Wes Craven, salah satu raja film horor, menciptakan teori baru tentang vampir. Teori ini begitu jauhhh hingga sulit diterima oleh, yeah, paling tidak oleh saya. Dalam film Dracula 2000, Wes Craven menyatakan bahwa Dracula sesungguhnya adalah Yudas Iskariot, yang dikutuk untuk berjalan di muka bumi sebagai makhluk yang tidak bisa mati, dan ditolak masuk surga dan neraka. Teori ini berusaha menjelaskan kenapa Dracula takut pada benda-benda perak, karena Yudas dibayar dengan perak untuk pengkhianatannya terhadap Yesus.
Bram Stoker dan Wes Craven memberikan ketenangan pada Dracula ciptaan mereka dengan memulangkan sosok imortal pada “surga”. Memberikan mereka kematian dan akhir yang mereka dambakan. Berbeda dengan Anne Rice dengan sosok-sosok vampir ciptaannya yang tidak takut pada hal-hal bersifat agama modern, yang menurutnya adalah produk ciptaan manusia. Mereka hidup jauh sebelum manusia modern muncul dan menciptakan agama.
Begitu banyak lesbian yang lari dari agamanya ketika mengetahui bahwa mereka dicap sebagai makhluk terkutuk. Agama hanyalah pengekang, dan dengan bangga mereka menolak Tuhan mereka. Tapi banyak dari mereka yang gelisah. Seperti halnya Dracula yang mencari cinta sejatinya pada Wilhemina Harker, lesbian-lesbian itu juga mencari Wilhemina Harker mereka. Mereka menganggap diri mereka sebagai makhluk kegelapan. Yang bisa musnah terbakar matahari jika berani keluar pada siang hari. Yang akan dikejar untuk dibunuh oleh para pemburu makhluk terkutuk ini. Dan jadilah mereka makin marah dan jahat. Mereka jadi menggertak lebih dulu, menyerang dan menakuti sebelum diserang. Dan jadilah lingkaran kebencian yang tak putus.
Begitu banyak kebencian dan kemarahan yang dirasakan oleh sang vampir dan lesbian-lesbian yang jauh dari intisari mereka sendiri. Kenapa aku? Itu juga pertanyaan yang ditanyakan oleh Dracula dan Lestat dalam Vampire Chronicles.
Pada era tahun 1990-an muncul teori baru “vampir berjiwa”. Joss Whedon memperkenalkan Angel sebagai sosok vampir berjiwa dalam Buffy the Vampire Slayer. Anne Rice juga menampilkan sosok Louis sebagai vampir berjiwa dalam Vampire Chronicles-nya. Vampir-vampir yang begitu simpatik sehingga bisa membuat manusia jatuh cinta dan rela menyerahkan diri mereka padanya. Dan yang terbaru adalah Edward ciptaan Stephenie Meyer yang gigitannya berhasil menciptakan histeria massa.
Sebut mereka vampir-vampir vegetarian. Louis, Angel, Spike, Edward. Mereka adalah vampir yang memutuskan untuk mengontrol dahaga mereka dengan tidak menyantap darah manusia. Kevegetarian mereka itulah yang menjual mereka menjadi budaya pop. Pencitraan ini secara tidak langsung juga memengaruhi cara pikir masyarakat untuk bisa menerima hal absurd sebagai suatu realitas romantis.
Konsep vampir untuk target remaja kebanyakan berkutat pada romantisme. Keseksian sang vampir yang selalu bisa menaklukkan makhluk mortal bernama manusia. Tapi tidak semua manusia. Hanya manusia-manusia terpilih yang bisa dicintai oleh vampir-vampir ini. Manusia-manusia kegelapan ini menemukan kembali inti dirinya melalui cinta. Vampir seharusnya makhluk mati, tapi mengapa ada manusia yang bisa membuat jantungnya serasa berdenyut kembali?
Saya selalu menarik benang merah antara percintaan vampir dengan manusia ini dengan kisah cinta homoseksual. Cinta terlarang yang tidak bisa bersatu. Sejak awal, vampir memang tidak lepas dari seksualitas dan sensualitas. Anne Rice bahkan menciptakan pertanyaan, “Jika kau hidup selamanya, apakah kau akan menghabiskannya hanya dengan satu gender atau kau mencoba segala kemungkinan?” Bahkan ketika mengetahui putranya gay, Anne Rice menyuruh putranya membaca Vampire Chronicles-nya.
Kini seiring dengan perubahan sosok vampir dalam budaya pop, dari makhluk sadis pemangsa manusia, vampir sering kali ditampilkan sebagai sosok dengan jiwa yang bersih. Jika selama seabad lamanya vampir menjadi tokoh pemangsa manusia, makhluk pengisap darah, kini mereka dianggap “selevel” dengan manusia. Jika memantulkan sosok vampir berjiwa ini dalam cermin kaum homoseksual, belakangan ini pencitraan homoseksual pun tidak semata-mata menunjukkan kevampirannnya, eh, kehomoseksualitasnya, di masyarakat, tapi menyorotkan jiwa mereka yang berkilau. Kaum lesbian/gay pun belakangan ini tidak melulu dianggap sebagai pemangsa kaum hetero.
Jadi teorinya, jika semakin sering manusia dipaparkan pada absurditas yang kemudian dianggap “normal”, paradigma masyarakat pun akan ikut berubah. Mungkin kita harus berterima kasih pada kreator-kreator cerita vampir ini yang membuat masyarakat bisa menerima keanehan cinta antara sesama jenis, eh, kisah cinta antara vampir dan manusia sebagai kisah cinta romantis yang wajar.
Ah, saya mengoceh panjang-lebar lagi tentang isi otak saya yang kebanyakan edannya. Sudah jam setengah tiga pagi... lebih baik saya sudahi dulu tulisan ini. Kapan-kapan kita lanjut lagi untuk topik ini :).
@Alex, RahasiaBulan, 2008
Club Camilan
12 years ago
3 comments:
Yaaaahhh Lex....!!! Gue udah niat banget nulis tentang betapa homo-nya hubungan vampir dan manusia..khususnya gue mau ngomongin Angel dan Buffy di blog. masih ada di kepala karena belum sempet nulisnya. Eeeehh...keduluannn...hahaha...
Setuju bos sama tulisannya..=)
Halah, nggak ada acara keduluan soal urusan begini. Hayo tulis, Mit. Aku mau baca analisismu. :)
Say, kamu tahu obsesiku di mana, bukan vampir, tapi makhluk lain yang juga memiliki kehidupan kekal. Aku mengenal Tuhan lebih intim melalui pemaknaan kehidupan dan kematian pada diri makhluk-makhluk yang tak dapat dikendalikan oleh usia dan waktu. Aku menjadi lebih religious bukan melalui kitab suci, tapi melalui buku-buku fiksi yang pada kedalamannya malah kutemukan sabda Tuhan.
Kapan-kapan aku ingin mengajakmu melihat rumah vampir di sudut jalan di kota bersalju ini... yah, setidaknya, orang-orang di sini percaya tentang dongeng itu.
Kiss and hug.
*Lakhsmi
Post a Comment