Oleh: Alex

Apa yang kaulakukan jika kau sudah menikah, memiliki tiga anak, dan jatuh cinta pertama kalinya dengan perempuan?


Alice Jordan memiliki kehidupan yang sempurna. Rumah idaman di pedesaan yang baru dibelikan oleh suaminya, Martin. Tiga anak yang melengkapi hidup berkeluarganya. Dan suami setia dan pekerja keras yang tak menuntut macam-macam darinya.

Akan tetapi, Alice tidak bisa menghilangkan perasaan depresinya. Perasaan bahwa dia menjalani hidup selama 31 tahun sambil “tidur”. Niatnya untuk meneruskan hobi melukis di rumah baru yang dinamai The Grey House di desa Pitcombe, Inggris, ternyata membuat Alice makin tertekan. Setelah melahirkan anak ketiganya, Charlie, Alice mandek dan tidak bisa melukis lagi.

Selama sepuluh tahun perkawinannya Alice Jordan tidak pernah merasakan gejolak perasaan yang membuncah terhadap suaminya, Martin. Dia bertemu dengan Martin pada awal usia dua puluhan, menikah karena jatuh cinta pada kebaikan Martin dan menyayangi ibu mertuanya yang memiliki taman indah idamannya. Tahun berlalu, kemudian Alice hamil anak pertama, Natasha, dilanjutkan dengan anak kedua, James, dan anak ketiganya, Charlie dalam masa sepuluh tahun. Namun selama itu Alice tidak pernah menjalani hidup sehidup-hidupnya.

Hingga akhirnya Alice bertemu dengan Clodagh Unwin, putri bungsu bangsawan di desa itu. Clodagh yang baru tiba dari New York adalah perempuan ugal-ugalan manja tipikal gadis kaya yang biasa mendapatkan apa yang dia mau. Menurut gosip yang beredar di desa, Clodagh pulang ke desa membawa patah hati dari New York. Namun yang tidak diketahui oleh semua orang adalah, Clodagh meninggalkan kekasih perempuannya di New York karena tidak tahan hidup bersamanya. Clodagh kemudian jatuh cinta pada Alice dan tanpa malu-malu masuk ke dalam hidup Alice dan menjadi bagian dari The Grey House. Kehadiran Clodagh pada awalnya memberikan warna dan kesegaran bagi hidup Alice yang tanpa warna. Anak-anak Alice pun jatuh sayang pada Clodagh yang mahir masak dan selalu menemani mereka sepanjang hari.

Alur cerita novel ini berjalan lambat, sesuai dengan karakter Alice yang lambat dan plegmatis melankolis. Baru pada halaman 100 dari novel setebal 270 halaman, Alice menemukan diri Clodagh yang sesungguhnya. Pada diri Clodagh, Alice menemukan dirinya sendiri yang lama mati suri. Bersama Clodagh pula, Alice menemukan arti kebahagiaan yang tak pernah ia kenal sebelumnya.

“What Clodagh has given me has enriched me. It hasn’t impoverished anything about me... It’s grown me up. It’s enabled me to love everyone else in my life properly, and as far as I can see only another woman would do for that instructive kind of love because only another woman could see I needed it and could understand about children and self and the permanent balancing act of motherhood and self.” (hal 238)

Novel ini diterbitkan pada tahun 1989, dan bersetting di pedesaan Inggris pada akhir tahun 1970-an hingga 1980-an. Jadi bisa dibayangkan bagaimana kisah ini sangat “kampung Inggris”. Dan membaca judulnya saja, kita tahu bahwa affair Alice dan Clodagh pada akhirnya tercium dan berada di kampung membuat gosip yang beredar di pedesaan bisa menghancurkan keluarga. Dan pada akhirnya pilihan harus dibuat. Pilihan-pilihan yang jika dibaca dua puluh tahun sejak novel ini pertama kali terbit tampak "sesuai" sebagai keputusan dan pilihan era tahun 1980-an di desa.

Joanna Trollope, sang penulis novel ini, sudah menulis novel selama lebih dari 30 tahun. Berbagai penghargaan dan pujian telah diterimanya. Pada tahun 1996, dia memperoleh penghargaan OBE atas sumbangsihnya pada dunia sastra dari Ratu Ingrgis. Dia juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Lahir pada tahun 1943, Joanna Trollope masih menulis hingga sekarang. Dia menikah dua kali dan kini tinggal sendiri di London, dia memiliki dua anak perempuan dan dua anak tiri serta beberapa cucu.

Untuk kesekian kalinya Joanna Trollope menempatkan tokohnya dalam dilema Keinginan diri sendiri versus Tanggung jawab terhadap orang yang disayangi, sebagaimana yang terdapat dalam novel Trollope yang lain, Marrying the Mistress yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dan pada akhirnya pilihan yang harus diambil oleh Alice juga dihadapkan pada dilema semacam itu.

Novel ini sudah diangkat ke layar televisi pada tahun 1994. Membandingkan novelnya dengan film, jelas dua hal yang berbeda. Novelnya jauh lebih kaya menampilkan pribadi sosok Alice hingga menjadi dirinya yang lesbian. Filmnya sendiri jauh lebih membosankan dibanding bukunya. Tapi paling tidak dalam novel, Joanna Trollope bisa menunjukkan perubahan karakter dan emosi Alice Jordan dari hanya sekadar ibu rumah tangga lemah hingga menjadi perempuan mandiri dengan segala konsekuensi keputusan yang harus diambilnya.

@Alex, RahasiaBulan, 2008

2 comments:

Anonymous said...

Whuaaaa .. endingnya ga kayak dongeng Cinderella ... minta refund ahhhh :P

Anonymous said...

Huahaha. Brg yg udah dibeli gk bs refund. Endingnya liberating kan? Hehe

Subscribe